Karakteristik-Karateristik Adversity Intelligence Adversity Intelligence 1. Pengertian Adversity Intelligence

20 Adversity intelligence yang ada pada diri individu turut menentukan tindakan atau respon yang dilakukan seseorang Ahmad dan As’ad, 2007. Stoltz 2004 menjelaskan bahwa individu yang memiliki adversity intelligence yang tinggi tidak akan merasakan derita dari ketidakberdayaan. Ia akan mampu mengoptimalkan kinerja, produktivitas, ketekunan, dan kemauan untuk belajar yang dimilikinya. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa adversity intelligence merupakan kemampuan berpikir, mengelola, dan mengarahkan tindakan yang membentuk suatu pola-pola tanggapan kognitif dan perilaku atas stimulus peristiwa-peristiwa dalam kehidupan yang merupakan tantangan dan atau kesulitan, yang dapat diukur dan ditafsirkan dalam bentuk adversity quotient untuk mengembangkan individu menuju pencapaian tingkatan kehidupan.

2. Karakteristik-Karateristik Adversity Intelligence

Kauffman dan Kruse 2003 mengungkapkan bahwa kehidupan individu memiliki unsur-unsur mental, fisik, dan spiritual serta daya. Individu yang mampu memusatkan daya hidup pada satu titik juga akan memiliki kemampuan untuk menghadapi suatu masalah. Hal ini dimaksudkan bahwa individu akan mampu menghadapi kesulitan apabila mampu berpikir kreatif. Berkenaan dengan hal tersebut, pikiran kreatif umumnya tidak muncul dalam kondisi dan situasi yang tidak kondusif atau di tengah-tengah berbagai gangguan yang dapat menyebabkan pikiran tidak dapat berkonsentrasi. Adversity intelligence berkaitan dengan kemampuan berpikir kreatif, karena mencerminkan kemampuan individu dalam menghadapi rintangan dan menemukan cara untuk 21 mengatasi rintangan tersebut sehingga mampu mencapai keberhasilan dalam, Wahyuningrum dan Rachmawati, 2007. Individu yang mempunyai adversity intelligence yang tinggi akan berorientasi pada optimisme dalam menghadapi tantangan atau hambatan, bagaimanapun tingkat kesulitannya. Bagi mereka, kegagalan mengatasi hambatan hanya merupakan kemungkinan yang perlu dipahami keberadaannya Yazid, 2005. Welles dalam Sriati, 2008 menyatakan bahwa adversity intelligence berakar pada bagaimana kita merasakan dan menghubungkan dengan tantangan- tantangan. Orang yang memiliki adversity intelligence lebih tinggi, tidak menyalahkan pihak lain atas kemunduran yang terjadi, dan mereka bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah. Individu yang memiliki adversity intelligence yang tinggi senantiasa terdorong untuk mencari penyelesaian terhadap kesulitan yang dihadapi. Dorongan untuk mencari penyelesaian tersebut dapat menggerakkannya untuk mencapai prestasi yang lebih baik dengan menggali segala potensi yang dimiliki tanpa batas Wahyuningrum dan Rachmawati, 2007. Stoltz 2004 juga menambahkan bahwa adversity intelligence meramalkan siapa yang akan mempunyai prestasi melebihi harapan kinerja mereka dan siapa yang akan gagal. Adversity intelligence dapat digunakan dengan mudah dalam keluarga, hubungan kerja, dan organisasi. Adversity intelligence dalam organisasi dapat berperan dalam meramalkan siapa yang akan mampu mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam aktivitas organisasi. Semakin tinggi adversity intelligence dalam berorganisasi maka semakin tinggi pula kecenderungan individu untuk 22 melampaui hambatan itu dengan sukses. Kesuksesan ini yang akan membuat individu merasa puas dan semakin termotivasi untuk melibatkan diri dalam aktivitas organisasi Ahmad dan As’ad, 2007. Individu dengan adversity intelligence yang tinggi dalam berorganisasi yang tinggi akan semakin merasakan dorongan untuk pemberdayaan diri empowering dengan aktivitas yang semakin tinggi intensitasnya. Cara seseorang menghadapi hambatan dalam sebuah organisasi sangat dipengaruhi oleh sejauhmana orang itu melihat hambatan atau dengan kata lain bagaimana seseorang melakukan atribusi. Individu dengan adversity intelligence yang tinggi akan cenderung melakukan atribusi eksternal. Dengan kata lain, individu tersebut akan melihat suatu masalah sebagai suatu yang bersifat sementara, eksternal, dan terbatas. Hal ini akan menimbulkan keyakinan dalam diri individu untuk lebih mampu mengatasi kesulitan. Sedangkan seseorang dengan adversity intelligence yang rendah melakukan atribusi internal yang berarti individu tersebut akan melihat masalah sebagai suatu yang bersifat tetap, internal, dan meluas. Hal ini yang membuat seseorang menjadi tidak berdaya ketika menghadapi masalah Ahmad dan As’ad, 2007. Berdasarkan adversity intelligence seseorang, Stoltz 2004 mengelompokkan individu menjadi tiga, yaitu: a. Quitters. Quitters bekerja sekedar cukup untuk hidup. Mereka memperlihatkan sedikit ambisi, semangat yang minim, dan mutu di bawah standar. Mereka mengambil resiko sesedikit mungkin dan biasanya tidak kreatif, kecuali saat mereka harus menghindari tantangan-tantangan yang 23 besar. Quitters tidak banyak memberikan sumbangan yang berarti dalam pekerjaan, sehingga mereka merupakan beban mati bagi setiap perusahaan. b. Campers. Campers masih menunjukkan sejumlah inisiatif, sedikit semangat, dan beberapa usaha. Mereka akan bekerja keras dalam hal apapun yang bisa membuat mereka merasa lebih aman dibandingkan dengan apa yang telah mereka miliki. Mereka masih mengerjakan apa yang perlu dikerjakan. c. Climbers. Climbers menyambut baik tantangan-tantangan dan mereka hidup dengan pemahaman bahwa ada hal-hal yang mendesak dan harus segera dibereskan. Mereka bisa memotivasi diri sendiri, memiliki semangat tinggi, dan berjuang untuk mendapatkan yang terbaik dari hidup. Climbers merupakan katalisator tindakan karena mereka cenderung membuat segala sesuatunya terwujud.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adversity Intelligence