Problematika mediasi dalam perkara rekonvensi (analisis putusan perkara nomor 1155/Pdt. G/2008/PA.DPK)

(1)

PROBLEMATIKA MEDIASI DALAM PERKARA REKONVENSI (Analisis Putusan Perkara Nomor 1155/Pdt.G/2008/PA.DPK)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh

MOHAMMAD ANDRIANSYAH NIM. 106044101422

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

iv Assalamu’alaikum. Wr. wb

Segala puji bagi Allah SWT, sang Maha Pencipta dan Maha Penguasa alam semesta yang telah melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada penulis terutama dalam rangka penyelesaian skripsi ini. Shalawat serta salam kita haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW dan keluarga, serta para sahabat yang telah banyak berkorban dan menyebarkan dakwah Islam.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi, namun pada akhirnya selalu ada jalan kemudahan, tentunya tidak terlepas dari beberapa individu yang sepanjang penulisan skripsi ini banyak membantu dan memberikan bimbingan dan masukan yang berharga kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.

Dengan demikian dalam kesempatan yang berharga ini penulis mengugkapkan rasa hormat serta ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. Ketua Program Studi Akhwal Al-Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(3)

v

3. Kamarusdiana, S.Ag., MH. Sekretaris Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. H. Afifi Fauzi Abbas, MA. Selaku dosen pembimbing skripsi penulis, Terima Kasih karena telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis dalam rangka menyelesaiakan skripsi ini.

5. Para Narasumber dan Staff Pengadilan Agama Depok, yang telah memberikan izin dan membantu meluangkan waktunya untuk melaksanakan observasi dan wawancara selama penulis mengadakan penelitian khususnya Drs. H.Toha Mansyur SH. MH dan Drs. Sarnoto, MH Yang telah memberikan informasi kepada penulis.

6. Seluruh Staff Pengajar (dosen) Prodi Ahwal Al Syakhshiyah Fakultas Syariah dan Hukum yang telah banyak menyumbang ilmu dan memberikan motivasi sepanjang penulis berada di sini. Selain itu, para Pimpinan dan Staff Perpustakaan baik Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

7. Teristimewa untuk Ayahanda H. Iing Ibrahim dan Ibunda Mugiroh tercinta. Yang telah merawat dan mengasuh serta mendidik dengan penuh kasih sayang dan memberikan pengorbanan yang tak terhitung nilainya baik dari segi moril maupun materil. Kakak tercinta Nazmudin, Iis Aisyah, Muhtadin dan Adik tersayang Halimatul Sasqia, juga sepupu penulis Ahmad Azhari S.Hum. Terimakasih atas


(4)

vi

8. Teman-teman senasib dan seperjuangan konsentrasi Peradilan Agama angkatan 2006. Terkhusus untuk M. Taqiyuddin al-Qisti S.Sy, Farid Wajdi S.Sy, Yaomil Agus Muharam S.Sy, Rika Delfayona S.Sy, Istiarini Cahyaningsih S.Sy, Ibnu Rahman, Ilyas Kartawijaya, Joko Susilo, Raudlotul Irfan S.Sy, Maslahul Huda S.Sy, dan lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas bantuannya dalam penulisan skripsi ini.

Kepada semua pihak yang telah banyak memotivasi dan memberi inspirasi kepada penulis untuk mencapai suatu cita-cita, dan yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung, moril maupun materil. Hanya ucapan terima kasih yang penulis haturkan semoga segala bantuan tersebut diterima sebagai amal baik disisi Allah SWT. Dan memperoleh pahala yang berlipat ganda (amin).Amin Ya Rabbal‘Alamin

Jakarta, 07 November 2010


(5)

vii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING……… ii

LEMBAR PERNYATAAN……… iii

KATA PENGANTAR………. iv

DAFTAR ISI……… vii

DAFTAR LAMPIRAN………... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………..7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………8

D. Studi Riview………9

E. Metode Penelitian………14

F. Sistematika Penulisan………...19

BAB II RUANG LINGKUP MEDIASI DAN GUGATAN REKONVENSI SERTA PROSES MEDIASI DALAM PERKARA REKONVENSI A. Mediasi………21

B. Gugatan Rekonvensi………32

C. Proses Mediasi dalam Perkara Perceraian………...36

D. Proses Perkara Rekonvensi………..48

BAB III PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEPOK PERKARA NOMOR 1155/Pdt.G/2008/PA. DPK A. Duduk Perkara………. 49

B. Pertimbangan Hukum Hakim………...56


(6)

viii

C. Analisis Putusan Tentang Putusan Pengadilan……….75

D. Proses mediasi dalam perkara Rekonvensi………..77

E. Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Mediasi………78

F. Peran Mediator dalam Proses Mediasi dalam perkara Rekonvensi………...79

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan………..81

B. Saran-Saran………..85

DAFTAR PUSTAKA……….. 87


(7)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1

Pada dasarnya tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan saling melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.2

Ikatan pernikahan antara suami dan istri adalah ikatan yang paling suci dan paling kokoh, “mitsaqan gholizhon (perjanjian yang kokoh)”. Dalam KHI pasal 2 dinyatakan bahwa “Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.3

Al-Qur’an Surat Ar-Rum ayat 21 Allah berfirman, yang mengungkapkan tujuan dasar setiap pembentukan rumah tangga, yaitu di disamping untuk

1

Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-undangan No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Jakarta: Akademika Presindo, 1986), cet I, h,64

2

Ahmad Rafiq,Hukum Islam di Indonesia, (Semarang: Rajawali Pers, 1995), h.56

3


(8)

mendapat keturunan yang saleh, adalah untuk dapat hidup tentram, adanya suasana sakinah yang disertai rasa kasih sayang.4

Dalam kehidupan rumah tangga meskipun pada dasarnya suami isteri penuh rasa kasih cinta, kasih sayang seolah-olah tidak akan menjadi pudar, namun pada kenyataanya rasa cinta itu bila tidak dirawat bisa menjadi pudar, bahkan bisa hilang berganti dengan kebencian, kalau kebencian sudah datang dan suami isteri tidak dengan sungguh hati mencari jalan keluar untuk memulihkan kembali kasih sayangnya, akan berakibat buruk pada anak keturunannya.5

Suami isteri dalam ajaran Islam tidak boleh terlalu cepat mengambil keputusan bercerai, karena benang kusut itu sangat mungkin disusun kembali walaupun dalam ajaran Islam ada jalan penyelesaian terakhir yaitu perceraian. Talak (perceraian) menurut bahasa artinya “melepaskan ikatan tali”, sedang menurut syara’ artinya “melepaskan ikatan dengan lafal yang dituturkan nanti”.6 Namun perceraian adalah suatu hal yang meskipun boleh dilakukan tetapi dibenci oleh Nabi.7 Hal ini sesuai dengan asas prinsipil dalam Undang-undang No. 1

4

Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h.96

5

Satria Effendi M. Zein,Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer,h.97

6

Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari, Terjemah Fathul Mu’in 3,(Surabaya : Alhidayah, 1993), h. 151

7


(9)

3

tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian, didasarkan kepada sabda Rasulullah SAW yang berbunyi :

ﷲا ِﺪْﯿَﺒُﻋ ِﻦَﻋ ﺪِﻟﺎَﺧ ُﻦْﺑا ُﺪﱠﻤَﺤُﻣ ﺎَﻨَﺛﱠﺪَﺣ ﻲِﺼْﻤِﺤْﻟا ﺪْﯿَﺒُﻋ ُﻦْﺑا ُﺮْﯿِﺜَﻛ ﺎَﻨَﺛﱠﺪَﺣ

ِﺪْﯿِﻟَﻮْﻟا ِﻦْﺑا

ﺎﻤُﮭْﻨَﻋ ُﷲا َﻲِﺿَر َﺮَﻤُﻋ ِﻦْﺑِا ِﷲا ُﺪْﺒَﻋ ﻦَﻋ رﺎﺛد ﻦْﺑا بِرﺎَﺤُﻣ ِﻦَﻋ ﻲِﻓﺎَﺻَﻮْﻟَا

:

َل ﺎ َﻗ

َﻢﱠﻠَﺳَو ِﮫْﯿَﻠَﻋ ُﷲا ﱠﻰﻠَﺻ ِﷲا ُلْﻮُﺳَر

:

ِﷲ ا َﻰ ﻟ ِا ِل َﻼ َﺤ ﻟ ْا ُﺾ

َﻐ ْﺑ َا

ُق َﻼ ﱠﻄ ﻟ َا

)

ﮫَﺟﺎَﻣ ُﻦْﺑِا ُهاَوَر

(

Artinya : “Telah Menceritakan kepada kami Katsir bin Ubaid al-Himsyi, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Khalid dari Ubaidillah bin Walid Al- Dzashofi dari Muharib bin itsar dari Abdullah bin Umar R.A. : telah bersabda Rasulullah SAW : sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah thalaq atau perceraian.” (H.R. Ibnu Majah).8

Berdasarkan hadits di atas dihukumi talak (perceraian) itu makruh. Menetapkan ada kemurkaan Allah terhadap talak (perceraian), adalah dimaksudkan untuk kuat menghindari talak (perceraian), bukan dimaksudkan dengan hakikat kebencian (kemurkaan) yang sesungguhnya, sebab akan berarti menunjukan ketidakhalalan dilakukannya.9

Berdasarkan ketentuan Undang-undang No.3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama khususnya Pasal 1, 2, 49 dan penjelasan umum angka 2 serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku, antara lain Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, PP No.28 tahun 1977 tentang Wakaf, PERMENAG No.2 tahun 1987 tentang Wali Hakim, maka Pengadilan Agama bertugas dan

8

Abi Abdullah bin Yazid Al-Qazwainiy,Sunan Ibnu Majah, (Beirut, Lebanon: Daar el-Fikr, 1994), h. 633

9


(10)

berwenang untuk memberikan pelayanan hukum dan keadilan dalam bidang hukum keluarga dan harta perkawinan bagi yang beragama Islam berdasarkan hukum Islam.10

Penyelesaian suatu perselisihan yang terbaik adalah dengan cara perdamaian. Hukum Islam mementingkan penyelesaian perselisihan dengan cara perdamaian, sebelum dengan cara putusan pengadilan, karena putusan pengadilan dapat menimbulkan dendam yang mendalam, terutama bagi pihak yang dikalahkan. Untuk itu sebelum diperiksa hakim wajib berusaha mendamaikan kedua belah pihak terlebih dahulu, apabila hal ini belum dilakukan oleh hakim bisa berakibat bahwa putusan yang dijatuhkan batal demi hukum.11

Ketentuan ini terdapat dalam pasal 130 HIR maupun pasal 154 RBG yang menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan pasal 2 yang disebutkan bahwa:“Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 130 HIR dan atau pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum”. Peraturan tentang mediasi ini terdapat pada Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) Nomor 1 Tahun 2002, kemudian direvisi dengan Perma Nomor 2 Tahun 2003 tentang

10

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h.2

11

Jaenal Arifin,Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008), h.351


(11)

5

Prosedur Mediasi di Pengadilan, terakhir disempurnakan lagi dengan lahirnya Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Kenyataan praktik yang dihadapi, jarang dijumpai putusan perdamaian. Produk yang dihasilkan peradilan dalam penyeleseaian perkara yang diajukan berupa putusan konvensional yang bercorak menang atau kalah (winning or losing). Jarang ditemukan penyelesaian berdasarkan konsep sama-sama menang (win-win solution). Akibatnya, keberadaan pasal 130 HIR, pasal 154 RBG dalam hukum acara, tidak lebih dari hiasan belaka atau rumusan mati.12

Dalam pemeriksaan perkara perceraian, fungsi upaya hakim untuk mendamaikan para pihak, tidak terbatas pada sidang pertama saja. Ketentuan UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 82 ayat (4) jis Pasal 31 ayat (2) dan Pasal 21 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan melampaui prinsip tersebut.

Menurut ketentuan pasal dimaksud, upaya mendamaikan dalam perkara perceraian adalah berlanjut selama proses pemeriksaan berlangsung dan mulai dari sidang pertama sampai tahap putusan belum dijatuhkan. Oleh karena itu, pada setiap kali pemeriksaan sidang berlangsung, hakim tetap dibebani fungsi mengupayakan perdamaian.13

12

Muhammad Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafindo, 2004), h.241

13

Sulaikin Lubis dkk, Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h.71


(12)

Praktek mediasi dalam proses persidangan melalui tuntutan balik (rekonvensi) jarang ditemukan. Padahal tuntutan rekonvensi tersebut pada dasarnya merupakan satu perkara lain yang kebetulan pemeriksaannya disatukan dengan perkara awal (konvensi) untuk tujuan efektifitas dan efisiensi serta sinkronisasi sepanjang dibenarkan oleh ketentuan yang berlaku.

Tuntutan balik itu pada umumnya meliputi perkara nafkah lampau (madhiyah), nafkah iddah, mut’ah, hadhanah dan nafkah anak, sebagian di antaranya harta bersama. Oleh karena perkara ini muncul di tengah persidangan, maka terhadap perkara ini tidak pernah ditempuh upaya perdamaian melalui mediasi dengan alasan proses persidangan telah berjalan dan tahap perdamaian telah dilalui, Apabila direnungkan dengan seksama, dari segi substansi, perkara-perkara yang muncul dalam tuntutan balik pada dasarnya adalah perkara-perkara tersendiri, kepentingannya berbeda dan terpisah dengan pokok perkara. Hanya saja karena terdapat kaitan yang erat dengan perkara awal, maka pemeriksaannya dibenarkan bersamaan dengan pokok perkara. Oleh karena permasalahan diatas penulis terdorong ingin mengetahui problematika mediasi dalam perkara rekonvensi di Pengadilan Agama Depok.

Disamping itu ingin mengetahui bagaimana analisis Hukum Acara Peradilan Agama terhadap putusan Pengadilan Agama Depok Perkara No. 1155/Pdt.G/2008 /PA. DPK terhadap praktek proses mediasi dalam perkara rekonvensi, faktor-faktor apa saja yang menentukan keberhasilan mediasi dan bagaimana peran hakim mediator dalam proses mediasi dalam perkara rekonvensi.


(13)

7

Sejumlah pertanyaan-pertanyaan inilah yang mendorong rasa ingin tahu penulis dan ini menarik untuk diteliti lebih lanjut, sehingga penulis menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul : “PROBLEMATIKA MEDIASI DALAM PERKARA REKONVENSI” (Analisis Putusan Perkara No. 1155/Pdt.G/2008/PA. DPK).

B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Ruang lingkup dalam penelitian ini berkisar pada masalah mediasi dalam perkara rekonvensi. Agar dalam pembahasan skripsi ini lebih terarah dan tidak meluas, maka dalam penelitian ini penulis terfokus pada proses mediasi dalam perkara rekonvensi di Pengadilan Agama Depok, dengan menitik beratkan terhadap Putusan Perkara No. 1155/Pdt.G/2008/PA.DPK.

2. Perumusan Masalah

Menurut Peraturan formal yang berlaku menyatakan meskipun mediasi telah gagal, namun dalam setiap tahapan pemeriksaan perkara hakim pemeriksa perkara tetap mempunyai wewenang untuk mendorong atau mengusahakan perdamaian. Begitu pula dalam proses mediasi dalam perkara rekonvensi, hakim tetap dibebani fungsi mengupayakan perdamaian.

Tetapi kenyataannya dalam praktek mediasi dalam proses persidangan melalui tuntutan balik (rekonvensi) di pengadilan jarang ditemui, seperti salah


(14)

satunya dalam Putusan Perkara No.1155/Pdt.G/2008/PA.DPK yang penulis telusuri dalam penulisan skripsi ini. Untuk mempermudah pembahasan, rumusan masalah penulis rinci dalam bentuk pertanyaan, sebagai berikut :

1. Bagaimana praktek mediasi dalam proses persidangan melalui tuntutan balik (rekonvensi) di Pengadilan Agama Depok?

2. Bagaimana pertimbangan hukum dan amar putusan yang digunakan oleh Majelis Hakim tersebut dalam putusan perkara Nomor 1155/Pdt.G/2008 /PA.DPK ?

3. Faktor-faktor apa saja yang menentukan keberhasilan mediasi ?

4. Bagaimana peran hakim mediator dalam proses mediasi dalam perkara rekonvensi di Pengadilan Agama Depok ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin penulis capai agar mendapatkan jawaban yang pasti dari permasalahan mediasi dalam perkara rekonvensi,sebagai berikut :

1. Memenuhi persyaratan dalam penyelesaian studi di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah.


(15)

9

2. Mengetahui praktek mediasi dalam proses persidangan melalui tuntutan balik (rekonvensi) di Pengadilan Agama Depok.

3. Memperoleh pengetahuan tentang pertimbangan hukum dan amar putusan yang digunakan oleh Majelis Hakim tersebut dalam putusan perkara Nomor 1155/Pdt.G/2008/PA.DPK.

4. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang menentukan keberhasilan mediasi. 5. Memperoleh pengetahuan tentang peran hakim mediator dalam proses

mediasi dalam perkara rekonvensi di Pengadilan Agama Depok. 2. Manfaat Penelitian

1. Bagi penulis, penelitian ini akan memperluas wawasan intelektualitas di bidang hukum terutama tentang mediasi.

2. Bagi Fakultas, penelitian ini menambah khazanah ilmu pengetahuan dan literature pada Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dari segi praktis, penelitian ini diharapkan memberikan informasi kepada segenap pihak yang berkompeten untuk meningkatkan efektivitas peranan mediasi khususnya peran hakim mediator dalam perkara rekonvensi sehingga menyelesaikan gugatan rekonvensi agar rasa keadilan lebih dapat diwujudkan untuk kedua belah pihak.


(16)

Penulis menemukan beberapa judul skripsi yang pernah ditulis oleh mahasiswa-mahasiswa sebelumnya yang berkaitan erat dengan judul skripsi yang akan diteliti oleh penulis, diantaranya sebagai berikut :

1. Skripsi oleh Suaeb PH/PMH Tahun 2006 yang berjudul“Peran Hakim dalam mendamaikan perkara perceraian di Pengadilan Agama Bekasi”.

Dalam skripsi ini membahas tentang perceraian dan membahas tentang upaya perdamaian dalam perkara cerai di Pengadilan Agama, maksud perdamaian dalam perceraian serta teknik dan tata cara Hakim dalam mendamaikan para pihak. Pokok masalahnya yaitu tentang penyelesaian perceraian dengan cara perdamaian yang ditangani oleh Pengadilan Agama Bekasi. Kemudian menggunakan metode penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan penelitian kepustakaan (library reseach) dan lapangan (field reseach) dan menggunakan Sumber data berupa data atau dokumen yang diperoleh dari data Pengadilan Agama Bekasi, hasil wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Bekasi dan juga teori-teori yang mendukung penelitian ini.

Adapun temuannya yaitu berdasarkan Laporan Tahun 2004 Pengadilan Agama Bekasi tentang perkara yang diputus, adanya perbandingan cerai gugat lebih banyak dibanding cerai talak yang membuktikan permintaan cerai dari pihak istri lebih dominan dan alasan perceraian paling banyak dikarenakan tidak adanya keharmonisan dalam rumah tangga. Dari perkara yang masuk sebanyak 808 perkara, sebanyak 99 perkara berhasil dicabut karena terjadi perdamaian. Peran


(17)

11

hakim Pengadilan Agama Bekasi dalam mendamaikan perkara percaeraian sudah cukup maksimal atau efektif dalam meminimalisir terjadinya perceraian dengan kata lain penerapan asas wajib mendamaikan yang diterapkan di Pengadilan Agama Bekasi mempunyai pengaruh dan membawa hasil. Perbedaannya dengan skripsi penulis yaitu lebih menekankan pada upaya Hakim Majelis dalam mendamaikan para pihak. Sedangkan judul yang penulis angkat tentang Problematika Mediasi dalam Perkara Rekonvensi dimana lebih terfokus pada pembahasan proses Mediasi dalam Perkara Rekonvensi di Pengadilan Agama Depok dengan menganalisis putusan perkara nomor 1155/Pdt.G/2008/PA. DPK. 2. Skripsi oleh Budi Setiawan PF/PMH Tahun 2006 yang berjudul “Hakam

Menurut Imam Mazhab dan UU No. 7/ 1989 Tentang Peradilan Agama, Serta Peranannya dalam menyelesaikan Sengketa Perceraian” (Studi Kasus Pada Pengadilan Agama Jakarta Utara )

Dalam skripsi ini membahas tentang hakam, perdamaian (hakam) dimasa sahabat dan perdamaian pada sengketa perceraian pada masa sekarang dan juga membahas pandangan imam mazhab dan undang-undang Peradilan Agama tentang hakam serta bentuk dan upaya hakam dalam mendamaikan dan juga peranan hakam dalam sengketa perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Utara.

Adapun pokok masalahnya yaitu tentang pandangan Imam Mazhab dan Undang-undang Peradilan Agama terhadap Hakam, peranan Hakam sebagai penengah dalam menyelesaikan kasus perceraian di Pengadilan Agama.


(18)

Kemudian menggunakan metode penelitian dengan menggunakan pendekatan yang bersifat yuridis empirik dengan penelitian deskriptif dan menggunakan sumber data berupa kepustakaan, wawancara, studi dokumentasi, hasil penelitian dan berkas perkara perceraian yang diselesaikan dengan perdamaian.

Adapun temuannya yaitu fungsi hakam di Pengadilan Agama masih terbatas pada perkara syiqaq, realitas didapati banyak perkara syiqaq yang diputuskan di Pengadilan Agama Jakarta Utara tanpa satupun dari perkara mereka yang ditangani oleh Hakam. Peranan hakam dalam menyelesaikan sengketa perceraian di Pengadilan Agama yaitu untuk mendamaikan pihak yang bersengketa dengan alasansyiqaq, namun keberhasilan peranan hakam tidak maksimal (nihil).

Adapun perbedaannya dengan skripsi penulis yaitu lebih menekankan pada pembahasan Hakam yang ditinjau dari pendapat imam mazhab dan UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sedangkan judul yang penulis angkat tentang Problematika Mediasi dalam Perkara Rekonvensi dimana lebih terfokus pada pembahasan proses Mediasi dalam Perkara Rekonvensi di Pengadilan Agama Depok dengan menganalisis putusan perkara nomor 1155/Pdt.G/2008/PA. DPK.

3. Skripsi oleh Nusra Arini / PH / PMH Tahun 2009 yang berjudul “Aplikasi Perma No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi dalam putusan perkara perdata di Pengadilan Agama Jakarta Selatan”

Dalam skripsi ini membahas tentang Prosedur Mediasi yang terintegrasi dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan, juga menguraikan mengenai


(19)

13

pelaksanaan putusan yang ditetapkan oleh Hakim di PA Jakarta Selatan baik sebelum maupun sesudah Perma No. 1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi ini diberlakukan.

Adapun pokok masalahnya yaitu tentang Mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam menerapkan Perma No. 1 Tahun 2008 pada putusannya, prosedur dan penerapan Perma, tantangan dan hambatan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam menerapkan Perma dan pengaruh mediasi terhadap putusan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebelum dan sesudah diberlakukannya Perma.

Kemudian menggunakan metode penelitian dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan normatif dengan jenis penelitian Kualitatif deskriptif dengan penelitian kepustakaan (library reseach) dan lapangan (field reseach) dan sumber data berupa wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, data putusan-putusan Hakim sebelum dan sesudah diberlakukannya Perma. Dan data sekunder diperoleh dari Peraturan Perundang-undangan, data resmi dari instansi Pemerintah, Peradilan, buku-buku literature, karangan ilmiah, makalah umum.

Adapun temuannya yaitu pelaksanaan aturan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan bersifat fleksibel, tidak sesuai Perma secara keseluruhan, sebelum diberlakukan Perma tahun 2007 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan perkara yang diputus dengan alasan perceraian sebanyak 1343 perkara dan perkara yang didamaikan sebanyak 170 perkara. Setelah diberlakukannya Perma tahun 2008 di


(20)

Pengadilan Agama Jakarta Selatan dari 1641 perkara yang diputus, sebanyak 176 perkara yang didamaikan, Perma belum berjalan secara efektif dan belum dijalankan secara maksimal karena taraf proses sosialisasi.

Adapun perbedaannya dengan skripsi penulis yaitu lebih menekankan pada pembahasan prosedur mediasi dan penerapan peraturan Mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan baik sebelum maupun sesudah Perma No. 1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi ini diberlakukan.

Sedangkan judul yang penulis angkat tentang Problematika Mediasi dalam Perkara Rekonvensi dimana lebih terfokus pada pembahasan proses mediasi dalam Perkara Rekonvensi di Pengadilan Agama Depok dengan menganalisis putusan perkara nomor 1155/Pdt.G/2008/PA. DPK.

E. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini, maka penulis menggunakan beberapa metode, antara lain :

1. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan dengan memakai penelitian hukum normatif, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi


(21)

15

normatifnya, yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.14

2. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriftif yang menggambarkan data-data dan informasi berdasarkan fakta yang diperoleh secara mendalam. Adapun tujuan dari penelitian deskriftif ini adalah untuk menggambarkan suatu objek secara sistematis.15

Pendekatan kualitatif yaitu dengan menggunakan analisa isi, dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan isi dari putusan yang penulis dapatkan, kemudian menghubungkan dengan masalah mediasi dalam perkara rekonvensi khususnya dengan putusan Hakim Pengadilan Agama Depok dalam perkara No.1155/Pdt.G/2008/PA DPK sehingga dapat menemukan kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki dalam penulisan skripsi ini.

3. Sumber Data

Dalam penelitian ini akan digunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, karena ini penelitian hukum. Untuk memecahkan isu

14

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta : CV Rajawali, 1985), h.14.

15


(22)

hukum dan sekaligus memberikan deskripsi mengenai apa yang seharusnya, diperlukan sumber-sumber penelitian hukum berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.16Di bawah ini akan dirinci satu persatu apa saja yang termasuk ke dalam data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari objek yang diteliti,17 yaitu bahan hukum yang mengikat.18 Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim.19 Jika dikaitkan dengan objek pembahasan ini, maka data primer yakni berupa putusan cerai yang melalui proses mediasi dalam tahap gugatan balik (rekonvensi) yaitu putusan perkara nomor 1155/Pdt.G/2008/PA.DPK yang diperoleh dari Pengadilan Agama Depok. Selain itu juga data primer diperoleh lewat interview (wawancara) terhadap Hakim yang memeriksa perkara ini dan Hakim mediator Pengadilan Agama Depok, kemudian

16

Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2005), h.141

17

Rianto Adi,Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2004), h.5

18

Bambang Sunggono,Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), Cet. VII, h.113

19


(23)

17

data-data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan menghubungkan dengan masalah yang diteliti oleh penulis.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum, meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum.20

Dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur’an, Hadits, buku-buku ilmiah, jurnal-jurnal, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 65 dan 82 ayat (4), PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 31 ayat (2) dan Pasal 21 tentang Pelaksanaan UU No.1 tahun 1974, Ketentuan pasal 130 HIR dan pasal 154 RBG, Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) Nomor 1 Tahun 2002, Perma Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 115 dan Pasal 143, serta peraturan lainnya yang dapat mendukung skripsi ini.

20


(24)

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Mengumpulkan berbagai referensi baik berupa buku-buku, jurnal-jurnal hukum, dan kitab-kitab fikih yang khusus berbicara tentang mediasi atau perdamaian sengketa perceraian dan gugatan balik (rekonvensi) lalu dihubungkan dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok Perkara Nomor 1155/Pdt.G/2008/PA.DPK dan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mediasi dan gugatan balik (rekonvensi) khususnya pada Peraturan Perundang-undangan Pasal 65 dan 82 ayat (4) UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jis Pasal 31 ayat (2) dan Pasal 21 PP No. 9 Tahun 1975, Ketentuan pasal 130 HIR dan pasal 154 RBG, Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) Nomor 1 Tahun 2002, Perma Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Kompilasi Hukum Islam Pasal 115, Pasal 143. Dari data tersebut diolah sedemikian rupa, sehingga akan terlihat dengan jelas sebagai jawaban atas rumusan masalah yang dikaji.

b. Interview atau wawancara yakni tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung antara pewawancara dengan pihak-pihak yang ada kaitannya dengan judul skripsi ini yaitu hakim mediator yang memeriksa


(25)

19

perkara perceraian ini. Adapun fungsi dari wawancara adalah untuk membuat deskripsi dan/atau eksplorasi.21

5. Teknik Analisis Data

Setelah melalui beberapa proses pengumpulan data yang dilakukan dengan macam-macam metode yang dipilih, maka data yang sudah ada diolah dan dianalisis untuk mendapatkan hasil yang bermanfaat bagi penelitian ini. Metode analisis data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data tersebut secara jelas dan mengambil isinya dengan menggunakan content analysis. Kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan bahasa penulis sendiri, dengan demikian menjadi nampak rincian jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti.

Sementara untuk teknis penulisan penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.”

F. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai materi yang menjadi pokok penulisan skripsi ini dan agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan ini sebagai berikut:

21


(26)

Bab Pertama berisi pendahuluan, yang mencakup latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan penelitian, studi review, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab Keduaberisikan teori-teori yang membahas mediasi, gugatan rekonvensi, proses mediasi dalam perkara perceraian, proses perkara rekonvensi.

Bab Ketiga berisikan putusan Pengadilan Agama Depok putusan perkara nomor 1155/Pdt.G/2008/PA.DPK yang terdiri dari duduk Perkara, pertimbangan hukum Hakim dan putusan Pengadilan

Bab Keempat, didalamnya membahas analisis putusan, analisis hukum acara Peradilan Agama terhadap putusan Pengadilan Agama Depok Perkara Nomor 1155/Pdt.G/2008/PA.Dpk terhadap proses mediasi dalam perkara rekonvensi, faktor yang mempengaruhi keberhasilan Mediasi, peran mediator dalam proses mediasi dalam perkara rekonvensi.

Bab Kelima Penutup yang merupakan akhir dari seluruh rangkaian pembahasan dalam penulisan skripsi yang berisi kesimpulan dan saran-saran.


(27)

21 BAB II

RUANG LINGKUP MEDIASI DAN GUGATAN REKONVENSI SERTA PROSES MEDIASI DALAM PERKARA REKONVENSI

A. Mediasi

1. Pengertian Mediasi

Secara etimologi istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak.1

Dalam bahasa Indonesia mediasi diartikan sebagai upaya perdamaian dimana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perdamaian secara etimologi adalah perhentian permusuhan.2

Dalam Collins English Dictionary and Thesaurus disebutkan bahwa mediasi adalah kegiatan menjembatani antara dua pihak yang bersengketa guna menghasilkan kesepakatan (agreement).3 Joni Emirzon memberikan pengertian mediasi yaitu proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam

1

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2009), h.2.

2

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1998), h.223.

3

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.2


(28)

penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat.4 Seorang ahli resolusi konflik Laurence Bolle menyatakan bahwa mediasi adalah proses pengambilan keputusan yang dilakukan para pihak dengan dibantu pihak ketiga sebagai mediator. Pernyataan Bolle menunjukan bahwa kewenangan pengambilan keputusan sepenuhnya berada di tangan para pihak, dan mediator hanyalah membantu para pihak di dalam proses pengambilan keputusan tersebut.5

Mediasi diartikan pula sebagai negosiasi dengan bantuan pihak ketiga, yang memainkan peran utama adalah pihak-pihak yang bertikai dan Pihak ketiga (mediator) berperan sebagai pendamping, pemangkin, dan penasihat.6

Dalam pasal 1851 KUH Perdata dikemukakan bahwa yang dimaksud perdamaian adalah suatu persetujuan atau perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerah, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara.7

4

Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan: Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase,( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), h.60.

5

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.4

6

Mediasi, oleh Rizal Panggabean, Riza N. Arfani, Poppy S. Winanti. Diakses pada 24 Agustus 2010 dari www.diahkei.staff.ugm.ac.id.

7

Jaih Mubarok, dan Nurlailatul Musyafalah dkk,Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quiraisy, 2004), h.124.


(29)

23

Penyelesaian sengketa melalui cara mediasi telah lama dikenal dalam praktek hukum Islam. Mediasi adalah istilah baru, yang di dalam Islam ia dapat disebut dengan tahkim namun pengertiannya sedikit berbeda. Tahkim berasal dari bahasa Arab yang artinya ialah ”menyerahkan putusan pada seseorang dan menerima putusan itu”. Tahkim dimaksudkan sebagai upaya untuk menyelesaikan sengketa dimana para pihak yang terlibat dalam sengketa diberi kebebasan untuk memilih seorang hakam (mediator) sebagai penengah atau orang yang di anggap netral yang mampu mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa.8

Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad menawarkan proses penyelesaian sengketa dipengadilan melalui dua cara, yaitu pembuktian fakta hukum (adjudikasi), dan penyelesaian melalui perdamaian (islah). Didalam Islam mediasi dikenal pula dengan istilah sulh, sulh adalah kehendak para pihak yang bersengketa untuk membuat kesepakatan damai. Akad sulh yang dibuat para pihak harus diberitahukan kepada hakim, agar hakim tidak melanjutkan proses penyelesaian sengketa melalui pembuktian fakta adjudikasi. Akadsulh ini akan dibuat penetapan oleh hakim, agar dapat dilaksanakan oleh para pihak. Keberadaan sulh sebagai upaya damai dalam penyelesaian sengketa telah diterangkan dalam Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW. Dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 114 dan 128 :

8

Potret Mediasi dalam Islam, oleh Siti Juwariyah, S.HI. (Calon Hakim Agama PA Balikpapan Kalimantan Timur), diakses pada 6 Agustus 2010 dari WWW.BADILAG.NET.


(30)





















































)

/

:

114

(

Artinya:

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan barangsiapa yang berbuat demikian Karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar.”( Q.S. 4 (An-Nisa’) ayat : 114)



























































)

ء ﺎ ﺴ ﻨ ﻟ ا

/

:

128

(

Artinya:

“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”( Q.S. 4 (An-Nisa’) ayat : 128)

Hal senada juga dijelaskan Nabi Muhammad: Dari ‘Amr bin ‘Auf Al-Muzzani, bahwasannya Rasulullah saw. Bersabda :


(31)

25

ﻦﻋ

ِﺮﻤﻋ

ِﻦﺑ

ٍﻑﻮﻋ

َﺍ

ﱢﻧﺰُْْْﳌ

ََﺍﻥ

َﻝﻮﺳﺭ

ِ

ﱠﻞﺻ

ُ

ِﻪﻴَﻠﻋ

ﻢﱠﻠﺳﻭ

َﻝﺎَﻗ

)

ﺢْﻠﺼﻟَﺍ

ٌﺯِﺀﺂـﺟ

ﻦﻴﺑ

ﻦﻴِﻤِﻠﺴﻤْﻟﺍ

ﱠﻻِﺍ

ﺎﺤْﻠﺻ

ﻡﺮﺣ

ﻼﺣ

ًﻻ

ﻭَﺍ

ﱠﻞﺣَﺍ

ﻣﺍﺮﺣ

ِﻠﺴﻤْﻟﺍﻭ

ﻥﻮﻤ

َﻠﻋ

ﻢِﻬِﻃﻭﺮﺷ

ﱠﻻِﺍ

ﺎًﻃﺮﺷ

ﻡﺮﺣ

ﻼﺣ

ًﻻ

ﻭَﺍ

ﱠﻞﺣَﺍ

ﺎﻣﺍﺮﺣ

(

)

ﻩﺍﻭﺭ

ﻯﺬﻣﱰﻟﺍ

(

9

“perdamaian itu halal antara orang-orang Islam kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan orang-orang Islam (wajib) berpegang dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang

mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”. (HR. Tirmidzi)10

Menurut Umar Ibn Khattab, beliau mewajibkan hakim pada masanya untuk mengajak para pihak melakukan perdamaian (islah), baik pada awal proses perkara diajukan kepadanya, maupun pada masa persidangan yang sedang berjalan di pengadilan. Hakim tidak boleh membiarkan para pihak tidak menempuh upaya damai. Hakim harus proaktif dan mendorong para pihak mewujudkan kesepakatan damai dalam sengketa mereka. Penegasan Khalifah Umar Ibn Khattab ini di ketahui dari surat yang ditulisnya kepada Abu Musa as-‘Asyari, seorang hakim di Kufah. Umar Ibn Khattab menulis surat yang berisi prinsip pokok beracara di pengadilan.

Salah satu prinsip yang dibebankan kepada hakim adalah prinsip sulh. Hakim wajib menjalankan sulh kecuali sulh yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Umar berpandangan bahwa kewajiban ini harus dilakukan hakim, karena melalui upaya damai (islah) keadilan dapat diwujudkan bagi para pihak. Putusan dan mahkamah yang mengikat para

9

At - Tirmidzi,Sunan Tirmidzi Juz 5, ( Kairo: Dar al Hadits, 2001), h.199 10

A.Hassan,Tarjamah bulughul maram ibnu hajar al-‘asqalani, (Bandung: cv Diponegoro, 2006), hal.387.


(32)

pihak tidak dapat memuaskan hati kedua belah pihak, karena putusan tersebut dibuat berdasarkan fakta dan bukti yang telah menempatkan para pihak dalam keadaan menang atau kalah.11 Umar Ibn Khattab sangat menjunjung tinggi sulh ini diterapkan di pengadilan, karena pengadilan membuat putusan yang tidak mungkin dapat memuaskan keinginan para pihak yang bersengketa. Putusan pengadilan cenderung meninggalkan kesan yang tidak baik antar para pihak dan dendam diantara keduanya. Umar berujar; “kembalilah wahai para pihak yang bertikai untuk berdamai, karena putusan yang dibuat mahkamah (pengadilan) akan meninggalkan kesan dendam.”12

Dalam kategorisasi hukum, perkara hukum atau sengketa yang dapat diajukan upaya damai atausulhadalah perkara yang berkaitan dengan hukum privat, terutama yang berkaitan dengan harta dan keluarga (mu’amalah wa ahwal al-syakhsiyah). Sedangkan dalam hukum publik atau perkara pidana seperti zina, qadhaf, pencurian, minuman khamar, dan lain-lain tidak dapat dilakukan upaya damai, karena disitu terdapat hak Allah secara murni.13

Islah atausulh akan menjadi payung bagi masyarakat untuk mewujudkan keadilan dan kedamaian. Karena dalam sulh para pihak berpartisipasi aktif untuk mengupayakan jalan keluar terhadap sengketa yang dihadapinya.

11

Syahrizal Abbas, Mediai Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.162

12

Syahrizal Abbas, Mediai Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.163

13

Wahbah az-Zuhaily,Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz 5, (Beirut, Dar al-Fikr, 2003), h.295-297


(33)

27

Bahkan dalam penerapannya, keterlibatan pihak ketiga sangat membantu penyelesaian sengketa. Oleh karena itu, dalam hukum syariah,sulhmerupakan payung dari sejumlah bentuk penyelesaian sengketa dengan cara damai baik di pengadilan maupun di luar pengadilan.14

2. Ruang Lingkup Mediasi

Mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa memiliki ruang lingkup utama berupa wilayah privat/perdata. Sengketa-sengketa perdata berupa sengketa keluarga, waris, kekayaan, kontrak, perbankan, bisnis, lingkungan hidup dan berbagai jenis sengketa perdata lainnya dapat diselesaikan melalui jalur mediasi. Dalam perundang-perundangan Indonesia ditegaskan ruang lingkup sengketa yang dapat dijalankan kegiatan mediasi.

Ditegaskan dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) RI No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan pasal 2 disebutkan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib terlebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Ketentuan pasal ini menggambarkan bahwa ruang lingkup sengketa yang dapat di mediasi adalah seluruh perkara perdata yang menjadi kewenangan peradilan umum dan peradilan agama pada tingkat pertama. Kewenangan peradilan agama meliputi perkara perkawinan, kewarisan, wakaf, hibah, sedekah, wasiat dan ekonomi Islam.

14

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.165


(34)

3. Tujuan dan Manfaat Mediasi

Tujuan dilakukan mediasi adalah menyelesaikan sengketa antara para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan imparsial. Mediasi dapat mengantarkan para pihak pada perwujudan kesepakatan damai yang permanen dan lestari, mengingat penyelesaian sengketa melalui mediasi menempatkan kedua belah pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenangkan atau pihak yang dikalahkan (win-win solution).15

Mediasi dapat memberikan sejumlah keuntungan antara lain:

a. Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa secara cepat dan relatif murah dibandingkan dengan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan atau ke lembaga arbitrase.

b. Mediasi akan memfokuskan perhatian para pihak pada kepentingan mereka secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologi mereka, sehingga mediasi bukan hanya tertuju pada hak-hak hukumya.

c. Mediasi memberikan kesempatan para pihak untiuk berpartisipasi secara langsung dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka.

d. Mediasi memberikan para pihak kemampuan untuk melakukan control terhadap proses dan hasilnya.

15

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.24


(35)

29

e. Mediasi dapat mengubah hasil, yang dalam litigasi dan arbitrase sulit diprediksi, dengan suatu kepastian melalui suatu konsensus.

f. Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan saling pengertian yang lebih baik antara para pihak yang bersengketa karena mereka sendiri yang memutuskannya.

g. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir selalu mengiringi setiap putusan yang bersifat memaksa yang dijatuhkan oleh hakim di pengadilan atau arbiter pada lembaga arbitrase.16

Nilai yang menjadi tujuan akhir penyelesaian sengketa, antara lain; nilai kemuliaan, keadilan sosial, rahmah, ihsan, persaudaraan, dan martabat kemanusiaan.17

4. Prinsip– prinsip Mediasi

Prinsip dasar (basic principles) adalah landasan filosofis dari terselanggaranya kegiatan mediasi. Prinsip atau filosofi ini merupakan kerangka kerja yang harus diketahui oleh mediator, sehingga dalam menjalankan mediasi tidak keluar dari arah filosofi yang melatarbelakangi lahirnya institusi mediasi.

16

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.26

17

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.128


(36)

David Spencer dan Michael Brogan merujuk pada pandangan Ruth Carlton tentang 5 prinsip mediasi. Kelima prinsip tersebut adalah; prinsip kerahasiaan (confidentiality), prinsip sukarela (volunteer), prinsip pemberdayaan (empowewrment), prinsip netralitas (neutraliti), dan prinsip solusi yang unik (a unique solution).18

Prinsip pertama mediasi adalah kerahasiaan atau confidentiality. Kerahasiaan yang dimaksud disini adalah bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh moderator dan pihak-pihak yang bersengketa tidak boleh disiarkan kepada publik atau pers oleh masing-masing pihak.

Prinsip kedua, volunteer (sukarela). Masing-masing pihak yang bertikai datang ke mediasi atas keinginan dan kemauan mereka sendiri secara sukarela dan tidak ada paksaan dan tekanan dari pihak-pihak lain atau pihak luar.

Prinsip ketiga, pemberdayaan atau empowerment. Prinsip ini di dasarkan pada asumsi bahwa orang yang mau datang ke mediasi sebenarnya mempunyai kemampuan untuk negosiasikan masalah mereka sendiri dan dapat mencapai kesepakatan yang mereka inginkan.

Prinsip keempat, netralitas (neutrality). Didalam mediasi, peranan seorang mediator hanya memfasilitasi prosesnya saja, dan isinya tetap menjadi milik

18

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.28


(37)

31

para pihak yang bersengketa. Mediator hanyalah berwenang mengontrol proses berjalan atau tidaknya mediasi.

Prinsip kelima, solusi yang unik (a unique solution). Bahwasannya solusi yang dihasilkan dari proses mediasi yang dihasilkan dari proses mediasi tidak harus sesuai dengan standar legal, tetapi dapat dihasilkan dari proses kreativitas.

5. Model– model Mediasi

Lawrence Boulle, seorang professor dalam ilmu hukum dan Directur Dispute Resolution Centre-Bond University, menyebutkan ada empat model mediasi, yaitu :

Settlement mediation merupakan mediasi yang tujuan utamanya adalah untuk mendorong terwujudnya kompromi dari tuntutan kedua belah pihak yang sedang bertikai. Fasilitative mediation, yang bertujuan untuk menghindarkan para pihak yang bersengketa dari posisi mereka dan menegosiasikan kebutuhan dan kepentingan para pihak dari hak-hak legal mereka secara kaku. Transformative mediation, Mediasi yang menekankan untuk mencari penyebab yang mendasari munculnya permasalahan antara para pihak yang bersengketa, dengan pertimbangan untuk meningkatkan hubungan diantara mereka melalui pengakuan dan pemberdayaan sebagai dasar resolusi konflik dari pertikaian yang ada. Evaluative mediation, merupakan model mediasi yang bertujuan untuk mencari kesepakatan berdasarkan hak-hak legal


(38)

dari para pihak yang bersengketa dalam wilayah yang diantisipasi oleh pengadilan.19

B. Gugatan Rekonvensi 1. Pengertian Gugatan

Perkara yang diperiksa di Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama ada dua macam, yaitu permohonan (voluntair) dan gugatan (kontentieus). Dalam perkara permohonan, sifat persidangannya tidak mempertentangkan pihak-pihak yang bersengketa antara Pemohon dan Termohon, dan produk hukum yang dihasilkan dalam perkara permohonan yaitu berupa penetapan (Beschikking). Adapun gugatan merupakan suatu perkara yang mengandung sengketa atau konflik antara pihak-pihak yang menuntut pemutusan dan penyelesaian Pengadilan.20 Berbeda dengan permohonan, produk hukum yang dihasilkan dalam perkara gugatan yaitu berupa putusan atauvonis.

Menurut Yahya Harahap, kedua bentuk perkara itu dapat disebut gugatan yang dalam bahasa sehari-hari lazim disebut gugatan permohonan dan gugatan biasa. Dalam perundang-undangan, istilah yang dipergunakan adalah gugatan perdata atau gugatan saja.21

19

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.32

20

Cik Hasan Bisri,Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 229

21

Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, pembuktian dan Putusan Pengadilan, (Jakarta, Sinar Grafindo, 2006), h. 47


(39)

33

2. Pengertian Gugatan Rekonvensi

Bertitik tolak dari kontruksi gugatan sederhana seperti sebelumnya, dalam proses peradilan dapat terjadi pula gugatan rekonvensi. Pemahamannya sederhana, pengertian gugatan utamanya disebut gugatan konvensi, sedangkan pihak tergugat dalam kerangka mempertahankan haknya diperkenankan oleh undang-undang untuk melakukan gugatan balik, yakni gugatan rekonvensi.22

Rekonvensi (latin), aslinya reconventio, berarti tuntutan balasan, tuntutan balik, tuntutan tergugat dalam rekonvensi. Tergugat dalam konvensi menjadi penggugat dalam rekonvensi.23

Dalam kamus hukum istilahrekoventie diartikan gugatan kembali, gugatan balasan; dalam memberi jawaban terhadap tuntutan atau gugatan penggugat, jadi tergugat menggugat kembali (rekonvensi).24

Gugatan rekonvensi adalah gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan antara mereka.25

Menurut Pasal 132 a ayat (1) HIR makna rekonvensi adalah “gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang

22

Henny Mono,Praktik Berperkara Perdata, (Malang : Bayu Media, 2007), h. 31

23

Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama, (Bandung: CV Mandar Maju, 2008), h. 111.

24

J. C. T. Simorangkir, Dkk,Kamus Hukum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 144.

25

Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2002), h. 99.


(40)

diajukan penggugat kepadanya, dan gugatan rekonvensi itu diajukan tergugat kepada pengadilan pada saat berlangsung proses pemeriksaan gugatan yang diajukan penggugat” dimana maknanya hampir sama dengan yang dirumuskan dalam pasal 244 Rv, yang mengatakan ”gugatan rekonvensi adalah gugatan balik yang diajukan tergugat terhadap penggugat dalam suatu proses perkara yang sedang berjalan.”26

M. Yahya Harahap mengatakan bahwa pada masa belakangan ini, baik praktek hukum dan yurisprudensi, lebih sering menggunakan istilah aslinya, yakni gugatan rekonvensi, dan istilah ini sudah lebih umum penggunaannya di kalangan praktisi hukum dan dirasakan sudah menjadi khazanah perbendaharaan hukum nasional.27

3. Gugatan Rekonvensi dalam Perceraian

Pasal 66 ayat 5 UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa “permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan” dan Pasal 86 ayat 1 menyatakan pula bahwa“gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama

26

Muhammad Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, (Jakarta:Sinar Grafindo, 2006), h. 468.

27

Abdul Manaf,Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama, (Bandung : CV Mandar Maju. 2008), h. 112.


(41)

35

dengan gugatan perceraian ataupun sesudah perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap”. Ketentuan tersebut pada dasarnya mengatur tentang kemungkinan penggabungan permohonan cerai talak atau cerai gugat dengan masalah sengketa penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama.

Tujuan dari dibolehkannya penggabungan itu telah ditentukan sendiri oleh penjelasan Pasal 86 ayat 1, yang menyatakan bahwa hal tersebut adalah demi tercapainya“prinsip bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”.28 Kebolehan penggabungan ini sebagai langkah maju dan disinilah letak kejelian UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Dengan dibolehkannya oleh Pasal 66 ayat 5 dan Pasal 86 ayat1 UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama untuk menggabungkan cerai talak atau cerai gugat dengan pembagian harta bersama, maka berarti masalah pembagian harta bersama itu juga dapat diajukan gugatan rekonvensi berhadapan dengan gugatan konvensi perceraian, karena antara gugat perceraian sebagai perkara pokok sangat erat jalinan kaitannya dengan gugat pembagian harta bersama.

Soal penguasaan anak, nafkah anak, dan nafkah isteri. Sebagaimana diketahui bahwa menurut UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama,

28

Abdul Manaf,Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama, h. 121


(42)

perceraian itu dibedakan antara cerai talak diatur dalam Pasal 66 sampai dengan Pasal 72, dan cerai gugat diatur dalam Pasal 73 sampai dengan Pasal 86. Dalam cerai talak, ketentuan yang mengatur soal penguasaan anak, nafkah anak, dan nafkah isteri, terdapat dalam Pasal 66 ayat 5 yang dapat dipahami bahwa andaikan dalam kasus cerai talak, dimana isteri berkeinginan untuk memelihara anaknya dan sekaligus pula hendak menuntut biaya hidup bagi anaknya itu dari suaminya, karena mungkin suami menguasai anaknya pada saat gugatan cerai diajukan, maka dalam hal ini isteri dapat mengajukan hal itu sebagai gugatan rekonvensi, demikian juga halnya dengan nafkah untuk dirinya, isteri dapat menempuh cara yang sama.

C. Proses Mediasi dalam Perkara Perceraian

1. Pengertian dan Maksud Mediasi dalam Perkara Perceraian

Pengertian mediasi dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) RI No.1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan adalah “cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator” (Pasal 1 butir 7). Pengertian ini menekankan pada satu aspek penting yang mana mediator proaktif mencari berbagai kemungkinan penyelesaiain sengketa. Mediator harus mampu menemukan alternatif - alternatif penyelesaian sengketa. Ia tidak hanya terikat dan terfokus pada apa yang dimiliki oleh para pihak dalam penyelesaian sengketa mereka.


(43)

37

Upaya damai wajib dilakukan disetiap persidangan, akan tetapi proses mediasi cukup sekali saja pada saat diawal pada saat para pihak hadir di persidangan, mediasi dianjurkan seterusnya setelah di awal persidangan tetapi tidak diwajibkan. Untuk perkara perceraian umumnya sekali dilakukan mediasi, namun untuk perkara selain perceraian misalnya perkara waris, harta bersama, pembatalan wakaf, bisa lebih dari sekali.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang kemudian diamandemen dengan UU No. 3/2006 tentang Peradilan Agama, membawa sejumlah aturan dalam bidang hukum acara, khususnya bagi Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Diantara aturan itu ialah seperti yang termuat dalam Pasal 66 ayat 5 dan Pasal 86 ayat 1, yang pada dasarnya mengatur tentang kemungkinan diadakannya penggabungan permohonan cerai talak atau cerai gugat dengan sengketa penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama.29

Ketentuan pasal 82 ayat (4) UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jis Pasal 31 ayat (2) dan Pasal 21 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 dan KHI Pasal 143 bahwa upaya damai dalam perkara perceraian adalah berlanjut selama proses pemeriksaan berlangsung dan mulai dari sidang pertama sampai tahap putusan belum

29

Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama, h.127


(44)

dijatuhkan. Oleh karena itu, pada setiap kali pemeriksaan sidang berlangsung, hakim tetap dibebani fungsi mengupayakan perdamaian.

2. Dasar Hukum Mediasi

Dalam Pasal 4 Ayat (2) dan Pasal 5 Ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan “peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan”. Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Dalam kaitan dengan penyelesaian sengketa dengan upaya damai ditegaskan dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam Pasal 56 disebutkan“pengadilan tidak boleh menolak untuk memutus atau memeriksa suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutuskannya”. Keputusan yang diambil hakim tidak menutup kemungkinan usaha penyelesaian perkara secara damai.

Prinsip-prinsip umum tatacara upaya perdamaian di pengadilan tercantum dalam Pasal 65 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang isinya persis sama dengan rumusan Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.30 Pasal 115, 131, 143, dan 144 KHI, serta Pasal 31 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974. Ketentuan yang

30

Jaih Mubarok, dan Nurlailatul Musyafalah dkk,Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung : Pustaka Bani Quiraisy, 2004), h,138


(45)

39

termuat dalam pasal-pasal ini meminta hakim untuk berusaha mendamaikan para pihak sebelum perkara mereka diputuskan. Upaya hakim tidak hanya dilakukan hakim pada saat permulaan sidang, tetapi juga pada setiap proses pemeriksaan perkara. Hakim dituntut selalu menawarkan upaya damai dalam setiap proses peradilan, karena penyelesaian perkara melalui kesepakatan damai jauh lebih baik.31

Pada sidang pertama atau sebelum proses mediasi dilakukan, hakim wajib memberikan penjelasan kepada para pihak mengenai prosedur dan biaya mediasi. Hal ini penting agar para pihak dapat mengetahui mekanisme, prosedur dan biaya mediasi yang harus dikeluarkan dalam proses mediasi.

Dasar hukum mediasi terdapat dalam dasar hukum Negara Indonesia yaitu Pancasila, dimana dalam filosofinya tersiratkan bahwa penyelesaian sengketa adalah musyawarah mufakat, hal tersebut juga tersirat dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Dinyatakan pula dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman. Pasal 3 ayat 2 menyatakan “Peradilan Negara menerapkan dan menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila”. Dalam Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 Rbg mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai. Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi: “Jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka

31

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.293


(46)

pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka”.32 jadi dari hukum acara yang berlaku ini mengatur agar para pihak menempuh proses perdamaian yang dapat di intensifkan dengan cara mengintegrasikan proses perdamain ini. Selain itu terdapat pula ketentuan dalam pasal 130 HIR maupun pasal 154 RBG yang menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan pasal 2 yang disebutkan bahwa: “Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 130 HIR dan atau pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum”.

Peraturan tentang mediasi ini terdapat pada Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) Nomor 1 Tahun 2002, kemudian direvisi dengan Perma Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, terakhir disempurnakan lagi dengan lahirnya Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Sebagaimana dalam Pasal 4 Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang menyatakan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu di upayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator.

32

Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, h. 238


(47)

41

3. Prosedur dan Tahapan Mediasi

Prosedur dan tahapan mediasi di pengadilan diatur dalam Pasal 3 sampai Pasal 14 Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Mediasi di pengadilan dibagi dalam dua tahap yaitu tahap pra mediasi dan tahapan pelaksanaan mediasi. Tahap pramediasi adalah tahap dimana para pihak mendapatkan tawaran dari hakim untuk menggunakan jalur mediasi dan para pihak menunjuk mediator sebagai pihak ketiga yang akan membantu menyelesaikan sengketa mereka.33

Dalam pramediasi, hakim memberikan waktu untuk memilih mediator 2 (dua) hari kerja sejak hari pertama sidang. Dalam Pasal 11 Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa para pihak diwajibkan oleh hakim pada sidang pertama Para pihak segera menyampaikan mediator terpilih kepada ketua majelis hakim, dan ketua majelis hakim memberitahukan mediator untuk melaksanakan tugas tugasnya. Bila dalam masa 2 (dua) hari sejak sidang pertama, para pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator, maka para pihak wajib menyampaikan kegagalan mereka memilih mediator kepada majelis hakim, dan ketua majelis hakim segera menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada pengadilan yang sama untuk menjalankan fungsi mediator.

33

Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), h.322


(48)

Proses mediasi dapat berlangsung selama 40 (empat puluh) hari sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim, sebagaiamana tercantum dalam Pasal 13 ayat (3) Perma No.1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Atas dasar kesepakatan para pihak, masa proses mediasi dapat diperpanjang selama 14 (empat belas) hari sejak berakhirnya masa 40 (empat puluh) hari. Selama proses mediasi berlangsung sebagaimana terdapat dalam Pasal 13 ayat (4) Perma No.1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, mediator berkewajiban menyiapkan jadwal mediasi, mendorong para pihak secara langsung berperan dalam proses mediasi, dan bila dianggap perlu dapat melakukan kaukus.34 “Kaukus adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak lain”(Pasal 1 ayat (4) Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan). Bila para pihak tidak mencapai kesepakatan dalam masa 40 (empat puluh) hari sejak para pihak memilih mediator wajib menyampaikan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal, dan memberitahukan kegagalan mediasi kepada hakim, segera setelah menerima pemberitahuan tersebut, maka hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku.35

34

Abbas,Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h. 314

35

Abbas,Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h. 315


(49)

43

Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, maka para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang ditanda tangani oleh para pihak. Kesepakatan tersebut memuat antara lain, nama lengkap dan tempat tinggal para pihak, nama lengkap dan tempat tinggal mediator, uraian singkat masalah yang dipersengketakan, pendirian para pihak, pertimbangan dan kesimpulan dari mediator, pernyataan kesediaan melaksanakan kesepakatan, pernyataan kesediaan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak bersedia menanggung semua biaya mediasi (bila mediator berasal dari luar pengadilan), larangan pengungkapan dan/atau pernyataan yang menyinggung atau menyerang pribadi, kehadiran pengamat atau tenaga ahli (bila ada), larangan pengungkapan catatan dari proses serta hasil kesepakatan, tempat para pihak melaksanakan perundingan (kesepakatan), batas waktu pelaksanaan isi kesepakatan dan klausul pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai.36

Proses mediasi di pengadilan baik yang mencapai kesepakatan maupun yang tidak mencapai kesepakatan (gagal), mediator tetap harus memberitahukan kepada hakim dalam masa waktu 22 hari kerja sejak pemilihan atau penunjukan mediator. Pemberitahuan dimaksudkan agar hakim dapat mengetahui apakah sidang terhadap perkara yang sedang dimediasi dilanjutkan atau sudah dapat ditutup. Bila kesepakatan diperoleh, maka hakim

36


(50)

akan mengakhiri proses sidang di pengadilan, sebaliknya bila mediasi tidak tercapai kesepakatan, maka sidang akan terus dilanjutkan di mana hakim akan melanjutkan pemeriksaan perkara berdasarkan hukum acara yang berlaku.37

Dalam Pasal 13 Perma No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa “jika para pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara bersangkutan atau perkara lainnya”. Ketentuan Pasal 13 menggambarkan bahwa proses mediasi adalah proses rahasia dan tertutup, dimana publik tidak dapat mengetahui pokok persengketaan yang terjadi diantara pihak. Kerahasiaan inilah yang membedakan proses mediasi dengan proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Proses penyelesaian perkara di pengadilan menganut asas terbuka untuk umum.38

4. Peran Mediator dalam Proses Mediasi

Dari ketentuan Pasal 1 Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dapat dipahami bahwa esensi dari mediasi adalah perundingan antara para pihak bersengketa yang dipandu oleh pihak ketiga (mediator). Perundingan akan menghasilkan sejumlah kesepakatan yang dapat mengakhiri persengketaan. Mediator dalam memediasi para pihak bertindak

37

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h. 328

38


(51)

45

netral dan tidak memihak kepada salah satu pihak. Dengan bekal berbagai kemampuan yang dimiliki mediator diharapkan mampu melaksanakan perannya untuk menganalisis dan mendiagnosis suatu sengketa tertentu kemudian mendesain serta mengendalikan proses mediasi untuk menuntun para pihak mencapai suatu kesepakatan yang sehat.

Mediator yang bertugas di pengadilan dapat saja berasal dari hakim pengadilan atau dari mediator luar pengadilan. Hakim mediator adalah hakim yang menjalankan tugas mediasi setelah ada penunjukan dari ketua majelis hakim. Hakim yang bertindak sebagai mediator bukanlah hakim yang menangani perkara yang sedang dimediasi, tetapi hakim lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan perkara yang sedang diperiksa.

Disamping itu, mediator di pengadilan dapat pula berasal dari pihak luar, yang ditunjuk oleh para pihak. Pihak luar yang bertindak sebagai mediator di pengadilan harus memiliki keterampilan mediasi yang bersertifikat sebagai mediator. Dalam pasal 6 perma 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa “mediator pada setiap pengadilan berasal dari kalangan hakim dan bukan hakim yang telah memiliki sertifikat mediator”. Setiap pengadilan memiliki sekurang-kurangnya dua orang mediator, dan pengadilan juga wajib memiliki daftar mediator beserta riwayat hidupnya dan pengalaman kerja mediator serta mengevaluasi daftar tersebut setiap tahun. Mediasi yang dilakukan oleh hakim (hakim mediator) cukup penting


(52)

mengingat hakim diwajibkan oleh undang-undang untuk mengupayakan damai antara para pihak yang bersengketa.

Hakim tidak dibenarkan melakukan proses acara dengan mengabaikan upaya damai. Upaya damai melalui proses mediasi dapat dilakukan hakim pada setiap proses beracara, pada tingkat pertama. Hakim melakukan upaya damai secara terus-menerus dalam setiap proses pemeriksaan perkara yang ia tangani.39 Hakim harus bersedia menjadi mediator, bila ia diminta para pihak untuk menyelesaikan perkara mereka melalui jalur mediasi.

Dalam praktik, beberapa peranan penting yang harus dilakukan mediator antara lain adalah sebagai berikut:

a. Melakukan diagnosis konflik;

b. Mengidentifikasi masalah serta kepentingan-kepentingan kritis para pihak;

c. Menyusun agenda;

d. Memperlancar dan mengendalikan komunikasi;

e. Mengajar para pihak dalam proses dan keterampilam tawar-menawar; dan

f. Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting, dan menciptakan pilihan-pilihan untuk memudahkan penyelesaian problem.

39

Abbas,Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.318


(53)

47

g. Sebagai pihak netral yang melayani kedua belah pihak, mediator berperan melakukan interaksi dengan para pihak, baik secara bersama atau secara individu, dan membawa mereka pada tiga tahap sebagai berikut: Memfokuskan pada upaya membuka komunikasi di antara para pihak; Memanfaatkan komunikasi tersebut untuk menjembatani atau menciptakan saling pengertian di antara para pihak (berdasarkan persepsi mereka atas perselisihan tersebut dan kekuatan serta kelemahan masing-masing); dan Memfokuskan pada munculnya penyelesaian sengketa.40

Dalam kaitan itu, tugas mediator adalah mengarahkan dan memfasilitasi lancarnya komunikasi dan membantu para pihak agar memperoleh pengertian tentang perselisihan secara keseluruhan sehingga memungkinkan setiap pihak membuat penilaian yang objektif. Dengan bantuan dan bimbingan mediator, para pihak bergerak ke arah negosiasi penyelesaian sengketa mereka. Meskipun salah satu atau kedua belah pihak sudah mengetahui cara kerja mediasi dan peran yang harus dilakukan mediator, akan sangat bermanfaat apabila mediator menjelaskan semua di hadapan kedua belah pihak dalam sebuah pertemuan. Penjelasan itu terutama berkaitan dengan identitas dan pengalaman mediator, sifat netral mediator, proses mediasi, mekanisme pelaksanaannya, kerahasiaannya, dan hasil-hasil dari mediasi.41

40

Soemartono,Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, h.137

41


(54)

D. Proses Perkara Rekonvensi

Bertitik tolak dari kontruksi gugatan sederhana seperti sebelumnya, dalam proses peradilan dapat terjadi pula gugatan rekonvensi. Pemahamannya sederhana, pengertian gugatan utamanya disebut gugatan konvensi, sedangkan pihak tergugat dalam kerangka mempertahankan haknya diperkenankan oleh undang-undang untuk melakukan gugatan balik, yakni gugatan rekonvensi. Dalam konteks gugatan rekonvensi itu menyangkut dalil-dalil yang dikemukakan di dalam pundamentum petendi atau disebut juga posita gugatan, maupun petitum-nya. Menurut Pasal 132 a HIR/Pasal 157 RBg dipersilakan.42

Gugatan asal disebut “gugatan dalam conventie”. Tergugat asal adakalanya akan menggunakan sekaligus dalam kesempatan berperkara itu untuk menggugat kembali kepada penggugat asal, sehingga tegugat asal sekaligus menjadi penggugat dalamreconventie.43

42

Henny Mono,Praktik Berperkara Perdata, (Malang : Bayu Media, 2007), h. 31 43

Roihan A Rasyid, ,Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2002), h.70


(55)

49

BAB III

PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEPOK PERKARA NOMOR 1155/Pdt.G/2008/PA.DPK

A. Duduk Perkara

1. Para Pihak (Pemohon/temohon)

Tentang para pihak pada Putusan Nomor Perkara 1155/Pdt.G/2008/PA Dpk. Bahwa dalam Perkara Cerai Talak pihak Pemohon adalah Suami, selanjutnya disebut sebagai pihak “Pemohon” dalam konvensi atau sebagai

“Tergugat Rekonvensi” dalam rekonvensi. Sebagai pihak Termohon adalah Istri, selanjutnya disebut sebagai pihak “Termohon” dalam konvensi atau sebagai“Penggugat Rekonvensi”dalam rekonvensi.

Pemohon dan Termohon telah melakukan Perkawinan pada tanggal 20 Juli 1983 di hadapan Pegawai Pencatat Nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan Gondoman Yogyakarta dengan Kutipan Akta Nikah Nomor 26/5/VII/1983. Perkawinan Pemohon dan Termohon adalah berdasarkan suka sama suka, tidak ada paksaan dari pihak manapun dengan tujuan membentuk keluarga bahagia berdasarkan kasih sayang dan saling menghormati. Selama Perkawinan Pemohon dan Termohon telah dikaruniai dua orang anak, anak pertama (almarhumah) lahir di Jakarta pada tanggal 16 April 1984, wafat di Jakarta pada tanggal 16 Oktober 2007, dan anak kedua lahir di Jakarta pada


(56)

tangal 12 April 1988. Awal perkawinan hubungan antara Termohon dan Pemohon masih berjalan dengan baik, namun sejak anak pertama mereka meninggal dunia, Termohon lebih sering tidur di kamar anak sehingga Pemohon merasa diabaikan oleh Termohon. Termohon telah berulang kali memohon maaf kepada Pemohon, namun Pemohon tidak mau memaafkan Termohon.

Pada tanggal 5 Agustus 2008 Pemohon meninggalkan rumah kediaman bersama, dan antara Pemohon dan Termohon telah terjadi pisah tempat tinggal. Termohon telah berupaya agar Pemohon dapat kembali kerumah semula dan dapat hidup bersama seperti sediakala, namun Pemohon belum kembali lagi kerumah bersama.

Selama tahun 2008 kondisi rumah tangga antara Pemohon dan Termohon tidak harmonis, karena sering terjadi perselisihan dan bertengkar antara Pemohon dan Termohon yang disebabkan sering terjadi perbedaan pendapat yang berkelanjutan. Pemohon menjalin hubungan dengan wanita lain, temannya semasa di SMP dan Pemohon pernah menyampaikan niatnya akan menikah dengan perempuan tersebut kepada Termohon. Termohon pernah menawarkan agar Pemohon melakukan poligami namun Pemohon tidak mau. Pemohon kecewa dengan pelayanan Termohon terhadap Pemohon. Pemohon merasa sudah tidak mencintai Termohon dan berniat menceraikannya. Termohon telah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan jalan atau cara


(57)

51

bermusyawarah atau berbicara dengan Pemohon secara baik-baik tetapi tidak berhasil.

Pada tanggal 30 Agustus 2008 Pemohon telah mengucapkan lafaz talak kepada Termohon di depan anak Pemohon dan Termohon yang kedua. Pemohon atas permintaan Termohon telah menghibahkan seluruh harta (rumah dan mobil), kepada anak Pemohon dan Termohon yang kedua dihadapan Notaris. Rumah tangga Pemohon dan Termohon tidak dapat diharapkan lagi keharmonisannya, serta tidak ada harapan untuk rukun dalam rumah tangga, maka jalan yang paling akhir adalah mengakhiri perkawinan tersebut (bercerai).

2. Isi Gugatan

Pemohon mengajukan permohonan cerai dan agar Majelis Hakim memberi izin kepada Pemohon untuk mengucapkan talak terhadap Termohon di depan sidang Pengadilan Agama Depok setelah putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap. Kemudian agar menetapkan besarnya hak Termohon berdasarkan apa yang telah Pemohon serahkan dan kemampuan serta kondisi finansial Pemohon saat ini.

Termohon dalam tahap rekonvensi sebagai Penggugat Rekonvensi menuntut haknya akibat terjadinya talak yang akan dijatuhkan oleh Tergugat Rekonvensi, meliputi pemberian mut’ah, nafkah iddah, biaya pendidikan


(1)

3. Praktek mediasi dalam perkara rekonvensi dilihat dari indikator atau tolak ukur keberhasilan mediasi ada 2 yaitu perkara dicabut dalam perceraian dan adanya akta perdamaian dalam perkara lain, melihat dari indikator sedikitnya perkara yang putus cerai dan banyaknya perkara perceraian yang dicabut dari daftar perkara atau berhasil didamaikan maka kurang lebih untuk efektivitas mediasi mencapai 5-8% di Pengadilan Agama Depok. Tetapi jika indikator keberhasilan mediasi di lihat sebagai kesamaan pendapat untuk mencari jalan keluar dari persengketaan, berhasilan mediasinya bisa mencapai kurang lebih 60-70%. Adapun faktor yang menentukan keberhasilan mediasi yaitu terdiri dari mediatornya, baik hakim mediator ataupun mediator non hakim, kemudian fasilitas yang mendukung seperti sarana maupun prasarananya yang menunjang berjalannya proses mediasi antara para pihak, serta yang menentukan pula kesadaraan para pihak itu sendiri yang bersengketa ingin atau tidaknya berdamai.

4. Peran hakim mediator dalam proses mediasi dalam perkara rekonvensi di Pengadilan Agama Depok proaktif dan sunguh-sungguh mendorong para pihak untuk memikirkan sejumlah kemungkinan yang dapat dibicarakan guna mengakhiri persengketaan dalam persidangan, namun dalam perkara rekonvensi di Pengadilan Agama Depok hanya menganjurkan mediasi kepada para pihak yang bersengketa saja, tidak mengupayakan perdamaian.


(2)

B. Saran-Saran

Berdasarkan kenyataan yang sudah diuraikan diatas, maka saran yag dapat penulis sampaikan sebagai berikut :

1. Kepada Pengadilan Agama khususnya di Pengadilan Agama Depok dalam menerima, memeriksa dan memutuskan perkara, tetap terus mempertimbangkan peraturan perundangan yang berlaku baik secara materiil maupun formil, dengan adanya sosialisasi dan pelatihan terhadap para Hakim khususnya di Pengadilan Agama.

2. Bahwasanya Hakim mediator khususnya di Pengadilan Agama Depok tetap lebih aktif dalam menggali dan menemukan hukum objektif atau materiil, sunguh-sungguh mendorong para pihak untuk memikirkan sejumlah kemungkinan yang dapat dibicarakan guna mengakhiri persengketaan, mampu menghilangkan konflik atau permusuhan sehingga tidak ada pihak yang dimenangkan atau pihak yang dikalahkan (win-win solution).

3. Bahwasannya dengan perkara yang cukup banyak masuk ke Pegadilan Agama Depok khususnya, agar jumlah Hakim dan Mediator dapat ditingkatkan, serta agar diadakan mediator dari Non Hakim yang bersertifikat.

4. Kepada para aktivis hukum dan para penegak hukum dan juga para akademisi hukum agar lebih mengsosialisasikan mengenai mediasi kepada masyarakat luas, baik melalui ceramah-ceramah, khutbah jum’at, maupun


(3)

seminar-seminar, agar masyarakat luas lebih mengetahui tentang mediasi dan proses mediasi yang ada di Pengadilan Agama.

5. Kepada Pemerintah agar memasukan kurikulum pendidikan Madrasah Aliyah dan Sekolah Menengah Atas tentang Pelajaran yang membahas tentang Mediasi atauIslah, dimana pentingnya perdamaian dalam suatu persengketaan baik di luar pengadilan maupun Pengadilan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Syahrizal,MEDIASI Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009. Abdurrahman,Himpunan Peraturan Perundang-undangan No.1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, (Jakarta: Akademika Presindo), 1986, cet I Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992. Abi Abdullah bin Yazid Al-Qazwainiy, Sunan Ibnu Majah, Beirut, Lebanon:

Daar el-Fikr, 1994

Adi Rianto,Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2004 Al-Quran dan Terjemahnya, Depag RI.

Arifin, Jaenal, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi hukum di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Arto, Mukti, Praktik Perkara Perdata Pengadilan Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006.

At-Tirmidzi,Sunan Tirmidzi Juz 5, Kairo : Dar al Hadits, 2001

Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 2001.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1998.

Emirzon, Joni. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan: Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Hassan, A. Tarjamah bulughul maram ibnu hajar al-‘asqalani, Bandung, cv Diponegoro, 2006.

Hasan, Bisri Cik. Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999.


(5)

Harahap, Muhammad Yahya, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafindo, 2006.

J. C. T. Simorangkir, Dkk,Kamus Hukum, Jakarta : Bumi Aksara, 1995. Lubis Sulaikin dkk,Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama di Indonesia,

Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008

Manaf, Abdul, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama, Bandung : CV Mandar Maju. 2008.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Surabaya : Kencana Prenada Media Group, 2008.

Mertokusumo, Sudikno SH, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty Yogayakarta, 2002.

Mono, Henny SH.Praktik Berperkara Perdata, Malang : Bayu Media, 2007. Mubarok, Jaih dan Nurlailatul Musyafalah dkk, Peradilan Agama di

Indonesia, Bandung : Pustaka Bani Quiraisy, 2004.

Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Semarang : Rajawali Pers, 1995. Rasyid, Roihan A, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta : PT

RajaGrafindo Persada, 2002.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas IndonesiaUI-Press, 1986.

Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta : CV Rajawali, 1985), h.14.

Sunggono Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), Cet. VII,

Soemartono, Gatot.Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2006.

Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari, Terjemah Fathul Mu’in 3, Surabaya : Alhidayah, 1993.


(6)

Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh Islami wa Adillatuh, Damaskus: Dar al-fikr, 2004.

Zein, Satria Effendi M, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta : Kencana Prenada Media, 2004.

WWW.BADILAG.NET www.diahkei.staff.ugm.ac.id, www.padepok.pta-bandung.net