Manifestasi Klinis Pemeriksaan TONSILITIS KRONIK 1. Definisi

3. Barier elektrik dimana terdapat beda muatan pada dinding sel antara pejamu dan mikroba 4. Barier imunologik dari sel-sel pembentuk imunologi 5. Barier fagosit yang terdiri dari sistem retikuloendotelial Penetrasi bakteri dapat dicegah dan dikurangi oleh sistem barier ini yang bekerjasama pada keadaan normal. Penurunan daya tahan tubuh secara sistemik atau gangguan mikrobial lokal, misalnya kebersihan mulut buruk, maka bakteri dan produknya yang merupakan faktor virulen lipopolisakaraida=LPS akan melakukan interaksi dengan sel-sel tertentu di rongga mulut. Tonsil yang bertindak sebagai mekanisme pertahanan tubuh di mulut akan berespons terhadap stimulasi bakteri dan tubuh melakukan respons imunologis dengan mengaktivasi sel-sel mediator inflamasi yang dapat menyebabkan gangguan metabolisme jaringan ikat sebagai tanda klinis awal radang pada tonsil Santoso et al., 2009. Fungsi tonsil adalah sebagai pertahanan terhadap masuknya kuman ke tubuh baik melalui hidung atau mulut. Kuman yang masuk disitu akan dihancurkan oleh makrofag yang merupakan sel-sel polimorfonuklear. Jika tonsil berulang kali terkena infeksi akibat dari penjagaan higiene mulut yang tidak memadai serta adanya faktor-faktor lain, maka pada suatu waktu tonsil tidak bisa membunuh kuman-kuman semuanya, akibat kuman yang bersarang di tonsil dan akan menimbulkan peradangan tonsil yang kronik. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi atau fokal infeksi. Sewaktu-waktu kuman bisa menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada keadaan imun yang menurun Siswantoro, 2003.

2.2.4. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis tonsilitis ditandai oleh gejala-gejala di hidung, nyeri tenggorok, dan kemerahan yang menyeluruh pada tonsil. Umumnya disebabkan oleh virus. Tonsilitis streptokokus lebih jarang ditemukan dan biasanya ditandai dengan demam Hull dan Johnston, 2008. Universitas Sumatera Utara Tonsilitis kronik dapat menimbulkan gejala lokal ataupun sistemik. Gejala yang bisa terjadi adalah mulut berbau, badan lesu, sering mengantuk, nafsu makan menurun, sakit kepala dan badan terasa meriang akibat daripada gejala sistemik tonsilitis kronik. Gejala lokal pula termasuklah nyeri tenggorok atau merasa tidak enak di tenggorok, nyeri telan ringan kadang-kadang seperti benda asing pancingan di tenggorok. Pada tonsil yang mengalami infeksi kronik, akan terjadi fibrotasasi yaitu sebagian jaringan tonsil akan rusak dan digantikan oleh jaringan ikat. Tarikan-tarikan pada lobuli tonsil akan terjadi karena adanya fibrosis sehingga kripta akan melebar dan menyebabkan permukaan tonsil akan menjadi tidak rata dan berbenjol-benjol. Pembesaran kelenjar limfe subangulus dapat terjadi karena tonsil mempunyai saluran limfe eferen ke kelenjar tersebut dan menyebabkan infeksi kelenjar subangulus Farokah et al., 2007. Tonsilitis kronik akan menyebabkan sakit tenggorokan rekuren, atau persisten dan gangguan menelan atau pernafasan, walaupun yang terakhir disebabkan oleh kelenjar adenoid yang membesar. Tonsila akan memperlihatkan pelbagai darjat hipertrofi dan dapat bertemu di garis tengah. Nafas penderita bersifat ofensif dan kalau terdapat hipertrofi yang hebat, mungkin terdapat obstruksi yang cukup besar pada saluran pernafasan bagian atas yang dapat menyebabkan hipertensi pulmonal Delf dan Manning, 1996.

2.2.5. Pemeriksaan

Pada pemeriksaan pada tonsil akan didapati tonsil hipertrofi, tetapi kadang-kadang atrofi, hiperemi dan odema yang tidak jelas. Didapatkan detritus atau detritus baru tampak jika tonsil ditekan dengan spatula lidah. Kelenjar leher dapat membesar tetapi tidak terdapat nyeri tekan Herawati dan Rukmini S, 2003. Ukuran tonsil pada tonsilitis kronik dapat membesar hipertrofi atau atrofi. Pembesaran tonsil dapat dinyatakan dalam ukuran T 1 – T 4. Cody Thane 1993 membagi pembesaran tonsil dalam ukuran berikut : Universitas Sumatera Utara T 1 = batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior uvula T 2 = batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai ½ jarak pilar anterior-uvula T 3 = batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar anterior-uvula T 4 = batas medial tonsil melewati ¾ jarak pilar anterior-uvula atau lebih. Fokal infeksi pada tonsil dapat diperiksa dengan melakukan beberapa tes. Dasar dari tes-tes ini adalah adanya kuman yang bersarang pada tonsil dan apabila tes dilakukan, terjadi transportasi bakteri, toksin bakteri, protein jaringan fokal, material lymphocyte yang rusak ke dalam aliran darah ataupun dengan perkataan lain akan terjadi bakterimia yang dapat menimbulkan kenaikan pada jumlah lekosit dan LED. Dalam keadaan normal jumlah lekosit darah berkisar antara 4000-10000mm 3 darah. Tes yang dapat dilakukan adalah seperti : 1. Tes masase tonsil : salah satu tonsil digosok-gosok selama kurang lebih 5 menit dengan kain kasa, jikalau 3 jam kemudian didapati kenaikan lekosit lebih dari 1200mm 3 atau kenaikan laju endap darah LED lebih dari 10 mm dibandingkan sebelum tes dilakukan, maka tes dianggap positif. 2. Penyinaran dengan UKG : tonsil mendapat UKG selama 10 menit dan 4 jam kemudian diperiksa jumlah lekosit dan LED. Jika terdapat kenaikan jumlah lekosit lebih dari 2000mm 3 atau kenaikan LED lebih dari 10 mm dibandingkan sebelum tes dilakukan, maka tes dianggap positif. 3. Tes hialuronidase : periksa terlebih dahulu jumlah lekosit, LED dan temperatur oral. Injeksikan hialuronidase ke dalam tonsil. Satu jam setelah diinjeksi, jika didapati kenaikan temperatur 0.3 o C, kenaikan jumlah lekosit lebih dari 1000mm 3 serta kenaikan LED lebih dari 10 mm maka tes ini dianggap positif. Universitas Sumatera Utara Terjadinya peningkatan lekosit karena lekosit terutama akan tertarik terhadap produk-produk yang dihasilkan kuman dan dilepaskan oleh jaringan yang cedera. Namun, bakterimia yang terjadi karena rangsang terhadap fokal infeksi biasanya bersifat sementara dengan demikian akan terjadi kenaikan jumlah lekosit dan LED yang bersifat sementara juga Siswantoro, 2003.

2.2.6. Penatalaksanaan