SITUS PATIAYAM

C. SITUS PATIAYAM

1. Gambaran Umum Kawasan Patiayam 10

Kondisi fisik rencana tapak Masterplan Patiayam secara umum ditinjau dengan dasar sebaran litologi/batuan, morfologi, penggunaan lahan dan keterdapatan fosil. Secara umum stratigrafi atau urutan batuan yang terdapat di daerah Patiayam seperti tertera pada peta geologi daerah Patiayam dari Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional.

10 Tim Penyusun. Laporan Masterplan. Kudus: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kudus, 2007. Hlm (II-10) – (II-11)

Gambar 43: Peta Geologi dan Peta Persebaran Fosil

(Sumber: Berita Penelitian Arkeologi No.22, 2007)

Urutan batuan dari yang tertua sampai temuda yang terdapat di daerah studi, kondisi morfologi, penggunaan lahan dan keterdapatan fosil adalah sebagai berikut:

a. Satuan batu lempung, berwarna biru, kompak banyak mengandung fosil moluska dan foraminifera dan batu lempung hitam, tidak kompak dengan sisipan breksi kompak. Satuan ini diusulkan sebagai Formasi Jambe dan tersebar sedikit di bagian timur di aliran Kali Jambe dan sedikit di daerah Desa Ngarit. Satuan ini mempunyai topografi sedang dengan ketinggian berkisar antara 175 meter sampai 200 meter dari permukaan air laut dengan kelerengan berkisar antara 15-20 derajat. Penggunaan lahan satuan ini adalah tanah hutan perhutani. Satuan ini terdapat fosil laut jenis moluska dan foraminifera.

b. Satuan breksi volkanik berwarna abu-abu kehitaman dengan fragmen andesit dan massa dasar batu pasir tufaansangat kompak. Satuan ini

diusulkan sebagai Formasi Kancilan dan tersebar di sebelah G. Cangkaraman Desa Ngrangit lama kontak dengan batu lempung. Satuan ini mempunyai topografi sedang dengan ketinggian bekisar antara 225 meter sampai 300 meter dari permukaan air laut dengan kelerengan berkisar antara 15-25 derajat. Penggunaan lahan satuan ini adalah lahan huta perhutani. Satuan ini tidak ditemukan fosil vertebrata.

c. Satuan batu pasir tufaan, berwarna putih abu-abu berukuran halus sampai sedang dan banyak mengandung fosil vertebrata, moluska, moluska air tawar. Batu pasir ini terdapat sisipan batulempung abu-abu mengandung c. Satuan batu pasir tufaan, berwarna putih abu-abu berukuran halus sampai sedang dan banyak mengandung fosil vertebrata, moluska, moluska air tawar. Batu pasir ini terdapat sisipan batulempung abu-abu mengandung

d. Satuan tufa – konglomerat, berwarna putih kekuningan tidak kompak dengan sisipan konglomerat kasar berwarna putih kekuningan dengan struktur silang-siur serta sisipan breksi abu-abu kompak. Satuan ini diusulkan sebagai Formasi Kedungmajo, tersebar di bagian tengah dan bagian barat daya. Satuan ini mempunyai topografi sedang dengan ketinggian berkisar antara 65 meter sampai 150 meter dari permukaan air laut dengan kelerengan berkisar antara 8-10 derajat. Penggunaan lahan satuan ini lahan hutan Perhutani, sawah tadah hujan, tegalan, pemukiman dan lahan kosong. Satuan ini belum diketemukan fosil vertebrata maupun hominid.

e. Satuan aglomerat, berwarna kuning kecoklatan dengan fragmen terdiri datri batuan beku leusit, andesit dan batu gamping, kerakal-berangkal dan massa dasar semen silica dan karbonat. Satuan ini terdapat sisipan breksi abu-abu fragmen batuan beku, ukuran kerikil-kerakal bentuk menyudut tanggung dan massa dasar lempung tufaan. Satuan ini diusulkan sebagai

Formasi Sukobubuk, tersebar di sekitar G. Cangkraman (265 m) dan G. Patiayam (338 m) kearah timur-utara dan sebagian kearah barat. Satuan ini mempunyai topografi sedang dengan ketinggian berkisar antara 200 meter sampai 338 meter dari permukaan air laut dengan kelerengan 15-25 derajat. Penggunaan lahan satuan ini lahan hutan Perhutani. Satuan ini tidak diketemukan fosil vertebrata.

f. Satuan undak sungai dan alluvium, tersusun oleh pasir lepas bongkahan batuan beku, pasir tufaan konglomerat dan tidak kompak. Satuan ini tersebar di bagian barat, selatan timur, dan utara menempati morfologi dataran rendah. Penggunaan lahan satuan ini lahan sawah tadah hujan, tegalan, permukiman. Satuan ini tidak/belum diketemukan fosil vertebrata.

Gambar 44: Gambaran alam S itus Patiayam

(Sumber: Dokumentasi pribadi, 2011)

Zonasi adalah penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya dan

Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan. 11

Berikut adalah zonasi yang terdapat pada kawasan Situs Patiayam di Desa Terban.

11 UU No.11 Th. 2010 Pasal 1 Ayat 5 tantang Cagar Budaya

Gambar 45: Zonasi Situs Patiayam di Desa Terban (Sumber: Laporan Masterplan Patiayam . BAPPEDA Kudus, 2007)

2. Lingkungan Biologis Patiayam 12

Lingkungan biologis Patiayam pada kala plestosen mempunyai karakteristik tersendiri sesuai jamannya. Kehidupan tumbuhan dan binatang di daerah ini berdasarkan hasil penelitian para ahli memiliki jenis dan varian yang tak jauh dengan daerah (situs) lain seperti Sangiran, Trinil, Ngandong dan lainnya di samping itu kondisi lingkungan juga tidak jauh berbeda.

Di daerah Patiayam tersebar temuan fosil vertebrata pada umumnya berada pada lapisan satuan tufa Formasi Kedungmojo, dimana fosil-fosil tersebut hasil

temuan di permukaan tanah. Fosil vertebrata yang dijumpai terdiri atas Bovidae (jenis Bos bubalus paleokarabau vK.), Cervidae (jenis Cervus zwaani),

Elephantidae, Stegodonidae, Hipopotamidae, dan Chelonidae. Sedangkan avertebrata yang banyak dijumpai adalah temuan Muluska, baik pelecypoda maupun gastropoda. Fosil vertebrata yang ditemukan menunjukan kesamaan fauna yang didapatkan dari daerah lainnya di Jawa sedangkan berdasarkan sifat- sifatnya, fosil vertebrata tersebut dapat dikelompokkan dalam habitatnya yaitu:

· Fauna yang biasa hidup pada daerah berhutan terbuka (open wood forest) atau

savanna, seperti Bos bubalus paleokarabau vK. dan Cervus zwaani dll. · Fauna yang hidup di hutan lebat dan basah (rain forest) seperti Stegodon

trigonocephalus, Elepas sp., Rhinoceros sondaicus dan Susbrachygnatus.

12 Dewan Redaksi. Berita Penelitian Arkeologi No.22.Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta, 2007. Hlm 12-13

Gambar 46:

Fosil gajah purba, salah satu fosil yang ditemukan di Patiayam (SumberDokumentas i pribadi, 2010)

· Fauna yang biasa hidup dalam lingkungan air, seperti Hippopotamus namadicus, Tryonix sp., dan Crocodilus sp.

Fauna-fauna vertebrata dan manusia purba plestosen sampai di Indonesia telah mengalami migrasi dari Afrika melalui daratan Asia pada fase glacial dan interglasial yang terjadi pada Awal Plestosen dan sepanjang Kala Plestosen. Akibat adanya fase interglasial, telah terjadi naiknya muka laut yang menyebabkan sebagian wilayah Indonesia tenggelam dan terbentuk pulau-pulau yang terisolasi. Isolasi tersebut menyebabkan terjadinya evolusi setelah mampu beradaptasi terhadap lingkungan yang baru tersebut dan ini antara lain ditunjukkan oleh adanya evolusi manusia purba Meganthropus palaeojavanicus Fauna-fauna vertebrata dan manusia purba plestosen sampai di Indonesia telah mengalami migrasi dari Afrika melalui daratan Asia pada fase glacial dan interglasial yang terjadi pada Awal Plestosen dan sepanjang Kala Plestosen. Akibat adanya fase interglasial, telah terjadi naiknya muka laut yang menyebabkan sebagian wilayah Indonesia tenggelam dan terbentuk pulau-pulau yang terisolasi. Isolasi tersebut menyebabkan terjadinya evolusi setelah mampu beradaptasi terhadap lingkungan yang baru tersebut dan ini antara lain ditunjukkan oleh adanya evolusi manusia purba Meganthropus palaeojavanicus

Lingkungan pengendapan lapisan batuan yang mengandung fosil vertebrata dan manusia purba Homo Erectus yaitu dalam lingkungan sungai, danau dan rawa-rawa pada Kala Plestosen adalah sesuai untuk lingkungan hidup vertebrata dan manusia purba tersebut, karena tersedia cukup makan (vegetasi dan hewan) serta air, yang sangat dibutuhkan untuk kehidupannya. Ada perkiraan bahwa pada kala plestosen di Asia Tenggara, termasuk di Jawa banyak hidup binatang liar dan jenis tanaman yang sangat penting untuk sumber makanan. Karena terbatasnya tingkat penguasaan teknologi pada kala itu maka hanya sebagian saja yang dimanfaatkan.