Kondisi Politik di Sumatera Timur

21 telah bertambah dengan 24. Orang Jawa telah bertambah dengan 32,6. Orang Batak dengan 39,8, dan orang Melayu dengan 15,5 antara tahun 1930 dan 1943.

2.3 Kondisi Politik di Sumatera Timur

Dalam sejarah pergerakan, terdapat dua aliran besar dalam dunia perpolitikan zaman kolonial, yaitu: a. Aliran cooperatif mau bekerjasama dengan kolonial; b. Aliran non cooperatif tidak mau bekerjasama dengan kolonial Pada dasarnya aliran cooperatif dan noncooperatif itu sama, hanya taktik perjuangannya yang berbeda aliran cooperatif memandang bahwa kemerdekaan ekonomi sangat penting dan harus lebih dahulu dicapai daripada kemerdekaan politik. Aliran ini tidak begitu keras, sehingga dapat bekerjasama dengan pemerintah jajahan. Berbeda dengan aliran cooperatif, aliran non cooperatif menganggap bekerjasama dengan pemerintah jajahan hanya akan memperkuat kedudukan penjajah. Sikap non cooperatif ini selalu dicela oleh pemeritah jajahan, mereka dijuluki “kaum ekstrim”, sedangkan aliran cooperatif disebut “loyal”. 20 Dalam perjalanan dunia perpolitikan di daerah Sumatera Timur, terdapat beberapa organisasi yang turut memberikan pengaruh. 20 C.S.T. Kansil dan Julianto, Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia, Jakarta Pusat: Erlangga, 1984, ha1.9-20. Universitas Sumatera Utara 22 Budi Utomo BU merupakan organisasi pertama yang ada di Sumatera Timur. Pembentukan cabang BU di Medan pada tahun 1908 dipimpin oleh dr Pringadi. BU merekrut anggota dari kalangan dokter, guru, ahli hukum, wartawan, dan pegawai pemerintah. Dalam pergerakannya, BU tergolong kepada organisasi yang beraliran nonkooperatif. BU fokus mengangkat isu-isu lokal khususnya penderitaan kuli kebun menjadi perhatian publik secara nasional bukan hanya itu, BU juga mengkritik perlakuan buruk terhadap kuli kontrak di perkebunan di Sumatera Timur. Selanjutnya, Serikat Islam SI. Cabang-cabang SI mulai muncul di Sumatera Timur pada tahun 1919. SI tersebut diketuai oleh Mohammad Samin. Peran penting SI adalah pelopor dalam membangkitkan sentimen anti kolonial dengan kerangka idealisme Islam SI dalam surat kabar “Benih Merdeka” juga mengangkat persoalan- persoalan seperti kebencian kepada poenale sanctie, buruknya kondisi kuli-kuli diperkebunan dan rendahnya upah buruh di Sumatera Timur. Selain itu, ada juga Taman Siswa. Taman Siswa membuka cabangnya yang pertama di Sumatera Timur Medan pada tahun 1929. Taman Siswa Sumatera Timur dipimpin oleh Sugondo Kartoprodjo 21 sejak tahun 1934. Taman Siswa mendasarkan pendidikannya kepada cita-cita nasional sepertinya berhasil menjangkau penduduk asli setempat, seperti Melayu, Karo, dan Simalungun. Pada tahun-tahun 1930-an, Taman Siswa telah 21 Sugondo Kartoprodjo lahir di Yogyakarta 1908. Pada tahun 1932 Sugondo dikirim ke Kutaraja Banda Aceh oleh pimpinan Taman Siswa untuk membuka sekolah di Yogyakarta. Selanjutnya, tahun 1934, Sugondo memimpin perguruan Taman Siswa di Medan. Ketika masih di Jawa, Sugondo masuk PNI-nya Soekarno dan kemudian dalam PNI-barunya Hatta. Di Sumatera, Sugondo masuk Parindra dan menjadi pengurus cabangnya ketika partai ini berdiri di Medan pada tahun 1935. Sugondo juga menjadi anggota Gementeraad Medan 1938-1942. Universitas Sumatera Utara 23 memiliki jaringan luas sekolah-sekolah dasar dan sekolah menengah pertamanya yang mengajarkan bahasa Inggris, Belanda, dan Indonesia di Sumatera Timur. Selanjutnya, pada tahun 1927, lahir gerakan Muhammadiyah di Sumatera Timur. Gerakan ini telah mengembangkan sejumlah besar sekolah-sekolah dasar dan menengah berbahasa Belanda dan Indonesia, serta sekolah-sekolah pendidikan guru, tetapi juga mendirikan perkumpulan-perkumpulan penting untuk kaum wanita Aisyah, kepanduan Hisbul Wathan dengan 400 anggota dalam 10 cabang, dan pemuda Pemuda Muhammadiyah. Pada tahun 1930 organisasi Jamiatul Wasliyah berdiri di Medan. Jamiatul Wasliyah merupakan organisasi Islam terbesar di Sumatera Timur dengan 12.500 murid yang tersebar pada 242 sekolah dan madrasah. Awalnya, Jamiatul Wasliyah bersifat tradisional dan didukung sebagian besar oleh penududk di pedesaan , namun, dalam perkembangannya Jamiatul Wasliyah berhasil menjadi organisasi yang bersifat nasional yang mempunyai kepentingan yang sama dengan Muhammadiyah. 22 Selanjutnya, pada tahun 1920 Partai Komunis Indonesia PKI masuk ke Sumatera Timur. Kekuatan partai ini tidak hanya terletak pada kepiawaiannya dan keterampilan para tokohnya, tetapi terletak pada programnya yang secara langsung dapat mengancam kepentingan kolonial dan kerajaan di Sumatera Timur. Partai ini berhasil mengorganisasi pemogokan buruh di Pelabuhan Belawan pada tahun 1925. PKI tidak hanya mendapat simpati dari buruh kota tetapi juga dari buruh perkebunan. 22 Anthony Reid, op. cit, hal. 118. Universitas Sumatera Utara 24 Kegiatan PKI akhirnya mendapat perhatian serius dari pemerintah Belanda. Tahun 1927, pemerintah kolonial secara resmi melarang pegawainya menjadi anggota PKI. Pemerintah Belanda juga mengizinkan jaringan mata-mata untuk mengawasi PKI. Deli Spoorweg Maatschappij DSM mengumumkan bahwa setiap pegawai DSM yang terlibat didalam kegiatan melanggar ketertiban umum akan diberhentikan. Partai ini akhirnya dibubarkan pemerintah Belanda akibat keterlibatannya dalam pemberontakan di Jawa Barat dan di Silungkang Sumatera Barat. Di Sumatera Timur, PKI telah melangkah diluar batas-batas primordialisme untuk menghimpun dukungan rakyat. PKI telah membangun sikap militan dan konfrontatif antikolonial. Setelah PKI hancur, Partai Nasional Indonesia PNI muncul di Sumatera Timur. PNI diketuai Mr. Iwa Kusumantri. PNI menekankan perhatian yang besar pada konsep Negara Nasional Indonesia, Bahasa Nasional Indonesia, Kebudayaan Nasional Indonesia, Bendera Nasional Indonesia, dan Lagu Nasional. Namun, aktivitas PNI tidak berlangsung lama, PNI dibubarkan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1931. PNI memberi kontribusi dalam mengembangkan ideologi nasional di Sumatera Timur. Pendukung PNI sebagian besar adalah kalangan buruh-buruh Jawa di perkebunan. Cabang-cabang Gerindo juga tersebar di seluruh wilayah Sumatera Timur. Tahun 1938, cabang Gerindo didirikan di Binjai, Arnhemia, dan Tanah Jawa. Gerinda aktif memberikan kursus-kursus politik secara teratur. Kembalinya sejumlah aktivis pergerakan nasional dari Boven Digul, akhirnya membangkitkan kembali gerakan nasionalis di Sumatera Timur. Pelopor pergerakan ini adalah Gerakan Rakyat Indonesia Gerindo dan Partai Indonesia Raya Parindra. Universitas Sumatera Utara 25 Gerindo menunjukkan organisasi massa yang bersifat nasional dan radikal. Orang- orang pergerkan bekas PKI, Partindo, dan PNI bergabung dengan Gerindo. Gerindo di Sumatera Timur dipimpin leh M. Jhoni. Gerindo menuntut kemerdekaan nasional, penghancuran ariskorat feodal, nasionalisasi semua perusahaan asing, pengakuan hak tanah pribumi. Hak-hak tanah dengan cepat menjadi isu utama program partai untuk memobilisasi dukungan melawan dukungan melawan pemerintahan Belanda, raja- raja, dan pengusaha perkebunan. Melalui program distribusi tanah, kepada para petani, Gerindo mendapat dukungan kuat dari buruh-buruh Jawa, petani Karo dan Simalungun. Gerindo mampu membangkitkan semangat nasionalisme, khususnya di kalangan masyarakat Karo di Langkat dan Deli-Hulu. Cabang-cabang Gerindo juga tersebar di seluruh wilayah Sumatera Timur. Cabang-cabang Gerindo didirikan di Binjai, Arnhemia, dan Tanah Jawa 1938, Kisaran dan Sunggal 1939, Tanjung Balai dan Kabanjahe 1940. Gerindo aktif memberikan kursus-kursus politik secara teratur. Gerindo termasuk partai besar dan paling efektif di Sumatera Timur. Cabang-cabang Gerindo mengadakan kursus- kursus politik secara teratur beberapa kali dalam sebulan. Sekitar 1.500 orang menghadiri rapat Gerindo di gedung Bioskop Medan. 23 Sebuah laporan pemerintah Belanda pada tahun 1935 dengan ringkas menyimpulkan faktor-faktor yang menghambat gerakan nasional Indonesia di Sumatera Timur, yaitu: 23 Ibid, hal. 121-122. Universitas Sumatera Utara 26 a. Perbedaan besar dalam sifat-sifat nasional, ras dan agama, serta pertentangan kepentingan ekonomi di kalangan penduduknya. b. Ketiadan yang tetap akan barisan cendekiawan dan pemimpin-pemimpin yang terpelajar yang berasal dari anak negeri, dibanding dengan mereka yang sebagian besar berasal dari daerah lain; c. Kesulitan kontak langsung dengan masing-masing pengurus pusat gerakannya di tempat lain; d. Penduduk suku-suku pribumi yang konservatif itu pada umumnya tidak mempunyai selera dalam masalah-masalah politik; e. Sikap yang dijalankan Kerajaan terhadap perkumpulan-perkumpulan yang bersifat “ekstem” khususnya dan terhadap setiap pernyataan politik pada umumnya; f. Akhirnya, tapi tidak kurang pentingnya, tindakan-tindakan lebih ketat yang dijalankan gubernemen sejak Agustus 1933, yang telah melengkapi alat-alat kekuasaan gubernemen. 24

2.3 Pendidikan di Sumatera Timur