Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam

(1)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

PERSEN TUTUPAN (PERCENT COVER) TERUMBU KARANG

HIDUP DI BAGIAN TIMUR PERAIRAN PULAU RUBIAH

NANGGROE ACEH DARUSSALAM

SKRIPSI

TARIPAR M NABABAN

050805035

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

PERSEN TUTUPAN (PERCENT COVER) TERUMBU KARANG

HIDUP DI BAGIAN TIMUR PERAIRAN PULAU RUBIAH

NANGGROE ACEH DARUSSALAM

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

TARIPAR M NABABAN

050805035

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

PERSETUJUAN

Judul : PERSEN TUTUPAN (PERCENT COVER)

TERUMBU KARANG HIDUP DI BAGIAN TIMUR PERAIRAN PULAU RUBIAH, NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Kategori : SKRIPSI

Nama : TARIPAR M. NABABAN

Nomor Induk Mahasiswa : 050805035

Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI

Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM

Diluluskan di

Medan, Desember 2009

Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2 Pembimbing 1

(Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus, M. Sc.) (Mayang Sari Yeanny S. Si, M. Si.)

NIP: 132 695 907 NIP: 131 206 572

Diketahui / Disetujui

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

(Prof. Dr. Dwi Suryanto, M. Sc.) NIP: 132 089 421


(4)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

PERNYATAAN

PERSEN TUTUPAN (PERCENT COVER) TERUMBU KARANG HIDUP DI BAGIAN TIMUR PERAIRAN PULAU RUBIAH

NANGGROE ACEH DARUSSALAM

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Oktober 2009

Taripar M. Nababan 050805035


(5)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus atas kasih dan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesikan penelitian yang berjudul

“Persen Tutupan Terumbu Karang Hidup di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah, Nanggroe Aceh Darussalam”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: Bapak Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus, M. Sc sebagai dosen pembimbing I dan juga Ibu Mayang Sari Yeanny, S. Si, M. Si sebagai dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan dorongan, bimbingan, waktu dan perhatian yang besar selama proses penulisan dan penyusunan skripsi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Drs. Arlen M.Si dan Bapak Riyanto Sinaga S.Si, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak saran dan arahan demi kesempurnaan skipsi ini. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Masitta Tanjung S. Si, M. Si selaku dosen penasehat akademik, juga kepada Bapak Dr. Dwi Suryanto, M. Sc selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA USU dan Ibu Nunuk Priyani, M. Sc selaku Sekretaris Departemen Biologi FMIPA USU dan juga kepada Dekan dan para dosen Pembantu Dekan FMIPA USU serta seluruh staff pengajar dan pegawai di Departemen Biologi FMIPA USU.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sukirmanto dan Ibu Nurhasni Muluk selaku laboran dan analis di Laboratorium Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara. Terima kasih kepada Ibu Roslina Ginting dan Abang Erwin selaku Pegawai Administrasi Departemen Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tuaku: Drs. Mangapul Nababan dan Riama Sianturi, Amd. Terima kasih juga buat Abang-abangku tersayang: Thamrin Nababan S. Hut, Masrinto Nababan St, Roganda Nababan S. Pt, Maxtulus Nababan S. Pd dan kakakku Rona Ambarita SP. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga besar Nababan dan keluarga besar Sianturi yang telah memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis. Semoga Tuhan memberkati kita semua. Amin.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman seperjuangan: Ocid, Toberni, Sarah, Misran, Fitria, Erni, Valen, Erna, Bekka, dan semua mahasiswa Biologi USU bidang Ekologi yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada tim lapangan, Effin muataqin (Staff WCS Sabang) dan Arief Kurniawan beserta seluruh Staff FFI Sabang yang telah banyak memberi bantuan selama melaksanakan penelitian di lapangan. Terima kasih juga kepada rekan-rekan stambuk 2005 yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, adik-adik Biologi USU stambuk 2006, 2007, dan 2008, abang-abang mahasiswa Biologi USU stambuk 2004 dan 2003 dan seluruh


(6)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

anggota BIOPALAS FMIPA USU dan PKBKB yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan yang positif di luar perkuliahan.

Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada kakak asuhku David Chandra Hutahururk, S. Si, sahabat baikku Desmina K Hutabarat dan adik asuhku Jayana Sitepu, Juventus Silaban, Remon yang telah banyak memberikan bantuan, dukungan dan motivasi kepada penulis selama melakukan perkuliahan di Departemen Biologi FMIPA USU.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik, saran, dan masukan yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pembaca. Sekian dan terima kasih.


(7)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

ABSTRAK

Penelitian mengenai “Persen Tutupan Terumbu Karang Hidup di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah, Nanggroe Aceh Darusalam” dilakukan pada bulan Mei 2009. Penentuan lokasi dilakukan dengan metode Purpossive Random Sampling yaitu menentukan 2 stasiun penelitian berdasarkan perbedaan aktivitas di tempat tersebut. Pengambilan data dilakukan dengan “Life Transect Method” dengan membuat 3 transek pada masing-masing stasiun penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persen tutupan terumbu karang hidup dan hubungan antara faktor fisik kimia perairan dengan persen tutupan terumbu karang hidup.

Hasil penelitian menunjukkan persen tutupan yang berbeda, dimana pada stasiun I (daerah kontrol) sebesar 73,10 %, sedangkan pada stasiun II (daerah aktivitas) sebesar 59,68 %. Total rata-rata persen tutupan terumbu karang hidup tersebut sebesar 66,39 % dan tergolong kedalam kategori baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagian timur pulau Rubiah memiliki 10 bentuk hidup terumbu karang. Bentuk hidup yang mendominasi pada ke dua stasiun penelitian adalah coral massive. Analisis korelasi menunjukkan bahwa suhu, penetrasi cahaya, intensitas cahaya, salinitas, pH, DO, kejenuhan oksigen dan kedalaman memiliki korelasi positif terhadap persen tutupan terumbu karang hidup, sedangkan BOD5

memiliki korelasi negatif terhadap persen tutupan terumbu karang hidup. Koefisien korelasi antara faktor-fisik kimia perairan dengan persen tutupan terumbu karang hidup berkisar antara berkorelasi cukup dan berkorelasi kuat.


(8)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

Percent Cover of Living Coral Reef in East of Rubiah Island Nanggroe Aceh Darussalam

Abstract

Research about “Percent Cover of Life Coral Reef in the East of Rubiah Island, Nanggroe Aceh Darussalam province” had investigated on May 2009. This research was done with the Purpossive Random Sampling method, that is determine two research station of pursuant to difference of society activity. Intake Sampel by 3 restarting times rill each research station. This research target is to see percent cover of living coral reef and the correlation between chemical physical factor with the percent cover of living coral reef.

Research result earning difference ot life coral reef’s percent cover, in which at station I (control area) percent cover had found 73,10 %. Station II (activity area) percent cover had found 59,68%. Average result of coral reef’s percent cover had found 66,39% and including into good category. It was found 10 forms of living coral reef. The lifeform domination in the research station is coral massive. Correlation analysis showed that temperature, light penetration, light intensity, salinity, pH, DO, saturation of oxygen and deepness own positive correlation with percent cover of life coral reef, while BOD5 own negative correlation with percent cover of life coral reef.

Corelation between percent cover of life coral reef and chemical physical factor value range from strong corelation and enough correlation.


(9)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

DAFTAR ISI halaman Penghargaan Abstrak Abstract Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Lampiran iii v vi vii vii ix x

Bab 1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang 1.2. Permasalahan 1.3. Tujuan 1.4. Hipotesis 1.5. Manfaat 1 2 2 2 3

Bab 2. Tinjauan Pustaka

2.1. Ekosistem Laut

2.2. Ekosistem Terumbu Karang

2.3. Struktur dan Anatomi Terumbu Karang 2.4. Reproduksi dan pertumbuhan Karang 2.5. Cara Makan Terumbu Karang

2.6. Bentuk Pertumbuhan Terumbu Karang 2.7. Tipe Formasi Terumbu Karang

2.8. Peranan Terumbu Karang

2.9. Faktor Pembatas yang Mempengaruhi Terumbu Karang

4 4 6 7 7 7 9 10 11

Bab 3. Bahan dan Metoda

3.1. Waktu dan Tempat

3.2. Deskripsi Stasiun Pengamatan 3.3 Pengamatan Terumbu Karang

3.3. Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan 3.4. Analisis Data

16 16 17 17 20

Bab 4. Hasil dan Pembahasan

4.1 Persen Tutupan Terumbu Karang 4.2 Faktor Fisik Kimia Perairan

4.3 Pengaruh Faktor-Fisik Kimia Periran Terhadap Persen Tutupan Terumbu Karang Hidup

22 26 32

Bab 5. Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan 5.2 Saran


(10)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

Daftar Pustaka 35

DAFTAR TABEL

halaman

Tabel 3.1. Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan Beserta Satuan

dan Alat/Metode yang Digunakan

20

Tabel 3.2. Kriteria Persen Tutupanr Terumbu Karang Menurut

keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 2001

21

Tabel 4.1. Nilai Persen Tutupan Terumbu Karang Pada Setiap Stasiun

pengamatan

22

Tabel 4.2. Nilai Faktor Fisik-Kimia Perairan pada Setiap Stasiun

Pengamatan

26

Tabel 4.3. Analisis Kolerasi persen Tutupan Terumbu Karang Hidup

dengan faktor fisik-kimia Perairan

32


(11)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

DAFTAR GAMBAR

halaman

Gamabar 1. Anatomi terumbu karang 6

Gamabar 2. Tahap pembentukan formasi terumbu karang dari yang termuda

9

Gamabar 3. Perbandingan setiap bentuk hidup terumbu karang 24


(12)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

DAFTAR LAMPIRAN

halaman

Lampiran A. Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur DO 38

Lampiran B. Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur BOD5 39

Lampiran C. Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) Pada

Berbagai Besaran Temperatur Air 40

Lampiran D. Bentuk Pertumbuhan Terumbu Karang Kelompok

Acropora 41

Lampiran E. Bentuk Pertumbuhan Terumbu Karang Kelompok

Non-acropora 42

Lampiran F. Peta lokasi penelitian 43

Lampiran G. Photo Lokasi Penelitian 44

Lampiran H. Data mentah Tutupan Terumbu Karang 45

Lampiran I. Contoh Lembar Pengambilan Data 49

Lampiran J. Data Mentah Faktor Fisik-Kimia Perairan

50

Lampiran K. Contoh perhitungan 51

Lampiran L. Data Hasil Korelasi Sistem komputerisasi SPSS Ver.

13. 00 52


(13)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Terumbu karang merupakan ekosistem yang khas terdapat di perairan dangkal daerah tropis, dengan produktivitas primer serta keanekaragaman yang tinggi. Meskipun terumbu karang dapat ditemukan di berbagai tempat dari seluruh perairan dunia, tetapi hanya di daerah tropis saja terumbu karang dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, sehingga menjadikannya sebagai spawning ground dan nursery ground bagi berbagai biota laut (Nybakken, 1988).

Luas tutupan terumbu karang di Indonesia sekitar 14% dari total penutupan terumbu karang dunia. Namun demikian sekitar 60-70% telah mengalami kerusakan yang sangat serius dan hanya 5% saja yang masih dalam kondisi yang baik (Tomascik et al, 1997 ). Di samping karena ulah manusia, perusakan terumbu karang bisa terjadi karena faktor alam, seperti kenaikan suhu dan badai. Kenaikan suhu air laut sekitar 4-60 C, karena pengaruh arus hangat disinyalir telah merusakkan karang di seluruh area terumbu karang mulai dari Pasifik timur, Panama Barat (Gulf of Chiriqui), dan kepulauan Galapagos (Supriharyono, 2000-a).

Taman Laut Pulau Rubiah memiliki luas kurang lebih 2.600 ha yang mengelilingi Pulau Rubiah. Pemandangan bawah lautnya yang indah dengan hamparan terumbu karang yang luas serta beraneka jenis ikan karang, membuatnya menjadi daerah tujuan wisata bahari. Adanya berbagai aktivitas manusia khususnya di bagian timur, seperti lalu-lintas boat, penangkapan ikan, snorkelling dan kegiatan penyelaman lainnya dapat merusak keberadaan terumbu karang. Disamping itu, musim juga akan berpengaruh terhadap keberadaan terumbu karang. Kondisi ini secara tidak langsung akan mengakibatkan terjadinya perubahan faktor fisik-kimia


(14)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

perairan yang berdampak pada kerusakan kualitas terumbu karang. Untuk mengetahui persen tutupan terumbu karang hidup dan hubungannya dengan faktor fisik-kimia perairan di kawasan ini, maka perlu dilakukan penelitian mengenai “Persen Tutupan

Terumbu Karang Hidup di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah, Nanggroe Aceh Darussalam”.

1.2Permasalahan

Keberadaan terumbu karang hidup sangat dipengaruhi oleh faktor alam dan faktor fisik-kimia perairan. Ekosistem terumbu karang di bagian timur perairan pulau Rubiah pada beberapa tahun terakhir ini dikhawatirkan telah mengalami penurunan kualitas karena adanya gejala alam dan aktivitas manusia. Kondisi ini secara tidak langsung akan mengakibatkan perubahan faktor fisik-kimia perairan yang juga akan berpengaruh terhadap persen tutupan terumbu karang hidup. Sejauh ini belum diketahui bagaimana hubungan persen tutupan terumbu karang hidup dengan faktor fisik-kimia perairan di bagian timur perairan pulau Rubiah, Nanggroe Aceh Darussalam.

1.3Tujuan Penelitian

a. Mengetahui persen tutupan dan bentuk-bentuk pertumbuhan terumbu karang hidup di bagian timur perairan Pulau Rubiah, Nanggroe Aceh Darussalam.

b. Mengetahui hubungan faktor-fisik kimia terhadap persen tutupan terumbu karang hidup di bagian timur perairan Pulau Rubiah, Nanggroe Aceh Darussalam.


(15)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

1.4Hipotesis

a. Terdapat perbedaan persen tutupan dan bentuk-bentuk pertumbuhan terumbu karang hidup pada setiap stasiun penelitian di bagian timur perairan Pulau Rubiah, Nanggroe Aceh Darussalam.

b. Terdapat hubungan antara persen tutupan terumbu karang hidup terhadap faktor fisik-kimia perairan di bagian timur perairan Pulau Rubiah, Nanggroe Aceh Darussalam.

1.5 Manfaat Penelitian

a. Memberikan informasi mengenai persen tutupan terumbu karang hidup di bagian timur perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, serta kaitannya dengan kondisi fisik-kimia perairan.


(16)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem laut

Laut adalah bagian bumi yang tertutup oleh air asin. Seperti halnya daratan, laut juga dihuni oleh biota seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan mikroorganisme hidup. Biota laut menghuni hampir semua bagian laut, mulai dari pantai, permukaan laut sampai dasar laut yang terjeluk sekalipun. Keberadaan biota laut ini sangat menarik perhatian manusia, bukan saja karena kehidupannya yang sangat rahasia, tetapi juga karena manfaatnya yang sangat besar bagi kehidupan manusia (Romimohtarto & Juwana, 2001).

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang mempunyai luas laut sekitar 3,1 juta km2 dengan kawasan pesisir menempati garis pantai sepanjang 81.000 km. Kawasan pesisir ini memiliki berbagai ekositem pendukung yang sangat beragam, seperti ekosistem hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, (sea grass beds) serta keanekaragaman hayati lainnya terutama bagi potensi perikanan. Salah satu ekosistem pesisir yang khas di perairan tropis dan sangat penting bagi kehidupan biota lainnya adalah terumbu karang atau coral reff (Savitri, 2000).


(17)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

Ekosistem terumbu karang merupakan suatu kumpulan dari tumbuhan dan hewan yang saling bersimbiosis serta berada di daerah perairan laut dangkal. Kumpulan tersebut menghasilkan zat kapur yang diendapkan melalui proses ratusan tahun yang membentuk struktur terumbu karang. Komponen terpenting suatu terumbu karang adalah hewan karang yang termasuk ke dalam filum Cnidaria, kelas Anthozoa, ordo Scleractina dan famili Scleraktinae (Kimball, 1999).

Terumbu karang (Coral reef ) merupakan masyarakat organisme yang hidup didasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat

menahan gaya gelombang laut. Sedangkan organisme-organisme yang dominan hidup disini adalah binatang-binatang karang yang mempunyai kerangka kapur, dan algae yang banyak diantaranya juga mengandung kapur. Berkaitan dengan hal di atas, terumbu karang dibedakan antara binatang karang atau karang sebagai individu organisme atau komponen dari masyarakat dan terumbu karang (coral reef ) sebagai suatu ekosistem (Suharsono, 1996).

Supriharyono (2000-a) mengatakan bahwa terumbu karang hidup dengan baik di daerah tropis. Ekosistem terumbu karang dunia diperkirakan meliputi luas 600.000 km2, dengan batas sebaran di sekitar perairan dangkal laut tropis, antara 30 °LU dan 30 °LS. Terumbu karang dapat ditemukan di 109 negara di seluruh dunia, namun diduga sebagian besar dari ekosistem ini telah mengalami kerusakan Namun, pada kedalaman sekitar 15 meter sering terdapat teras terumbu atau reef front yang memiliki kelimpahan karang keras yang cukup tinggi dan karang tumbuh dengan subur.

Jenis-jenis dari ordo Madreporaria (Scleractinia, stony coral) merupakan pembentuk utama batu karang yang dapat tumbuh menjadi besar dan kokoh serta dapat tahan terhadap pukulan gelombang laut. Jenis organisme lain seperti ganggang laut, Porifera, dan Bryozoa yang menghasilkan rangka kapur juga turut berperan dalam pembentukan terumbu karang. Koloni coral berbentuk kubah atau datar dapat menimbun lapisan CaCO3 setebal 1 cm sampai 2 cm pertahun. Spesies yang


(18)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

terumbu karang hasil kerja berbagai jenis organisme diperkirakan dapat mengakumulasikan endapan kapur setebal 2,5 cm per tahun (Savitri, 2000).

2.3 Anatomi Terumbu Karang

Anatomi terumbu karang (seperti terlihat pada gambar 1) memiliki bagian-bagian tubuh sebagai berikut:

a. Mulut dikelilingi oleh tentakel yang berfungsi untuk menangkap mangsa dari perairan serta sebagai alat pertahanan diri.

b. Rongga tubuh (coelenteron) yang juga merupakan saluran pencernaan (Gastrovascular)

c. Dua lapisan tubuh yaitu ektodermis dan endodermis yang lebih umum disebut gastrodermis karena berbatasan dengan saluran pencernaan. Di antara kedua lapisan terdapat jaringan pengikat tipis yang disebut mesoglea. Jaringan ini terdiri dari sel-sel, serta kolagen, dan mukopolisakarida. Pada sebagian besar karang, epidermis akan menghasilkan material guna membentuk rangka luar karang. Material tersebut berupa kalsium karbonat (kapur). Bertempat di gastrodermis, hidup zooxanthellae yaitu alga uniseluler dari kelompok Dinoflagelata, dengan warna coklat atau coklat kekuning-kuninga


(19)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

Gambar 1: Anatomi Terumbu Karang.

Sumber: Birkelan (1997)

2.4 Reproduksi dan Pertumbuhan Karang

Karang berkembang biak secara seksual maupun aseksual. Pembiakan secara seksual terjadi melalui penyatuan gamet jantan dan betina untuk membentuk larva bersilia yang disebut dengan planula. Planula akan menyebar kemudian menempel di substrat yang keras dan mampu tumbuh menjadi polip (Suwignyo et al, 2005).

Pembiakan secara aseksual dengan pembentukan polip baru dengan jalan pentunasan. Tergantung pada jenisnya, polip baru timbul secara ekstratentakular atau intertentakular. Pada pertunasan ekstratentakular, polip yang baru tumbuh dari setengah bagian tubuh ke bawah. Pada intertentakular, polip baru timbul dari penyekatan membujur mulai dari oral kearah aboral. Proses pertunasan diikuti oleh pembentukan sklerosepta (bagian dalam dari mangkuk karang yang terdapat sekat-sekat kapur yang memijar) dan mangkuk karang dari masing-masing polip baru (Savitri, 2000).


(20)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

2.5 Cara Makan Terumbu Karang

Menurut Muller-Parker & D’Elia (2001) karang memiliki dua cara untuk mendapatkan makan, yaitu dengan menangkap zooplankton yang melayang dalam air dan menerima hasil fotosintesis zooxanthellae.

Ada pendapat para ahli yang mengatakan bahwa hasil fotosintesis zooxanthellae yang dimanfaatkan oleh karang, jumlahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan proses respirasi karang tersebut. Sebagian ahli lagi mengatakan sumber makanan karang 75-99% berasal dari zooxanthellae (Tomascik et al, 1997).

2.6 Bentuk Pertumbuhan Terumbu Karang

Suatu jenis karang dari genus yang sama dapat mempunyai bentuk pertumbuhan yang berbeda-beda. Menurut English et al, (1994) bentuk pertumbuhan karang keras terbagi atas karang Acropora dan karang non-Acropora. Karang non-Acropora adalah karang yang tidak memiliki axial coralit terdiri atas:

a. Coral Branching (CB), memiliki cabang lebih panjang daripada diameter yang

dimiliki.

b. Coral massive (CM), berbentuk seperti bola dengan ukuran yang bervariasi,

permukaan karang halus dan padat. Dapat mencapai ukuran tinggi dan lebar sampai beberapa meter.

c. Coral encrusting (CE), tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan permukaan

yang kasar dan keras serta berlubang-lubang kecil.

d. Coral submassive (CS), cenderung untuk membentuk kolom kecil, wedge-like.

e. Coral foliose (CF), tumbuh dalam bentuk lembaran-lembaran yang menonjol

yang pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan atau melingkar. f. Coral Mushroom (CMR), berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki

banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga pusat mulut. g. Coral millepora, (CME), yaitu karang api.


(21)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

Untuk karang jenis Acropora adalah karang yang adalah karang yang memiliki axial coralit dan radial coralit. English et al, (1994) menggolongkannya sebagai berikut:

a. Acropora branching (ACB), berbentuk bercabang seperti ranting pohon.

b. Acropora encrusting (ACE), bentuk mengerak, biasanya terjadi pada Acropora

yang belum sempurna.

c. Acropora tabulate (ACT), bentuk bercabang dengan arah mendatar dan rata

seperti meja.

d. Acropora submassive (ACS), percabangan bentuk gada/lempeng dan kokoh.

e. Acropora digitate, (ACD), bentuk percabangan rapat dengan cabang seperti jari-jari tangan.

2.7 Tipe Formasi Terumbu Karang

Nybakken (1988) mengelompokkan formasi terumbu karang (seperti terlihat pada gambar 2) menjadi tiga kategori sebagai berikut:

a. Terumbu karang tepi (Fringing Reef), yaitu terumbu karang yang terdapat di sepanjang pantai dan dalamnya tidak lebih dari 40 meter. Terumbu ini tumbuh ke permukaan dan ke arah laut terbuka.

b. Terumbu karang penghalang (Barrier Reef), berada jauh dari pantai yang dipisahkan oleh gobah (lagoon) dengan kedalaman 40-70 meter. Umumnya terumbu karang ini memanjang menyusuri pantai.

c. Atol, merupakan karang berbentuk melingkar seperti cincin yang muncul dari perairan dalam, jauh dari daratan dan melingkari gobah yang memiliki terumbu gobah.


(22)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

(a) (b)

(c)

Gambar 2: Tahap pembentukan formasi terumbu karang dari yang termuda.

Sumber: Veron (1986).

2.8 Peranan Terumbu Karang

Terumbu karang memiliki berbagai peran penting, baik secara ekologi maupun ekonomi. Di Indonesia terumbu karang memiliki potensi yang sangat besar, yaitu sebagai berikut:

a. Pelindung ekosistem pantai: terumbu karang akan menahan dan memecah energi gelombang sehingga mencegah terjadinya abrasi dan kerusakan di sekitarnya. b. Rumah bagi banyak jenis mahluk hidup di laut: terumbu karang bagaikan oase di

padang pasir untuk lautan. Karenanya banyak hewan dan tanaman yang berkumpul di sini untuk mencari makan, memijah, membesarkan anaknya, dan berlindung. Bagi manusia, ini artinya terumbu karang mempunyai potensial perikanan yang sangat besar, baik untuk sumber makanan maupun mata


(23)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

pencaharian mereka. Diperkirakan, terumbu karang yang sehat dapat menghasilkan 25 ton ikan per tahunnya.

c. Sumber obat-obatan: pada terumbu karang banyak terdapat bahan-bahan kimia yang diperkirakan bisa menjadi obat bagi manusia. Saat ini banyak penelitian mengenai bahan-bahan kimia tersebut untuk dipergunakan untuk mengobati berbagai manusia.

d. Objek wisata: terumbu karang yang bagus akan menarik minat wisatawan sehingga meyediakan alternatif pendapatan bagi masyarakat sekitar. Diperkirakan sekitra 20 juta penyelam, menyelam dan menikmati terumbu karang per tahun.

e. Daerah Penelitian: penelitian akan menghasilkan informasi penting dan akurat sebagai dasar pengelolaan yang lebih baik. Selain itu, masih banyak jenis ikan dan organisme laut serta zat-zat yang terdapat di kawasan terumbu karang yang belum pernah diketahui manusia (http://google.co.id/coremap/search-manfaat-terumbu-karang).

2.9 Faktor Pembatas Yang Mempengaruhi Keberadaan Terumbu Karang

Kelestarian terumbu karang akan tetap terpelihara apabila kondisi lingkungan tetap mendukung keberadaannya terjaga dari berbagai ancaman. Terumbu karang sangat peka terhadap kondisi lingkungan di perairan, diantaranya ialah:

a. Cahaya

Pengaruh cahaya sangat penting bagi pertumbuhan terumbu karang dikarenakan pada terumbu karang hidup zooxanthellae yang melakukan fotosintesis


(24)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

dimana hewan karang memperoleh nutrisi dari hasil fotosintesis tersebut. Mengingat hewan karang (hermatypic) hidupnya bersimbiosis dengan alga tersebut. Titik kompensasi hewan karang terhadap cahaya antara 200-700 f.c (foot candela). Sedangkan intensitas cahaya di permukaan laut secara umum antara 2500-5000 f.c mengingat kebutuhan tersebut, maka hewan karang (reef coral) umumnya tersebar di daerah tropis (Supriharyono 2000-a).

b. Kedalaman

Berkaitan dengan pengaruh cahaya (illumination) terhadap pertumbuhan karang maka faktor kedalaman juga sangat membatasi keberadaan terumbu karang. Kebanyakan terumbu karang hidup di bawah 25 m. Hewan karang tidak dapat berkembang di perairan yang lebih dalam dari 50-70 m. Semakin dalam suatu lautan maka semakin berkurang cahaya yang dapat masuk ke dalam lautan tersebut, sehingga akan mempengaruhi laju fotosintesis. Sehingga terumbu karang hidup dengan baik pada kedalaman kurang dari 20 m (Nybakken, 1988).

Cahaya dan kedalaman berperan penting untuk kelangsungan proses fotosintesis oleh zooxanthellae yang terdapat di jaringan karang. Terumbu yang dibangun karang hermatipik dapat hidup di perairan dengan kedalaman maksimal 50-70 meter, dan umumnya berkembang di kedalaman 25 meter atau kurang. Titik kompensasi untuk karang hermatipik berkembang menjadi terumbu adalah pada kedalaman dengan intensitas cahaya 15-20% dari intensitas di permukaan (http://google.or.id/ekologi-karang-terumbu-faktor-faktor/html).

c. Sedimentasi

Terumbu karang sangat sensitif terhadap sedimentasi, akibatnya terumbu karang tidak lagi ditemukan pada daerah yang terlalu banyak pemasukan air tawar yang membawa banyak endapan lumpur meskipun keadaan lingkungannya cukup baik. Kebanyakan


(25)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

hewan karang tidak dapat bertahan karena adanya endapan yang menutupinya sehingga menyumbat struktur pemberian makanannya. Endapan juga menyebabkan kurangnya cahaya matahari yang dibutuhkan untuk fotosintesis, sehingga akan menyebabkan kematian bagi karang (Supriharyono, 2000-a).

Suharsono (1996) menyatakan bahwa sedimen diketahui dapat mempengaruhi pertumbuhan karang, juga menentukan bentuk pertumbuhan karang. Ada kecenderungan bahwa karang yang tumbuh atau teradaptasi di perairan yang sedimennya tinggi, berbentuk foliate, branching dan ramose. Sedangkan di perairan yang jernih atau sedimentasinya rendah lebih banyak dihuni oleh karang yang berbentuk piring (plate dan digitate plate).

d. Salinitas

Salinitas diketahui juga merupakan faktor pembatas kehidupan binatang karang. Salinitas air laut di daerah tropis adalah sekitar 35%. Pengaruh salinitas terhadap kehidupan hewan karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat atau pengaruh alam, seperti run-off, badai, hujan, sehingga salinitas akan berubah (Supriharyono, 2000-a).

Daya tahan setiap jenis hewan karang tidaklah sama. Bahkan pada salinitas di bawah minimum dan maksimum terkadang hewan karang masih dapat hidup. Hewan karang hidup paling baik pada salinitas air laut yang normal yaitu 32-36o/oo

(Nybakken, 1988).

e. Substrat

Hewan karang membutuhkan substrat yang keras dan kompak untuk menempel. Terutama larva planula dalam pembentukan koloni baru dari karang, yang mencari substrat keras. Subtrat keras ini dapat berupa benda padat yang ada di dasar


(26)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

laut, seperti batu, cangkang moluska, potongan-potongan kayu, bahkan besi yang terbenam, namun setiap jenis karang tertentu juga memiliki daya tahan yang berbeda pada benda benda tersebut. Karang mati yang tenggelam di dasar laut juga dapat ditumbuhi berbagai jenis hewan karang (Tomascik, et al, 1997).

f . Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut merupakan faktor yang paling penting bagi organisme air. Kehidupan di air dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimum sebanyak 5 mg oksigen setiap liter air. Banyaknya oksigen terlarut melalui udara ke air tergantung pada luas permukaan air, suhu, dan salinitas air. Oksigen yang terlarut berasal dari proses fotosintesis tumbuhan dan tergantung pada kerapatan tumbuh-tumbuhan air dan intensitas cahaya yang sampai ke badan air tersebut. Kenaikan suhu pada perairan dapat menyebabkan penurunan kadar oksigen terlarut (Barus, 2004).

Hubungan yang erat (simbiosis) antara hewan karang dan zooxanthellae dapat dikategorikan sebagai simbiosis mutualisme, karena hewan karang menyediakan tempat berlindung bagi zooxanthellae dan memasok secara rutin kebutuhan bahan-bahan anorganik yang diperlukan untuk fotosintesis, sedangkan hewan karang diuntungkan dengan tersedianya oksigen dan bahan-bahan organik dari zooxanthellae.

g. Biochemical Oxygen Demand (BOD)

Biochemical Oxygen Demand merupakan nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerob dalam proses penguraian senyawa organik yang diukur pada suhu 20 0C. Pengujian BOD yang dapat diterima adalah pengukuran jumlah oksigen yang akan dihabiskan dalam 5 hari oleh mikroorganisme pengurai aerobik dalam suatu volume limbah, karena selama masa


(27)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

inkubasi 5 hari sudah memperlihatkan besar persentase yang cukup yaitu lebih kurang 70% dari seluruh bahan organik telah terurai (Brower et al, 1990).

h. Derajat Keasaman (pH)

Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan didefenisikan sebagai logaritma dari resiprokal aktivitas ion hidrogen dan secara matematis dinyatakan sebagai pH = log 1/H+, adalah banyaknya ion hidrogen dalam mol per liter larutan. Kemampuan air untuk melepaskan atau mengikat sejumlah ion hidrogen akan menunjukkan larutan tersebut asam atau basa. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa, akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi (Odum, 1994).

Stress berupa panas, dingin, terang, dan gelap, terutama meningginya suhu air laut menyebabkan kerusakan simbiosisme antara karang dengan alga pada karang tersebut. Semakin banyak karbondioksida dilepas ke atmosfir. Semakin banyak pula yang kembali ke laut melalui air hujan dan mengubah pH (keasaman) air laut menjadi lebih rendah atau makin asam. Turunnya pH air laut ini menyebabkan karang menjadi keropos (coral osteoporosis). Karang keropos ini jika dikembalikan ke kondisi air laut semula tidak dapat membuat memperbaiki terumbu kembali (http://www.republika.co.id/berita/50096/Pakar_Terumbu_Karang_AS_Beri_ Kuliah_Umum_di_IPB).

i. Suhu

Karang pembentuk terumbu sangat peka terhadap suhu bahkan terbatas keberadaannya di perairan hangat karena mereka tumbuh pada temperatur antara 18-27 oC (Romimohtarto & Juawana, 2001). Suhu yang baik bagi terumbu karang berkisar 18


(28)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

o

C, dimana masih terdapat sinar matahari, namun pada suhu antara 18 oC sampai 29 oC terumbu karang masih dapat bertahan (Supriharyono, 2000-b).

Terumbu karang pada umumnya ditemukan pada perairan dengan suhu 18 – 36

o

C, dengan suhu optimum 26 - 28 oC (Birkeland, 1997), tetapi menurut Nybakken (1988) terumbu karang masih dapat mentolelir suhu sampai 36 – 40 oC.


(29)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

BAB 3

BAHAN DAN METODA

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2009 di bagian timur kawasan perairan Pulau Rubiah, Nangroe Aceh Darussalam, dimana daerah ini merupakan bagian dari Taman Laut Pulau Rubiah yang memiliki luas 2600 ha dan terletak pada 95o15’-95o15’ BT dan 5o52’-5o53’LU.

3.2 Deskripsi stasiun pengamatan

Dalam penenelitian ini ditentukan dua stasiun pengambilan data yang memiliki deskripsi umum sebagai berikut:

3.2.1 Stasiun I

Daerah ini terletak di sebelah timur laut pulau Rubiah, dimana daerah ini merupakan daerah alami atau kontrol yang secara geografis terletak pada 5o53’01,40”LU dan 95o15’32,40”BT sampai dengan 95o15’28,10”BT dan 5o53’06,60”LU. Secara umum daerah ini memiliki perairan yang curam dan dalam serta berhadapan langsung dengan lautan terbuka. Denah dan foto lokasi penelitian dapat dilihat pada lampiran F dan G.


(30)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

3.2.2 Stasiun II

Daerah ini terletak di sebelah tenggara pulau Rubiah, dimana daerah ini adalah daerah yang memiliki banyak aktivitas yang secara geografis terletak pada 5o52’32,80”LU dan 95o15’38,80”BT sampai dengan 95o15’35,60”BT dan 5o52’39,20”LU, pada daerah ini juga memiliki kondisi perairan yang landai, pantai berpasir, bangunan dan juga sering dilintasi perahu atau lalu-lintas boat. Denah dan foto lokasi penelitian dapat dilihat pada lampiran F dan G.

3.3 Pengamatan Terumbu Karang

Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi pengambilan data adalah

“Purposive Random Sampling” dengan menentukan 2 stasiun pengamatan.

Pengambilan data persen tutupan terumbu karang ini menggunakan “Lifeform

Transect Method”, dimana garis transek sepanjang 50 meter yang diletakkan pada

bentuk pertumbuhan terumbu karang dan sejajar dengan garis pantai dengan tiga kali ulanngan untuk setiap stasiun pengambilan data. Jarak antara satu transek dengan transek berikutnya adalah 10 meter. Pertumbuhan terumbu karang yang terletak di bawah garis transek diamati menurut kriteria English et al,(1994) dengan cara snorkelling dan diukur panjang tutupannya dengan menggunakan meteran tersebut.

3.4 Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan

Pengukuran faktor fisik-kimia perairan dilakukan sebelum pengambilan data persen tutupan terumbu karang hidup. Faktor fisik-kimia perairan yang diukur mencakup:


(31)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

Pengukuran suhu air dilakukan dengan menggunakan termometer air raksa yang berskala 0-50 oC. Termometer dicelupkan ke dalam air dan dibiarkan sampai menunjukkan skala yang konstan lalu dibaca skala yang tertera pada termometer tersebut.

3.4.2 Penetrasi Cahaya

Pengukuran penetrasi cahaya dilakukan dengan menggunakan keping Secchi. Keping Secchi dimasukkan ke dalam badan air sampai kedalaman tertentu sampai batas penetrasi cahaya, kemudian diukur penetrasi cahayanya.

3.4.3 Intensitas Cahaya

Intensitas cahaya diukur dengan menggunakan Luxmeter. Luxmeter diletakkan di tempat terbuka guna menangkap cahaya. Faktor pengali disesuaikan dengan intensitas yang diperoleh.

3.4.4 Kedalaman

Kedalaman air diukur dengan menggunakan tongkat berskala yang dimasukkan ke dalam badan air sampai mencapai dasar perairan, lalu dibaca skala yang tertera pada tongkat tersebut.

3.4.5 Salinitas

Salinitas diukur dengan menggunakan Refractometer, dengan cara meneteskan sampel air pada kaca refractometer dengan menggunakan pipet tetes, kemudian ditutup dan dibaca skala yang tertera pada alat tersebut.


(32)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

3.4.6 Derajat Keasaman

Derajat keasaman (pH) diukur dengan menggunakan pHmeter, dengan cara memasukkan elektroda ke dalam sampel air dan dibaca angka yang tertera pada pHmeter tersebut.

3.4.7 Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut diukur dengan menggunakan metode Winkler. Sampel air yang diambil, dimasukkan ke dalam botol Winkler, kemudian ditetesi dengan MnSO4

dan KOHKI masing-masing sebanyak 1 ml, dihomogenkan dan didiamkan selama beberapa saat sampai terbentuk endapan berwarna putih atau kecoklatan. Selanjutnya ditambahkan 1 ml H2SO4 lalu dihomogenkan sampai terbentuk endapan coklat. Lalu

dititrasi dengan Na2S2O3 0,0125 N hingga berwarna kuning pucat. Selanjutnya ditetesi

dengan 5 tetes amilum sampai berwarna biru. Lalu dititrasi lagi dengan Na2S2O3

0,0125 N sampai sampel air berwarna seperti semula. Jumlah Na2S2O3 0,0125 N yang

terpakai menunjukkan kadar oksigen terlarut pada perairan tersebut (Lampiran A).

3.4.8 Jenis Substrat

Substrat dasar perairan diamati dengan melihat jenisnya dengan mengambil contoh substrat perairan.


(33)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

Tabel 3.1 Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan Beserta Satuan dan Alat/Metode yang Digunakan

No. Parameter Satuan Alat/Metode Tempat

Pengukuran

1 Suhu oC Termometer In-situ

2 Penetrasi cahaya meter (m) Keping Secchi In-situ

3 Intensitas cahaya Candella Luxmeter In-situ

4 Kedalaman meter (m) Tongkat berskala In-situ

5 Salinitas o/oo Refraktometer In-situ

6 pH - pHmeter In-situ

7 DO Mg/l Winkler In-situ

8 Kejenuhan Oksigen % - In-situ

9 BOD5 Mg/l Winkler Laboratorium

10 Jenis Substrat - - In-situ

3.5 Analisis Data

a. Persen Tutupan Karang Hidup

Menurut Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup (KABAPEDAL) No. 47 Tahun 2001 tentang Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu Karang, rumus yang digunakan untuk lifeform method adalah sebagai berikut.

Masing-masing kategori bentuk pertumbuhan terumbu karang dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Angka (persentase) tutupan = x100%

transek total

Panjang

biota kategori suatu

total Panjang


(34)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

Persentase tutupan = x100%

transek total

Panjang

hidup karang terumbu kategori

seluruh

total Panjang

(Yosephine, 1998).

Tabel 3.2 Kriteria Persen Tutupan Terumbu Karang Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 2001

Kategori %

Buruk 0-24,9 %

Sedang 25-49,9 %

Baik 50-74,9 %

Baik sekali 75- 100 %

b. Analisis Kolerasi

Untuk mengetahui hubungan antara faktor fisik-kimia perairan dengan persen tutupan terumbu karang hidup maka dilakukan uji korelasi dengan metode komputerisasi SPSS Ver.13.00.


(35)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Persen Tutupan Terumbu Karang

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan persen tutupan terumbu karang hidup yang berbeda-beda pada setiap stasiun penelitian, dimana didapatkan lima bentuk pertumbuhan dari kelompok Acropora dan lima bentuk pertumbuhan dari kelompok Non-acropora seperti terlihat pada Tabel 4.1 berikut:

Tabel 4.1 Nilai persen tutupan terumbu karang pada setiap stasiun pengamatan

N o

Bentuk hidup Persen Tutupan

Stasiun I Rata2 Stasiun II Rata2

1

1 2 3 1 2 3

Acropora

Branching 17,3 5,34 8,42 10,35 5,00 0,10 10,20 5,10

Digitata 7,5 4,82 2,20 4,84 4,90 0,64 7,48 4,34

Encrusting 10,12 4,50 3,40 6,01 0,80 - 4,42 2,61

Submassive 3,22 2,92 3,54 3,23 1,08 1,74 1,14 1,32

Tabulate 27,82 5,00 3,36 12,06 2,04 2,40 3,10 2,51

Sub-total 65,96 22,58 20,92 36,49 13,82 4,88 26,34 15,88 2

Non-Acropora

Encrusting 0,26 0,74 6,90 2,63 0,30 7,76 0,28 2,78

Foliose 2,30 8,02 1,28 3,87 1,60 8,12 - 4,86

Heliopora 0,44 2,04 0,54 1,01 - - 1,04 1,04

Massive 14,72 39,66 28,88 27,75 34,50 33,40 30,86 32,92

Submassive 1,52 0,52 2,02 1,35 0,84 2,66 3,10 2,20

Sub-total 19,24 50,98 39,62 36,61 37,24 51,94 35,28 43,80 Total 85,20 73,56 60,54 73,10 51,06 56,82 61,62 59,68


(36)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

Dari Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa pada stasiun I memiliki persen tutupan terumbu karang hidup tertinggi yaitu 73,10 %, dimana daerah ini memiliki habitat yang masih alami, perairan yang jernih dan rata-rata intensitas cahaya yang tinggi sehingga terumbu karang mendapatkan cahaya matahari yang cukup dimana kondisi ini sangat dibutuhkan untuk tumbuh dengan baik. Pantai yang curam dengan jenis substrat berbatu yang lebih dominan juga memungkinkan koloni terumbu karang dapat melekat lebih kokoh dan peluang berkembangnya terumbu karang baru akan lebih besar. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ardiwijaya et al, (2006) bahwa perairan pulau Weh relatif memiliki kecerahan perairan yang tinggi, sehingga karang mendapatkan cahaya matahari yang sangat dibutuhkan untuk tumbuh. Daerah perlindungan laut di pulau Weh juga memiliki tutupan karang rata-rata yang relatif lebih tinggi dibanding daerah lainnya (open access). Daerah lain yang lebih didominasi oleh substrat pasir memiliki peluang terumbu karang untuk hidup dan tumbuh akan lebih kecil.

Selanjutnya hasil pengukuran faktor fisik-kimia perairan (Tabel 4.2) juga menunjukkan bahwa stasiun I (daerah kontrol) memiliki nilai rata-rata tertinggi pada intensitas cahaya (1229 candela), pH (7,8), DO, suhu (30 oC), kejenuhan oksigen (88,589 %), salinitas (35 o/oo) serta penetrasi cahaya (5 meter), hal ini mengakibatkan kondisi perairan di stasiun I lebih optimal dalam mendukung pertumbuhan terumbu karang dibandingkan stasiun II (daerah aktivitas). Disamping itu BOD5 stasiun I

memiliki nilai yang rendah (1,1 mg/l), yang artinya tidak ditemukan pencemaran. Supriharyono (2000-b) mengatakan bahwa keanekaragaman, penyebaran dan pertumbuhan karang hermatipik juga tergantung pada kondisi fisik-kimia lingkungannya. Kondisi ini pada kenyataannya tidak selalu tetap akan tetapi sering kali berubah karena adanya gangguan baik yang berasal dari alam maupun dari aktivitas manusia.

Sedangkan persen tutupan terumbu karang hidup pada stasiun II memiliki nilai yang lebih rendah yaitu 59.68%. Kerusakan terumbu karang pada daerah ini lebih


(37)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

tinggi dibandingkan stasiun I, baik yang terjadi secara alami maupun oleh aktivitas manusia. Disamping itu daerah ini juga memiliki kondisi perairan yang landai dan tenang, sehingga sering digunakan oleh wisatawan untuk bermain, diving, snorkelling, dan aktivitas lainnya yang dapat mempengaruhi kondisi faktor fisik-kimia perairan (Tabel 4.2). Jika dibandingkan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh berbagai pihak (WCS, FFI, mahasiswa Biologi S1) selama 5 tahun terkhir ini, dapat dikatakan bahwa daerah ini memang telah mengalami kerusakan, sehingga pada setiap transek sering dijumpai karang mati (dead coral). Kerusakan ini pada umumnya disebabkan karena terumbu karang mengalami pemutihan (coral bleaching) dan juga dijumpai terumbu karang yang patah-patah. Supriharyono (2000-a) menyatakan bahwa aktifitas wisata bahari yang berlebihan dapat mengakibatkan turunnya kualitas dan fungsi lingkungan perairan laut yang akan mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang. Selanjutnya Westmacott (2000) menyatakan bahwa pemutihan karang atau Coral Bleaching adalah pudarnya warna terumbu karang menjadi pucat atau putih. Hal ini merupakan akibat dari pemanasan global yang menyebabkan karang kehilangan 60-90% dari jumlah zooxanthellae-nya. Tsunami pada bulan Desember 2004 menyebabkan kerusakan terumbu karang jauh lebih ringan dibandingkan akibat perubahan iklim, kerusakan parah umumnya terjadi pada daerah sempit pada sebagian kecil kawasan terumbu karang (Wilkinson et al, 2006).

Dari hasil pengukuran persen tutupan terumbu karang hidup pada setiap stasiun penelitian, maka dapat digambarkan perbedaan persen tutupan setiap bentuk hidup terumbu karang seperti pada Gambar 3 berikut:


(38)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

Gambar 3: Grafik persen tutupan setiap bentuk hidup terumbu karang.

Pada Gambar 3 diatas terlihat bahwa jenis acropora dengan ciri khusus memiliki radial coralit dan axial coralit selalu mendominasi pada stasiun I, yaitu dari jenis acropora branching, acropora digitata, acropora encrusting, acropora submassive dan acropora tabulate. Hal ini disebabkan pada stasiun tersebut habitatnya masih alami, intensitas cahaya yang tinggi, berhadapan langsung dengan lautan terbuka, pantai yang terjal serta hampir tidak dijumpai aktivitas manusia. Sedangkan pada stasiun II yang memiliki berbagai aktivitas dan perairan yang landai sangat sedikit ditemukan kelompok acropora ini. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Johan (2003) bahwa genus acropora biasanya tumbuh pada perairan jernih dan lokasi dimana terjadi pecahan ombak. Bentuk koloni umumnya bercabang dan tergolong jenis karang yang cepat tumbuh, namun sangat rentan terhadap sedimentasi dan aktivitas manusia. Selanjutnya Nybakken (1988) menyatakan bahwa karang bercabang pada umumnya lebih mendominasi pada perairan yang lebih dalam. Pada Gambar 3 di atas, acropora branching dan acropora tabulate merupakan bentuk hidup yang paling banyak dari kelompok karang acropora. Koloni ini tumbuh ke arah vertikal maupun horisontal, dengan arah vertikal lebih dominan. Percabangan dapat memanjang atau melebar, sementara bentuk cabang dapat halus atau tebal. Karang bercabang memiliki tingkat pertumbuhan yang paling cepat, yaitu bisa mencapai 20 cm/tahun (Suharsono, 1984).


(39)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

Kelompok terumbu karang non-acropora dengan ciri khusus tidak memiliki axial coralit umumnya mendominasi di stasiun II. Daerah ini memiliki kondisi dasar perairan yang agak landai dan pantai berpasir sehingga sering digunakan wisatawan untuk berbagai kegiatan. Kondisi ini telah menyebabkan kerusakan pada karang acropora khususnya yang pertumbuhannya bercabang dan melebar seperti acropora branching dan acropora tabulate pada derah perairan dangkal. Terumbu karang non-acropora dari kelompok coral massive mendominasi pada kedua stasiun pengamatan. Pertumbuhan koloni karang ini lebih dominan ke arah horisontal daripada vertikal. Karang ini memiliki bentuk yang bervariasi, seperti setengah bola dengan ukuran yang juga beragam, serta memiliki laju pertumbuhan paling lambat (< 1 cm/tahun). Meski demikian, banyak dijumpai karang ini dengan ukuran yang sangat besar, karena memiliki adaptasi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Suharsono (1996) menyatakan bahwa coral massive mempunyai daya kompetisi yang tinggi, dengan harapan hidup yang panjang, mempunyai kemampuan penyebaran yang terbatas dan kecepatan tumbuh yang lambat. Disamping itu karang massive juga memiliki suatu adaptasi khusus yaitu dapat mencerna karang yang berada di dekatnya. Selanjutnya Supriharyono (2000-a) menyatakan bahwa coral massive merupakan karang yang paling toleran terhadap kenaikan suhu, dan paling tahan terhadap adanya kekeruhan pada suatu perairan.


(40)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

4.2 Faktor Fisik-Kimia Perairan

Berdasarkan hasil pengukuran faktor fisik-kimia perairan dilapangan, di dapatkan nilai rata-rata faktor fisik-kimia perairan seperti terlihat pada Tabel 4.2 berikut:

Tabel 4.2 Nilai Faktor Fisik-Kimia Perairan pada Setiap Stasiun Penelitian

No. Faktor Fisik-Kimia Satuan Stasiun

I II

1 Suhu oC 30 29

2 Penetrasi cahaya meter (m) 5 4

3 Intensitas cahaya Candella 1229 949

4 Kedalaman m 5 4

5 Salinitas o/oo 35 34

6 pH - 7.8 7.7

7 DO Mg/l 6.8 6.1

8 Kejenuhan Oksigen % 88.589 79.842

9 BOD5 Mg/l 1.1 1.8

10 Jenis Substrat - Didominasi batuan

(tidak ada sedimentasi)

Batuan, pasir dan pecahan karang

Ket : Stasiun I = daerah kontrol (lebih didpminasi batuan). Stasiun II = daerah aktivitas.

4.2.1 Suhu

Nilai suhu yang di peroleh pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa pada stasiun I memiliki kisaran tertinggi yaitu 30 0C, hal ini terjadi karena semakin sedikitnya vegetasi yang mampu menyerap cahaya matahari, sehingga cahaya matahari langsung masuk ke badan air. Sedangkan pada stasiun II memiliki kisaran suhu terendah yaitu 29 0C, dimana daerah ini dikelilingi oleh daratan dengan berbagai vegetasi yang mampu menyerap cahaya matahari langsung, namun demikian kisaran suhu di perairan pulau rubiah masih dalam kisaran normal.

Nontji (1993) menyatakan bahwa suhu di permukaan perairan nusantara berkisar antara 28-31 oC. Umumnya jenis karang ini hidup di perairan pantai /laut yang cukup dangkal dimana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan tersebut. Selanjutnya Nybakken (1988) menyatakan bahwa untuk hidup binatang karang membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara 25-32 oC.


(41)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

4.2.2 Penetrasi Cahaya

Nilai penetrasi cahaya pada Tabel 4.2 yang diperoleh dari penelitian ini sesuai dengan kedalaman yang dimiliki oleh setiap stasiun penelitian tersebut, dimana pada stasiun I memiliki kedalaman rata-rata 5 meter dan stasiun II rata-rata 4 meter, atau dapat dikatakan cahaya dapat sampai ke dasar perairan. Hal ini karena pada kedua stasiun tersebut memiliki perairan yang jernih tanpa adanya sedimentasi sehingga cahaya matahari dapat terus menembus badan air hingga ke dasar perairan tersebut.

Antara penetrasi cahaya dan intensitas cahaya saling mempengaruhi. Semakin maksimal intensitas cahaya, maka semakin tinggi penetrasi cahaya. Jumlah radiasi yang mencapai permukaan perairan sangat dipengaruhi oleh awan, ketinggian dari permukaan air laut, sedimentasi, letak geografis dan musim (Tarumingkeng, 2001).

4.2.3 Intensitas Cahaya

Nilai intensitas cahaya pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa pada stasiun I memiliki nilai intensitas cahaya rata-rata tertinggi sebesar 1229 Candela, hal ini karena daerah ini berhadapan langsung dengan lautan lepas dan semakin sedikitnya vegetasi yang mampu menerap cahaya matahari pada daerah stasiun ini. Sedangkan pada stasiun II memiliki nilai intensitas cahaya rata-rata terendah sebesar 949 Candela, hal ini karena pada stasiun II masih banyak vegetasi yang mampu menyerap cahaya matahari langsung, namun hal ini dapat juga di pengaruhi oleh keadaan cuaca yang berawan saat pengukuran.

Nybakken (1988) mengatakan bahwa, cahaya merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam proses fotosintesis. Tanpa cahaya yang cukup laju fotosintesis akan berkurang, sehingga kemampuan karang dalam menghasilkan kalsium karbonat akan berkurang. Tingkat kompensasi untuk karang nampaknya


(42)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

merupakan kedalaman, dimana intensitas cahaya kurang sampai 15-20 % dari intensitas permukaan. Kondisi ini menunjukkan ketersediaan intensitas cahaya matahari cukup besar sehingga fotosintesis yang dilakukan oleh zooxanthellae dapat berlangsung secara optimal yang secara langsung mendukung pertumbuhan karang.

4.2.4 Kedalaman

Hasil pengukuran kedalaman perairan pada Tabel 4.2, didapat bahwa pada stasiun I memiliki rata-rata kedalaman 5 meter, dimana pada daerah ini memiliki pinggiran perairannya yang terjal dan curam. Sedangkan pada stasiun II memiliki rata-rata kedalaman 4 meter, dimana daerah ini memiliki kondisi perairan yang agak landai.

Supriharyono (2000-a) mengatakan bahwa mengingat pengaruh cahaya yang sangat erat hubungannya dengan pertumbuhan terumbu karang, maka faktor kedalaman juga membatasi kehidupan binatang karang. Pada perairan yang jernih memungkinkan penetrasi cahaya dapat menembus sampai pada lapisan yang sangat dalam. Sehingga binatang karang juga dapat hidup pada perairan yang cukup dalam. Namun secara umum karang tumbuh baik pada kedalaman kurang dari 20 meter, yaitu pada jarak penetrasi cahaya perairan laut yang jernih pada umumnya.

4.2.5 Salinitas

Nilai salinitas pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa pada stasiun I memiliki kisaran nilai salinitas tertinggi yaitu 35 o/oo, dimana daerah ini berhadapan langsung dengan

lautan bebas. Sedangkan pada stasiun II memiliki nilai salinitas terendah yaitu 34 o/oo.

Hal ini karena stasiun II lebih dekat ke arah pantai Iboih, dimana pada daerah ini juga terdapat outlet air tawar dari daratan tersebut.

Salinitas air laut di daerah tropis rata-rata berkisar 35 o/oo, dan terumbu karang


(43)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat atau pengaruh alam, seperti run-off , badai, hujan, dan lain-lain (Supriharyono, 2000-b).

4.2.6 pH

Nilai pH pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa pada stasiun I memiliki nilai pH tertinggi sebesar 7,8 sedangkan pada stasiun II memiliki nilai pH yang terendah sebesar 7,7 dimana hasil pengukuran ini masih tergolong baik dan sesuai dengan batas normal pH perairan laut tropis yang mendukung terhadap ekosistem terumbu karang.

Saat ini para ilmuwan menyadari ternyata pemanasan global dapat menurunkan nilai pH air laut dari samudera karena adanya reaksi kimia antara air dengan CO2. Gas karbondioksida (CO2) yang ditebarkan ke atmosfer oleh

pabrik-pabrik, kendaraan dan pembangkit listrik tidak hanya meningkatkan suhu udara. Tetapi juga menyebabkan apa yang para ilmuwan sebut dengan istilah "pengasaman laut" karena sekitar 25% dari kelebihan CO2 yang tersebar itu terserap laut. Akibat

meningkatnya tingkat keasaman karena perubahan iklim ini maka secara total dapat

melenyapkan organisme berkapur

4.2.7 DO

Nilai DO pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa pada stasiun I memiliki nilai DO tertinggi sebesar 6,8 mg/l, hal ini karena daerah ini memiliki persen tutupan terumbu karang yang paling tinggi. Sedangkan stasiun II memiliki DO terendah sebesar 6,1 mg/l, dimana daerah ini juga memiliki persen tutupan yang terendah sehingga hasil fotosintesis dari zooxanthellae juga akan semakin rendah.

Barus (2004) menyatakan bahwa kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Oksigen terlarut juga merupakan faktor yang paling penting bagi organisme air. Banyaknya oksigen terlarut melalui udara ke air


(44)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

tergantung pada luas permukan air, suhu, dan salinitas air. Oksigen yang terlarut berasal dari proses fotosintesis dimana intensitas cahaya sampai ke badan air tersebut. Kenaikan suhu pada perairan dapat menyebabkan penurunan kadar oksigen terlarut Selain itu gelombang besar juga dapat menambahkan oksigen ke dalam air laut tersebut (Nybakken, 1988).

4.2.8 Kejenuhan Oksigen

Nilai kejenuhan oksigen pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa yang tertinggi di dapat pada stasiun I yaitu 88,589 %, sedangkan pada stasiun II memiliki nilai kejenuhan oksigen yang terendah sebesar 79,842 %. Hal ini menunjukkan bahwa oksigen terlarut pada stasiun I memiliki defisit oksigen lebih kecil dibandingkan dengan stasiun II.

Menurut Barus (2004), kehadiran senyawa organik akan menyebabkan terjadinya proses penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme dan berlangsung secara aerob, artinya membutuhkan oksigen. Seandainya pada pengukuran temperatur 13,9o C diperoleh kadar oksigen terlarut 8 mg/l, maka sesuai dengan tabel seharusnya kelarutan oksigen maksimum akan mencapai 10 mg/l. Disini terlihat ada selisih nilai oksigen terlarut antara yang diukur (8 mg/l) dengan yang seharusnya dapat larut (10 mg/l) yaitu sebanyak 2 mg/l dengan nilai kejenuhan sebesar 80%. Dalam kasus ini dapat disimpulkan bahwa pada lokasi tersebut telah terdapat senyawa organik (pencemar) yang dapat diketahui dari defisit oksigen sebesar 2 mg/l. Oksigen tersebut digunakan dalam proses penguraian senyawa organik oleh mikroorganisme yang berlangsung secara aerobik.

4.2.9 BOD5

Nilai BOD5 pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa hilai tertinggi didapat pada

stasiun II sebesar 1,8 mg/liter, hal ini karena adanya berbagai aktivitas pada daerah itu yang dapat meningkatkan jumlah kandungan senyawa organik dan anorganik di dalam


(45)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

perairan tersebut. Sedangkan nilai BOD5 terendah pada stasiun I sebesar 1,1 mg/l,

dimana nilai BOD5 pada daerah ini masih tergolong baik dan secara umum dapat

dikatakan bahwa pada perairan tersebut belum ditemui adanya pencemaran.

Menurut Kristanto (2002), BOD menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk menguraikan atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air. Jika konsumsi oksigen tinggi, yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut di dalam air, maka kandungan bahan buangan yang membutuhkan oksigen adalah tinggi.

4.2.10 Jenis Substrat

Jenis substrat yang di temui pada masing masing stasiun adalah berupa batu, pasir dan pecahan karang seperti yang tertera pada Tabel 4.2, namun pada stasiun I lebih didominasi oleh subrstrat berupa batuan, sedangkan stasiun II dijumpai batu, pasir dan juga pecahan karang.

Hewan karang membutuhkan substrat yang keras dan kompak untuk menempel. Terutama larva planula dalam pembentukan koloni baru dari karang, yang mencari substrat keras. Subtrat keras ini dapat berupa benda padat yang ada di dasar laut, seperti batu, cangkang moluska, potongan-potongan kayu, bahkan besi yang terbenam, namun setiap jenis karang tertentu juga memiliki daya tahan yang berbeda pada benda benda teresebut. Karang mati yang tenggelam di dasar laut juga dapat ditumbuhi berbagai jenis hewan karang (Tomascik, et al, 1997).


(46)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.


(47)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

4.3 Pengaruh Faktor Fisik-Kimia Perairan Terhadap Persen Tutupan Terumbu Karang Hidup

Berdasarkan hasil analisis korelasi antara persen tutupan terumbu karang hidup dengan faktor fisik-kimia perairan didapatkan indeks korelasi seperti pada Tabel 4.3 di bawah ini.

Tabel 4.3 Analisa Korelasi Persen Tutupan Terumbu Karang Hidup Dengan Faktor Fisik-Kimia Perairan

Faktor Fisik-Kimia Koefisien korelasi (r)

1 Suhu 0,320

2 Penetrasi cahaya 0,484

3 Intensitas cahaya 0,638

4 Kedalaman 0,484

5 Salinitas 0,731

6 pH 0,671

7 Kejenuhan Oksigen 0,580

8 DO 0,623

9 BOD5 -0,588

Dari Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa hasil uji analisis korelasi antara beberapa faktor fisik-kimia perairan dengan persen tutupan terumbu karang hidup, dimana hubungan yang positif (+) yaitu menandakan hubungan yang searah antara persen tutupan terumbu karang hidup dengan suhu, penetrasi cahaya, intensitas cahaya, kedalaman, salinitas, pH, kejenuhan oksigen dan DO, artinya semakin besar nilai faktor fisik-kimia perairan maka persen tutupan terumbu karang hidup semakin besar pula. Sedangkan hubungan yang negatif (-) menunjukkan hubungan yang berlawanan arah antara persen tutupan terumbu karang hidup dengan BOD5, artinya semakin kecil

nilai faktor fisik-kimia perairan maka persen tutupan terumbu karang hidup akan semakin tinggi.

Menurut Sarwono (2006), koefesien korelasi ialah pengukuran statistik kovarian atau asosiasi antara dua variabel. Besarnya koefesien korelasi berkisar antara


(48)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

+1 s/d -1. Koefesien korelasi menunjukkan kekuatan (strength) hubungan linear dan arah hubungan dua variabel acak. Untuk memudahkan melakukan interpretasi mengenai kekuatan hubungan antara dua variabel dibuat kriteria sebagai berikut:

a. Jika =0 : Tidak ada korelasi antara dua variabel. b. Jika >0 – 0,25 : Korelasi sangat lemah.

c. Jika >0,25 – 0,5 : Korelasi cukup. d. Jika >0,5 – 0,75 : Korelasi kuat.

e. Jika >0,75 – 0,99 : Korelasi sangat kuat.

f. Jika =1 : Korelasi sempurna.

Pada Tabel 4.3 juga dapat dilihat bahwa suhu, penetrasi cahaya, kedalaman memiliki kolerasi cukup (dengan interval 0,320 – 0,484) terhadap persen tutupan terumbu karang hidup yang artinya suhu, penetrasi cahaya dan kedalaman memiliki peranan sebesar 0,320 – 0,484 dalam mempengaruhi persen tutupan terumbu karang. Sedangkan intensitas cahaya, salinitas, pH, DO, kejenuhan oksigen dan BOD5

memiliki korelasi kuat (dengan interval 0,580 – 0,731) terhadap persen tutupan terumbu karang hidup yang artinya bahwa faktor fisik-kimia perairan tersebut memiliki peranan sebesar 0,580 – 0,731 dalam mempengaruhi persen tutupan terumbu karang. Semakin kuat korelasi antara faktor fisik kimia dengan persen tutupan maka semakin besar pengaruhnya terhadap perubahan persen tutupan dan kematian koloni terumbu karang tersebut, karena terumbu karang mempunyai kisaran toleransi terhadap perubahan nilai faktor fisik-kimia perairan. Menurut Supriharyono (2000-b) bahwa, pertumbuhan karang dan penyebaran terumbu karang tergantung pada kondisi lingkungannya. Kondisi ini pada kenyataan tidak selalu tetap, akan tetapi seringkali berubah karena adanya gangguan baik yang berasal dari alam maupun aktivitas manusia. Gangguan dapat berupa faktor kimia dan biologis. Faktor-faktor fisik-kimia yang di ketahui dapat mempengaruhi kehidupan atau laju pertumbuhan karang antara lain adalah cahaya matahari, suhu, salinitas dan sedimen. Sedangkan faktor biologis, dapat berupa predator atau pemangsanya. Namun apabila dikaitkan dengan hasil pengukuran dan analisis kolerasi faktor fisik-kimia perairan dapat dikatakan bahwa secara umum perairan bagian timur pulau Rubiah masih mendukung pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang tersebut.


(49)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.


(50)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Penelitian mengenai persen tutupan terumbu karang yang telah dilakukan, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Bentuk pertumbuhan terumbu karang pada bagian timur perairan Pulau Rubiah adalah dari kelompok acropora yang terdiri dari acropora branching, acropora digitata, acropora encrusting, acropora submassive dan acropora tabulate, dan kelompok non-acropora yang terdiri dari coral encrusting, coral foliose, coral heliopora, coral massive dan coral submassive.

2. Persen tutupan terumbu karang pada stasiun I (73,10 %) dan stasiun II sebesar (59,68 %) tergolong kategori baik.

3. Korelasi antara faktor fisik-kimia perairan dengan persen tutupan terumbu karang hidup menunjukkan hubungan searah kecuali BOD5 memiliki hubungan

berlawanan.

4. Kondisi lingkungan (faktor fisik-kimia perairan) di bagian timur pulau Rubiah masih mendukung untuk pertumbuhan terumbu karang.

5.2Saran

1. Peneliti selanjutnya diharapkan melakukan penelitian dengan penghitungan persen tutupan terumbu karang pada berbagai kedalaman serta menggunakan peralatan yang lebih memadai.


(51)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

2. Pihak-pihak terkait dan masyarakat diharapkan tetap menjaga kelestarian lingkungan (faktor fisik-kimia perairan) di kawasan Taman Laut Pulau Rubiah.

DAFTAR PUSTAKA

Ardiwijaya, R. L., T Kartawijaya, Y, Herdiana, F. Setiawan, 2007. Laporan Teknis Survey Terumbu Karang di Pulau Weh dan Pulau Aceh - Propinsi NAD, April 2006. WCS Marine Program Indonesia. Bogor, hlm: 3-5.

Barus, T.A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Sungai dan Danau. Program Studi Biologi. Medan: Fakultas MIPA USU.

Bikerland, C. 1997. Life and Death of Coral Reefs. International Thomson Publishing. New York, NY. hlm: xiv + 536.

Brower, J.E., Jerrold, H. Z., & Car, I. N. V. E., 1990. Field and Laboratory Methods For General Ekology. Third Edition. New York: Wm. C. Brown Publisher. hlm: 52

English, S., C. Wilkinson dan V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Recourses. Australian Institut of Marine Science. Townsville. hlm: 34-80.

2009.

12 Pebruari 2009.

12 Pebruari 2009.

Diakses tanggal 22 Agustus 2009.

Johan. O. 2003. Sistematika dan Teknik Identifikasi Karang. Yayasan Terangi, UI. Jakarta. hlm: 5.


(52)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.4/MENLH/02/2001 dalam Himpunan Peraturan Perundang-undangan Bidang Pengelolaan lingkungan Hidup dan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Kriteria Baku KerusakanTerumbu Karang. Era Otonomi Daerah Kementerian Lingkungan Hidup (2002). Jakarta.

Kimbal. J. W. 1999. Biologi. Jilid 3. Edisi V. Jakarta. Erlangga. hlm: 898-899. Kristanto, P. 2002. Ekologi Industri. Yogyakarta: Penerbit ANDI. hlm: 87.

Muller-Parker, G. dan C.F. D’Elia. 2001. Interaction Betw een Corals and Their Symbiotic Algae. Dalam: Birkeland, C. (ed.) 2001. Life and Death of Coral Reefs. Chapman & Hall, New York. hlm: 96-113.

Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djamban. Jakarta. hlm: 114-125.

Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Terj. dari Marine Biology: An Ecological Approach, oleh Eidman, M., Koesoebiono, D.G. Bengen, M. Hutomo, & S. Sukardjo. 1992. dari. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hlm xv+459.

Romimohtarto, K. & S. Juwana. 2001. Biologi Laut: Ilmu pengetahuan tentang Biota Laut. Jakarta. Djambatan. hlm: 323, 404-406.

Sarwono. 2006. Metode Penelitian Kualitatif, Mengenal Analisis Korelasi. www.jonathansarwono.

Sastrawijaya, A. T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta, Jakarta.

Savitri, L. A. 2000. Berkolaborasi dalam Pengelolaan pesisir. Bogor. Warta Konservasi Lahan Basah. hlm: 6-8, 127.

Suharsono. 1984. Pertumbuhan Karang. Jurnal Oseana, Volume IX . Puasat Penelitian Oseanografi LIPI. Jakarta. hlm: 41-48.

________. 1996. Wisata Bahari Pulau Belitung. P3O LIPI. Jakarta. hlm: 49-55. Suin, N. M. 2002. Metoda Ekologi. Padang: Universitas Andalas. hlm: 58-59.

Supriharyono, M. S. 2000a. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan. Jakarta. hlm: X, 20-29

________. 2000b. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. hlm: 71-74.


(53)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

Suwignyo, S., Widigdo, B., Wardiatno, Y., Kristanti, M., 2005. Avertebrata Air. Jilid 1. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm: 8-12.

Tomascik, T., A. J. Mah. A., Nontji., M.K. Moosa. 1997. The Ecology Of The Indonesian Seas. Part I. Singapore. Periplus Editions. hlm: 233-255.

Tarumingkeng, R. C. 2001. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peredupan Intensitas Cahaya Matahari pada Kolom Air di Daerah Pasir Kole, Waduk IR. H. Juanda Purwakarta, Jawa Barat. Makalah Palsafah Sains (PPs 702). Bogor: IPB.

Odum. E. P. 1994. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ke-3. Penerjemah: Tjahjono, S, Yogyakarta, UGM Press.

Veron, J. E. N. 1986. Coral of The World. Edited by Mary Stafforf Smith. Australian Institute of Marine Science. Townsville. Australia. hlm: 23.

Wilkinson, C., Souter, D., Goldberg, J., 2006. Status Terumbu Karang Didaerah yang Terkena Tsunami 2005. Australian Institute of Marine Science. hlm: 19. Westmacott, S., K, Teleki., S, Wells, dan West, J. M. (2000). Pengelolaan Terumbu

Karang yang telah Memutih dan Rusak Kritis. IUCN, Gland, Switzeland and Cambridge, UK. hlm: vii + 36.

Yosephine. T.H, Giyanto dan Rahmat. 1998. Buku Panduan Entri Data Terumbu Karang. LIPI. Jakarta. hlm: 31-33.


(54)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

Lampiran A. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur DO

1 ml MnSO4

1 ML KOHKI dikocok didiamkan

1 ml H2SO4

dikocok didiamkan

diambil 100 ml

ditetesi Na2S2O3 0,00125 N

ditambah 5 tetes amilum

dititrasi dengan Na2S2O3

0,00125 N Sampel Endapan

putih/coklat

Larutan sampel berwarna coklat

Sampel berwarna kuning pucat

Sampel berwarna biru

Sampel bening Sampel air


(55)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

dihitung volume Na2S2O3

yang terpakai

(Suin, 2002, hlm: 60)

Lampiran B. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur BOD5

Sampel Air

Sampel Air II Sampel Air I

Diinkubasi selama 5 hari

pada temperatur 20 0C Dihitung nilai DO

awal

Dihitung nilai DO akhir

DO Akhir DO Akhir

Keterangan:

· Penghitungan nilai DO awal dan DO akhir sama dengan penghitungan nilai DO

. Nilai BOD = Nilai awal – Nilai DO akhir Hasil


(1)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

12 OT 19 OT 21 ACS 37

13 SC 68 CM 195 CS 65

14 ACT 121 DC 31 CM 44

15 ACE 235 ACD 121 R 144

16 CHL 8 CM 29 ACD 36

17 R 70 DC 13 CM 125

18 ACT 86 OT 39 OT 18

19 CM 108 CM 225 S 89

20 R 97 R 21 ACB 25

21 CHL 4 CM 234 R 16

22 ACD 32 ACE 190 ACB 35

23 ACB 125 CM 38 DC 55

24 DC 44 R 16 CM 87

25 ACS 23 ACE 10 DC 16

26 ACE 52 CE 12 CM 65

27 CF 46 ACT 86 CHL 14

28 CM 237 CM 25 CM 64

29 ACT 172 DC 32 R 133

30 DC 48 ACT 95 ACB 34

31 CS 33 CM 27 SC 25

32 ACS 132 R 30 OT 20

33 OT 18 SC 8 R 132

34 R 21 ACS 97 CM 66

35 ACS 195 CE 25 ACE 213

36 ACD 31 CF 41 CM 34

37 ACB 121 CM 18 ACB 63

38 CM 29 DC 30 CM 161

39 CE 13 CF 155 CS 36

40 ACE 39 S 125 R 205

41 ACT 225 CM 44 CM 107

42 ACB 21 R 23 DC 64

43 ACT 234 CM 52 ACB 66

44 ACB 190 DC 46 R 144

45 R 38 CM 237 CF 64

46 OT 16 CF 172 ACS 63

47 R 10 R 48 CM 58

48 S 12 CF 33 ACT 89

49 CM 86 R 132 CM 76

50 ACB 25 CM 18 R 42

51 ACD 32 OT 21 ACE 25

52 ACT 95 DC 195 CHL 13

53 ACB 27 CHL 31 R 5

54 R 30 CM 121 CM 56

55 S 8 SC 29 DC 32

56 ACS 97 CM 13 CM 43


(2)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

58 ACS 41 S 225 ACD 42

59 ACB 18 R 21 CM 64

60 ACD 30 CM 234 OT 55

61 ACT 155 ACB 190 S 75

62 ACE 210 S 38 ACB 32

63 ACT 145 CM 16 R 113

64 ACD 47 ACS 10 ACB 34

65 R 55 CHL 12 R 13

66 OT 15 R 86 ACD 32

67 CM 175 ACE 25 R 76

68 ACD 33 CHL 32 CM 85

69 CHL 10 CM 95 ACT 58

70 CF 69 CHL 27 CM 78

71 CM 77 CM 30 R 143

72 CS 8 ACE 24

73 ACD 97 CM 57

74 ACT 25

75 CM 41

76

Ket : Acropora :Brancing (ACB) Encrusting (ACE) Submassive (ACS) Digitata(ACD) Tabulate (ACT)

Non-acropora : Brancing (CB) Encrusting (CE) Foliose (CF) Massive (CM) Submassive (CS) Heliopora (CHL) Other (OT) Sand (S) Rock (R) Dead Coral (DC)

Lampiran I. Contoh Lembar Pengambilan Data

Propinsi :NAD Waktu : Rabu, 6 mei 2009 (10.00 WIB) Kota : Sabang Lokasi : Pulau Rubiah

Kedalaman : 3 meter Suhu : 29 0C

Salinitas : 30 ‰ Intensitas Cahaya: 1206 Candela Kolektor : Taripar N. Koordinat :

Bentuk hidup transisi keterangan Bentuk hidup transisi keterangan

DC 80 Bleaching R 2322


(3)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

ACD 105 CM 2478

ACB 110 DC 2598 Bleaching

S 200 F 2644

CM 230 S 2661

SC 270 CM 2961

S 291 R 3081

CM 322 CM 3173

DC 410 Patah DC 3350 Bleaching

CM 442 CM 3403

DC 455 Bleaching S 3513

CM 466 DC 3594 Patah

DC 813 Bleaching CF 3954

ACD 840 R 3965

CM 884 CM 4148

DC 957 Bleaching OT 4210 Bintang laut

OT 975 Kima DC 4231 Bleaching

CM 1033 SC 4364

R 1060 CM 4444

CM 1068 SC 4827

R 1082 CM 4857

CM 1090 ACS 4944

R 1138 S 4957

DC 1210 Bleaching R 4988

CM 1336 CM 5000

DC 1368

CM 1786

DC 1858 Bleaching

ACT 1978

CM 1991

R 2050

SC 2148

DC 2258 Bleacing

CM 2265

Ket: panjang satu bentuk hidup (BH) = transisi sesudah BH – transisi BH

Lampiran J. Data Mentah Faktor Fisik-Kimia Perairan No. Faktor

Fisik-Kimia

Satuan Stasiun

I II

1 Suhu oC 30 30 30 29,5 28,5 29

2 Penetrasi cahaya

meter (m) 5 4,5 5,5 3,5 4,5 4

3 Intensitas cahaya


(4)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

4 Kedalaman meter (m) 5 4.5 5,5 3,5 4,5 4

5 Salinitas o/oo 35 35 35 34 34 34

6 pH - 7,9 7,8 7,7 7,5 7,6 7,7

7 DO Mg/l 6,6 6,8 6.7 6,2 6,0 6,1

8 Kejenuhan

Oksigen % 87,071 89,005 89.692 81.152 78.534 79,842

9 BOD5 Mg/l 1,2 1,1 1,0 1,7 1,9 1,8

11 Jenis Substrat Batu, Pasir, Pecahan karang

Lampiran K. Contoh Perhitungan

a) Kategori suatu bentuk pertumbuhan terumbu karang dihitung dengan rumus sebagai berikut:

% tutupan = x100%

transek total

Panjang

I stasiun 1

transek ACB

total Panjang


(5)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

= x100% 5000

863

= 17,30

b) Seluruh kategori bentuk pertumbuhan terumbu karang dihitung dengan rumus:

% tutupan = x100%

transek total

Panjang

I stasiun karang

terumbu kategori

seluruh

total Panjang

= x100%

5000 4260

= 85,20

Suhu

penetrasi _cahaya

Intensitas

cahaya kedalaman salinitas pH DO

Kejenuhan


(6)

Taripar M. Nababan : Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2010.

Lampiran L. Data Mentah Hasil Analisis Korelasi SPSS Ver. 13

Suhu 1 .783 .863(*) .783 .866(*) .151 .882(*) .924(**) -.924(**) .320

.066 .027 .066 .026 .776 .020 .008 .009 .537

Penetrasi

Cahaya .783 1 .740 1.000(**) .775 .000 .623 .696 -.718 .484

.066 .093 .000 .070 1.000 .187 .124 .108 .331

Intensitas

Cahaya .863(*) .740 1 .740 .976(**) .564 .955(**) .970(**) -.976(**) .638

.027 .093 .093 .001 .243 .003 .001 .001 .173

kedalaman

.783 1.000(**

) .740 1 .775 .000 .623 .696 -.718 .484

.066 .000 .093 .070 1.000 .187 .124 .108 .331

Salinitas .866(*) .775 .976(**) .775 1 .522 .965(**) .970(**) -.974(**) .731

.026 .070 .001 .070 .288 .002 .001 .001 .099

pH .151 .000 .564 .000 .522 1 .560 .507 -.509 .671

.776 1.000 .243 1.000 .288 .248 .305 .303 .144

DO .882(*) .623 .955(**) .623 .965(**) .560 1 .990(**) -.984(**) .623

.020 .187 .003 .187 .002 .248 .000 .000 .186

Kejenuhan

Oksigen .924(**) .696 .970(**) .696 .970(**) .507 .990(**) 1 -.999(**) .580

.008 .124 .001 .124 .001 .305 .000 .000 .227

BOD5

-.924(**) -.718 -.976(**) -.718

-.974(**) -.509

-.984(**) -.999(**) 1 -.588

.009 .108 .001 .108 .001 .303 .000 .000 .220

Persen

Tutupan .320 .484 .638 .484 .731 .671 .623 .580 -.588 1

.537 .331 .173 .331 .099 .144 .186 .227 .220