31 sempat bermukim ditempat lain ikut kembali pulang ke Desa Sabulan. Yaitu
marga Pandiangan dan Sinaga. Sedangkan yang merupakan marga pendatang parripe adalah: Nainggolan, Siregar, Sihombing, Tamba, Manalu, Sitinjak,
Sihite dan Ambarita.
2.1.5 Sistem religi
Masyarakat Batak Toba, baik secara pribadi maupun berkelompok mengakui adanya kuasa di luar kuasa manusia. Dalam menghormati kuasa
tersebut mereka mempunyai cara penyembahan yang berbeda sesuai dengan kesanggupan memahami makna kuasa tersebut. Motif setiap penghormatan
ditujukan untuk mendapat perlindungan agar terhindar dari bahaya, baik bahaya alam, penyakit maupun serangan binatang buas. Demikian pula untuk maksud
mendapat restu, baik dalam perkawinan maupun usaha mencari rezeki dilaksanakan melalui pemujaan. Dalam setiap pelaksanaannya, Injil dan adat
berjalan berdampingan. Pada mulanya Injil diberitakan ditengah-tengah dunia yang penuh dengan
adat kebudayaan serta berhadapan dengan adat kebudayaan suatu masyarakat atau suku-suku. Dalam pertemuan Injil dan adat tersebut, secara khusus adalah dengan
unsur-unsur adat kebudayaan, yang terdiri dari: sistem Religius dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi masyarakat, sistem bahasa, sistem kesenian,
dsb. Adat merupakan hal yang sangat penting dalam suatu masyarakat, apalagi
di dalam masyarakat Batak. Sebelum Kekristenan memasuki tanah Batak, adatlah yang menjadi hukum sekaligus aturan paling tinggi diakui. Adat batak adalah
Universitas Sumatera Utara
32 aturan-aturan tentang beberapa segi kehidupan masyarakat Batak yang tumbuh
dari usaha orang di dalam masyarakat tersebut, sebagai kelompok sosial untuk mengatur tata tertib tingkah laku anggota masyarakatnya. Jadi di dalamnya
termuat pula peraturan-peraturan hukum yang melingkupi dan mengatur hidup bersama daripada masyarakat Batak.
17
Hanya saja tata-tata adat masyarakat Batak sebelum masuknya Kristen, mengandung sisi lain yang berhubungan erat dengan bidang lain dari tradisi,
khususnya yang mitis-agamawi dan yang berkaitan dengan pemujaan nenek moyang. Hal ini sependapat dengan Lothar Schreiner dalam bukunya yang
mendasar Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak. Lothar Schreiner
18
berpendapat, adat sebagai tata tertib yang diciptakan oleh nenek moyang dan mempunyai dasar agamawi, yakni pemujaan-pemujaan yang biasa
dilakukan oleh nenek moyang dalam agama suku. Melalui perjumpaannya dengan Injil, harus dapat membebaskan adat
tersebut dari sifat agamawinya yang berkaitan dengan pemujaan-pemujaan nenek moyang, misalnya, penyembahan kepada Debata Mulajadi Nabolon. Apabila
demikian, adat dapat diterima dan tidak bertentangan dengan Injil. Dengan demikian adat dapat dipraktekkan oleh orang-orang Kristen sebagai tata tertib
sosial yang bebas dari dasar agamawinya. Adat itu tidak dapat memperbaharui hati.
Dengan bertitik tolak pada pandangan dan pernyataaan tersebut, penulis berkesimpulan bahwa adat yang memiliki dan membuahkan nilai-nilai positif
17
R. Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Vorkink-Van Hoeve, Bandung:hlm. 6.
18
Lothar Schreiner, Adat dan Injil:Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak, BPK-GM, Jakarta 2003:hlm. 226
Universitas Sumatera Utara
33 dalam tata kehidupan masyarakat Batak dapat atau bahkan perlu tetap
dipertahankan. Persyaratan utama yang harus dipenuhi dalam mempertahankan itu adalah bahwa adat itu harus dilepaskan dari sifat agamawinya. Supaya hubungan
antara Injil dan dan adat dapat berjalan berdampingan Pada masa kini, umumnya masyarakat Batak Toba menganut agama
Kristen Protestan dan Katolik. Penyebaran agama Kristen, awalnya dimulai oleh Pendeta Burton dan Ward dari Gereja Baptis Inggris tahun 1824. Kedua pendeta
ini mencoba memperkenalkan Injil di kawasan Silindung sekitar Tarutung sekarang. Kehadiran mereka tidak diterima oleh masyarakat Batak Toba.
Kemudian tahun 1834 Kongsi Zending Boston Amerika Serikat, mengirimkan dua orang pendeta, yaitu Munson dan Lymann. Kedua misionaris ini dibunuh oleh
penduduk di bawah pimpinan Raja Panggalamei, di Lobupining, sekitar Tarutung, pada bulan Juli 1834. Tahun 1849, Kongsi Bibel Nederland mengirim ahli bahasa
Dr. H.N. van der Tuuk untuk menyelidiki budaya Batak. Ia menyusun Kamus Batak-Belanda, dan menyalin sebagian isi Alkitab ke bahasa Batak. Tujuan utama
Kongsi Bibel Nederland ini adalah merintis penginjilan ke Tanah Batak melalui budaya. Tahun 1859, Jemaat Ermelo Belanda dipimpin oleh Ds. Witeveen
mengirim pendeta muda G. Van Asselt ke Tapanuli Selatan. Ia tinggal di Sipirok sambil bekerja di perkebunan Belanda. Kemudian disusul oleh para pendeta dari
Rheinische Mission Gesellschaft RMG, pada masa sekarang menjadi Verenigte Evangelische Mission VEM, dipimpin Dr. Fabri. Penginjilan sampai saat ini
berjalan lambat. Kemudian tahun 1862 datanglah pendeta RMG, yang kemudian diterima oleh masyarakat Batak Toba, yaitu Dr. Ingwer Ludwig Nommensen. Di
Universitas Sumatera Utara
34 bawah pimpinannya misi penginjilan terjadi dengan pesat. Sampai dekade-dekade
awal abad kedua puluh, sebagian besar etnik Batak Toba telah menganut agama Kristen Protestan.
19
Begitulah proses penyebaran agama Kristen di Tanah Batak yang awalnya dimulai oleh Pendeta Burton dan Ward dari Gereja Baptis Inggris tahun 1824
yang mencoba memperkenalkan Injil di kawasan Silindung sekitar Tarutung sekarang hingga tersebar ke berbagai daerah sekitarnya termasuk di wilayah
Kecamatan Sitiotio dimana merupakan tempat lahir dan besarnya Si Raja Lontung adalah sebagai berikut. Menurut Buku Statistik Kecamatan Sitiotio 2011,
sebagian besar penduduk di Kecamatan Sitiotio menganut agama Kristen Protestan yaitu 63,23 dari total penduduk Kecamatan Sitiotio. Sedangkan
sisanya menganut agama Katolik.
2.1.6 Tingkat pendidikan