Kedudukan Pelaku Usaha dalam Hukum Perlindungan Konsumen

BAB III TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA ATAS KEHALALAN

PRODUK YANG TELAH DISERTIFKASI

A. Kedudukan Pelaku Usaha dalam Hukum Perlindungan Konsumen

Istilah produsen berasal dari bahasa Belanda yakni producent, dalam bahasa Inggris, producer yang artinya adalah penghasil. 98 Produsen sering diartikan sebagai pengusaha yang menghasilkan barang dan jasa. Dalam pengertian ini termasuk di dalamnya pembuat, grosir, leveransir, dan pengecer profesional, yaitu setiap orangbadan yang ikut serta dalam penyediaan barang dan jasa hingga sampai ke tangan konsumen. Dengan demikian, produsen tidak hanya diartikan sebagai pihak pembuatpabrik yang menghasilkan produk saja, tetapi juga mereka yang terkait dengan penyampaianperedaran produk hingga sampai ke tangan konsumen. 99 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak menggunakan istilah produsen namun pelaku usaha. Pengertian pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan 98 N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen, dan Tanggung Jawab Produk Jakarta: Panta Rei, 2005, hlm. 28. 99 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia Bandung Citra: Aditya Bakti, 2010, hlm. 16. 53 usaha dalam berbagai bidang ekonomi. 100 Istilah pelaku usaha adalah istilah yang digunakan oleh pembuat undang- undang yang pada umumnya lebih dikenal dengan istilah pengusaha. Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia ISEI menyebut empat kelompok besar kalangan pelaku ekonomi, tiga diantaranya termasuk kelompok pengusaha pelaku usaha, baik privat maupun publik. Ketiga kelompok pelaku usaha tersebut adalah sebagai berikut: Pelaku usaha disini dapat termasuk adalah perusahaan, korporasi, koperasi, BUMN, koperasi, importer, pedagang, distributor dan lain-lain 101 1. Kalangan investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan, seperti perbankan, usaha leasing, tengkulak, penyedia dana lainnya, dan sebagainya. 2. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang danatau jasa dari barang-barang danatau jasa-jasa lain bahan baku,bahan tambahanpenolong, dan bahan-bahan lainnya. Mereka terdiri atas orangbadan usaha berkaitan dengan pangan, orangbadan yang memproduksi sandang, orangusaha yang berkaitan dengan pembuatan perumahan, orangusaha yang berkaitan dengan jasa angkutan, perasuransian, perbankan, orangusaha yang berkaitan dengan obat-obatan, kesehatan, narkotika, dan sebagainya. 100 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 3. 101 Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Perlindungan Konsumen Bogor: Ghalia Indonesia, 2008, hlm. 11. 3. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan barang danatau jasa tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, toko, supermarket, hypermarket, rumah sakit, klinik, warung dokter, usaha angkutan darat, laut, udara, kantor pengacara, dan sebagainya. Sebagai penyelenggara kegiatan usaha, pelaku usaha adalah pihak yang harus bertanggung jawab atas akibat-akibat negatif berupa kerugian yang ditimbulkan oleh usahanya terhadap pihak ketiga, yaitu konsumen, sama seperti seorang produsen. 102 Meskipun demikian konsumen dan pelaku usaha ibarat sekeping mata uang dengan dua sisinya yang berbeda. 103 Secara umum, kedudukan pelaku usaha dan konsumen tidaklah seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, serta peneraoan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Pelaku usaha pada umumnya merupakan pihak yang lebih baik dari pada konsumen, hal ini sangat beralasan ketika banyak konsumen lebih bergantung kepada pelaku usaha. Walaupun pada kenyataannya antara pelaku usaha dengan konsumen adalah pihak yang saling ketergantungan, namun realitasnya pelaku usaha berposisi di atas sedangkan konsumen berposisi di bawah. 104 102 Janus Sidabalok, Op.Cit, hlm. 17. 103 Az. Nasution, Konsumen dan Hukum Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995. hlm. 21. 104 Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Padahal kedudukan pelaku usaha dengan konsumen adalah setara karena saling membutuhkan Namun sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan perlindungan yang komprehensif kepada konsumen bahwa antara pelaku usaha dengan konsumen merupakan pihak yang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Di dalam Pasal 18 disebutkan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang danatau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen danatau perjanjian. Pasal ini memiliki arti bahwa larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak, sehingga diharapkan dengan adanya Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen akan memberdayakan konsumen dari kedudukan sebagai pihak yang lemah di dalam di dalam kontrak dengan pelaku usaha sehingga menyetarakan kedudukan pelaku usaha dengan konsumen. Dikarenakan untuk menjaga kesetaraan antara pelaku usaha dengan konsumen, maka terdapat hal-hal yang dilarang yang untuk dilakukan oleh pelaku usaha kepada konsumen. Adapun larangan tersebut termaktub di dalam Pasal 8-17 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu: 1. Pelaku usaha dilarang memproduksi danatau memperdagangkan barang danatau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut. 3. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya. 4. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang danatau jasa tersebut. 5. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang danatau jasa tersebut. 6. Tidak sesuai dengan janji dinyatakan dalam label, etiket keterangan, iklan atau promosi penjualan barang danatau jasa tersebut. 7. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaanpemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu. 8. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label. 9. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, beratisi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasangdibuat. 10. Tidak mencantumkan informasi danatau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 11. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. 12. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. 13. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada huruf k dan l dilarang memperdagangkan barang danatau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran. 14. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang danatau jasa secara tidak benar, danatau seolah-olah. 15. Barang tersebut telah memenuhi danatau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu. 16. Barang tersebut dalam keadaan baik danatau baru. 17. Barang danatau jasa tersebut telah mendapatkan danatau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu. 18. Barang danatau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi : a. barang danatau jasa tersebut tersedia; b. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi; c. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu; d. barang tersebut berasal dari daerah tertentu. 105 105 Selanjutnya baca Pasal 8 – 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kedudukan pelaku usaha tidak kalah pentingnya dengan kedudukan konsumen dalam hal hubungan ekonomi. Tidak ada pihak yang lebih tinggi dibandingkan dengan pihak lainnya, karena pelaku usaha dengan konsumen adalah pihak yang sama-sama memiliki kesamaan apalagi di depan hukum. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan keseteraan posisi secara legalitas sehingga menciptakan keadilan.

B. Kewajiban Pelaku Usaha terkait Jaminan Produk Halal

Dokumen yang terkait

Perlindungan hukum bagi konsumen Muslim terkait penyelesaian sengketa sebelum dan sesudah disahkannya undang-undang nomor 33 tahun 2014 tentang janinan produk halal

2 76 0

Perlindungan Hukun Terhadap Produsen Farmasi Pada Era Pasar Tunggal ASEAN Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

0 8 120

UU Nomor 33 Th 2014 Jaminan Produk Halal

0 0 40

POLITIK HUKUM ISLAM DALAM REGULASI JAMINAN PRODUK HALAL DI INDONESIA KAJIAN UU NO.33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL.

3 10 53

UNDANG- UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2 014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL

0 0 40

Perlindungan Hukun Terhadap Produsen Farmasi Pada Era Pasar Tunggal ASEAN Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

0 0 7

Perlindungan Hukun Terhadap Produsen Farmasi Pada Era Pasar Tunggal ASEAN Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

0 1 23

Perlindungan Hukun Terhadap Produsen Farmasi Pada Era Pasar Tunggal ASEAN Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

0 1 6

BAB II PENGATURAN PEMBERIAN JAMINAN PRODUK HALAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL A. Kewajiban Muslim untuk Mengkonsumsi Produk Halal berdasarkan Al- quran dan Hadist - Pemberian Jaminan Produk Halal Terhadap Kons

1 1 37

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pemberian Jaminan Produk Halal Terhadap Konsumen Muslim Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

0 0 15