Pertimbangan Putusan Pemberian nafkah IDDAH dalam cerai gugat (analisis putusan perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS)

58 Fotokopi Kartu Keluarga WNI atas nama Tergugat sebagai Kepala Keluarga, Fotokopi Sertifikat Hak Milik No. 02505, Fotokopi Akta Jual Beli Nomor 13022005, dan Fotokopi Perjanjian Kredit. Sselain itu Penggugat juga mengajukan seorang saksi yang menyatakan bahwa saksi adalah kakak kandung Penggugat, saksi kenal dengan Penggugat dan Tergugat. Menurut keterangannya bahwa antara Penggugat dengan Tergugat sering bertengkar sejak 2 dua tahun lalu disebabkan perbedaan pendapat dan keinginan dalam urusan rumah tangga termasuk karena Tergugat sering pulang larut malam dari bekerja. Menurut keterangannya bahwa pihak keluarga sudah berusaha mendamaikan Penggugat dan Tergugat melalui musyawarah keluarga agar rukun membina rumah tangga kembali dengan Tergugat namun tidak berhasil. Bahwa atas keterangan saksi tersebut, Penggugat menyatakan tidak keberatan sedangkan Tergugat menyatakan keberatan dengan keterangan saksi bahwa Penggugat dan Tergugat masih tinggal serumah. Yang sebenarnya adalah bahwa Penggugat dan Tergugat telah berpisah rumah, Tergugat pindah ke rumah orang tuanya dan hanya datang ke ruamah kediaman bersama jika ingin menemui anak-anak Penggugat dengan Tergugat. Berdasarkan keterangan saksi, Penggugat menyatakan tidak keberatan dan tidak akan mengajukan sesuatu tanggapan apapun dan mohon putusan; TENTANG HUKUMNYA Maksud dan tujuan gugatan penggugat adalah tentang gugatan cerai diakumulasi dengan hak asuh anak, nafkah anak dan harta bersama. Berdasarkan 59 pasal 130 HIR, Majelis Hakim dalam setiap persidangan berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara, namun usaha tersebut tidak berhasil. Dalam persidangan, Tergugat telah memberikan jawaban yang pada pokoknya mengakui seluruh dalil Penggugat dan tidak berkeberatan bercerai dengan Penggugat, maka dapat dikualifisir bahwa Pengakuan Tergugat tersebut merupakan pengakuan bulat murni aven pur et simple yang sesuai ketentuan hukum acara merupakan bukti yang mengikat dan menentukan sebagaimana maksud pasal 174 HIR. Perkara ini in casu perceraian, pengakuan adalah bukti awal yang memerlukan bukti-bukti lainnya, sehingga Penggugat tetap dibebankan wajib bukti. Berdasarkan keterangan dari dua orang saksi Penggugat telah diperoleh keterangan yang bersesuaian satu sama lain yaitu bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat yang awalnya rukun dan harmonis namun saat ini sering terjadi perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dan Tergugat secara terus- menerus yang penyebabnya adalah adanya perbedaan-perbedaan pandangan dan keinginan baik dalam urusan anak maupun dalam urusan rumah tangga lainnya juga karean Tergugat sering pulang malam dari bekerja. Antar Penggugat dan Tergugat telah pisah rumah sejak 3 tiga bulan lalu. Penggugat dan Tergugat sudah didamaikan namun tidak berhasil; Setelah dilakukan pemeriksaan oleh Majelis Hakim melalui persidangan, didukung keterangan Penggugat serta pengakuan Tergugat, dan dikuatkan dengan bukti-bukti surat keterangan dua orang saksi, ditemukan fakta-fakta yaitu: 60 1. Bahwa Penggugat dan Tergugat menikah pada tanggal 10 Maret 1996 dan hingga kini telah dikaruniai 3 tiga orang anak; 2. Bahwa adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus; 3. Bahwa perselisihan sejak kelahiran anak pertama tersebut disebabkan perbedaan-perbedaan pandangan dan keinginan baik dalam urusan anak maupun dalam penyelenggaraan rumah tangga secara umum; 4. Bahwa Penggugat dan Tergugat telah pisah rumah sejak sekitar bulan April 2010; 5. Bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah didamaikan baik melalui nasehat maupun dengan jalan musyawarah namun tidak berhasil; Berdasarkan fakta-fakta tersebut pengadilan berpendapat bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah terjadi perselisihan dan pertengkaran, mengakibatkan keduanya sudah tidak rukun lagi, Penggugat dan Tergugat sudah tidak tinggal satu rumah, dan Penggugat telah menyatakan tidak dapat mempertahankan ikatan perkawinan dengan Tergugat. Sementara itu, upaya Majelis Hakim dan Saksi-saksi yang diajukan dalam perkara ini menasihati Penggugat agar tetap rukun kembali dengan Tergugat ternyata tidak berhasil, karena Penggugat telah menyatakan sikapnya dengan tetap berkukuh pada pendiriannya untuk bercerai dengan Tergugat, sehingga Majelis menilai bahwa dengan sebab perselisihan dan pertengkaran itu telah sampai pada kesimpulan bahwa rumah tangga Penggugat dengan Tergugat sudah tidak dapat ditolerir lagi untuk hidup rukun dalam satu ikatan perkawinan. Untuk itulah, Majelis Hakim menyampaikan dalil syar‟i, yaitu berupa qoidah fiqh yang termuat di dalam Kitab 61 Al-Asybah wan-Nadzhoir, yang kemudian diambil alih sebagai pendapat Majelis Hakim, yang artinya : “Menolak mafsadah pengaruh yang bersifat merusak harus didahulukan dari pada mengharapkan datangnya mashlahah pengaruh yang membawa manfaatkebaikan”, maka alternatif penyelesaian sengketa perkawinan yang terbaik bagi Penggugat dan Tergugat adalah perceraian. Selain itu, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas gugatan Penggugat telah terbukti dan berdasar hukum untuk diterima dan dikabulkan berdasarkan Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 juncto Pasal 116 huruf f KHI dengan menjatuhkan talak bain shugro dari Tergugat terhadap Penggugat.

C. Analisis Putusan

1. Analisis Dasar Hukum Pemberian Nafkah Iddah pada Cerai Gugat

dalam Putusan Nomor 1445Pdt.G2010PA JS Menurut Fiqh Majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam perkara cerai gugat Nomor 1445Pdt.G2010PA JS, menjatuhkan putusan kepada bekas suami untuk menjatuhkan talak satu ba’in sughro terhadap bekas istri. Talak ba’in sughro adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah, sebagaimana tertulis dalam Pasal 119 ayat 1 KHI. Majelis hakim juga menjatuhkan putusan untuk menghukum bekas suami untuk membayar mut’ah dan nafkah iddah. Dalam pertimbangan putusan tersebut, hakim mengacu pada pendapat Imam Hanafi tentang pemberian nafkah iddah dan mut’ah. 62 Fuqaha‟ sendiri berbeda pendapat tentang pemberian nafkah pada talak ba’in. Ulama Hanabilah, Zhahiriyah, Ishaq dan Abu Tsaur berpendapat bahwa ia tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal sekalipun hamil. Alasan mereka, nafkah dan tempat tinggal diwajibkan sebagai imbalan hak rujuk bagi suami, sedangkan dalam talak ba’in suami tidak punya hak rujuk, oleh karenanya tidak ada nafkah dan tidak ada tempat tinggal. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais yang telah ditalak suaminya yang ketiga kalinya, bahwa Nabi tidak menjadikan nafkah dan tempat tinggal baginya. Bagi wanita yang terputus haidh, hendak ber-iddah sekehendaknya Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wanita tersebut berhak nafkah dan tempat tinggal secara bersama, kecuali jika wanita tersebut ber-iddah karena perpisahan disebabkan pelanggaran istri, seperti istri murtad setelah bercampur atau tindakan istri menodai kehormatan mertua seperti orang tua suami atau saudara-saudaranya, istri hanya berhak tempat tinggal dan tidak berhak nafkah. Alasan mereka, firman Allah surat At Thalaq ayat 6: هو ّرا َ و مكدجو م م س ثي ح م هو س أ ى ح ھي ع اوقف أ ف ح َوأ ك إ و ھي ع اوقي ھ ح ع ي Artinya: “tempatkanlah mereka para isteri di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka. dan jika mereka isteri- isteri yang sudah ditalak itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.