Film Sebagai Media Komunikasi Massa

13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Film Sebagai Media Komunikasi Massa

Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dikemukakan oleh Bittner dalam Ardianto Kumala 2004:3, yakni pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah orang. Sedangkan, Joseph Devito, mengemukakan definisi komunikasi massa ke dalam dua item. Pertama adalah komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar audio atau visual Ardianto Kumala, 2004:6. Pada hakikatnya, seseorang yang melakukan komunikasi melalu media massa perlu mengetahui bahwa terdapat karakteristik-karakteristik tertentu dalam komunikasi massa. Berdasarkan Ardianto Kumala 2004:7-12 komunikasi massa diantaranya memiliki karakteristik sebagai berikut: a Komunikator terlambangkan; b Pesan bersifat umum; c Komunikannya anonim dan heterogen; d Komunikasi massa menimbulkan keserempakan; e Komunikasi mengutamakan isi ketimbang himbauan; f Komunikasi massa bersifat satu arah; g Stimulasi alat indra terbatas; dan h Umpan balik tertunda delayed . Adapun beberapa media komunikasi yang termasuk dalam media massa misalnya radio dan televisi media elektronik, surat kabar dan majalah media cetak, serta film. Sedangkan film yang termasuk kategori media komunikasi commit to user 14 massa adalah film bioskop. Film sendiri pada dasarnya merupakan salah satu media yang menggabungkan antara aspek audio dan visual, meskipun pada awal sejarahnya film tidak mengandung unsur audio film bisu. Karena terdiri dari aspek audio visual , film sekilas terlihat sama seperti televisi, namun yang menjadi perbedaannya adalah televisi cenderung menyampaikan banyak pesan sekaligus kepada audiens, baik melalui program yang mereka sajikan maupun iklan yang mereka tayangkan. Sedangkan film lebih memfokuskan pesannya pada satu inti atau tema cerita yang mencerminkan realita sosial di sekitar tempat film itu diciptakan. Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 Pasal 1 tentang perfilman, film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan. Namun menurut Turner, dalam perkembangan teori film mulai ada upaya dari beberapa teoritisi untuk mencapai perspektif yang lebih mampu menangkap substansi film. Film tak lagi dimaknai sekedar sebagai karya seni film as arts , tetapi lebih dimaknai sebagai praktik sosial Irawanto, 1999:11. Dalam perspektif praktik sosial, film tidak dimaknai sebagai ekspresi seni pembuatnya, tetapi melibatkan interaksi yang kompleks dan dinamis dari elemen- elemen pendukung proses produksi, distribusi maupun eksebisi. Bahkan lebih luas lagi perspektif ini mengansumsikan interaksi antara film dengan ideologi kebudayaan dimana film diproduksi dan dikonsumsi. Perspektif praktik sosial perpustakaan.uns.ac.id commit to user 15 melihat kompleksitas aspek-aspek film sebagai medium komunikasi massa yang beroperasi di dalam masyarakat Irawantoro, 1999:11. Sementara menurut McQuail 1987:13, dalam lingkup komunikasi film berperan sebagai sebuah sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan, serta menyajikan berita, peristiwa, musik, drama, lawak dan sajian teknis lainnya yang mengandung informasi kepada mayarakat umum. Dengan perannya dalam menyebarkan informasi maka film bisa menjadi agen sosialisasi mengenai penggambaran budaya dalam masyarakat. Terkadang peran film sebagai agen sosialisasi mampu mendahului agen- agen sosialisasi tradisional seperti keluarga, sekolah, atau kelompok-kelompok agama, hal ini dikarena film mampu membangun hubungan secara personal dengan individu. Karena bersifat personal, tiap individu akan menanggapi pesan film melalui rangkaian proses psikologi serta pengaruh pengalaman sosial dan budaya yang dimilikinya masing-masing. Selain itu tingkat kecerdasan dan pengetahuan yang dimiliki oleh tiap individu ikut berperan, sehingga tanggapan ataupun dampak yang dialami oleh masing-masing individu tidak harus sama persis terhadap sebuah film yang sama.

2.2. Representasi Sebagai Kontruksi Realitas Dalam Film