Pergerakan Dokter Mansoer di Sumatera Timur (1917-1952)

(1)

PERGERAKAN DOKTER TENGKU MANSOER DI SUMATERA

TIMUR (1917-1952)

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O

L

E

H

NAMA :SEPNO SEMSA

NIM : 100706030

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

PERGERAKAN DOKTER TENGKU MANSOER DI SUMATERA

TIMUR (1917-1952)

Yang diajukan oleh: Nama : Sepno Semsa

NIM: 100706030

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian seminar proposal oleh: Pembimbing,

Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum

NIP. 195707161985031003 tanggal, Ketua Departemen Sejarah,

Drs. Edi Sumarno, M.Hum

NIP. 196409221989031001 tanggal,

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(3)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

PERGERAKAN DOKTER TENGKU MANSOER DI SUMATERA TIMUR (1917-1952)

Skripsi Sarjana DIKERJAKAN O

L E H

SEPNO SEMSA 100706030 Pembimbing,

Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum NIP. 195707161985031003

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian SARJANA SASTRA dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(4)

Lembar Persetujuan Ketua Departemen

Disetujui Oleh:

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH Ketua Departemen

Drs. Edi Sumarno, M.Hum

NIP. 196409221989031001


(5)

Lembar Pengesahan Skripsi Oleh Dekan dan Panitia Ujian PENGESAHAN :

Diterima oleh:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra

Dalam bidang Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan Pada

Tanggal :

Hari :

Fakultas Ilmu Budaya USU Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP 195110131976031001 Panitia Ujian :

No. Nama Tanda Tangan

1. Drs. Edi Sumarno, M. Hum (……….………)

2. Dra. Nurhabsyah, M.Si (……….)

3. Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum (……….…)

4. Drs. Sentosa Tarigan, M.SP (……….)


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas semua pertolongan yang diberikan-Nya kepada penulis, sehingga penulis mampu merampungkan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam merampungkan skripsi ini. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan perkuliahan sekaligus untuk meraih gelar kesarjanaan di Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul dari skripsi ini adalah Pergerakan Dokter Mansoer di Sumatera Timur (1917-1952). Tulisan ini mengulas pergerakan dr. Mansoer dimulai dari tahun 1917 hingga 1952. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Masih diperlukan pengkajian lebih lanjut dan mendalam agar sejarah perkembangan pergerakan dr. Mansoer Sumatera Timur dapat dihimpun secara komprehensif. Penulis sangat mengharapkan masukan berupa kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan skripsi ini. Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca.

Penulis


(7)

UCAPAN TERIMAKASIH

Dalam mengerjakan skripsi ini, penulis menyadari bahwa penulis mengalami banyak kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai pihak sehingga penulis mampu menghadapi kendala-kendala. Skripsi ini tidak akan dapat selesai tanpa dukungan dan motifasi dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan kepada:

1. Kedua orang tua penulis, Bapak Jawilson Sitorus dan Ibu Manggindar Sibarani. Mereka berdua dengan penuh kasih membesarkan, mendidik serta selalu mendoakan penulis sehingga memungkinkan penulis mendapatkan kesempatan untuk melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini.

2. Abang penulis Herianto dan adik-adik penulis Gerpasius, Siti Moyana, dan Fernandus atas dukungan kalian kepada penulis.

3. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU. 4. Bapak Drs. Edi Sumarno, M.Hum, dan Ibu Dra. Nurhabsyah, M.Si selaku

Ketua dan Sekretaris Departemen Sejarah yang telah memberikan saran kepada penulis.

5. Ibu Dra. Nurhamidah, M.A dan Dra. Sri Pangestri Dewi Murni, M.A selaku dosen wali penulis.

6. Bapak Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum selaku pembimbing yang penuh perhatian dan kesabaran serta tidak henti-hentinya memberikan dorongan dan bimbingan kepada penulis, meluangkan waktu berharganya untuk mengoreksi serta memberi masukan yang sangat berharga dalam proses perbaikan skripsi ini.


(8)

Meskipun demikian, begitu banyak rintangan dan tantangan yang silih berganti yang mewarnai perjuangan penulis dalam merampungkan skripsi ini. Akhirnya, dengan bimbingan pembimbing dan kasih-Nya, skripsi ini dapat diselesaikan.

7. Bapak dan Ibu dosen di Departemen Sejarah yang telah mendidik penulis selama menjadi mahasiswa.

8. Bang Amperawira yang telah memberikan pelayanan administrasi di Departemen Sejarah USU.

9. Tengku Mansoer Adil Mansoer yang telah menyumbangkan kepingan-kepingan sejarah kepada penulis. Terimakasih untuk keterbukaan informasinya kepada penulis.

10.Wan Ulfa Nur Zuhra yang awalnya meyakinkan penulis bahwa tema yang penulis angkat ini menarik.

11.Penulis pribumi maupun asing yang buku-bukunya dapat dijadikan referensi dalam penyusunan skripsi ini. Secara khusus terimakasih dihaturkan kepada Luckman Sinar, Anthony Reid, Karl J Pelzer, Suprayitno, Mahadi, Edi Sumarno, Muhammad TWH, Osman Raliby, dan lain-lain.

12.Ucok Haleluya Sidebang, seseorang yang dari kejauhan selalu menyemangati penulis dalam mengerjakan skripsi ini. Terimakasih untuk semua kebersamaan ini.

13.Saudara-saudaraku angkatan 2010 terkhusus kepada Ira Sela Tarigan, Resmaulina Sipayung, Novita Butar-butar, Rina Hutabarat, Helma Melati, Ayu Maharani, Rico Singal, Dominika Karo, Evi Tamala, Ardia Gemala,


(9)

Suherianto, Suharyana, Diaz Sembiring, Fahri Wahid. Khusus untuk kakak senior Olive Manik, penulis ucapkan terimakasih. Penulis juga tak lupa mengucapkan terimakasih kepada adik junior penulis yang juga turut mewarnai hari-hari penulis di kampus diantaranya, Veronica Natalia, Natalia Sitorus, Rani Sitorus, Roy Harianto Sitorus, Nelvida Panjaitan, dan lain-lain.

14.“Kost 64” terkhusus untuk Debora Blandina Sinambela, Dolse Sihombing, Phila Bangun, Bunga Sona Simarmata, Novi Simarmata, dan Cece Yustiti Sari. Terimakasih untuk motivasi, arahan, dan tawa yang selalu kalian berikan.

15.Kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Semoga skripsi ini berguna bagi kita semua, khususnya bagi pihak yang tertarik pada pergerakan dr. Mansoer di Sumatera Timur.

Medan, Juli 2014 Penulis


(10)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Pergerakan Dokter Mansoer di Sumatera Timur (1917-1952). Dalam perjalanan karirnya, dr. Mansoer merupakan orang yang cenderung kepada garis perjuangan nasional (republiken), namun bergeser pada aliran kaum federalis. dr. Mansoer merupakan salah satu tokoh asal Sumatera Timur yang berpengaruh dalam pengembangan maupun kemajuan Sumatera Timur dan juga Indonesia.

Skripsi ini ingin menunjukkan bagaimana perkembangan atau pergeseran sikap dr. Mansoer setelah terjadinya revolusi sosial di Sumatera Timur. Kiprah dr. Mansoer di Sumatera Timur dimulai dari pendirian Jong Sumatera Bond, ikut ambil bagian dalam organisasi Perhimpunan Indonesia (PI), turut membangun Persatuan Sumatera Timur (PST), menjadi Wali Negara Sumatera Timur, dan yang terakhir sepak terjangnya dalam pendirian Universitas Sumatera Utara (USU).

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kondisi Sumatera Timur sebelum dan setelah terjadi revolusi sosial dan untuk menjelaskan perjuangan dan pergerakan dr. Mansoer dalam dalam mempertahankan eksistensi Keresidenan Sumatera Timur .

Penelitian ini menggunakan metode sejarah. Metode tersebut mencakup beberapa tahapan yaitu, heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (mengkritisi setiap sumber informasi), interpretasi (penafsiran terhadap sumber) dan historiografi (penulisan). Penulisan skripsi ini menggunakan dekskriptif analisis untuk mendapatkan penulisan sejarah yang kritis.

Hasil penelitian ini menujukkan bahwa pergeseran sikap dr. Mansoer yang cenderung pada garis republiken menjadi federalis disebabkan adanya revolusi sosial pada Maret 1946.

Melalui sebuah penelitian sejarah, maka pergerakan dr. Mansoer di Sumatera Timur dapat ditelusuri secara nyata, oleh karena itu skripsi ini diharapkan dapat membuka pemikiran sejarah yang lebih dalam mengenai pergerakan yang dilakukan dr. Mansoer pada tahun 1917-1952.


(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN

KATA PENGANTAR……….…..i

UCAPAN TERIMAKASIH………....ii

ABSTRAK………...v

DAFTAR ISI……….vi

DAFTAR TABEL………...vii

DAFTAR SINGKATAN………..ix

DAFTAR LAMPIRAN………....xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah………...1

1.2 Rumusan Masalah.………8

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian………...9

1.4 Tinjauan Pustaka………...10

1.5 Metode Penelitian………...12

BAB II GAMBARAN UMUM KERESIDENAN SUMATERA TIMUR 2.1 Gambaran Wilayah Sumatera Timur………..15

2.2 Kependudukan di Sumatera Timur……….17

2.3 Pendidikan di Sumatera Timur………...27

BAB III EKSISTENSI SUMATERA TIMUR 3.1 Proklamasi di Sumatera Timur September 1945………30


(12)

3.3 Perkembangan Politik di Sumatera Timur Setelah Revolusi

Sosial………..55

3.4 Terbentuknya Negara Sumatera Timur (29 Januari 1948)……….52

3.5 Bersatunya Negara Sumatera Timur Dalam NKRI (Agustus 1950)……….54

BAB IV DR TENGKU MANSOER DAN PERGERAKANNYA DI SUMATERA TIMUR (1917-1952) 4.1 Sekilas Tentang dr.Tengku Mansoer……….62

4.2 Pergerakan dr Tengku Mansoer di Sumatera Timur (1917-1952) 4.2.1 Bidang Organisasi……….68

4.2.2 Pemerintahan……….…...79

4.2.3 Pendidikan ………..117

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan………123

5.2 Saran………..125

DAFTAR PUSTAKA………127

DAFTAR INFORMAN……….………131


(13)

DAFTAR TABEL

1. Pembagian Suku-Suku di Sumatera Timur Tahun 1930………..18

2. Jumlah Penduduk Yang Tinggal di Onderneming Dan Persentase Terhadap Jumlah Penduduk Seluruhnya di Tahun 1930………...20

3. Penduduk Sumatera Timur Menurut Sensus 1930 Dan Data Jepang Sampai 10 Maret 1943………...21

4. Penduduk Sumatera Timur Dari Golongan-Golongan Suku Besar………...21

5. Komposisi Shu Sangi Kai Sumatera Timur Tahun 1943-1944………...78


(14)

DAFTAR SINGKATAN

ATR : Aksi Tuntutan Rakyat. BPI : Barisan Pemuda Indonesia.

BPUPKI : Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

BU : Budi Utomo.

DIST : Daerah Istimewa Sumatera Timur.

DSM : Deli Spoorweg Maatschappij.

Gerindo : Gerakan Rakyat Indonesia.

HIS : Hollandsch Inlandsche School.

HBS : Hogere Burger School.

KNI : Komite Nasional Indonesia.

KNID : Komite Nasional Indonesia Daerah. KRST : Kongres Rakyat Sumatera Timur. MULO : Meer Uitegebreid Lager Onderwijs.

N.I.A.S. : Nederlandsch Indische Artsen School atau Sekolah Dokter Hindia Belanda.

NIT : Negara Indonesia Timur.

NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia. NRI : Negara Republik Indonesia.

NST : Negara Sumatera Timur. Parindra : Partai Indonesia Raya.


(15)

Pesindo : Pemuda Sosialis Indonesia. PI : Perhimpoenan Indonesia. PIR : Partai Indonesia Raya PKI : Partai Komunis Indonesia. PNST : Partai Negara Sumatera Timur.

PPKI : Panitia Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia. PRSST : Permusyawaratan Rakyat se-Sumatera Timur

PST : Persatoean Soematera Timoer.

P4SU : Panitia Penyelenggara Pembentukan Propinsi Suamtera Utara. RIS : Republik Indonesia Serikat.

SI : Serikat Islam.

SS : Siap Sedia.

STOVIA : School tot Opleiding van Inlandsche Artsen atau Sekolah Dokter Pribumi.

TNI : Tentara Nasional Indonesia.

UU : Undang-Undang.

UUD : Undang-Undang Dasar. USU : Universitas Sumatera Utara.


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Kunjungan Presiden Negara India Sri Pandit Nehru ke Negara Sumatera Timur di Kota Medan pada 1949.

2. dr. Mansoer menyampaikan pidato “kenegaraan”nya.

3. dr. Mansoer menyampaikan pidatonya dihadapan anggota “Dewan Perwakilan” dan undangan.

4. Setelah mengesahkan berdirinya NST pada 8 Oktober 1947, van Mook, Prof. Husein Jayadiningrat dan dr. Mansoer berbindang-bincang di luar gedung. 5. Upacara pemakaman tentara-tentara di Taman Makam Pahlawan, kelihatan dr.

Tengku Mansoer (wali negara Negara Sumatera Timur) sedang menyampaikan pidatonya dan bendera Inggris, Belanda, dan Sumatera Timur dikibarkan setengah tiang.

6. Letnan Gubernur Jenderal H. J. van Mook adalah Mayor Jenderal Scholten kiri, dan dr. Mansoer di sebelah kanan karangan bunga di Bidang Kehormatan Sumatera Utara selama seminggu perayaan di Medan, di hadapan Letnan Gubernur Jenderal H. J. van Mook dan dr. Mansoer.

7. Lambang Negara Sumatera Timur

8. dr. Mansoer menghadiri resepsi perayaan pembukaan Konferensi Federal di Bandung.

9. Pidato Wali-Negara Soematera Timoer. 10. Jajasan Universitas Sumatera Utara.

11. Pidato Gubernur Sumatera di depan para sultan dan radja-radja Sumatera-Timur pada tanggal 3 Febuari 1946.

12. Para peserta perundingan Indonesia-Belanda di Linggarjati pada November 1946. 13. Jalan dr. Mansoer, Medan.


(17)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Pergerakan Dokter Mansoer di Sumatera Timur (1917-1952). Dalam perjalanan karirnya, dr. Mansoer merupakan orang yang cenderung kepada garis perjuangan nasional (republiken), namun bergeser pada aliran kaum federalis. dr. Mansoer merupakan salah satu tokoh asal Sumatera Timur yang berpengaruh dalam pengembangan maupun kemajuan Sumatera Timur dan juga Indonesia.

Skripsi ini ingin menunjukkan bagaimana perkembangan atau pergeseran sikap dr. Mansoer setelah terjadinya revolusi sosial di Sumatera Timur. Kiprah dr. Mansoer di Sumatera Timur dimulai dari pendirian Jong Sumatera Bond, ikut ambil bagian dalam organisasi Perhimpunan Indonesia (PI), turut membangun Persatuan Sumatera Timur (PST), menjadi Wali Negara Sumatera Timur, dan yang terakhir sepak terjangnya dalam pendirian Universitas Sumatera Utara (USU).

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kondisi Sumatera Timur sebelum dan setelah terjadi revolusi sosial dan untuk menjelaskan perjuangan dan pergerakan dr. Mansoer dalam dalam mempertahankan eksistensi Keresidenan Sumatera Timur .

Penelitian ini menggunakan metode sejarah. Metode tersebut mencakup beberapa tahapan yaitu, heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (mengkritisi setiap sumber informasi), interpretasi (penafsiran terhadap sumber) dan historiografi (penulisan). Penulisan skripsi ini menggunakan dekskriptif analisis untuk mendapatkan penulisan sejarah yang kritis.

Hasil penelitian ini menujukkan bahwa pergeseran sikap dr. Mansoer yang cenderung pada garis republiken menjadi federalis disebabkan adanya revolusi sosial pada Maret 1946.

Melalui sebuah penelitian sejarah, maka pergerakan dr. Mansoer di Sumatera Timur dapat ditelusuri secara nyata, oleh karena itu skripsi ini diharapkan dapat membuka pemikiran sejarah yang lebih dalam mengenai pergerakan yang dilakukan dr. Mansoer pada tahun 1917-1952.


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Permasalahan

Sumatera Timur merupakan daerah yang penduduknya terdiri dari beberapa suku diantaranya suku Melayu, Batak Karo, dan Batak Simalungun yang mata pencaharian utamanya adalah petani.1 Di daerah Sumatera Timur terdapat beberapa kerajaan yaitu Kerajaan Melayu, Deli, Serdang, Asahan, Langkat, Bilah, Panai, Kota Pinang, Inderapura, Tanah Datar, Pesisir, Lima Puluh, Suku Dua, Pelalawan, Bedagai, Padang, dan Kerajaan Rokan, Tambusai, Kepenuhan, Rambah, Kuntur Dar Es Salam dan Senggigi, dan Lima Urung, Sinembah, Sunggal, Percut, dan Hamparan Perak.2

Sumatera Timur telah melahirkan banyak tokoh yang dahulunya memegang peranan penting dalam perkembangannya hingga menjadi seperti saat sekarang ini. Tokoh-tokoh tersebut melakukan pergerakan tidak hanya di kawasan Sumatera Timur, bahkan sampai skala nasional. Salah satu tokoh yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah dr. Tengku3 Mansoer atau lebih dikenal dengan nama dr. Mansoer.

dr. Mansoer (1897-1955) merupakan putera dari pasangan Tengku Mohammad Adil dan Raden Ayu Sariah. Beliau adalah salah satu putera dari Sultan

1 Anthony Reid, Perjuangan Rakyat, Revolusi Dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987, hal.87.

2 Suprayitno, Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia; Dari Federalisme ke Unitarisme; Studi tentang Negara Sumatera Timur 1947-1950, Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2001, hal. 18.


(19)

Asahan.4 Sebagai putera sultan, beliau mendapat kemudahan dalam akses pendidikan. dr. Mansoer mengawali sekolahnya di Batavia dan setelah menyelesaikan sekolah tingkat menengahnya, kemudian ia melanjutkan pendidikan tinggi di bidang ilmu kedokteran yang pada masa itu dikenal dengan nama STOVIA.5

Pada masa pendidikan di STOVIA tersebut, dr. Mansoer mulai berkecimpung dalam dunia organisasi pergerakan. Ia mulai mengikuti beberapa organisasi diantaranya Budi Utomo dan Serikat Islam. dr. Mansoer juga menjadi pendiri dan ketua yang pertama dari perkumpulan Jong Sumatera Bond (1917-1919) di Jakarta.6 Organisasi tersebut muncul sebagai wujud kesadaran di kalangan pelajar-pelajar di Jakarta yang berasal dari Sumatera akan pentingnya organisasi. Kiprahnya di Jong Sumatera Bond membuat dr. Mansoer menjadi seorang tokoh asal Sumatera Timur yang berpengaruh dalam proses menuju kemerdekaan Republik Indonesia.

Hal ini diperkuat dengan usaha dr. Mansoer dalam menyatukan semua pemuda yang berasal dari Sumatera Timur yang diwujudnyatakan dalam sebuah organisasi yang bernama Jong Sumatera Bond. Dimana seperti yang kita ketahui, Jong Sumatera Bond merupakan salah satu organisasi yang ikut menggagas tercetusnya Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928).

4 Hasil wawancara dengan Tengku Mansoer Adil Mansoer, cucu dr. Tengku Mansoer tanggal 26 Januari 2014.

5 STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) atau Sekolah Dokter Pribumi bermula dari Sekolah Dokter Djawa yang telah ditingkatkan statusnya. Pemerintah kolonial juga menerapkan syarat calon siswa STOVIA adalah lulusan Sekolah Dasar Eropa dan juga memahami pengetahuan bahasa Belanda. Lulusan STOVIA diberi gelar Inlandsche-Arts yang dapat digunakan untuk memasuki sekolah dokter di negeri Belanda untuk mendapatkan gelar dokter Eropa setelah menyelesaikan pendidikannya selama satu setengah tahun.

6 Hasil wawancara dengan Tengku Mansoer Adil Mansoer, cucu dr. Tengku Mansoer tanggal 18 Januari 2014.


(20)

Setelah menyelesaikan studinya di STOVIA sebagai ahli bedah dr. Mansoer kemudian menjadi asisten dari beberapa orang dokter bedah dan kemudian menjadi asisten guru di Sekolah NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School), Sekolah Kedokteran Hindia Belanda7 di Surabaya. Beberapa waktu kemudian, dr. Mansoer melanjutkan pendidikan kedokteran bedah ke Kota Leiden pada tahun 1923 dan sewaktu mengikuti studi, ia juga menjadi anggota Perhimpoenan Indonesia, gabungan mahasiswa-mahasiswa Indonesia.

Setelah menamatkan studinya sebagai dokter bedah, pada tahun 1928 dr. Mansoer beserta istinya Amalia Gesina Wempe, wanita berkebangsaan Belanda, kembali ke Tanjung Balai. Setelah beberapa waktu di Tanjung Balai, ia menjadi dokter di Medan. Selain menjadi dokter dan bekas aktivis, pada tahun 1938 dr. Mansoer tertarik untuk mendirikan organisasi yang bernama Persatoean Soematera Timoer (PST) di Kota Medan, sebuah organisasi yang sifatnya etnosentris yang bertujuan untuk memperhatikan nasib dan kondisi sosial penduduk asli Sumatera Timur serta untuk melawan dominasi para pendatang di daerah Sumatera Timur. Organisasi ini dinilai cooperatif terhadap pemerintah Kolonial Belanda sehingga organisasi tersebut berkembang pesat sampai kedatangan pasukan-pasukan bala tentara Jepang ke Sumatera Timur. Adapun etnis yang tergabung dalam organisasi ini adalah Melayu, Simalungun, dan Karo, sedangkan etnis lain tidak dapat masuk ke dalam organisasi ini.

7 Nederlandsch Indische Artsen School (Sekolah Dokter Hindia Belanda), atau dikenal dengan singkatannya NIAS, merupakan sekolah kedokteran yang didirikan di Surabaya tahun 1913 bagi penduduk pribumi (Jawa). Lulusan NIAS secara resmi disebut dengan gelar "Dokter Djawa". Para pengajarnya sebagian besar adalah dokter-dokter militer Belanda.


(21)

Selain aktif dalam kegiatan organisasi dan politik, dr. Mansoer juga dikenal oleh masyarakat sebagai dokter yang berjiwa sosial tinggi dan ilmunya kerap kali digunakan untuk menolong orang-orang pribumi yang miskin tanpa dipungut biaya. Di kalangan masyarakat “deliaan” (orang-orang asing yang tinggal di Deli) ia juga dikenal dan sangat dihormati.8

Ketika Jepang mulai kalah, atas permohonan kaum nasionalis Indonesia, Jepang mengangkat dr. Mansoer untuk tugas di Dewan Kesehatan Jepang di Kota Medan. Walaupun tidak setuju ia harus ikut dan pekerjaanya adalah menerbitkan buku-buku kecil tentang kesehatan untuk masyarakat.

Delapan bulan setelah Proklamasi, tepatnya 3 Maret 1946 meletus revolusi sosial di Sumatera Timur yang banyak menelan keluarga sultan-sultan maupun raja-raja termasuk keluarga dr. Mansoer. Bangsawan-bangsawan Melayu banyak dibunuh dan ditawan. Sebenarnya, sebelum peristiwa revolusi sosial tersebut terjadi, Kesultanan Deli telah memberitahu kepada keluarga Kesultanan Asahan agar segera mengasingkan diri ke Kota Medan karena sudah beredar kabar bahwa akan ada semacam gerakan revolusi. Namun, pihak Kesultanan Asahan tidak menanggapi dan mengabaikan permintaan tersebut karena situasi di Kota Tanjung Balai biasa-biasa saja.9 Di Asahan semua anak laki-laki dari masyarakat Melayu yang berumur 15 tahun keatas dengan tidak memperhatikan apakah dia keluarga Sultan ataupun orang

8Op.cit hasil wawancara dengan Tengku Mansoer Adil Mansoer tanggal 18 Januari 2014. 9 Tengku Ferry Bustamam, Bunga Rampai Kesultanan Asahan, Medan: Tanpa nama penerbit, 2003, hal 75.


(22)

biasa, asal dia memakai gelar Tengku didepan namanya, semuanya dibunuh oleh pelaku revolusi sosial.10 Karena peristiwa revolusi sosial ini, dr. Mansoer menolak hubungan dengan kaum republiken.

Sebelum revolusi sosial meletus, seorang polisi memberitahu tentang rencana revolusi itu akan meletus. Untuk itu, beliau bersama dengan keluarganya dapat lari dan berlindung ke British English camp di kawasan Polonia. Disana ia melakukan kontak dan berhubungan dengan kaum Republiken yang tidak setuju dengan revolusi sosial tersebut. Kecewa dan marah terhadap kaum Republiken yang tidak berhasil mencegah revolusi sosial, maka setelah agresi Belanda I (aktie politionele) Juli 1947 dr. Mansoer memulai sebuah gerakan dengan tujuan untuk membangkitkan kembali Sumatra Timur dengan cara menjadikannya sebagai sebuah Daerah Istimewa.11 Hal itu didasari oleh perjanjian Linggarjati antara pemimpin-pemimpin RI dengan Belanda, yang mana dalam perjanjian tersebut diputuskan bahwa Belanda memberikan pengakuan secara de facto atas kekuasaan Republik Indonesia di Jawa, Madura, dan Sumatera.12

Pada 2 Oktober 1947, Letnan Gubernur Jenderal H.J Van Mook mengadakan pertemuan Komite DIST. Dalam pertemuan itu, diambil kesimpulan sementara, bahwa tidak dikehendaki dipulihkannya kembali swapraja (kerajaan-kerajaan) bumi putera di Sumatera Timur. Berdasarkan staatsblad No. 176 tahun 1947 jo Stbld. No.

10 Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie Publicatie Pandji ra’jat, 2 September 1947 (Akibat Revolusi Sosial di Soematera Timoer 34 Orang Familie Sultanaat Langkat Diboenoeh).

11Op. cit hasil wawancara dengan Tengku Mansoer Adil Mansoer tanggal 18 Januari 2014. 12 Radik Utoyo, Album Perang Kemerdekaan 1945-1950, Tanpa kota terbit: Almanak RI./BP, 1975, hal. 96.


(23)

217 tahun 1947, DIST diubah menjadi Dewan Sementara Sumatera Timur. Pada tanggal 15-17 November 1947, Dewan Sementara Sumatera Timur mengadakan sidang mengenai statuen dan memilih dr. Mansoer sebagai Wali Negara Sumatera Timur dan Raja Kalimsyah Sinaga sebagai Wakil Wali Negara. Dengan staatsblad

No.14 tahun 1948 terbentuklah Negara Sumatera Timur.13

Tanggal 27 Januari 1948, diumumkan peraturan susunan tata Negara Sumatera Timur. Dua hari berikutnya, tepatnya tanggal 29 Januari 1948, NST diproklamasikan secara resmi dalam sebuah upacara resmi dalam sebuah upacara di Kota Medan. Dalam upacara itu dilakukan pengambilan sumpah terhadap wali Negara Sumatera Timur. Turut hadir dalam upacara tersebut Jenderal H. J Van Mook mewakili pemerintah Belanda.14

Dalam kasus pembentukan Negara Sumatera Timur (NST), faktor revolusi sosial tampaknya begitu dominan dalam mendorong lahirnya NST.15 Pembentukan NST mendapat keceman pedas dari pemerintah republik. Republik memandang para pemimpin negara federal sebagai boneka Belanda. Dari sindiran inilah kemudian dikenal dengan sebutan negara boneka untuk semua negara bagian pemerintah Federal Sementara Indonesia. Tokoh-tokoh Republik juga memandang semua pejabat

13 T. Luckman Sinar, Konsep Sejarah Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang, Medan: Pemerintah Daerah Tingkat II Deli Serdang 1986/1897, Tanpa tahun terbit, hal. 312.

14 Tim Khusus Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan Tatengger di Propinsi Daerah Tingkat I Sumatatera Utara, Perjuangan Menegakkan dan Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia di Sumatera Utara, Medan: 1995, hal. 93


(24)

pemerintah NST sebagai pengkhianat Republik yang hanya mencari keuntungan sendiri.

Selain dikenal sebagai tokoh pendiri NST, dr. Mansoer juga dikenal sebagai salah satu tokoh yang mendukung kemajuan pendidikan di Sumatera Timur. Hal ini ditunjukkan dengan sepak terjangnya dalam upaya mendirikan lembaga pendidikan tinggi di Sumatera Timur dengan harapan untuk memperbaiki dan memajukan taraf pendidikan masyarakat di Sumatera Timur. Hal ini dapat dilihat dari kegigihan dr. Mansoer untuk mengajukan usulan pendirian perguruan tinggi di Sumatera Timur kepada pihak penguasa. Setelah mengalami beberapa kali penolakan16, akhirnya perguruan tinggi tersebut berhasil didirikan pada tahun 1952 dengan nama Universitas Sumatera Utara yang telah menghasilkan ribuan sarjana.

Oleh karena jasa-jasanya bagi masyarakat Sumatera Utara, namanya kemudian diabadikan menjadi nama salah satu ruas jalan di Kota Medan, yaitu jalan dr. Mansoer. Jalan dr. Mansoer menjadi nama salah satu ruas jalan di kawasan Universitas Sumatera Utara. Namun, banyak orang yang tidak mengenal siapa dr. Mansoer. Pandangan yang beragam mengenai dr. Mansoer juga cukup menarik untuk dikaji lebih dalam. Ada yang beranggapan bahwa dr. Mansoer adalah “pengkhianat” karena telah mendirikan negara dalam negara. Namun, di sisi lain, dr. Mansoer juga dianggap salah satu tokoh yang memiliki pengaruh besar bagi perkembangan Sumatera Timur.

16 Edi Sumarno dkk, 60 Tahun Universitas Sumatera Utara (20 Agustus 1952-20 Agustus 2012), Medan: USU Press, 2012, hal.14-16


(25)

Berdasarkan hal yang disebutkan diatas, dr. Mansoer merupakan seorang tokoh yang berpengaruh dalam mendirikan Negara Sumatera Timur dan memajukan Indonesia. Adapun alasan lain adalah banyak orang yang beranggapan dr. Mansoer bukan seorang repubiliken, karena berpihak pada pemerintah kolonial Belanda.

Atas dasar pemikiran diatas, maka penulis tertarik untuk mengulas perjuangan dan pergerakan dr. Mansoer dengan merangkumnya kedalam sebuah skripsi yang berjudul Pergerakan Dokter Tengku Mansoer di Sumatera Timur (1917-1952). Alasan pembatasan periodesasi penelitian ini dari tahun 1917-1952, dikarenakan pada tahun 1917 adalah awal pergerakan dari dr. Mansoer dengan mendirikan Jong Sumatera sebagaimana yang telah disebutkan diatas memiliki pengaruh penting dalam kemerdekaan Indonesia. Sedangkan tahun 1952 akan dijadikan sebagai batas akhir penelitian, guna melihat sejauh mana peranan dr. Mansoer dalam memajukan dan meningkatkan pendidikan masyarakat di Sumatera Timur.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam sebuah penulisan karya ilmiah, dibutuhkan sebuah rumusan masalah, hal ini dimaksudkan agar penulisan yang dilakukan menjadi lebih terarah dan tepat sasaran sesuai dengan objek yang telah ditentukan. Sesuai dengan latar belakang diatas, maka ditentukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi Sumatera Timur sebelum dan setelah terjadi revolusi sosial?


(26)

2. Bagaimana perjuangan dan pergerakan dr. Mansoer dalam mempertahankan eksistensi Keresidenan Sumatera Timur?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sebuah penelitian tentunya memiliki tujuan dan manfaat dari penelitian yang dilakukan. Tujuan dari penelitian ini untuk menjawab permasalahan yang sudah terlebih dahulu dirumuskan kedalam sebuah rumusan masalah. Dengan demikian penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Menjelaskan kondisi Sumatera Timur sebelum dan setelah terjadi revolusi sosial.

2. Menjelaskan perjuangan dan pergerakan dr. Mansoer dalam dalam mempertahankan eksistensi Keresidenan Sumatera Timur .

Selanjutnya, adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menambah pembendaharaan referensi khazanah penelitian sejarah lokal Sumatera Timur.

2. Menambah referensi masyarakat akan tokoh yang pernah berjuang untuk kemajuan Sumatera Timur.

3. Memberikan masukan atau sumbangan dalam bentuk data yang dapat digunakan untuk kajian-kajian atau penelitian yang berkaitan dengan Sumatera Timur.

1.4 Tinjauan Pustaka

Dalam penulisan karya ilmiah memerlukan pembahasan dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan dengan tujuan untuk mendukung penelitian tersebut. Dalam hal ini


(27)

penulis memakai beberapa buku dari disiplin ilmu yang berkaitan langsung dengan permasalahan.

Adapun buku yang dipakai dalam penulisan proposal skripsi ini adalah buku karya Suprayitno, Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia; Dari Federalisme ke

Unitarisme: Studi tentang Negara Sumatera Timur 1947-1950. Buku ini mengulas

situasi politik di Sumatera Timur hingga lahirnya Negara Sumatera Timur. Bukan hanya itu, buku ini juga mengulas dinamika pemerintahan Negara Sumatera Timur hingga hancurnya Negara Sumatera Timur. Negara Sumatera Timur sempat dipimpin oleh seorang wali negara Sumatera Timur yaitu dr. Mansoer. Selain itu, dibahas juga kebijakan pemerintah NST, seperti dibidang politik, ekonomi, sosial, dan juga pendidikan.

Karl J. Pelzer dalam buku Toean Keboen dan Petani Politik Kolonial dan

Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863-1947 (1985), menggambarkan kondisi

wilayah Sumatera Timur secara umum. Selain itu, data-data mengenai kependudukan di Sumatera Timur juga dijelaskan.

Anthony J. S. Reid dalam buku Perjuangan Rakyat Revolusi Dan Hancurnya

Kerajaan di Sumatera menceritakan gambaran wilayah ataupun kependudukan

Sumatera Timur termasuk mengenai revolusi sosial yang pernah terjadi di Sumatera Timur. Selain itu, buku ini juga menceritakan bagaimana kondisi Sumatera Timur hingga munculnya PST (Persatuan Sumatera Timur) pada April 1938, sebuah organisasi yang sempat di pimpin oleh dr. Mansoer (1940). Buku ini juga


(28)

menceritakan mengenai Shu Sangi Kai, sebuah dewan penasihat provinsi yang ada di Sumatera Timur ketika masa pendudukan Jepang. Hal ini dipaparkan secara umum dan menyeluruh.

Anthony J. S. Reid dalam buku Revolusi Nasional Indonesia mengulas tentang berbagai peristiwa seputar revolusi, termasuk revolusi yang terjadi di Sumatera Timur yang merupakan revolusi terbesar di Indonesia. Revolusi merupakan salah satu penyebab munculnya NST yang sempat di pimpin oleh dr. Mansoer.

Edi Sumarno dkk. dalam buku 60 tahun Universitas Sumatera Utara (20

Agustus 1952-20 Agustus 2012) menceritakan bagaimana sepak terjang dr. Mansoer

dalam upaya mendirikan lembaga pendidikan tinggi di Sumatera Timur dengan harapan dapat memperbaiki taraf pendidikan masyarakat Sumatera Timur.

Tengku Lukman Sinar dalam buku Revolusi Sosial 1946 dan Runtuhnya

Kerajaan Melayu di Sumatera Timur juga menceritakan secara rinci bagaimana

terjadinya revolusi sosial 3 Maret 1946, gambaran revolusi setiap daerah di Sumatera Timur, serta bagaimana perkembangan politik di Sumatera Timur setelah revolusi, pembentukan NST, hingga bersatunya NST kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

T. Luckman Sinar dalam buku Konsep Sejarah Kabupaten Daerah Tingkat II

Deli Serdang menceritakan bagaimana kinerja dari dr. Mansoer dalam menjalankan


(29)

T. Luckman Sinar dalam buku Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di

Sumatera Timur juga menceritakan bagaimana kepemimpinan dr. Mansoer dalam

memimpin Negara Sumatera Timur. Selain itu, buku ini juga menceritakan bagaimana terbentuknya NST dan bersatunya kedalam Negara Kesatuan Republi8k Indonesia (NKRI).

Tengku Ferry Bustamam dalam Bunga Rampai Kesultanan Asahan

menggambarkan bagaimana kondisi revolusi sosial 3 Maret 1946, termasuk revolusi sosial yang terjadi di Asahan.

A. R. Surbakti dalam bukunya yang berjudul Perang Kemerdekaan II di

Tanah Karo; Karo Jahe menuliskan secara jelas bagaimana demonstrasi-demonstrasi

yang terjadi di Sumatera Timur yang menuntut bergabungnya Negara Sumatera Timur ke Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam mencari data melalui literatur, penulis sedikit mengalami kesulitan karena buku yang tersedia mengenai dr. Mansoer masih terbatas, namun penulis berusaha untuk mendapatkannya melalui wawancara kepada informan yang berkompenten dalam hal ini.

1.5 Metode Penelitian

Metode sejarah bertujuan untuk memastikan dan menganalisis serta mengungkapkan kembali fakta-fakta masa lampau. Sejumlah sistematika penulisan yang terangkum didalam metode sejarah sangat membantu setiap penelitian di dalam


(30)

rekonstruksi kejadian pada masa lampau. Adapun prosedural dalam pengumpulan data penelitian ini tidak terlepas dari empat tahapan penelitian yaitu heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (mengkritisi setiap sumber informasi), interpretasi (penafsiran terhadap sumber) dan historiografi (penulisan). 17

a. Heuristik

Heuristik merupakan tahapan awal dalam metode sejarah untuk mencari dan menemukan sumber yang diperlukan. Pada tahapan ini peneliti akan mencari data-data melalui dua cara, yaitu studi lapangan (field research) dan studi kepustakaan (library research). Pada studi lapangan (field research) nantinya peneliti akan lebih menekankan pada metode wawancara. Hal ini dapat dilakukan karena masih terdapatnya informan yang memahami bagaimana sosok dr. Mansoer ini sendiri. Beliau adalah Tengku Mansoer Adil Mansoer, cucu dari dr. Mansoer. Untuk studi lapangan (library research) peneliti berkeyakinan tidak terkendala karena beberapa sumber yang dapat dijadikan informasi antara lain dokumen-dokumen yang masih disimpan oleh informan. Sedangkan untuk buku-buku penunjang penelitian dapat ditemukan di Perpustakaan Tengku Lukman Sinar, Arsip Nasional Indonesia, Perpustakaan USU, ataupun di Perpustakaan Daerah di Kota Medan.

b. Verifikasi

Verifikasi atau kritik sumber merupakan tahapan kedua dalam penelitian sejarah. Pada tahapan kedua ini, peneliti harus menyeleksi sumber atau bahan yang

17 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah (terj. Nugroho Notosusanto), Jakarta: UI Press, 1985, hal. 8-9.


(31)

dikumpulkan, sehingga akan dihasilkan suatu nilai kebenaran dan keaslian sumber. Dengan kata lain sumber atau data-data akan objektif.

Dalam tahap ini, sumber-sumber yang telah dikumpulkan akan melalui proses kritik internal, data-data yang di dapat baik dari sumber lisan maupun tulisan akan diklasifikasikan menjadi sumber primer atau sumber sekunder. Selanjutnya sumber primer dan sekunder melalui proses kritik eksternal, yaitu pengujian untuk menentukan keaslian sumber baik dari buku maupun wawancara narasumber. Hal ini dilakukan demi menjaga keobjektifan suatu data.

Dengan demikian kritik intern maupun kritik ekstern merupakan bagian penting dalam proses penelitian sumber sejarah. Sehingga dari proses penilaian tersebut dapat diperoleh keaslian dan kebenaran terhadap sumber sejarah baik yang berhubungan dengan isi atau materi maupun bahan yang akan digunakannya.

c. Interpretasi

Interpretasi merupakan tahapan ketiga dalam metode sejarah. Setelah fakta untuk mengungkap dan membahas masalah yang diteliti cukup memadai, kemudian dilakukan interpretasi, yaitu penafsiran atau penganalisisan terhadap hasil kritik sumber. Dalam tahap ini, data primer dan sekunder akan dianalisis secara mendalam untuk mendapatkan keobjektifan sumber.

d. Historiografi

Historiografi atau penulisan sejarah merupakan tahapan akhir dari seluruh rangkaian metode sejarah. Peneliti akan menuliskan hasil penelitiannya secara sistematis, sehingga menghasilkan penulisan sejarah mengenai perjuangan dr. Mansoer di Sumatera Timur secara kritis dan ilmiah.


(32)

BAB II

GAMBARAN UMUM KERESIDENAN SUMATERA TIMUR

2.1 Gambaran Wilayah Sumatera Timur

Pada tanggal 15 Mei 1873, Sumatera Timur termasuk Siak dijadikan residen tersendiri yang berkedudukan di Bengkalis. Sumatera Timur dibatasi oleh Aceh di barat laut, Tapanuli di barat daya, Bengkalis di tenggara, dan Selat Malaka di timur laut. Luas wilayah Sumatera Timur meliputi 31.715 kilometer persegi atau 6,7% dari seluruh daerah Sumatra. Sumatera Timur membentang mulai dari titik batas di puncak-puncak barisan bukit (yang dulu disebut) Wilhelmina Gebergte dan juga barisan Bukit Simanuk-manuk dan dari sana berangsur-angsur menurun, menyentuh pantai timur Danau Toba, terus ke dataran-dataran rendah dan rawa-rawa pantai sepanjang Selat Malaka.

Sumatera Timur terletak antara Selat Malaka dan pantai timur Danau Toba yang terdiri dari tiga bagian, yaitu: dataran rendah, pegunungan, dan dataran-dataran tinggi Karo dan Simalungun. Sumatera Timur terletak antara garis khatulistiwa dan garis lintang utara 4° dengan iklim pantai tropik yang dalam sifat iklim mikronya dipengaruhi oleh topografi seperti daerah-daerah tanah tinggi “tumor Batak” yang luas, dataran tinggi Karo, pegunungan Simalungun dan Pegunungan Habinsaran. Suhu di daerah-daerah pantai kira-kira 25° C, dengan maksimum 32°.


(33)

Sedangkan Di daerah-daerah yang lebih tinggi suhu menurun sampai rata-rata 12°C dan berkisar antara 5,5°C dan 18°C.

Menurut klasifikasi iklim oleh Koppen, daerah-daerah Sumatera Timur dengan ketinggian antara permukaan laut dan 1.000 meter mempunyai jenis iklim hutan tropik, atau Af, sebaliknya pegunungan dengan ketinggian di atas 1.000 meter mempunyai jenis iklim mesotermal yang lembab, atau Cf. Tumbuh-tumbuhan alam Sumatera Timur terdiri dari berbagai jenis hutan, meliputi hutan pasang surut sepanjang pantai melalui hutan rawa-rawa berair tawar, dan hutan-hutan tropik yang selalu hijau sampai hutan-hutan pegunungan dan hutan kaki-pegunungan di daerah-daerah pegunungan.

Perkebunan di Sumatera Timur tersebar ke pedalaman sampai ketinggian 300 meter, kecuali di Simalungun. Di Simalungun perkebunan-perkebunan teh mencapai ketinggian 1.000 meter. Berbeda halnya dengan daerah hutan gunung di Langkat dan Deli yang berakhir pada ketinggian 1.400 meter, sama tingginya dengan bagian utar dataran tinggi Karo.18

Sumatera Timur merupakan daerah yang penduduknya terdiri dari beberapa suku diantaranya suku Melayu, Batak Karo, dan Batak Simalungun yang mata pencaharian utamanya adalah petani.19

18 Lihat Karl Pelzer, Toean Keboen Dan Petani : Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863 – 1947, Jakarta: Sinar Harapan, hal. 31-49.

19 Anthony Reid, Perjuangan Rakyat, Revolusi Dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987, hal.87.


(34)

2.2 Kependudukan di Sumatera Timur

Menjelang tahun 1930, orang-orang Melayu yang merupakan suku asli dari penduduk Sumatera Timur hanya 15 % dari seluruh penduduk. Kira-kira 88 % dari penduduk ini terdiri dari orang Indonesia lainnya, diantaranya terdapat orang-orang Jawa sebanyak 43%, suku Karo 9%, Simalungun 6%, dan Batak Toba 5%. Di antara orang-orang bukan Indonesia, Cina adalah paling banyak dan merupakan tidak kurang 10% dari seluruh penduduk. Di Kota Medan tidak kurang dari 35 % penduduknya adalah orang Cina. Orang-orang Eropa kurang dari 1 % di Sumatera Timur tetapi merupakan 5% dari penduduk Medan. Berikut ini merupakan tabel pembagian suku-suku di Sumatera Timur 1930.

Tabel 1

Pembagian Suku-Suku di Sumatera Timur Tahun 1930 Suku-Suku di Sumatera Timur Banyak % Jumlah %

Eropa 11.079 0,7

Cina 192.822 11,4

India , dan lainnya 18.904 1,1

Sub total non Indonesia 222.805 13,2

Jawa 589.836 35,5

Batak 74.226 4,4

Mandailing – Angkola 59.638 3,5

Minangkabau 50.677 3,0

Sunda 44.107 2,6

Banjar 31.226 1,9

Aceh 7.759 0,5


(35)

Sub total kaum pendatang 882.189 52,3

Melayu 334.870 19,9

Batak Karo 145.429 8,6

Batak Simalungun 95.144 5,6

Lain – Lain 5.436 0,3

Sub total pribumi Sumatera Timur 580.879 34,5

Jumlah Seluruhnya 1.685.873 100,0

Sumber: Anthony Reid dalam Perjuangan Rakyat: Revolusi Dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987, hal. 85.

Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa jumlah suku terbanyak di Sumatera Timur di tahun 1930 didominasi oleh suku pendatang (suku Jawa) sekitar 589.836 jiwa dari 1.685.873 jiwa atau 35 % dari penduduk Sumatera Timur dan penduduk Melayu sebagai penduduk asli hanya menempati posisi kedua setelah penduduk suku Jawa , yaitu sekitar 334.870 jiwa dari 1.685.873 jiwa atau 19,9 % dari jumlah keseluruhan penduduk Sumatera Timur. Orang-orang Cina, dengan berbagai penyebab, mereka sedikit sekali ambil bagian dalam kehidupan politik dan sosial keresidenan Sumatera Timur. Berikut tabel jumlah penduduk yang tinggal di onderneming tahun 1930.


(36)

Tabel 2

Jumlah Penduduk Yang Tinggal di Onderneming Dan Persentase Terhadap Jumlah Penduduk Seluruhnya di Tahun 1930

Distrik Pria Wanita Total Persentase

Total Penduduk Indonesia Langkat Hilir Langkat Hulu Deli Hilir Deli Hulu Serdang

Padang dan Bedagei Simalungun Bata Bara Asahan Labuhan Batu 4,956 24,774 26,197 10,264 27,249 23,820 57,604 14,536 25,002 28,887 3,989 21,305 24,050 9,370 22,556 18,120 47,681 10,389 18,103 16,446 8,945 46,079 50,247 19,634 49,805 41, 940 105,285 24,925 43,105 45,333 7,6 45,8 31,2 40,5 38,3 3,7 37,2 41,8 34,5 36,5 Sumber: Karl J. Pelzer dalam Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan

Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863–1947: Sinar Harapan,

1985, hal. 87.

Tabel 2 di atas menunjukkan jumlah penduduk onderneming berdasarkan distrik dan jenis kelamin. Semua distrik mempunyai lebih banyak pria daripada wanita di perkebunan-perkebunan. Simalungun mempunyai jumlah mutlak terbanyak buruh perkebunan berikut sanak keluarga mereka (105.000), jumlah ini merupakan sedikit lebih banyak dari sepertiga seluruh penduduk. Di Langkat Hulu dan Padang-Bedagai unsur perkebunan berjumlah kurang dari 45,8 dan 45,7% dari seluruh penduduk.


(37)

Tabel 3

Penduduk Sumatera Timur Menurut Sensus 1930 Dan Data Jepang Sampai 10 Maret 1943.

Penduduk dalam tahun 1930

Penduduk pada 10 Maret 1943

Kepadatan penduduk rata– rata per km2

ditahun 1943 Langkat

Deli dan Serdang Simalungun dan Karo Asahan Kota Medan 254.000 460.000 370.000 338.000 76.000 279.000 545.000 480.000 448.000 108.000 44,5 113,0 74,6 31,6 7.240,0

Jumlah 1.498.000 1.860.000 58,6

Sumber: Karl J. Pelzer dalam Toean Keboen Dan Petani: Politik Kolonial dan

Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863–1947: Sinar Harapan, 1985,

hal. 156.

Dari tabel 3 tersebut tampak sensus semasa perang tidak mungkin mempunyai ketepatan yang sama seperti sensus 1930, tetapi dalam keseluruhan sensus ini lebih dapat dipercaya daripada perkiraan-perkiraan sesudah perang.

Tabel 4

Penduduk Sumatera Timur Dari Golongan – Golongan Suku Besar

Golongan Suku 1930 1943 Persen (%)

Jawa Batak Melayu Cina Lain - lain

641.000 336.000 225.000 158.000 138.000 850.000 470.000 260.000 280.000 ______ 32,6 39,8 15,5 77,2 ______

Jumlah 1.498.000 1.860.000 24,6

Sumber: Karl J. Pelzer dalam Toean Keboen Dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863–1947, hal. 157.

Dari tabel 4 diatas tampak perbandingan jumlah antara orang-orang Jawa, Batak, dan Melayu di Sumatera Timur. Sementara penduduk sebagai keseluruhan


(38)

telah bertambah dengan 24%. Orang Jawa telah bertambah dengan 32,6%. Orang Batak dengan 39,8%, dan orang Melayu dengan 15,5% antara tahun 1930 dan 1943.

2.3 Kondisi Politik di Sumatera Timur

Dalam sejarah pergerakan, terdapat dua aliran besar dalam dunia perpolitikan zaman kolonial, yaitu:

a. Aliran cooperatif (mau bekerjasama dengan kolonial);

b. Aliran non cooperatif (tidak mau bekerjasama dengan kolonial)

Pada dasarnya aliran cooperatif dan noncooperatif itu sama, hanya taktik perjuangannya yang berbeda aliran cooperatif memandang bahwa kemerdekaan ekonomi sangat penting dan harus lebih dahulu dicapai daripada kemerdekaan politik. Aliran ini tidak begitu keras, sehingga dapat bekerjasama dengan pemerintah jajahan.

Berbeda dengan aliran cooperatif, aliran non cooperatif menganggap bekerjasama dengan pemerintah jajahan hanya akan memperkuat kedudukan penjajah. Sikap non cooperatif ini selalu dicela oleh pemeritah jajahan, mereka dijuluki “kaum ekstrim”, sedangkan aliran cooperatif disebut “loyal”.20 Dalam perjalanan dunia perpolitikan di daerah Sumatera Timur, terdapat beberapa organisasi yang turut memberikan pengaruh.

20 C.S.T. Kansil dan Julianto, Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia, Jakarta Pusat: Erlangga, 1984, ha1.9-20.


(39)

Budi Utomo (BU) merupakan organisasi pertama yang ada di Sumatera Timur. Pembentukan cabang BU di Medan pada tahun 1908 dipimpin oleh dr Pringadi. BU merekrut anggota dari kalangan dokter, guru, ahli hukum, wartawan, dan pegawai pemerintah. Dalam pergerakannya, BU tergolong kepada organisasi yang beraliran nonkooperatif. BU fokus mengangkat isu-isu lokal khususnya penderitaan kuli kebun menjadi perhatian publik secara nasional bukan hanya itu, BU juga mengkritik perlakuan buruk terhadap kuli kontrak di perkebunan di Sumatera Timur.

Selanjutnya, Serikat Islam (SI). Cabang-cabang SI mulai muncul di Sumatera Timur pada tahun 1919. SI tersebut diketuai oleh Mohammad Samin. Peran penting SI adalah pelopor dalam membangkitkan sentimen anti kolonial dengan kerangka idealisme Islam SI dalam surat kabar “Benih Merdeka” juga mengangkat persoalan-persoalan seperti kebencian kepada poenale sanctie, buruknya kondisi kuli-kuli diperkebunan dan rendahnya upah buruh di Sumatera Timur. Selain itu, ada juga Taman Siswa. Taman Siswa membuka cabangnya yang pertama di Sumatera Timur (Medan) pada tahun 1929. Taman Siswa Sumatera Timur dipimpin oleh Sugondo Kartoprodjo21 sejak tahun 1934. Taman Siswa mendasarkan pendidikannya kepada cita-cita nasional sepertinya berhasil menjangkau penduduk asli setempat, seperti Melayu, Karo, dan Simalungun. Pada tahun-tahun 1930-an, Taman Siswa telah

21 Sugondo Kartoprodjo lahir di Yogyakarta (1908). Pada tahun 1932 Sugondo dikirim ke Kutaraja (Banda Aceh) oleh pimpinan Taman Siswa untuk membuka sekolah di Yogyakarta. Selanjutnya, tahun 1934, Sugondo memimpin perguruan Taman Siswa di Medan. Ketika masih di Jawa, Sugondo masuk PNI-nya Soekarno dan kemudian dalam PNI-barunya Hatta. Di Sumatera, Sugondo masuk Parindra dan menjadi pengurus cabangnya ketika partai ini berdiri di Medan pada tahun 1935. Sugondo juga menjadi anggota Gementeraad Medan (1938-1942).


(40)

memiliki jaringan luas sekolah-sekolah dasar dan sekolah menengah pertamanya yang mengajarkan bahasa Inggris, Belanda, dan Indonesia di Sumatera Timur.

Selanjutnya, pada tahun 1927, lahir gerakan Muhammadiyah di Sumatera Timur. Gerakan ini telah mengembangkan sejumlah besar sekolah-sekolah dasar dan menengah berbahasa Belanda dan Indonesia, serta sekolah-sekolah pendidikan guru, tetapi juga mendirikan perkumpulan-perkumpulan penting untuk kaum wanita (Aisyah), kepanduan (Hisbul Wathan) dengan 400 anggota dalam 10 cabang, dan pemuda (Pemuda Muhammadiyah).

Pada tahun 1930 organisasi Jamiatul Wasliyah berdiri di Medan. Jamiatul Wasliyah merupakan organisasi Islam terbesar di Sumatera Timur dengan 12.500 murid yang tersebar pada 242 sekolah dan madrasah. Awalnya, Jamiatul Wasliyah bersifat tradisional dan didukung sebagian besar oleh penududk di pedesaan , namun, dalam perkembangannya Jamiatul Wasliyah berhasil menjadi organisasi yang bersifat nasional yang mempunyai kepentingan yang sama dengan Muhammadiyah.22

Selanjutnya, pada tahun 1920 Partai Komunis Indonesia (PKI) masuk ke Sumatera Timur. Kekuatan partai ini tidak hanya terletak pada kepiawaiannya dan keterampilan para tokohnya, tetapi terletak pada programnya yang secara langsung dapat mengancam kepentingan kolonial dan kerajaan di Sumatera Timur. Partai ini berhasil mengorganisasi pemogokan buruh di Pelabuhan Belawan pada tahun 1925. PKI tidak hanya mendapat simpati dari buruh kota tetapi juga dari buruh perkebunan.


(41)

Kegiatan PKI akhirnya mendapat perhatian serius dari pemerintah Belanda. Tahun 1927, pemerintah kolonial secara resmi melarang pegawainya menjadi anggota PKI. Pemerintah Belanda juga mengizinkan jaringan mata-mata untuk mengawasi PKI. Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) mengumumkan bahwa setiap pegawai DSM yang terlibat didalam kegiatan melanggar ketertiban umum akan diberhentikan. Partai ini akhirnya dibubarkan pemerintah Belanda akibat keterlibatannya dalam pemberontakan di Jawa Barat dan di Silungkang Sumatera Barat. Di Sumatera Timur, PKI telah melangkah diluar batas-batas primordialisme untuk menghimpun dukungan rakyat. PKI telah membangun sikap militan dan konfrontatif antikolonial.

Setelah PKI hancur, Partai Nasional Indonesia (PNI) muncul di Sumatera Timur. PNI diketuai Mr. Iwa Kusumantri. PNI menekankan perhatian yang besar pada konsep Negara Nasional Indonesia, Bahasa Nasional Indonesia, Kebudayaan Nasional Indonesia, Bendera Nasional Indonesia, dan Lagu Nasional. Namun, aktivitas PNI tidak berlangsung lama, PNI dibubarkan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1931. PNI memberi kontribusi dalam mengembangkan ideologi nasional di Sumatera Timur. Pendukung PNI sebagian besar adalah kalangan buruh-buruh Jawa di perkebunan. Cabang-cabang Gerindo juga tersebar di seluruh wilayah Sumatera Timur. Tahun 1938, cabang Gerindo didirikan di Binjai, Arnhemia, dan Tanah Jawa. Gerinda aktif memberikan kursus-kursus politik secara teratur.

Kembalinya sejumlah aktivis pergerakan nasional dari Boven Digul, akhirnya membangkitkan kembali gerakan nasionalis di Sumatera Timur. Pelopor pergerakan ini adalah Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) dan Partai Indonesia Raya (Parindra).


(42)

Gerindo menunjukkan organisasi massa yang bersifat nasional dan radikal. Orang-orang pergerkan bekas PKI, Partindo, dan PNI bergabung dengan Gerindo. Gerindo di Sumatera Timur dipimpin leh M. Jhoni. Gerindo menuntut kemerdekaan nasional, penghancuran ariskorat feodal, nasionalisasi semua perusahaan asing, pengakuan hak tanah pribumi. Hak-hak tanah dengan cepat menjadi isu utama program partai untuk memobilisasi dukungan melawan dukungan melawan pemerintahan Belanda, raja-raja, dan pengusaha perkebunan. Melalui program distribusi tanah, kepada para petani, Gerindo mendapat dukungan kuat dari buruh-buruh Jawa, petani Karo dan Simalungun. Gerindo mampu membangkitkan semangat nasionalisme, khususnya di kalangan masyarakat Karo di Langkat dan Deli-Hulu.

Cabang-cabang Gerindo juga tersebar di seluruh wilayah Sumatera Timur. Cabang-cabang Gerindo didirikan di Binjai, Arnhemia, dan Tanah Jawa (1938), Kisaran dan Sunggal (1939), Tanjung Balai dan Kabanjahe (1940). Gerindo aktif memberikan kursus-kursus politik secara teratur. Gerindo termasuk partai besar dan paling efektif di Sumatera Timur. Cabang-cabang Gerindo mengadakan kursus-kursus politik secara teratur beberapa kali dalam sebulan. Sekitar 1.500 orang menghadiri rapat Gerindo di gedung Bioskop Medan.23

Sebuah laporan pemerintah Belanda pada tahun 1935 dengan ringkas menyimpulkan faktor-faktor yang menghambat gerakan nasional Indonesia di Sumatera Timur, yaitu:

23 Ibid, hal. 121-122.


(43)

a. Perbedaan besar dalam sifat-sifat nasional, ras dan agama, serta pertentangan kepentingan ekonomi di kalangan penduduknya.

b. Ketiadan yang tetap akan barisan cendekiawan dan pemimpin-pemimpin yang terpelajar yang berasal dari anak negeri, dibanding dengan mereka yang sebagian besar berasal dari daerah lain;

c. Kesulitan kontak langsung dengan masing-masing pengurus pusat gerakannya di tempat lain;

d. Penduduk suku-suku pribumi yang konservatif itu pada umumnya tidak mempunyai selera dalam masalah-masalah politik;

e. Sikap yang dijalankan Kerajaan terhadap perkumpulan-perkumpulan yang bersifat “ekstem” khususnya dan terhadap setiap pernyataan politik pada umumnya;

f. Akhirnya, tapi tidak kurang pentingnya, tindakan-tindakan lebih ketat yang dijalankan gubernemen sejak Agustus 1933, yang telah melengkapi alat-alat kekuasaan gubernemen.24

2.3 Pendidikan di Sumatera Timur

Masuknya pemerintah kolonial Belanda dan perkebangan perkebunan di Sumatera Timur adalah berkembangnya lembaga pendidikan. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya ekonomi Sumatera Timur dan perlunya tenaga kerja yang tahu membaca dan menulis untuk dipekerjakan sebagai pegawai rendah di pemerintahan


(44)

kerajaan, perusahaan perkebunan dan pemerintahan gubernemen. Adapun sekolah yang didirikan oleh pihak pemerintah adalah: Volk School, Vervolg School, Normaal School, dan Hollandsch Inlandsche School (HIS).

Volk School merupakan sekolah rakyat yang lama pendidikannya tiga tahun. Sekolah ini berguna untuk memberantas buta huruf, mengisi posisi pegawai rendahan di kantor pemerintahan kerajaan, perusahaan perkebunan sebagai mandor. Guru Volk

School diambil dari Jawa dengan bahasa pengantarnya adalah bahasa Jawa dan

Melayu.

Selanjutnya, didirikanlah Vervolg School (Sekolah Sambungan) sebagai sekolah lanjutan dari Volk School. Selain itu, untuk mengisi kekurangan tenaga guru maka didirikanlah sekolah guru yang bernama Normaal School. Selain itu, Belanda juga mendirikan sekolah HIS guna untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja yang terampil menggunakan bahasa Belanda sekaligus untuk menolak pengaruh sekolah yang didirikan oleh para tokoh gerakan kebangsaan. HIS terdapat di Medan, Siantar, Tanjung Balai, Binjai, dan Perbaungan. Terdapat diskriminasi dalam HIS dan tidak semua orang dapat bersekolah di HIS. Anak yang diterima di HIS adalah anak-anak raja, pegawai, dan anak pedagang kaya. Selain itu, didirikan juga Meer Uitegebreid

Lager Onderwijs (MULO), Hogere Burger School (HBS), Ambacht School (Sekolah

Pertukangan), dan sekolah khusus untuk anak-anak Eropa yang disebut Europese Lagere School.


(45)

Di samping itu, golongan swasta juga tidak mau ketinggalan dalam upaya mencerdaskan masyarakat. Pihak swasta seperti Taman Siswa, Muhammadiyah, dan Al-Washliyah membangun sekolah dengan cita-cita untuk membangun bangsa yang cerdas dan memupuk semangat kebangsaan. Pada umumnya mereka adalah organisasi sosial dan keagamaan. Sekolah Taman Siswa, Muhammadiyah, dan Al-Washliyah tersebar luas di seluruh daerah Sumatera Timur. Sekolah ini mengajarkan bahasa Indonesia, bahasa Belanda dan Inggris, serta menyanyikan lagu Indonesia Raya. Oleh sebab itu, sekolah-sekolah ini tentunya memberikan dampak yang besar bagi perkembangan gerakan kebangsaan di Sumatera Timur.25

Pada masa Jepang, sekolah-sekolah umum juga didirikan, misalnya Sekolah Rakyat enam tahun (Kokumin Gakko) dan Sekolah Desa. Di samping itu, khusus untuk sekolah lanjutan dibentuk pula Sekolah Menengah tiga tahun dan Sekolah Menengah Tinggi tiga tahun, Sekolah Guru dua tahun, Sekolah Guru empat tahun, dan Sekolah Guru 6 tahun. Selain itu, baik sekolah-sekolah Islam dan pribumi tetap diizinkan, namun dengan syarat memasukkan kurikulum pendidikan Jepang, seperti pelajaran wajib Bahasa Jepang, latihan kemiliteran, serta melakukan kerja bakti untuk kepentingan perang.

Berbeda halnya setelah proklamasi, pendidikan di Sumatera Utara ditata ulang. Pendidikan dibagi menjadi empat tingkatan, yaitu pendidikan rendah (Sekolah Rendah) 6 tahun, pendidikan menengah pertama (Sekolah Menengah Atas) tiga tahun, dan pendidikan tinggi tiga sampai enam tahun. Selain itu, juga didirikan


(46)

sekolah-sekolah kejuruan, yaitu Sekolah Teknik Pertama, Sekolah Teknik Menengah, Sekolah Kepandaian Putri, Sekolah Guru Menengah, Sekolah Pertanian Menengah, dan Sekolah Dagang Menengah, sekolah lanjutan kejuruan tinggi tinggi, seperti Sekolah Menengah Tinggi, Sekolah Menengah Tinggi Teknik, Sekolah Pertanian Menengah Tinggi, Sekolah Guru Kepandaian Putri, dan Sekolah Guru Tinggi.

Pada periode 1948-1949, di NST terjadi peningkatan jumlah sekolah, guru dan siswa, baik tingkat sekolah dasar, menengah, dan kejuruan. untuk sekolah dasar yang menggunakan Bahasa Indonesia terjadi peningkatan dari 218 sekolah, 708 guru, dan sekitar 36 ribu menjadi 392 sekolah, 1.559 guru, dan sekitar 92 ribu siswa. Untuk sekolah berbahasa Belanda, di tahun 1948 terdapat 11 sekolah dengan 93 guru, 3.272 siswa, meningkat menjadi 19 sekolah, 124 guru, dan 4.370 siswa. Di sekolah menengah di tahun 1948 terjadi peningkatan dari tujuh buah menjadi 20 buah, dan tujuh di antaranya berbahasa Belanda.26


(47)

BAB III

EKSISTENSI SUMATERA TIMUR

3.1 Proklamasi di Sumatra Timur (30 September 1945)

Pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, dua buah bom dijatuhkan Amerika Serikat di Hirosima dan Nagasaki. Hal ini membuat pemerintah militer Jepang bertekuk lutut. Presiden Truman dan Perdana Mentri Attlee mengumumkan bahwa Jepang menyerah tanpa syarat. Hal ini diperkuat dengan adanya siaran radio Tokyo dan pidato Kaisar Hirohito yang menjelaskan bahwa Jepang mengakhiri perlawanan. Kemudian keputusan ini dikawatkan kepada panglima tentara Jepang di wilayah selatan termasuk Indonesia. Masyarakat Indonesia mempergunakan peristiwa kekalahan Jepang tersebut. Proklamasi dikumandangkan dan berita tersebut sampai ke berbagai pelosok tanah air. Dari Jakarta berita proklamasi tersebar dengan bermacam fasilitas, baik dari Doomei, surat kabar, atau dari mulut ke mulut.27

Berita proklamasi kemerdekaan Indonesia yang diproklamasi oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta, tidak sampai ke seluruh Indonesia secara bersamaan. Tiap-tiap wilayah menerimanya dalam waktu yang berbeda. Hal ini disebabkan seluruh alat komunikasi dikuasai oleh tentara Jepang. Tidak ada satu berita pun yang dapat disiarkan tanpa melalui sensor yang ketat dari tentara Jepang. Berita proklamasi termasuk dalam kategori berita yang dilarang untuk

27 Lapian (ed), Di Bawah Pendudukan Jepang, Jakarta: Penerbitan Sejarah Lisan Nomor 4, 1988, hal. 123.


(48)

disebarluaskan. Bahkan operator kantor Doomei di Medan yang berkebangsaan Indonesia dilarang masuk keruangan kerja.

Tanggal 22 Agustus 1945 Tyokon Sumatra Timur (Residen Sumatera Timur) mengeluarkan maklumat resmi bahwa Jepang kalah dalam perang melawan Sekutu. Pada hari yang sama, para anggota Syu Sangi Kai Sumatera Timur mengadakan sidang di bawah pimpinan ketuanya dr. Mansoer, dimana turut hadir seluruh anggotanya yang merupakan kalangan kerajaan dan pemimpin-pemimpin rakyat seperti Abdul Xarim MS dan lain-lain. Selain itu sidang tersebut juga dihadiri petinggi Jepang untuk menentukan cara untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum dalam masa pemerintahan peralihan sebelum tibanya tentara Sekutu.

Tanggal 25 Agustus, diadakan pertemuan antara raja-raja, sultan-sultan dan para pamongpraja yang terkemuka di kediaman dr. Mansoer di sudut Jalan Raya Medan (Jalan Amaliun). Pertemuan ini diadakan untuk membicarakan penyambutan kedatangan Belanda. Dalam pertemuan ini dibentuk comite van ontvangst dengan ketua Sultan Langkat dan dr. Mansoer sebagai wakil ketuanya. Hal ini menjadi berita desas-desus dan akhirnya setelah semakin jauh dari tempat asal kejadian, semakin berbeda isi dan artinya. Selanjutnya, tanggal 2 September T. M. Hasan28 dan dr. Amir

28 T. M. Hasan (Teuku Mohammad Hasan) merupakan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan yang ditugaskan untuk membentuk Komite Nasional Indonesia dan pemerintahan di seluruh Sumatera (22 Agustus-22 September 1945). Selanjutnya, T. M. Hasan juga menjadi Gubernur Sumatera dengan surut keputusan No.1/2/15 Dedagri di Purwokerto (22 September-31 Mei 1948). Selanjutnya, T. M. Hasan menjadi Komisaris Negara Urusan Umum di Sumatera yang berkedudukan di Bukit Tinggi (1 Juli 1948-22 Desember 1948). Selain itu, T. M. Hasan juga menjadi Wakil Ketua pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) merangkap menjadi Menteri Pendidikan dan pada Agustus 1949 T. M. Hasan menjadi delegasi Indonesia dalam perundingan dengan Belanda.


(49)

bersepakat untuk menyampaikan instruksi pemimpin besar Indonesia Ir. Soekarno tentang pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah dan perealisasi proklamasi kepada Ketua Syu Sangi Kai Sumatera Timur, dr. Mansoer. Beliau dianggap sebagai pemimpin rakyat yang terkemuka dan berwenang untuk menanggulangi persoalan tersebut.

Tanggal 3 September, dr. Amir menemui dr. Mansoer dan didampingi oleh pembantu-pembantunya yang terdekat yang juga terdiri unsur-unsur kerajaan. dr. Amir mengajukan kepada dr. Mansoer tuntutan-tuntutan proklamasi kemerdekaan dan langkah pertamanya membentuk KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) Sumatera Timur. Namun, usaha dr. Amir ini mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan tokoh-tokoh yang ditemuinya itu masih menginginkan dipulihkannya kembali kekuasaan Belanda kembali.

Menurut laporan dr. Amir kepada T. M. Hasan, orang-orang yang diajaknya berunding itu tidak berani mendirikan badan politik seperti KNI, karena tentara Jepang masih berkuasa dan wakil-wakil Belanda dan Inggris saat itu telah berada di Kota Medan. Dengan kata lain T. M. Hasan tidak memperoleh dukungan yang diharapkan sehingga ia tidak memiliki alat-alat yang diperlukan untuk melaksanakan dan merampungkan tugasnya yaitu mewujudkan tuntutan-tuntutan proklamasi kemerdekaan keseluruh Sumatera kedalam Republik Indonesia dalam waktu yang singkat. dr. Amir pesimis kalau proklamasi dapat diwujudkan di Sumatera Timur. Selanjutnya, tanggal 17 September di adakan rapat bertempat di Gedung Syu Sangi


(50)

Kai Sumatera Timur sejumlah pemimpin rakyat dan orang-orang terkemuka berkumpul. Pada rapat tersebut T. M. Hasan tidak didampingi dr. Amir menyampaikan berita proklamasi kemerdekaan dan instruksi Soekarno untuk membentuk KNID serta merealisasikan proklamasi kemerdekaan di Sumatera Timur.

Dr. A. K. Gani yang notabenenya adalah Ketua / Koordinator PNI Sumatera memiliki wewenang untuk mengeluarkan instruksi-instruksi untuk merealisasikan proklamasi ke seluruh daerah-daerah di Pulau Sumatera. Selain itu, Dr. A. K. Gani juga sempat mengirimkan telegram pada tanggal 15 September 1945 kepada dr. Pringadi di Medan yang mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia sudah resmi diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta di Jakarta. Proklamasi di Sumatera Selatan juga telah terealisasi, dengan demikan Sumatera Timur juga harus segera merealisasikan proklamasi, membentuk KNID dan mengambil alih pemerintahan dari tangan Jepang.

Selanjutnya, Achmad Tahir29 berpikir untuk membentuk sebuah organisasi pemuda revolusioner guna mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Organisasi ini diberi nama Barisan Pemuda Indonesia (BPI). Tanggal 22 September di Gedung Taman Siswa Jalan Amplas Medan, diadakan kegiatan penting, yaitu:

a. Pengambilan janji dan sumpah Sugondo Kartoprodjo. b. Mengesahkan anggaran dasar BPI.

29 Achmad Tahir merupakan Ketua Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Sumatera Timur. Terhitung mulai 15 Juli 1946 Achmad Tahir menjadi Komandan Divisi Gajah II dengan pangkat Kolonel.


(51)

c. Meresmikan berdirinya BPI.

Pada tanggal 30 September, BPI merencanakan pengumuman proklamasi kemerdekaan di Kota Medan. Di Pematang Siantar terjadi kegiatan-kegiatan tersembunyi untuk merealisasikan proklamasi kemerdekaan. Mereka membentuk sebuah organisasi di bawah pimpinan Abdul Aziz, lalu mengirimkan utusan ke Medan untuk mengadakan kontak dengan kelompok Abdul Manan.

Pada tanggal 30 September, bertempat di Gedung Perguruan Taman Siswa lebih dari 250 orang berkumpul. Pertemuan ini awalnya hanya untuk meresmikan berdirinya BPI, namun dengan sendirinya menjadi rapat umum untuk menyiarkan berita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dalam pertemuan tersebut juga hadir T. M. Hasan, sebagai utusan dari Soekarno.

Awalnya, Achmad Tahir membuka rapat pukul 08.30 dan Sugondo sebagai pembicara kedua yang membicarakan azas dan tujuan BPI dan disusul T. M. Hasan sebagai pembicara ketiga dan ditutup dengan pidato dari B. H. Hutajulu30. Dalam pidatonya T. M. Hasan mengatakan bahwa Indonesia merdeka dan diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus oleh Soekarno-Hatta. “Saya dapat pastikan,” kata beliau lebih lanjut, “Bahwa sekarang ini seluruh Jawa dan Madura telah berada dibawah kekuasaan pemerintah Negara Republik Indonesia.” Berita harian Pewarta Deli yang mengabarkan bahwa Soekarno-Hatta telah ditangkap Sekutu adalah berita bohong sama sekali. Jangan percaya kepada berita-berita musuh yang merugikan perjuangan.


(52)

Sekarang ini nasib kita benar-benar berada dalam tangan kita sendiri, terutama pada pemuda-pemudanya.

Dengan berakhirnya pidato T. M. Hasan ini, maka berita proklamasi telah resmi diumumkan kepada rakyat Sumatera Timur. Selanjutnya, Abdul Xarim M. S dalam pidatonya mengatakan seluruh pemuda untuk mempertaruhkan segenap jiwa raga dalam mempertahankan kemeredekaan tanah air.

Semangat rakyat Sumatera Timur menjadi menyala-nyala. Tidak sedikit diantara para hadirin meloncat-loncat dan memukul-mukul dinding. Seluruh yang hadir pada saat itu tampaknya sudah dimasuki jiwa baru, jiwa merdeka yang meluap-luap dengan hebatnya. Inilah gambaran yang representatif dari jawaban rakyat Sumatera Timur terhadap proklamasi. Suatu semangat berjuang yang berkoar-koar. Tak cukup sampai disitu, B. H. Hutajulu dalam pidatonya mengatakan bahwa tak ada dan tak mungkin perjuangan yang seberat ini hanya dimodali dengan bicara saja. Disamping nyawa dan darah, uang, pakaian, bahan makanan, dan alat-alat lainnya sangat kita perlukan. Semuanya itu sangat dibutuhkan untuk membiayai perjuangan ini.

Setelah Hutajulu berbicara, berhamburanlah uang yang dilemparkan hadirin. dr. Pringadi berjanji akan menyerahkan sebulan gajinya untuk dana BPI. Jumlah uang tunai yang terkumpul sekitar Rp. 17.000,- dan uang yang dijanjikan akan disetor


(53)

sekitar Rp 5.000,-. Tepat pukul 12.30 rapat peresmian berdirinya BPI ini berakhir. Para hadirin kembali ketempatnya masing-masing dengan semangat yang bergelora.31

Pada tanggal 3 Oktober 1945, T. M. Hasan mengumumkan bahwa dirinya secara resmi telah diangkat menjadi Gubernur Sumatera. Selain itu, beliau juga mengangkat para Residen se-Sumatera, para walikota dan pembantunya atau pegawai tinggi.

Tanggal 4 Oktober 1945, bendera merah putih dihalaman atau puncak gedung pemerintahan dikibarkan. Di Balaikota Medan, bendera yang dikibarkan dilarang bahkan diturunkan oleh Walikota Jepang Nakasima. Akibatnya, terjadilah tarik-menarik antara pihak Jepang dan para pemuda yang akan menaikkannya kembali.

Pada tanggal 6 Oktober 1945, diadakan rapat raksasa di Lapangan Esplanade Medan (Lapangan Merdeka). Rapat raksasa ini dihadiri utusan dari Binjai, Stabat, Tanjungpura, Pangkalan Brandan, Tebing Tinggi, Pematang Siantar. Ditempat ini secara resmi dibacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dibacakan langsung oleh T. M. Hasan. Sebelum pembacaan proklamasi ini terlebih dahulu diadakan upacara penaikan bendera Sang Saka Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.32

31 Biro Sejarah PRIMA, Medan Area Mengisi Proklamasi, Medan: Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area, 1976, hal. 87-116.

32 Parulian Hutabaran dkk, Perjuangan Koprs Brigade Mobil Polri Masa Perang Kemerdekaan RI Pemerintahan Darurat RI di Sumatera, Medan: Yayasan Keluarga Besar Pejuang Kemerdekaan RI Benteng Huraba, 1996, hal. 60-61.


(54)

Repro: Sepno Semsa Tanggal 9 Oktober 1945 diadakan pawai mendukung proklamasi

kemerdekaan seperti yang terlihat dalam gambar di atas. Sumber: Muhammad TWH, Perjuangan Rakyat Sumatera Dalam Gambar:

YKP/Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan, 1991, hal. 189.

Dengan adanya pengumuman T. M. Hasan tentang kemerdekaan Indonesia tersebut, ada berbagai tanggapan dari pihak kerajaan mengenai proklamasi di Sumatera Timur ini. Ada yang masih pasif, ada yang masih bersifat menunggu keadaan, tetapi ada pula yang secara tegas menanggapinya seperti Sultan Siak dan Sultan Serdang. Sultan Serdang sudah menaikkan bendera Merah Putih di istana dan di kantor-kantor kerajaan serta menganjurkan penduduk untuk menaikkan bendera Merah Putih dan serta menganjurkan pemuda-pemuda bangsawan untuk masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan partai-partai serta organisasi massa lainnya dan mulailah diadakan latihan baris-berbaris di Perbaungan.


(55)

3.2 Revolusi Sosial di Sumatera Timur Maret 1946

Menurut Mochtar Lubis, revolusi itu seperti banjir, dan sekarang tidak seorang pun dapat mengendalikannya. Apapun yang kita lakukan, ia mengikuti jalannya sendiri, tanpa menghiraukan kita yang menciptakannya. Revolusi sosial adalah suatu revolusi untuk mengubah struktur masyarakat kolonial atau feodal kepada suatu susunan masyarakat atas dasar Undang-Undang Dasar 1945.

Pada tanggal 25 Agustus 1945, dr. Mansoer yang pada saat itu menjadi Ketua Shu Shangi Kai Sumatera Timur mengadakan sebuah pertemuan yang melibatkan raja-raja, sultan-sultan dan para pamongpraja yang terkemuka di kediamannya di sudut Jalan Raja / Jalan Amalium. Pertemuan ini diadakan untuk mengatur cara-cara dalam menyambut kedatangan Belanda kembali. Dalam pertemuan tersebut telah dibentuk comittee van ontvangat (panitia penyambutan kedatangan Belanda) yang diketuai oleh Sulthan Langkat dan dr. Mansoer sebagai wakil ketuanya. Selanjutnya, fakta-fakta yang tidak diumumkan secara resmi tersebut tersebar luas di masyarakat. Hal ini lah yang menjadi desas-desus dan akhirnya setelah semakin jauh dari dari tempat asal kejadian, maka semakin berbeda pula isinya.33

Sebenarnya, berita akan adanya suatu panitia untuk menyambut kedatangan Belanda yang dilakukan oleh bangsawan ini hanya sebatas isu. Alasan pertemuan yang diadakan di kediaman dr. Mansoer 25 Agustus 1945 sebenarnya untuk membicarakan masalah perihal mengenai kepentingan untuk mencegah tindakan

33 Biro Sejarah PRIMA, Medan Area Mengisi Proklamasi, Medan: Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia, 1976, hal. 94-116.


(56)

balas dendam dan mengadukan “kolabultor – kolabulator” kepada Sekutu yang akan mendarat. Kelompok ini mengedarkan suatu pengumuman yang menyerukan kepada penduduk agar tetap tenang. Selain itu, sebuah panitia yang dipimpin oleh Sultan Langkat dan dr. Mansoer telah dibentuk. Panitia ini dibentuk guna menjelaskan kepada Sekutu mengapa setiap orang merasa perlu bekerja sama dengan Jepang.

Hal inilah yang menimbulkan kesan seolah-olah pihak kerajaan telah membentuk sebuah committee van ontvangst. Namun, pada kenyataannya pertemuan ini bukan semata diadakan untuk kepentingan bangsawan. Pertemuan tersebut mengundang mengundang kelompok–kelompok diluar bangsawan (tokoh pergerakan) itu sendiri tetapi yang hadir hanya diantaranya seperti Xarim M. S dan Mr. Joesoef. Namun, kepercayaan kepada adanya committee van ontvangst yang samar-samar tersebut menjadi tuduhan yang sering terdengar terhadap kerajaan.34

Awal Febuari 1946, diadakan sebuah pertemuan antara Gubernur Sumatera T. M. Hasan dan stafnya dengan para sultan, raja, dan sibayak di seluruh Sumatera Timur. Pertemuan ini untuk mempererat hubungan dan memperbincangkan posisi swapraja dalam pemerintahan Republik Indonesia. Dalam konferensi tersebut, T. M. Hasan berkata:

“………. Pemerintah Negara Rebublik Indonesia telah menegaskan politiknya terhadap daerah istimewa yaitu Negara Republik Indonesia mengakui daerah “zelfbestuur”.


(57)

Di jaman Belanda kedudukan raja-raja terikat sekali; Belanda yang melakukan pemerintahan, sedang raja-raja digunakan sebagai perkakas kaum penjajah dan kaum kapitalis.

Dalam zaman Indonesia merdeka ini, raja-raja mesti menjadi pemimpin bangsanya kembali. Pemerintahan otokrasi raja-raja yang ditanamkan oleh Belanda harus ditukar menjadi pemerintahan demokrasi dan raja-raja hendaknya bersiap memimpin rakyat. Raja-raja berhak menjadi pemimpin Negara Republik Indonesia!

Sultan-sultan dan raja-raja akan memerinta sesuai dengan kemauan dewan itu. Dewan tersebut membuat undang-undang, raja-raja mengerjakan keputusan dari Badan Perwakilan tersebut………. ”35

Dilain pihak, Sultan Kerajaan Negara Langkat selaku wakil kerajaan-kerajaan menerangkan:

“………. Telah menjadi kewajiban bagi kami sultan-sultan dan raja-raja untuk menyesuikan pemerintahan dalam daerah kerajaan-kerajaan Sumatera Timur dengan susunan demokrasi. Kami bersama-sama berdiri teguh dibelakang presiden dan pemerintah Republik Indonesia dan turut menegakkan serta memperkokoh Republik Indonesia, yaitu dengan pemerintahan kedaulaan rakyat. Pada hari ini kami akan memperbincangkan badan-badan Perwakilan Rakyat untuk Daerah Instimewa Sumatera Timur dan rancangan yang kami buat itu dalam sedikit waktu kami persembahkan pada pemerintah untuk diperiksa dan dipertimbangkan. Dengan perantara Gubernur kami sultan-sultan dan raja-raja memohon dengan hormat agar disampaikan janji setia kami kepada PYM Presiden dan Pemerintah Agung………”36

Sultan-sultan Sumatera Timur belum menyatakan kesediaannya meletakkan haknya sebagai swapraja, yang diakui oleh Undang-Undang Dasar dan Pemerintah Republik Indonesia. Namun, dalam pertemuan yang disebutkan diatas kalangan

35 A. H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid II, Bandung: DISJARAH-AD dan Angkasa Bandung, 1977, hal. 595.


(58)

sultan telah menyanggupi pelaksanaan kedaulatan rakyat dan siap melaksanakan sistem pemerintahan yang berdemokrasi. Namun, kecurigaan-kecurigaan tetap ada dari kaum repubiliken, ditambah lagi dengan terdengarnya committee van ontvangst.

Tanggal 1 Maret 1946, tidak ada tanda-tanda akan terjadi revolusi sosial. Pada saat itu, masih ada pertemuan makan di Hotel Wi Yap, di mana hadir antara lain Datuk Jamil, Tengku Busu dari Indrapura, Tengku Hafaz, Raja Kaliamsyah dari Simalungun, Raja Silima Huta, dan Mahadi. Selanjutnya, tepat tanggal 3 Maret terjadi revolusi sosial di Sumatera Timur.37

Pada pukul 00.00 tanggal 3 Maret beralih ke tanggal 4 Maret 1946 telah terjadi sebuah peristiwa yang dikenal dengan nama revolusi sosial di Sumatera Timur. Raja-raja atau sultan-sultan dikabarkan menjadi korban pembunuhan, demikian pula keluarga-keluarga mereka. Harta mereka pun ikut dirampas. Berikut komunike dr. M. Amir selaku Wakil Gubernur Sumatera:

1. Dengan tiba-tiba rakyat seluruh Sumatera Timur telah bertindak menegakkan keadilan dan membanteras kelaziman di daerah masing-masing, gerakan ini merupakan satu revolusi sosial yang maha hebat.

2. Tindakan rakyat untuk menyapu bersih segala musuh Negara Republik di dalam negeri ini saya terima dengan perasaan syukur, awal segala tindakan dilakukan dengan perhitungan laba-rugi dan dilakukan dengan dasar keprimanusiaan supaya korban revolusi sosial ini adalah sedikit mungkin.

37Ibid, hal. 598.


(1)

Lampiran XI

PIDATO GUBRNUR SUMATERA DI DEPAN PARA SULTAN DAN RADJA-RADJA SUMATRA-TIMUR PADA TANGGAL 3 FEBUARI 1946

Salinan

“Seripaduka Tuanku-Tuanku Sultan, Radja-Radja, Datuk-Datuk dan hadirin jang mulia! Terlebih dahulu saja serukan salam kebangsan: Merdeka!!! Saja utjapkan trima kasih atas kedatangan tuan-tuan sekalian kegedung Komite Nasional Indonesia di ibukota Sumatra ini. Dengan kedatangan paduka tuan-tuan sekalian kegedung Komite Nasional Indonesia di ibukota Sumatra ini. Dengan kedatangan paduka tuan-tuan adalah tuan-tuan-tuan-tuan tundjukkan, bahwa tuan-tuan-tuan-tuan berniat tulus ichlas membantu menegakkan Negara Republik Indonesia dimasa genting ini. Tanda kesetian dan keinginan kerdja-sama ini kita hargakan tinggi dan hal ini kita tentu akan beritakan selekas-lekasnja kepada paduka ang muliaPresiden NRI di Dgojakarta.

Dengan beberapa kepada daerah-istimewa pemerintah propinsi Sumatera telah bertemu muka dan mengadakan penrangan tentang politik pemrintah terhadap daerah-istimewa itu, jakni dipertemuan jang baru-baru ini dilangsungkan di Tandjung Pura diistana Sri Sultan Langkat.

Pada hari ini akan kita uraikan dengan pandjang lebar sikap Republik terdadap daerah-istimewa di Sumatera-Timur ini, supaja terang bagi tuan-tuan sekalian dan supaya keterangan ini dapat didjadikan dasar untuk perundingan nanti tentang badan-badan perwakilan dan tjorak pemerintahan.

Daerah zelfbestuur diakui oleh Negara Republik Indonesia.

Dalam Undang-Undang Dasar NRI pasal 18 dan peraturan tambahan tentang daerah ajat 2, diakui dengan terus terang segala zelfbestuur jang ada sekarang di Indonesia. Dengan pengakuan ini NRI membuktikan, bahwa belum ada niatnja hendak menjingkirkan atau menghilangkan keradjaan-keradjaan, jaitu daerah-daerah istimewa, dalam lingkungan Negara Republik Indonesia.

Kedudukan radja-radja di zaman pendjajahan Blanda ialah kedudukan vasal jang mengakui kedaulatan Seri Ratu Radja Belanda. Mereka diikat pada Radja Belanda atau Walinja, jakni Gubernur-Djenderal, dengan politik kontrak atau korte verklaring, jang pada lahirnja bersifat bilateral, tetapi pada hakikatnja dipaksakan kepada Radja-Radja jang diwadjibkan “meneken” sadja oleh pemerintah Hindia-Belanda dahulu.

Kekuasaan dari Radja-Radja sampai sekarang ini tidak lain dari kekuasaan jang samar-samar. Jang sebetulnja BB Eropah jang memerintah dan mengatur segala rantjangan-rantjangan dalam keradjaan, dan jang memegamg keuangan landschap pun BB Eropah djuga sehingga ta’dapat Radja-Radja kebebasan untuk brtindak sendiri.


(2)

Kepada Radja-Radja diperbiarkan memerintahi rakjat Zelfbestuur dan tidak memerintahi rakjat Gouvernement; kepada Radja-Radja dilarang mentjampuri beberapa fasal pemerintah, seperti ketenteraan, tjukai dan lain-lain jang disediakan untuk Gouvernement.

Tjorak pemerintahan waktu itu ialah: a. Dualisme, perbedaan kulit, dan

b. Indirect rule, jakni Radja-Radja didjadikan perkakas oleh pemerintah djadjahan untuk mmerintah rakjatnja dan membasmi segala gerakan dan keadaan jang tidak diizinkan oleh pemerintah djadjahan.

Begitulah Radja-Radja diadu-dombakan dengan rakjat, dengan grakan rakjat, dengan intlektuil, dan Radja-Radja dipisahkan dengan rakjatnja sendiri pula. Herankah kita kalau tali perhubungan antara rakjat dan Radja-Radja mendjadi kendur?

Dalam zaman merdeka dahulu, Radja-Radja ialah Volkshoofd, kepala dan pemimpin rakjat. Dimasa Belanda Radja-Radja itu mendjadi perkakas kapitalisme Belanda, kaki tangan kkuasaan asing.

Sekarang datanglah masanja jang Radja-Radja itu mendjadi bangsanja kembali. Arti pemimpin itu adalah dalam. Suasana sekarang sudah berobah, rakjat sudah sadar dan insaf akan harga diri dan harga lapisan dan kastanja. Dia menuntut hak kedaulatan rakjat.

Demokrasi itu sebenarnja sedjak dahulu kala telah ada dalam masjarakat kita di Sumatera ini. Dalam negeri di Minangkabau, atau luhak di Tapanuli, hak rakjat dibela dan kata-mupakat didjundjung tinggi.

Hanja di Sumatera Timur oleh kelitjinan politik djadjahan Belanda ditaman satu pemerintahan autokrasi Radja-Radja, jaitu tidak boleh buka suara, hanja mengamin sadja, dan tiap-tiap pikiran rakjat ditindas. Aliran dunia ialah demokrasi, tetapi Sumatera Timur didjadikan benteng autokrasi oleh Belanda semata-mata untuk mengamankan kapital-kapital asing jang melekat disini berdjuta-djuta banjaknja.

Sekarang dizaman kemerdekaan semustinjalah Radja-Radja merapatkan dirinja lebih rapat kepada rakjatnja dan berlaku sebagai bapak rakjat dan pemimpin rakjat, dan segala ini ialah untuk mentjapai dan memburu kmadjuan rakjat.

Pergrakan politik di Indonesia jang selama ini berada diluar perhatian dan dimusuhi oleh Radja-Radja atas hasutannja sipendjadjah Belanda, kini telah berhasil merebut kemerdekaan Indonesia, dan ini berarti bahwa setiap warga negara Indonesia, termasuk djuga Radja-Radja, telah terlepas dari pemerintahan dan pendjajahan bangsa asing.

Sebagian besar dari kakjat Indonesia telah mengambil tjorak Republik sebagai bentuk-negara kita, dan dengan demikian djuga Radja-Radja berhak mendjadi pemimpin dan kepala Negara Republik Indonesia. Pemerintah Republik tidak berdasarkan kedaulatan rakjat, demokrasi, rakjat memilih wakilnjadalam badan-badan pemilihan, dalam Presiden sekali lima tahun. Presiden takluk pada Badan Prmusjawaratan Rakjat.


(3)

Presiden memerintah dengan pertolongan kabinet, jang sekarang takluk djuga pada Parlemen. Jang memimpin sehari-hari ialah Premier atau Perdana-Menteri.

Tjorak demokrasi seperti ini akan diadakan djuga di daerah-daerah djuga akan mempunjai badan-badan perwakilan; tiap-tiap residen akan mempunjai Kepala dan Kepala Residensi atau Residen ini mendjalankan tuntutan dan kemauan dari Rakjat di Residen tersebut.

Begitu pula di tiap-tiap daerah-istimewa akan diadakan Dewan Perwakilan Rakjat dan Sultan-Sultan, Radja-Radja akan memerintah sesuai dengan dewan itu. Dalam zaman pendjadjadhan Dewan seperti itu tak ada atau hanja ikut memerintah setjara “adviseerend” tetapi dizaman Indonesia Merdeka dewan tersebut itu bersifat legislatief, membuat undang-undang, dan Radja-Radja itu executief, melaksanakan keputusan dari badan perwakilan itu.

Buat Radja-Radja sistem baru ini adalah satu pertjobaan besar. Mereka harus sanggup menjesuaikan dirinja sebagai autokrat mendjadi demokrat dan menjesuaikan tjorak pemerintahannja dari autokrasi ke domokrasi. Kalau Radja-Radja dapat bkerdja-sama sehari-hari dengan dewan perwakilan rakjat itu tentu Negara Republik Indonesia tidak berkeberatan untuk meneruskan perhubungannja dengan daerah-istimewa itu.

Daerah-istimewa bukan artinja bahwa Radja-Radja diberi kedudukan luar-biasa atau daerahnja berada diluar kedaulatan rakjat, akan tetapi daerah-istimewa artinja ialah, bahwa dalam susunan Republik jang demokratis diizinkan susunan jang pada hakekatnja tidak berdasar Republik, asal sadja susunan pemerintahan feodal didemokratisir dengan selekas-lekasnja.

Pemerintah djajahan Belanda membudjuk-budjuk membesarkan gelar-gelar dan memberi civiele lijst dan lain-lain menjenangkan hati Radja-Radja jang diberi kedudukan jang istimewa, Republik menganggap mereka warga negara jang sama hak dengan warga-negara jang lain, hanja oleh sedjarah diwajibkan mendjadi pemimpin rakjat jang tradisionil (turun-temurun). Selama mereka insaf dan sedar, mereka diizinkan oleh Undang-Undang Dasar bertempat disamping pemimpin rakjat lain jang dipilih olek rakjat dan dari rakjat. Mereka takluk pada Undang-Undang Dasar sebagaimana warga negara jang lain djuga.

Dipulau Djawa diadakan Pesuruh Djaja Tinggi untuk daerah-istimewa sebagai pengharapan atas djasa-djasa zelfbestuurder disana. Di Sumatera ini istewa sebagai pengharapan atas djasa-djasa zelfbestuurder disana. Di Sumatera ini istimewa sebagai pengharapan atas djasa-djasa zelfbestuurder disana.

Umumnja Radja-Radja kita masih kebimbingan dan was-was tentang kedudukannja, tentang pertaliannja dengan Belanda, dan ini pada umumnja adalah disebabkan mereka tidak mengetahui tentang kekuatan Negera Republik Indonesia.

Republik kita diproklamarkan pada 17 Agustus 1945, dan kini sudah berdiri lima setengah bulan. Sebagai tulang belakang, Republik adalah lasjkar Badan Keamanan Rakjatnja, sekarang telah mendjadi Tentara Keamanan Rakjat (TKR) jang ratus-ribuan banjaknja, lengkap dengan sendjatanja sekali; kmudian ada pamongpradja atau bestuurscorps jang setia dan giat; kemudian adalah rakjat djelata jang berdjuta-djuta banjaknja, siap-sedia dan redla berkorban dan berdjuang untuk mempertahankan dan membela kedaulatan Negara Republik Indonesia.


(4)

Luar negeri adalah kagum dan bersimpati dengan kit disebabkan perdjuangan kemerdekaan kita adalah benar dan sutji, sebab jang kita tuntut adalah kemerdekaan seratus persen jang berdasarkan demokrasi, Ketuhanan, keadilan sosial, kemanusiaan dan kebangsaan. Sekarang soal Indnesia dibitjarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNO), dan disanalah nanti akan diperdjuangkan status Indonesia diantara negara-negara internasional.

Tentang susunan dalam negeri, pertjajalah bahwa susunan Republik, susunan demokrasi tidak akan berobah, walaupun kelak akan dirobah djuga beberapa pasal dari Undang-Undang Dasar itu.

Perlihatkanlah pada rakjat paduka tuan-tuan, bahwa Radja-Radja di Sumatera Timur ini sesungguhnja adalah berdiri dibelakang Negara Republik Indonesia.

Sekianlah utjapan Kita! ,, Merdeka!”

Sumber: Osman Raliby, Documenta Historica, Jakarta: Bulan Bintang, 1953, hal. 575-577.


(5)

Lampiran XII

Repro: Sepno Semsa Para peserta perundingan Indonesia-Belanda di Linggarjati dekat Cirebon pada November 1946. Dari kiri kekenan: Dr. Leimena, Drs. Gani, Dr. van Mook, Moh. Rum, Mr. Amir Sjarifuddin, Prof. Ir. Dr. Schermerhorn, Mr. A. Pringgodigdo, Dr. Sudarsono dan Mr. Ali Budiardjo. Perundingan ini menghasilkan sebuah persetujuan

politik yang dikenal dengan nama Perjanjian Linggarjati, dimana Belanda mengakui kekuasaan de facto Republik atas Jawa dan Sumatera.

Sumber: Osman Raliby, Documenta Historica, Jakarta: Bulan Bintang, 1953, hal. 150.


(6)

Lampiran XIII

Sumber: Dokumentasi penulis, tanggal 25 Juni 2014. Atas jasa-jasanya bagi Sumatera Utara, nama dr. Mansoer akhirnya diabadikan

menjadi nama salah satu ruas jalan di Kota Medan, yaitu jalan dr. Mansoer (salah satu nama jalan di kawasan Universitas Sumatera Utara)