72
2.15.6 Tempat pemukiman marga keturunan Lontung:
Setiap kelompok suku memiliki wilayahnya sendiri. Mereka memandang kelompok suku yang mendiami wilayah yang ada di sekitarnya, dalam batas
tertentu, sebagai kelompok suku asing Vergouwen 1991:XXIV Hal ini sependapat dengan Nainggolan 2012:61 orang Batak memiliki
kelompok-kelompok marga yang semuanya itu berasal dari Si Raja Batak. Setiap marga mempunyai daerah sendiri sebagai tanah asal mereka masing-masing.
Semua itu dapat dimengerti sebab masyarakat Batak Toba adalah masyarakat agraris. Mereka membutuhkan tanah untuk menjamin kelangsungan hidupnya.
Keterbatasan tanah yang diolah untuk lahan pertanian memaksa mereka bermigrasi karena ketidakpuasan terhadap marga atau karena ambisi dari anggota
marga untuk mendirikan marga baru dan mencari tanah. Sehubungan dengan judul penelitian yaitu tentang Si Raja Lontung, maka
Menurut W. M Hutagalung 1991: 64 kampung yang dibuka oleh Si Raja Lontung bernama Banua Raja dekat bukit Sabulan. Kemudian keturunannya
menyebar dan bertempat tinggal diluar Sabulan. Vergouwen 1986:9 menjelaskan bahwa suatu ketika terjadilah Air Bah yang dahsyat sehingga
menyebabkan keturunan Si Raja Lontung terlempar dari Sabulan dan hampir memusnahkan seluruh daerah, dan mereka pindah lalu bermukim di Urat di
Samosir, di seberang Sabulan. Dari Urat, yang kemudian dianggap menjadi tempat penyebaran parserahan, sebagian dari keturunannya menyebar
marserak ke Samosir Selatan dan ke bagian-bagian lain daerah pantai bagian Selatan dan barat Danau Toba.
Universitas Sumatera Utara
73 Kelompok pertama, yang pergi ke selatan Samosir, terdiri dari keturunan
keempat anak tertua, Situmorang, Toga Sinaga, Toga Pandiangan, dan Toga Nainggolan. Pada tahap pertama mereka pergi ke Samosir Utara, namun mereka
diusir dari sana oleh marga Simbolon dan Sitanggang ke suatu garis khayali yang ditarik dari sebuah anak sungai di sebelah barat pantai, sampai ke suatu batu
bundar besar di suatu tanjung di pantai timur ke arah selatan daerah Tomok. Perbatasan ini ditetapkan ketika diadakan perdamaian antara yang mengusir dan
yang diusir. Sampai sekarang, garis ini masih disetujui sebagai perbatasan antara daerah-daerah Lontung dan Sumba di pulau itu.
Dengan berjalannya waktu, keempat marga induk Situmorang, Sinaga, Pandiangan, dan Nainggolan, berkembang menjadi 30 marga yang kesemuanya
berada di Samosir Selatan. Penyebaran mereka di bagian pulau ini, termasuk di daerah-daerah daratan pulau Sumatra, Sabulan dan daerah Janji Raja, yang
berbatasan dengannya, pada mulanya dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil dari beberapa marga yang menjadi ranting dari keempat marga induk, dan
sambung-menyambung di suatu wilayah, dimana masing-masing kelompok biasanya membentuk wilayah-wilayah desa kecil. Beberapa wilayah kecil
lainnya, Nainggolan, Samosir dan Gultom boleh dikatakan hanya didiami oleh marga-marga dengan nama yang sama, bersama marga yang menumpang dari
kelompok suku lainnya. Diluar pulau, penyebaran Situmorang bisa ditemukan di daerah kecil yang
bernama Lintong, yang terletak di dataran tinggi Humbang, di sekeliling Parbuluan dan Barus Hulu. Marga yang berasal dari Pandiangan, yakni mereka
Universitas Sumatera Utara
74 yang diturunkan oleh Toga Samosir, sebagian pergi ke Habinsaran Selatan,
kemudian ke Pahae Timur, tempat di mana bisa ditemukan daerah kecil Nainggolan yang didiami oleh satu marga dengan nama yang sama. Ketiga cabang
Sinaga berkuasa di daerah Swapraja Tanah Jawa Pantai Timur Sumatra tempat marga itu terpecah-pecah dan memisah ke daerah-daerah kecil.
Ketiga anak Si Raja Lontung yang lebih muda tidak ada yang menetap di Samosir, mereka juga tidak meninggalkan keturunan. Simatupang dan Aritonang
menyeberang lewat pulau kecil yang yang bernama Pulo, dan menguasai daerah- daerah dengan nama yang sama ke arah timur Muara. Siregar pergi dari Urat,
mula-mula ke Sigaol, tempat menetap sebuah sempalan kecil dan menduduki daerah yang bernama Siregar, dan kemudian ke Muara. Beberapa bagian dari
Simatupang dan Aritonang naik ke dataran tinggi Humbang dan mendiami Huta Ginjang dan Paranginan yang terletak di pinggirannya. Mereka tidak menyebar
lebih jauh kecuali sebagai marga penumpang yang diterima oleh kelompok - kelompok kecil suku lainnya.
Namun sebagian dari keturunan Siregar mula-mula pergi ke Humbang, disini masih terdapat Lobu tempat pemukiman marga sebelumnya Siregar yang
sudah ditinggalkan di daerah Pohan, yang mengingatkan orang bahwa mereka itu pernah melewatinya. Perjalanan kemudian dilanjutkan ke kampung
Sibatangkayu yang kini sudah lenyap di Habinsaran Selatan, atau arah Selatan Sipahutar, dan dari sana ke Sipirok. Disana mereka menduduki daerah luas dari
kuria Sipirok, kuria Parau Sorat, dan kuria Baringin yang didirikan oleh tiga bersaudara.
Universitas Sumatera Utara
75 Dari Sipirok, satu bagian memisahkan diri dan pergi ke Padang Bolak,
tempat mereka mendirikan luat Hajoran. Ranting-ranting lainnya menduduki kuria Marancar di Angkola Utara, dan kuria Lumut di Sibolga Selatan. Kelompok
yang bernama marga Dongoran dan Ritonga pergi dari Habinsaran Selatan menuju Dolok, tempat masing-masing menduduki daerah yang terpisah. Sebagai
akibat dari penyebaran ini, Siregar boleh dikatakan merupakan satu mata rantai yang tidak putus-putus di Tapanuli Tengah, yang memisahkan daerah Sumba di
Tanah Batak tengah dari Tapanuli Selatan. W. M Hutagalung 1991:64 menjelaskan seperti berikut ini:
Toga Sinaga dohot Pandiangan ma tinggal di Urat, Toga Nainggolan tu luat Nainggolan. Ia Simatupang dohot Aritonang, maringanan ma tu Pulo
Sibandang Pardopur jala Siregar tu Aeknalas Sigaol. Ianggo Situmorang, mulak do jolo tu Sabulan jala marpinompari disi. Berikut adalah analisis tempat tinggal
keturunan Si Raja Lontung. Tabel-11 Tempat tinggal keturunan Si Raja Lontung menurut W.M Hutagalung:
NO. MARGA
TEMPAT TINGGAL
1 SINAGA
URAT 2
PANDIANGAN URAT
3 NAINGGOLAN
NAINGGOLAN 4
SIMATUPANG PULAU SIBANDANG PARDOPUR
5 ARITONANG
PULAU SIBANDANG PARDOPUR 6
SIREGAR AEKNALAS SIGAOL
7 SITUMORANG
SABULAN
Universitas Sumatera Utara
76
2.2 Model diakronis
Dengan model diakronis akan dianalisis generasi yang dimulai dari Si Raja Batak sampai turunan Lontung. Menurut Kuntowijoyo model diakronis dalam
penulisan sejarah digunakan untuk menggambarkan bagaimana pertumbuhan tersebut dari waktu-kewaktu, bagaimana ia tumbuh dari awal sebagai suatu gejala
1994:38. Berdasarkan silsilah yang sudah baku di kalangan orang Batak Toba, Raja
Manghuntal Sisingamangaraja I
45
adalah generasi yang kedelapan dari Si Raja Batak. Menurut sejarah Batak sebagai titik tolak diperkirakan angka tahun
kelahiran Raja Sisingamangaraja XII diyakini lahir pada tahun 1845. Jika dihitung-hitung satu generasi adalah 30 tahun dalam arti sudah pantas punya anak,
maka Si Raja Batak lahir sekitar tahun 1305 abad XIV. Berdasarkan hal tersebut, penulis melakukan analisa tahun pertumbuhan
setiap generasi Keturunan Lontung yang dimulai dari generasi pertama yaitu Si Raja Batak. Perkiraan tahun keturunan Guru Tatea Bulan mulai dari Si Raja Batak
sampai sundut generasi yang keempat adalah seperti pada tabel berikut:
45
Merupakan cucu dari Sinambela, anak dari Ompu Raja Bonanionan dengan Istrinya yang kedua. Lihat Buku W.M Hutagalung 1991:288.
Universitas Sumatera Utara