Latar Belakang Masalah Pemberian nafkah IDDAH dalam cerai gugat (analisis putusan perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah swt sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang baik, dan melestarikan hidupnya. 1 Dan juga merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinaan. Orang yang berkeinginan melakukan pernikahan, tetapi belum mempunyai persiapan bekal fisik dan nonfisik dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw untuk berpuasa. Orang berpuasa dapat memiliki kekuatan atau penghalang dari berbuat tercela yang sangat keji, yaitu perzinaan. 2 Perkawinan merupakan bagian dari hukum perdata yang mengatur dan melindungi hak-hak pribadi. Hal tersebut bertitik tolak dari prinsip bahwa kedudukan manusia dilindungi oleh hukum, yang secara keperdataan artinya dilindungi hak-hak pribadinya, sehingga kebebasan hidup manusia untuk memiliki dan menggantikan kepemilikannya tidak merugikan orang lain atau secara pribadi dirinya tidak mengalami kerugian. Sebagaimana dalam hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan yang berakibat adanya hak-hak dan kewajiban 1 Slamet Abidin, Fiqh Munakahat 1, Bandung: Pustaka Setia, 1999, h.9. 2 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, h.7. 1 2 suami istri, harta, perwalian, hubungan anak, harta bersama, hak asuh anak, kewarisan, dan sebagainya. 3 Karena manusia dikodratkan untuk selalu hidup bersama demi kelangsungan hidupnya, timbul satu jenis hukum yang ketentuannya mengatur kehidupan itu yang dinamakan dengan “Hukum Perdata”. Hukum Perdata adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam memenuhi kepentingan dan kebutuhannya, terutama berkaitan dengan kepentingan perseorangan. 4 Hukum Perdata materiil yang ketentuan-ketentuannya mengatur kepentingan perseorangan terdiri atas: Hukum Pribadi, yaitu ketentuan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban dan kedudukannya dalam hukum; Hukum Keluarga, yaitu ketentuan hukum yang mengatur hubungan lahir batin antara dua orang yang berlainan kelamin dan akibat hukumnya; Hukum Kekayaan, yaitu ketentuan hukum yang mengatur hak-hak perolehan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain yang mempunyai nilai uang; Hukum Waris, yaitu ketentuan hukum yang mengatur cara pemindahan hak milik seseorang yang meninggal dunia kepada yang berhak memiliki selanjutnya. 5 Kaitannya dengan hukum keluarga ialah bahwa ketentuan dalam hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan. Salah satu bagian yang amat penting dalam hukum kekeluargaan 3 Imam Taqiyudin Abi Bakr Ibn Muhammad Al-Husaini, Kifayah Al-Akhyar, Beirut: Dar Al-Fikr, 1994, h.88. 4 Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011, h.1. 5 Abdoel Djamal, Pengantar Hukum di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo, 2000, h.135. 3 adalah hukum perkawinan, yang kemudian dibagi dua yaitu hukum perkawinan dan hukum kekayaan perkawinan. Hukum perkawinan adalah keseluruhan peraturan yang berhubungan dengan suatu perkawinan, sedangkan hukum kekayaan perkawinan adalah keseluruhan peraturan yang berhubungan dengan harta kekayaan suami dan istri di dalam perkawinan. 6 Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. 7 Oleh karena itu, pengertian perkawinan dalam ajaran agama islam mempunyai nilai ibadah, sehingga Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah “Akad yang sangat kuat mitsaqan ghalidhan untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah.” Akad nikah yang diucapkan oleh pasangan laki-laki dan perempuan diharapkan akan bertahan selama-lamanya hingga ajal menjemput keduanya, sehingga suami dan istri dapat membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Karenanya ikatan perkawinan antara suami dan istri merupakan ikatan yang paling suci dan paling kokoh. 8 Akan tetapi dalam menjalankan bahtera rumah tangga tentu saja jalannya tidak semulus yang diharapkan dari awal pernikahan, akan ada cobaan dan ujian yang melanda kedua pasangan. Dalam 6 Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011, h. 2. 7 Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 8 H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010, h. 374. 4 Islam, hal yang paling dicintai Allah tentu saja kedamaian antara pasangan suami dan istri. 9 Namun, jika masalah tersebut menjadi sebuah perselisihan yang tidak dapat lagi dipersatukan, maka Islam juga tidak menutup rapat-rapat pintu perpisahan bagi kedua pasangan sebagaimana agama Nasrani menutup pintu perceraian bagi pemeluknya. Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena berbagai hal, antara lain karena terjadinya talaq yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya, atau karena perceraian yang terjadi diantara keduanya, atau karena sebab-sebab yang lainnya. Perceraian merupakan realitas yang tidak dapat dihindari apabila kedua belah pihak telah mencoba untuk mencari penyelesaian dengan jalan damai yakni dengan jalan musyawarah, jika masih belum terdapat kesepakatan dan merasa tidak bisa melanjutkan keutuhan keluarga maka barulah kedua belah pihak bisa membawa permasalahan ini ke pengadilan untuk dicari jalan keluar yang terbaik. Pengadilan merupakan upaya terakhir untuk mempersatukan kembali suami dan isteri yang berniat bercerai tadi dengan jalan membuka lagi pintu perdamaian dengan cara musyawarah memakai penengah yakni hakim, untuk orang yang beragama Islam akan membawa permasalahan ini kepada Pengadilan Agama sementara untuk agama lainnya merujuk kepada Pengadilan Negeri. 10 Secara umum alasan perceraian dalam masyarakat adalah sudah tidak ada lagi kecocokan di antara suami dan isteri yang disebabkan oleh berbagai hal. 9 Amiur Nuruddin dan Azhari A.T, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 11974 sampai KHI, Jakarta: Kencana, 2006. h. 207-208. 10 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008. h. 8-9. 5 Perceraian merupakan suatu perbuatan hukum yang tentunya akan membawa pula akibat-akibat hukum tertentu. Sesuai dengan ketentuan Pasal 144 Kompilasi Hukum Islam KHI, perceraian dapat terjadi karena adanya talak dari suami atau gugatan perceraian yang dilakukan oleh istri, perceraian tersebut hanya dapat dilakukan atas dasar putusan hakim di depan sidang Pengadilan Agama Pasal 115 KHI. Dilihat dari cara mengajukannya, perceraian di pengadilan agama terbagi menjadi dua bentuk yakni cerai talak dan cerai gugat. Cerai talak adalah talak yang diajukan oleh suami ke pengadilan. Dalam prosedur dan prinsip pengajuan cerai talak, masih kental sekali doktrin fiqh yaitu cerai itu merupakan hak mutlak suami. Cerai talak hanya berlaku bagi mereka yang beragama Islam dan di ajukan oleh pihak suami. Cerai talak adalah istilah yang khusus digunakan di lingkungan Peradilan Agama untuk membedakan para pihak yang mengajukan cerai. Dalam perkara talak pihak yang mengajukan adalah suami sedangkan cerai gugat pihak yang mengajukan adalah isteri. Sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 114 bahwa: “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak ataupun berdasa rkan gugatan perceraian.” Tidak seperti dalam doktrin fiqh setiap permohonan cerai yang diajukan oleh istri itu tidak harus dalam bentuk khulu’ yang diikuti dengan pembayaran iwadh. Cerai gugat diajukan dengan alasan-alasan tertentu yang diatur dalam undang-undang. Dalam putusan perkara cerai talak hakim di Pengadilan Agama mewajibkan seorang suami membayar nafkah iddah kepada mantan istrinya. Sedangkan untuk putusan cerai gugat dalam hukum fiqh tidak memberikan nafkah 6 iddah bagi mantan istri karena istri dianggap nuzyuz. Namun dalam putusan cerai gugat di Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengenai kasus cerai gugat hakim memberikan putusan menjatuhkan talak ba’in kepada suami dan mengabulkan gugatan cerai gugat tersebut dengan membebankan biaya nafkah iddah pada suami. Ada sisi menarik untuk dikaji lebih lanjut tentang nafkah iddah dalam perkara gugat cerai, khususnya dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Istri yang menuntut cerai dari suaminya seharusnya dapat menggugurkan hak- haknya di masa mend atang, seperti hak nafkah selama iddah, mut’ah pemberian dari bekas suami kepada istrinya yang dijatuhi talak berupa uang atau benda lainnya dan mahar yang belum sempat terbayar. Namun dalam prakteknya terdapat kasus bahwa istri yang mengajukan cerai gugat kepada suaminya mendapatkan hak nafkah iddah dan mut’ah dari bekas suaminya. Dari latar belakang tersebut diatas, maka dalam penelitian ini penulis akan membahasnya dalam sebuah karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul, “PEMBERIAN NAFKAH IDDAH DALAM CERAI GUGAT Analisis Putusan Perkara No. 1445Pdt.G2010PA.JS.

B. Identifikasi Masalah