Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam

(1)

Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh

DI KAWASAN PERAIRAN PULAU RUBIAH NANGGROE ACEH

DARUSSALAM

SKRIPSI

ERNI L. HUTAURUK

050805064

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMETERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

STUDI KEANEKARAGAMAN ECHINODERMATA

DI KAWASAN PERAIRAN PULAU RUBIAH,

NANGGROE ACEH DARUSSALAM

SKRIPSI

OLEH:

ERNI L. HUTAURUK

050805064

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Sains

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMETERA UTARA


(3)

PERSETUJUAN

Judul : STUDI KEANEKARAGAMAN ECHINODERMATA

DI KAWASAN PERAIRAN PULAU RUBIAH, NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Kategori : SKRIPSI

Nama : ERNI L. HUTAURUK Nomor Induk : 050805064

Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Diusulkan di Medan, Desember 2009

Pembimbing II Pembimbing I

Mayang Sari. Y., S.Si., M.Si Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus, M.Sc

NIP: 197211261998022002 NIP: 195810161987031003

Diketahui/Disetujui oleh

Departeman Biologi FMIPA USU

Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc NIP: 196404091994031003


(4)

PERNYATAAN

STUDI KEANEKARAGAMAN ECHINODERMATA DI

KAWASAN PERAIRAN PULAU RUBIAH, NANGGROE ACEH

DARUSSALAM

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini hasil karya saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Desember 2009

ERNI L. HUTAURUK 050805064


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Studi Keanekaragaman Echinodermata di Kawasan Perairan

Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam ” dalam waktu yang telah ditetapkan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, M.Sc selaku pembimbing I dan Ibu Mayang Sari Yeanny, S.Si., M.Si selaku Dosen Pembimbing II. Panduan ringkas, padat dan profesional telah diberikan kepada penulis agar penulis dapat menyelesaikan tugas ini. Terima kasih kepada Bapak Drs. Nursal, M.Si selaku ketua penguji dan Bapak Dr. Syaf ruddin Ilyas,. MbioMed selaku sekretaris penguji yang telah banyak memberikan saran dan arahan demi penyelesaian skripsi ini. Kepada Ibu Dra. Nunuk Priyani M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik dan kepada Bapak Dr. Dwi Suryanto, M.Sc, selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA USU serta seluruh staf pengajar dan pegawai di Departemen Biologi. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Dekan FMIPA USU Prof. Dr. Eddy Marlianto., M.Sc.

Ucapan terima kasih yang tak ternilai penulis ucapkan kepada yang terhormat Ayahanda tercinta R. Hutauruk, dan Ibunda tercinta R. Siregar, buat tiap tetes keringat, air mata, harapan, doa dan dukungan moril sehingga penulis bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini. Kepada kakak-kakakku tersayang Lusiana, Lena A.Md, untuk abangku terkasih: Irvan beserta istri, T Nababan, untuk adek-adekku Regina, Putri, dan Hendra serta keponakanku Fadli terima kasih atas semua doa dan semangat yang telah diberikan selama ini. Kepada seluruh keluarga yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas doa dan semua dukungan selama ini.

Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan dilapangan, Team Sabang; Taripar, Misran S.Si, Sarah, Fitria Rasmita Manurung dan Valen. Team Asahan River; Misran S.Si, Toberni Sartika Situmorang S.Si, Rosida Ambarita S.Si dan juga buat Beca dan Erna S.Si. Terima kasih buat Pak Dekri, B’Arif, B’Eponk dan semua masyarakat Sabang yang telah memberi bantuan terhadap kelancaran penelitian ini. Kepada senior-seniorku tersayang: B’Frans S.Si, B’David Hutauruk S.Si, B’Ginta S.Si (B’Asuh), B’Franhot S,Si, B’Yurik S.Si, B’Boy S.Si, B’Gokmen S.Si, K’Metha S.Si, K’Rini S.Si dan seluruh abang/kakak stambuk 2003 dan stambuk 2004 dan seluruhnya yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu. Kepada adek-adekku Buntil, Kotang, Bangol, Jupentus, Jaya, Remon, Siti, Tridola dan seluruh stambuk 2006, 2007, 2008, 2009. Kepada teman-teman 1 kost: K’tiur, Atur bataks, Ature H24, Eka, Oliv, Evan dan seluruh teman-teman Gitar 3A terima kasih atas kebersamaannya selama ini. Terima kasih buat Roy Stepanus Ginting yang saya sayangi, yang selalu memberi kasih sayang, semangat, doa, perhatian selama ini. Tuhan selalu memberkati.

Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada rekan-rekan mahasiswa/I Biologi 2005: Siti, Simla, Julita, Riris, Ruth, Adel, Rico, Rebecca, Erna, Pile, Ocy, Tobz,


(6)

Sarah, Valen, Misran, Taripar, Wulan, Imus, Widya, Winda, Susi, Nikmah, Seneng, Fatimah, Santi, Sarmut, Yanthi, Eri, Dwi, Utin, Elfrida, Kabul, Irfan, Efendi, Rahmat, Ajay, Fifi, Juned, Dahin, Diana, Verta, Nia, Andi, Umi, Dhini, Andini, Kalista.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, untuk itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan hasil penelitian ini.

Medan, Desember 2009


(7)

ABSTRAK

Penelitian tentang “Studi Keanekaragaman Echinodermata di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Ranggroe Aceh Darussalam” telah dilakukan pada bulan Mei 2009. Penelitian ini dilakukan dengan Metoda Purposive Random Sampling yaitu menentukan 4 stasiun penelitian berdasarkan perbedaan aktivitas yang berlangsung di perairan tersebut. Pengamatan Echinodermata dilakukan pada transek yang berukuran 50 x 4 meter sebanyak 3 transek pada setiap stasiun. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat keanekaragaman echinodermata dan bagaimana hubungannya dengan faktor fisik kimia perairan. Dari hasil identifikasi diperoleh Echinodermata yang tergolong dalam 4 kelas, 5 ordo, 7 famili, 11 genus dan 13 spesies. Nilai kepadatan, kepadatan relatif tertinggi terdapat pada Diadema sp dengan nilai masing-masing sebesar 0,299 ind/m2, 41,134%. Nilai kepadatan dan kepadatan relatif terendah pada Culcita sp,

Actinopyga lecanora, Holothuria edulis dan Protoreaster nodosus sebesar 0,005

ind/m2, 0,709% pada setiap stasiun. Indeks keanekaragaman Echinodermata tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 1,859 dan terendah pada stasiun 4 sebesar 1,720. Indeks keseragaman (e) tertinggi pada stasiun 3 sebesar 0,773 dan terendah pada stasiun 4 sebesar 0,692. Persen tutupan karang yang tertinggi pada stasiun 2 sebesar 73,10% (kategori baik) dan terendah pada stasiun 4 sebesar 16,28% (kategori buruk).


(8)

STUDY OF ECHINODERMATA DIVERSITY AT THE OCEANIK OF RUBIAH ISLAND NANGGROE ACEH DARUSSALAM

ABSTRACT

The research with the title “Study of Echinodermata Diversity At The Oceanik Of Rubiah Island Nanggroe Aceh Darussalam” have been done at May 2009. This research is done with the method of Purpossive Random Sampling that is determine 4 research stasiun of pursuant to difference of society activity that goes on around this oceanik. Echinodermata survey done at the transect that sized 4 x 50 metres by 3 restating times rill each research stasion. This research target is to see the diversity of Echinodermata and the relation to percent cover of coral reef. From result identify to the Echinodermata obtained in 4 class, 5 ordo, 7 set of family, 11 genus and 13 species. The highest abundance and relative abundance is obtained at Diadema sp that is 0,299 ind./m2 and 41,134%. The lowest abundance and relative abundance at

Culcita sp, Actinopyga lecanora, Holothuria edulis and Protoreaster nodosus that is

0,005 ind/m2, 0,709% at each stasiun. The highest diversity index are at stasiun 2 that is 1,856 while the lowest are at stasiun 4 that is 1,720. Highest similarity index there are at station 3 that is 0,773 while the lowest of similarity index there are at 4 that is 0,692. The highest percent cover of coral reef are at stasiun 2 that is 73,10% (good cathegory) and the lowest are at stasiun 4 that is 16,28% (bad cathegory).


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan ii

Pernyataan iii

Penghargaan iv

Abstrak v

Abstract vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel viii

Daftar Lampiran ix

Daftar Gambar x

Bab 1 Pendahuluan 1

1.1Latar Belakang 2

1.2Permasalahan 2

1.3Tujuan Penelitian 3

1.4Hipotesis 3

1.5Manfaat Penelitian 3

Bab 2 Tinjauan Pustaka 4

2.1 Echinodermata 4

2.2 Pembagian Echinodermata 5

2.3 Anatomi dan Morfologi 11

2.4 Faktor Abiotik yang Mempengaruhi Echinodermata 12 2.5 Habitat dan Manfaat 16

Bab 3 Bahan dan Metoda 17

3.1 Waktu dan Tempat 17

3.2 Metoda Penelitian 18

3.3 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan 18

3.4 Analisa Data 20

Bab 4 Hasil dan Pembahasan 23

4.1 Parameter Biotik 23

4.1.1 Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif, dan

Frekuensi Kehadiran 31

4.1.2 Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E),

dan Persen Tutupan Karang (r) 34


(10)

4.2 Parameter Abiotik 36

4.2.1 Suhu Air 37

4.2.2 Penetrasi Cahaya 37

4.2.3 Intensitas cahaya 37

4.2.4 pH Air 38

4.2.5 Oksigen Terlarut 38

4.2.6 Kejenuhan Oksigen 39

4.2.7 BOD5 39

4.2.8 Salinitas 39

4.2.9 Jenis Substrat 40

4.3 Nilai Analisis Korelasi Pearson Metoda Komputerisasi

SPSS Ver. 13.00 40

Bab 5 Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan 43

5.2 Saran 44


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1: Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran

Faktor Fisik Kimia Perairan 20

Tabel 4.1: Klassifikasi dan Jenis Echinodermata yang didapat

pada Stasiun Penelitian 23

Tabel 4.2: Nilai Kepadatan Populasi (ind./m2), Kepadatan Relatif (%),

dan Frekuensi Kehadiran (%) pada Setiap Stasiun Penelitian 31 Tabel 4.3: Indeks Keanekaragaman (H’), Persen Tutupan Karang (r)

dan Keseragaman (E) Echinodermata pada Setiap

Stasiun Penelitian 34

Tabel 4.4: Nilai Indeks Similaritas (IS) pada Setiap Stasiun Penelitian 36 Tabel 4.5: Rata-rata Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan yang Diperoleh

pada setiap Stasiun Penelitian 36

Tabel 4.6: Nilai Analisis Korelasi Keanekaragaman Echinodermata

dengan Faktor Fisik Kimia Perairan 40


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran A: Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur DO 47

Lampiran B: Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur BOD5 48

Lampiran C: Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) pada

Berbagai Besaran Temperatur Air 49

Lampiran D: Peta Lokasi 50

Lampiran E: Foto Lokasi 51

Lampiran F: Jumlah dan Jenis Echinodermata yang di dapat pada

Setiap Stasiun Penelitian 52

Lampiran G: Contoh Hasil Perhitungan 53


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.3.1 Struktur Bintang Laut 6

Gambar 2.3.2 Morfologi Crinoid 7

Gambar 2.3.3 Morfologi Echinoidea 8

Gambar 2.3.4 Morfologi Holothuroidea 9

Gambar 2.3.5 Morfologi Ophiroidea 10

Gambar 4.1.1 Achantaster plancii 24

Gambar 4.1.2 Culcita sp 24

Gambar 4.1.3 Linkia laevigata 25

Gambar 4.1.4 Protoreaster nodosus 25

Gambar 4.1.5 Colobometra sp 26

Gambar 4.1.6 Comanthus sp 26

Gambar 4.1.7 Diadema sp 27

Gambar 4.1.8 Echinometra mathaei 27

Gambar 4.1.9 Holothuria atra 28

Gambar 4.1.10 Holothuria edulis 28

Gambar 4.1.11 Actinopyga lecanora 29

Gambar 4.1.12 Holothuria sp 29


(14)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Di Nanggroe Aceh Darussalam terdapat 4 pulau kecil yang mengelilingi Pulau Weh: sebagai tempat pariwisata menyelam karena terumbu karangnya dan kekayaan biota laut yang melimpah. Perairan Pulau Rubiah yang termasuk dalam kawasan Taman Wisata Bawah Laut Pulau Weh yang berada di Kota Sabang memiliki hamparan terumbu karang dan banyak kegiatan wisata alam di tempat ini seperti naik sampan, berenang, diving, penggunaan kapal mesin dan lain-lain. Beragam biota laut hidup dalam ekosistem ini, termasuk anggota Echinodermata yang merupakan salah satu pembentuk ekosistem terumbu karan

Echinodermata berasal dari bahasa Yunani Echinus berarti landak, dan derma berarti kulit. Semua jenis Echinodermata hidup dilaut, mulai dari daerah litoral sampai kedalaman 6.000 m. Termasuk dalam filum Echinodermata antara lain bintang laut, bulu babi, teripang dan lain-lain. Umumnya berukuran besar, yang terkecil berdiameter 1 cm (Brotowidjoyo, 1994).

Ekosistem terumbu karang merupakan habitat dari berbagai fauna invertebrata. Echinodermata merupakan salah satu kelompok biota penghuni terumbu karang yang cukup menonjol. Kelompok ini dapat hidup menempati berbagai macam mikro habitat seperti zona rataan terumbu, daerah pertumbuhan alga, padang lamun, koloni karang hidup dan karang mati dan juga beting karang (rubbles dan boulders). Kehadiran dan peranan fauna Echinodermata di ekosistem terumbu karang sangat banyak. Fauna Echinodermata mempunyai peranan pada ekosistem terumbu karang sebagai jaringan makanan dan juga sebagai herbivora, carnivora, omnivora ataupun sebagai pemakan detritus. Salah satu contohnya adalah beberapa jenis teripang dan bulu babi merupakan sumber pakan untuk berbagai jenis ikan karang dan apabila terjadi


(15)

peningkatan kelimpahan bisa membawa perubahan besar dalam struktur komunitas koral (Clark & Rowe 1971).

Echinodermata merupakan sumber daya hayati perairan laut yang cukup digemari, Echinodermata diexploitasi oleh masyarakat sebagai sumber pakan, sehingga populasi echinodermata berkurang, untuk mengatasi hal tersebut pemerintah telah mengambil kebijakan dalam undang-undang seperti yang tercantum dalam 3 SK Menteri Kehutanan yakni SK No. 12 Th. 1987 Tentang Flora Fauna yang Dilindungi, No. 301 Th. 1991 tentang Konversi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dan No. 882 Th. 1992 tentang Perlindungan Biota Perairan Air Laut (Anonimous, 1993).

Kelangsungan hidup Echinodermata dipengaruhi oleh faktor fisik kimia perairan seperti suhu, pH, salinitas, oksigen terlarut dan lain-lain. Sejauh ini belum diketahui jenis-jenis Echinodermata yang terdapat di Pulau Rubiah dan hubungan faktor fisik kimia perairan dengan keanekaragaman Echinodermata, serta pengaruh persen tutupan karang terhadap nilai keanekaragaman Echinodermata, oleh sebab itu dilakukan penelitian “Studi Keanekaragaman Echinodermata di Perairan Pulau

Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam”.

1.2 Permasalahan

Perairan Pulau Rubiah merupakan tempat wisata yang memiliki hamparan terumbu karang yang cukup luas. Echinodermata merupakan salah satu biota yang banyak terdapat di ekosistem terumbu karang di perairan ini. Sejauh ini belum diketahui keanekaragaman Echinodermata di perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam dan bagaimana hubungannya dengan faktor fisik kimia perairan, oleh sebab itu dilakukan penelitian ini.


(16)

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui jenis-jenis Echinodermata di Perairan Pulau Rubiah, Nanggroe Aceh Darussalam.

2. Untuk mengetahui hubungan faktor fisik kimia perairan dengan nilai keanekaragaman Echinodermata.

3. Untuk mengetahui hubungan persen tutupan terumbu karang dengan

keanekaragaman Echinodermata.

1.4 Hipotesis

1. Adanya perbedaan keanekaragaman Echinodermata pada setiap stasiun penelitian di Perairan Pulau Rubiah, Nanggroe Aceh Darussalam.

2. Adanya hubungan faktor fisik kimia perairan dengan nilai keanekaragaman Echinodermata

3. Adanya perbedaan persen tutupan karang pada setiap stasiun dan berhubungan dengan keanekaragaman Echinodermata.

1.5 Manfaat

Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai informasi bagi penelitian selanjutnya mengenai keanekaragaman Echinodermata yang terdapat di Perairan Pulau Rubiah dan sumber data bagi pihak-pihak terkait yang berguna dalam usaha pelestarian biota laut yang dilindungi.


(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Laut

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai luas sekitar 3,1 km2 dengan kawasan pesisir menempati garis pantai sepanjang 81.000 km. Kawasan ini memiliki berbagai ekosistem pendukung yang sangat beragam seperti ekosistem hutan manggrove, terumbu karang, padang lamun. Keanekaragaman hayati lainnya terutama bagi potensi pesisir yang khas di perairan tropis dan sangat penting bagi kehidupan biota lainnya adalah terumbu karang atau (coral reff) (Romimohtarto & Juwana, 2001).

Terumbu karang adalah karang yang terbentuk dari kalsium karbonat koloni karang laut yang bernama polip yang bersimbiosis dengan organisme mikroskopis yang bernama zooxanthellae. Zooxhantellae adalah algae dari kelompok Dinoflagellata yang bersimbiosis dengan hewan seperti karang, anemon, moluska dan lain sebagainya. Sebagian besar zooxhantellae berasal dari genus Symbiodinium. Jumlah zooxhantellae pada karang diperkiran 1 juta sel/cm2 permukaan karang. Dalam asosiasi ini karang memperoleh keuntungan berupa hasil fotosintesis seperti gula, asam amino dan oksigen sebagai nutrisi bagi karang dan zooxhantellae dapat memper oleh tempat tinggal

Banyak biota penghuni ekosistem terumbu karang yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi misalnya: ikan karang, rumput laut, Echinodermata, karang batu dan lain sebagainya. Pertumbuhan terumbu karang sangat lambat, hanya beberapa cm per tahun. Terumbu karang yamg kita lihat sekarang sebenarnya adalah hasil karya karang batu selama ribuan tahun. Untuk melindungi terumbu karang ini telah dikeluarkan ketentuan-ketentuan konservasi (Nontji, 1993).


(18)

2.2 Echinodermata

Echinodermata adalah hewan laut yang memiliki kulit berduri atau berbintil. Hewan-hewan ini dibagi dalam dibagi dalam 5 kelas utama yakni: teripang (Holothuroidea), bintang laut (Asteroidea), bintang ular (Ophiuroidea), bulu babi (Echinoidea) dan lili laut (Crinoidea). Hewan ini sangat umum di jumpai di daerah pantai terutama di daerah terumbu karang. Di Indonesia dan sekitarnya (kawasan Indi-Pasifik Barat) terdapat teripang kurang lebih 141 jenis, bintang laut 87 jenis, bintang ular 142 jenis, bulu babi 84 jenis dan lili laut 91 jenis (Nontji, 1993).

Anggota filum Echinodermata adalah penghuni lingkungan bahari, terutama di laut bentik. Ciri khasnya adalah tubuh yang menjurus lima tersusun mengelilingi suatu sumbu polar. Hewan ini memiliki kerangka dalam yang mempunyai duri (spine). Sistem pencernaan cukup berkembang, tetapi tidak memiliki sistem ekskresi. Kebanyakan anggota filum Echinodermata diosius, bersaluran reproduksi sederhana, fertilisasi berlangsung eksternal (Ruppert, 1991). Brotowidjoyo (1994), menyatakan hewan ini memiliki sistem digesti lengkap walaupun anus tidak berfungsi. Menurut Niel A. Campbell et al., (2003), bahwa reproduksi seksual anggota filum Echinodermata pada umumnya melibatkan individu jantan dan betina yang terpisah (diosius) dan membebaskan gametnya ke dalam air.

2.3 Pembagian Echinodermata

Hyman (1955), menyatakan kelas Echinodermata antara lain : Crinoidea, Asteroidea, Ophiuroidea, Echinoidea dan Holothuroidea.


(19)

Asteroidea atau banyak orang menyebutnya bintang laut, biasanya di jumpai merayap pada batu, pasir dan terumbu karang dalam laut. Mulut hewan ini berada di sisi bawah terletak ditengah-tengah cakram dan anus diatas. Asteroidea termasuk karnivora, makanan berupa ikan, tiram, kerang, teritip, keong, cacing, crustaceae dan lain-lain. Beberapa jenis merupakan pemakan bangkai. Achantaster merupakan hama pada terumbu karang yang memakan polip Coelenterata. Warna bintang laut ini menarik, biasanya ujung duri berwarna kemerahan atau orange sedangkan permukaan lengan berwarna abu-abu kebiruan. Habitat bintang laut ini adalah terumbu karang terutama dilereng terumbu pada kedalaman 2 sampai 6 meter (Nontji, 1993).

Seluruh tubuhnya tertutup oleh duri kecuali pada lekuk sisi oral disebut celah ambulakral dan ada juga yang tidak memiliki duri. Alat gerak berupa kaki tabung.

Branchi muncul diantara papan-papan kapur yang berfungsi sebagai alat pernafasan

dan ekskresi. Hewan ini memiliki sistem saluran air, lambung, madreporit (saluran keluar masuknya air) dan anus (Gambar 2.3.1). Permukaan tubuhnya terdapat

pediselariae sebagai alat tambahan dan bentuk seperti angkup yang berfungsi untuk

menghilangkan benda-benda asing di permukaan tubuhnya (Vinomo, 2007).

Gambar 2.3.1 Struktur tubuh bintang laut

Reproduksi Asteroid umumnya dioecious, mempunyai lima pasang gonad pada tiap tangan. Telur dan sperma dilepas ke air, pembuahan diluar dan setelah 2 hari menjadi blastula yang berenang bebas. Larva mulai makan pada saat saluran pencernaan sudah terbentuk. Makanan larva adalah fitoplankton dan partikel tersuspensi. Enam atau tujuh minggu kemudian larva turun ke substrat dan mengalami metamorfosa menjadi dewasa. Kebanyakan bintang laut berumur 10 tahun, tetapi ada


(20)

yang mencapai 34 tahun (Romimohtarto & Juwana, 2001). Bintang laut dan beberapa Echinodermata mampu melakukan regenerasi. Bintang laut dapat menumbuhkan kembali lengan yamg hilang dan bahkan anggota satu genus dapat menumbuhkan kembali keseluruhan tubuh dari sebuah lengan (Niel A. Campbell et al., 2003).

2.3.2 Kelas Crinoidea

Kelompok hewan ini dinamakan lili laut atau bintang bulu yang mempunyai bentuk yang indah. Sebagian dari mereka hidup dilaut dan beberapa jenis mendiami laut dangkal seperti terumbu karang. Ukurannya tidak lebih dari 40 cm panjangnya dan warna mencolok. Hewan ini memiliki tangkai, kelopak dan lengan. Setiap lengan bercabang 2 atau lebih. Setiap cabang mempunyai ranting-ranting melintang disebut

pinula dan cabang- cabang ini membuat hewan ini berbulu (Gambar 2.3.2). Hewan

ini memakan plankton kecil dibawa oleh lengan. Hewan ini peka, tetapi mempunyai kemampuan regenerasi yang tinggi sehingga dapat menyembuhkan diri dari luka (Nontji, 1993).

Gambar 2.3.3. Morfologi Crinoid

Reproduksi secara seksual dan dioecious. Gonad terdapat pada pangkal beberapa pinula atau pangkal tangan. Pembuahan di air laut atau dierami. Telur bintang bulu dilekatkan pada sejumlah pinula. Telur menjadi larva, berenang bebas untuk beberapa hari. Selanjutnya turun dan melekat pada substrat dan mengalami proses metamorfosis menjadi bentuk larva bertangkai kecil yang disebut pentacrinoid yang berukuran 3 mm dan proses metamorfosa membutuhkan waktu 6 minggu hingga dewasa (Hyman, 1955).


(21)

Proses makan hewan ini dengan menyaring air, plankton masuk ke celah bersilia lalu lengan dan pinula kemudian dialirkan ke mulut. Organ pencernaan ada di calyx. Makanan dibuang melalui anus yang di dekat mulut. Semua jenis dari kelompok ini mempunyai nilai ekonomi yang tinggi baik untuk dijadikan bahan makanan maupun untuk bahan hiasan di akuarium, kecuali bulu seribu, mahkota seribu atau mahkota duri merupakan jenis yang merusak, karena bila populasinya berlimpah akan memakan polip-polip karang dan menyebabkan karang berwarna putih serta lama-kelamaan sebagian populasi karang akan rusak dan mati (Nybakken, 1988).

2.2.3 Kelas Echinoidea

Pada permukaan tubuh hewan ini terdapat tonjolan-tonjolan pendek yang bulat yaitu tempat menempel duri yang tersusun dari zat kapur atau hewan ini sering disebut landak laut. Hewan ini terdiri dari duri, kaki tabung, turberkel (Gambar 2.3.3). Adakalanya duri tersebut panjang, runcing, di dalamnya berlubang dan rapuh ada juga duri hewan ini pendek dan tumpul. Racunnya sangat keras dan menyakitkan bagi manusia bila tertusuk. Pedicellaria pada bulu babi juga ada yang beracun, berfungsi untuk menghalau atau melumpuhkan binatang-binatang kecil yang mengotori atau mengganggu. Hewan ini biasanya hidup di sela-sela pasir atau bebatuan pantai atau di dasar laut. Tubuhnya tanpa lengan hampir bulat atau gepeng (Sugiarto, 2007).

Gambar. 2.3.3 Morfologi Echinoidea

Saluran pencernaan lengkap, terdiri atas mulut, esofagus, perut, usus yang panjang dan melingkar, rectum dan anus. Bulu babi memakan ganggang laut, hewan


(22)

sessile, bangkai, beberapa jenis memakan detritus dan lain-lain. Reproduksi secara seksual, dioecious dan pembuahan di luar. (Ruppert, 1991).

2.3.4 Kelas Holothuroidea

Sebagai contohnya, teripang atau timun laut (Thyone briereus). Tubuhnya lunak, berbentuk seperti kantung memanjang. Dalam kulitnya terdapat papan-papan kecil dari kapur. Pada satu ujung terdapat mulut yang dikelilingi oleh tentakel-tentakel bercabang (Gambar 2.3.4). Tentakel ini berongga dan dapat memanjang karena tekanan air, hewan ini tidak memiliki duri (Sugiarto, 2007).

Gambar 2.3.4. Morfologi Timun Laut

Timun laut merayap lambat sekali, biasanya bersembunyi dalam lubang atau celah batu dan oral atau menanamkan diri dalam lumpur atau pasir laut dan hanya bagian posteriornya saja yang nampak. Umumnya hewan ini aktif pada malam hari berkeliaran pada mencari makan. Makanannya ialah bahan organik yang terdapat dalam sampah substrat atau plankton yang melekat pada lendir tentakel. Satu persatu tentakel dimasukkan dalam pharink dan ketika ditarik keluar maka butir-butir makanan akan melekat pada lendir tentakel dan selanjutnya ditelan. Sistem pencernaan terdiri atas mulut, pharink, esofagus, lambung, usus, cloaca, dan anus (Brotowidjoyo, 1994).

Teripang (Holothuroidea) merupakan golongan yang paling umum dijumpai. Hewan ini banyak terdapat di paparan turumbu karang, pantai berbatu atau berlumpur dan padang lamun. Bukan hanya dilaut dangkal, ada juga yang hidup di laut dalam


(23)

sekitar 7.000 m. Susunan bentuk dasar tubuh Echinodermata tidak jelas terlihat pada bentuk luar teripang ini karena karangka luarnya tidak ada. Hewan ini sangat bergerak lamban sehingga seakan-akan teripang selalu dalam keadaan diam pada waktu kita lihat di alam bebas. Untuk melindungi diri dari musuh, hewan ini mengeluarkan lendir yang beracun dari tubuhnya. Ada juga jenis yang menyemprotkan getah yang sangat lengket dari duburnya apabila diganggu. Banyak jenis hewan ini yang bisa dikonsumsi bahkan merupakan bahan makanan yang istimewa di restoran Cina (Nontji, 1993).

2.3.5 Kelas Ophiuroidea

Hewan ini memiliki 5 lengan atau tangan yang panjang, berfungsi sebagai alat gerak, Tangan rapuh dan mudah putus namun akan tumbuh tangan baru (Gambar 2.3.5). Kelima tangan ini bergerak-gerakkan sehingga menyerupai ular. Oleh karena itu hewan jenis ini sering disebut bintang ular laut. Hewan ini rentan terhadap lingkungan dan aktif pada malam hari, berenang dan mencari makan dengan bantuan tangan-tangannya yang gemulai dan dapat meliuk-liuk seperti ular. Bagian mulut akan membentuk bagian yang hilang (Ruppert, 1991).

Gambar 2.3.5. Ophiuroidea

Hewan Ofiuroidea hidup dilaut, bersembunyi diantara rumput laut, dalam lumpur atau dalam pasir yang aktif pada malam hari dan hidup berenang, makanan terdiri dari moluska, krustacae, jasad renik dan zat organik yang sedang membusuk yang berada di dasar parairan. Cara makan dengan mengangkat lengan ke atas dalam air untuk menangkap plankton dan bahan makanan lainnya. Hewan ini tidak memiliki anus, makanan yang tidak dicerna dimuntahkan kembali keluar mulut (Romimohtarto


(24)

& Juwana, 2001). Dalam Nontji (1993) menyatakan bintang mengular biasanya sukar dijumpai karena lebih senang pada tempat-tempat yang agak gelap di bawah batu atau celah-celah karang. Diatom merupakan makanannya utama, tetapi ada pula yang memakan berbagai hewan kecil.

Kebanyakan Ophiuroid adalah dioecious. Pembuahan diluar, menghasilkan larva ophiopluteus yang berenang bebas. Beberapa hari kemudian mengalami metamorfosa mengalami hidup dewasa. Beberapa jenis mempunyai kantung pengeraman dan larvanya berenang bebas (Brotowidjoyo, 1994).

2.3 Anatomi dan Morfologi Echinodermata

Hewan Echinodermata bertubuh kasar karena ditutupi tonjolan kerangka atau duri yang memiliki berbagai fungsi tetapi ada juga sebagian tidak memiliki duri seperti timun laut. Sistem pencernaan cukup berkembang, tetapi tidak memiliki sistem ekskresi. Kebanyakan hewan ini diosius, saluran reproduksi sederhana, sedangkan fertilisasi berlangsung eksternal (Pecherik, 2005).

Sistem pembuluh air berfungsi untuk mengerakkan kaki tabung (tube feet) dengan cara mengatur masuk dan keluarnya air laut melalui madreporit (saluran keluar masuknya air). Kontraksi ampula mengatur volume air dalam kaki tabung, berarti mengatur gerak kaki tabung. Kaki tabung juga berfungsi untuk merayap, berpegang pada substrat, memegang mangsa atau membantu pertukaran gas O2 dan CO2 (Nontji, 1993).

Alat pernafasan utama Echinodermata ialah insang kulit yang merupakan perluasan rongga tubuh yang keluar melalui lubang-lubang kecil di antara osscle kapur. Rongga tubuh berisi cairan semacam getah bening, mengandung amebocyte yang berkepentingan dalam peredaran darah, pernafasan dan ekskresi. Didalam rongga tubuh terdapat organ dalam seperti kelenjar pencernaan (Ruppret, 1991).

Hewan ini bertahan hidup dengan suatu sistem pembuluh air yang unik yang dilibatkan di dalam pernapasan, gerakan, dan pertemuan makanan. Mulut itu


(25)

ditempatkan di bagian bawah dari tubuh. Organ bagian badan terdiri dari suatu lima bagian simetris termasuk gigi dan struktur seperti lidah yang gemuk (Sugiarto, 2007).

2.5 Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Kehidupan Echinodermata.

2.5.1 Cahaya

Ganggang yang hidup pada terumbu karang (zooxanthella), memerlukan cahaya yang cukup untuk dapat melakukan fotosintesis. Umumnya Echinodermata hidup pada pantai berpasir, berlumpur dan melekat pada terumbu karang. Reksodihardjo-Lilley (1996), menyatakan bahwa Echinodermata hidup pada karang merupakan hewan yang bersimbiosis dengan zooxanthella. Stowe (1987), berpendapat bahwa dasar dari rantai makanan pada komunitas terumbu adalah proses fotosintesis oleh alga yang hidup bersama dalam jaringan biota-biota lain. Nontji (1993), menyatakan bahwa makanan Echinodermata berupa ikan, tiram, kerang, teritip, keong, cacing, crustaceae, polip karang, ganggang dan lain-lain. Beberapa jenis merupakan pemakan bangkai, sedangkan Achantaster merupakan hama pada terumbu karang yang memakan polip Coelenterata.

2.5.2 Suhu

Pada setiap penelitian perairan, pengukuran suhu adalah hal yang harus dilakukan sebab kelarutan berbagai gas dalam air serta seluruh aktivitas biologis dan fisiologis organisme perairan sangat dipengaruhi oleh suhu ( Brehm dan Meijering, 1990 dalam Barus, 1996). Kinsman (1964) dalam Supriharyono (2002) menyebutkan bahwa batas minimum dan maksimum suhu berkisar antara 16°C -17° dan 36° C.

Pola temperatur ekosistem akuatik dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dan udara sekelilingnya dan


(26)

juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi perairan (Brehm et al., 1990 dalam Barus, 1996).

2.5.3 Salinitas

Ciri paling khas pada air laut adalah rasa asin, karena mengandung bermacam-macam garam dan yang paling utama adalah NaCl. Diperairan Samudra salinitas biasanya berkisar antara 34-35‰ (Nontji, 1993). Salinitas rata-rata di daerah tropis

adalah sekitar 35‰, dan organisme laut tidak dapat bertahan pada salinitas yang

menyimpang dari salinitas laut normal, 32-35 ‰ (Brotowidjojo et al., 1995). Namun

pengaruh salinitas tergantung pada kondisi perairan laut setempat atau pengaruh alam seperti badai dan hujan (Supriharyono, 2002).

2.5.4 DO (Disolved Oxygen)

DO merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air terutama sangat dipengaruhi oleh faktor suhu, dimana kelarutan maksimum terdapat pada suhu 00C, yaitu sebesar 14,16 mg/l O2 sedangkan nilai oksigen terlarut di perairan sebaliknya tidak lebih kecil dari 8 mg oksigen/liter air. Dengan peningkatan suhu akan menyebabkan konsentrasi oksigen akan menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah akan meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut. Sumber utama oksigen terlarut dalam air berasal dari adanya kontak antara permukaan air dengan udara dan juga dari proses fotosintesis (Barus, 2004). Menurut Michael (1994), oksigen hilang dari air alam oleh adanya pernafasan biota, pengurairan bahan organik, aliran masuk air bawah tanah yang miskin oksigen dan kenaikan suhu.


(27)

2.5.5 BOD (Biological Oxygen Demand)

BOD adalah peristiwa penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air adalah proses alamiah yang mudah terjadi air memiliki oksigen yang cukup (Wardhana, 2000). Nilai konsentrasi BOD menunjukkan suatu kualitas perairan yang masih tergolong baik dimana apabila konsumsi O2 selama periode 5 hari berkisar sampai 5 mg/l O2 maka perairan tersebut tergolong baik, apabila konsumsi O2 berkisar antara 10 mg/l – 20 mg/l O2 akan menunjukkan tingkat pencemaran oleh materi organik yang tinggi dan air limbah nilai BOD umumnya lebih dari 100 mg/l (Brower et al., 1990).

2.5.6 pH (Derajat Keasaman)

Setiap spesies memiliki kisaran toleransi yang berbeda terhadap pH. pH yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik termasuk makrozoobentos pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Disamping itu pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik semakin tinggi yang tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme akuatik. Sementara pH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air akan terganggu, dimana kenaikan pH diatas akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat sangat toksik bagi organisme (Barus, 2004).

2.5.8 Jenis Substrat Dasar

Menurut Seki (1982), komponen organik utama yang terdapat di dalam air adalah asam amino, protein, karbohidrat, dan lemak. Sedangkan komponen lain seperti asam organik, hidrokarbon, vitamin, dan hormon juga ditemukan di perairan.


(28)

Tetapi hanya 10% dari material organik tersebut yang mengendap sebagai substrat ke dasar perairan.

2.5.9

Dengan terbentuknya kedalaman lapisan air intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Cahaya gelombang pendek merupakan yang paling kuat mengalami pembiasan yang menyebabkan kolam air yang jernih akan terlihat berwarna biru dari permukaan. Pada lapisan dasar, warna air akan berubah menjadi hijau kekuningan, karena intensitas dari warna ini paling baik ditransmisi dalam air sampai dasar (Barus, 2004).

Menurut Romimohtaro & Juwana (2001), banyaknya cahaya yang menembus permukaan air laut dan menerangi lapisan permukaan air laut memegang peranan penting dalam menentukan pertumbuhan fitoplankton. Bagi hewan laut, cahaya mempunyai pengaruh terbesar yaitu sebagai sumber energi untuk proses fotosintesis tumbuh-tumbuhan yang menjadi sumber makanannya.

2.5.10 Penetrasi Cahaya

Kemampuan penetrasi cahaya sampai dengan kedalaman tertentu juga akan mempengaruhi distribusi dan intensitas fotosintesis tumbuhan air di badan perairan (Brower et al., 1990). Pengaruh utama dari kekeruhan adalah penurunan penetrasi cahaya secara mencolok. Sehingga menurunkan aktivitas fotosintesis fitoplankton dan alga, akibatnya akan menurunkan produktivitas perairan.

2.6 Habitat & Manfaat

Di daerah rataan terumbu binatang ini dapat menempati berbagai habitat seperti, rataan pasir (sand flat), timbunan karang mati (rubbles dan boulders) dan daerah tubir karang (reef margin area). Di Indonesia penyebaran binatang ini adalah mengikuti


(29)

penyebaran karang batu dan dapat juga ditemukan di daerah pulau-pulau karang atau daerah pesisir yang ditumbuhi karang batu (fringing reef) (Kobayashi dan Nakamura, 1967).

Zooxanthellae adalah alga ber-sel satu yang hidup di dalam jaringan tubuh

karang batu. Zooxanthelae dan karang memiliki hubungan simbiosis yang saling menguntungkan. Zooxanthellae menyediakan makanan untuk polip karang melalui proses memasak yang disebut fotosintesis, sedangkan polip karang menyediakan tempat tinggal yang aman dan terlindung untuk zooxanthellae ( http://www.coremap.or.id/terumbu_karang).


(30)

BAB 3

BAHAN DAN METODA

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada 4-8 Mei 2009 di Kawasan Perairan Pulau Rubiah, Nanggroe Aceh Darussalam. Dimana dalam menentukan titik koordinatnya digunakan GPS (Global Posisition System). Secara geografis lokasi penelitian ini berada pada:

a) Stasiun 1, 05o53’018” LU dan 95o15’17,29” BT s/d 05o52’59,2” LU dan 95o15’18,5” BT, dimana daerah ini memiliki terumbu karang yang baik tetapi sebagian rusak akibat pengaruh dari bencana Tsunami

b) Stasiun 2, 5o53’01,4” LU dan 95o15’32,4” BT s/d 5o53’06,6” LU dan 95 o

15’28,1” BT, dimana daerah ini merupakan daerah kontrol tidak terdapat aktivitas masyarakat.

c) Stasiun 3, 5o52’32,8” LU dan 95o15’34,8” BT s/d 5o52’39,2” LU dan 95o15’35,6” BT, dimana daerah ini merupakan daerah wisata pantai berpasir juga ditemukan aktifitas masyarakat seperti penginapan, snorkeling tetapi daerah ini tergolong alami karena memiliki terumbu karang yang baik

d) Stasiun 4 05o52’32,1” LU dan 95o15’31,3” BT s/d 05o52’35,8” LU dan 95o15’28,97” BT, dimana daerah ini memiliki terumbu karang yang rusak atau dalam kriteria buruk karena dekat dengan pemukiman penduduk, lalu lintas kapal, keramba udang dan pengaruh dari bencana Tsunami


(31)

3.2 Metoda Penelitian

Metoda yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling adalah “Purposive

Random Sampling”. Ditentukan 4 stasiun pengamatan di daerah penelitian. Dibuat 3

transek pada setiap stasiun pengamatan dengan ukuran 50 x 4 meter sejajar garis pantai. Jarak setiap transek 10 meter, sedangkan jarak setiap stasiun adalah 300 meter. Metoda yang digunakan dalam pengamatan sample adalah Foto dan Visual Sensus, dimana pengamatan sampel dengan cara merenang (snorkling) dan menyelam (diving) sepanjang transek yang sudah ditentukan. Waktu yang dibutuhkan untuk mengamati setiap transek kurang lebih 1 jam. Jenis Echinodermata yang diperoleh difoto, diamati bentuk morfologi tubuh, dihitung dan diidentifikasi.

3.3 Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan

Faktor fisik kimia perairan yang diukur mencakup:

3.3.1 Suhu (ºC)

Suhu air diukur dengan menggunakan alat termometer. Diambil satu ember dari sampel air kemudian termometer dimasukkan kedalamnya. Lalu dibaca skala dari termometer tersebut dan dicatat.

3.3.2 pH (Derajat Keasaman)

Pengkuran pH dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan pH meter ke dalam sampel air yang diambil dalam ember. Kemudian dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut.


(32)

3.3.3 Salinitas (‰)

Salinititas perairan diukur dengan menggunakan refraktometer yaitu dengan cara sampel air diambil dengan menggunakan pipet tetes. Pada permukaan dasar yang telah dibersihkan diteteskan 1 tetes, ditutup dan dibaca skala penunjuk angka.

3.3.4 Oksigen Terlarut atau Disolved Oxygen (DO) (mg/l)

Disolved Oxygen (DO) diukur dengan menggunakan metoda winkler. Sampel air diambil dari dasar perairan dan dimasukkan ke dalam botol winkler kemudian dilakukan pengukuran oksigen terlarut. Dengan menggunakan reagen-reagen kimia yaitu MnSO4, KOHKI, H2SO4, Na2S2O3, dan amilum. Alur kerja DO dapat dilihat pada lampiran A.

3.3.5 BOD5

Pengukuran BOD5 dilakukan dengan menggunakan metoda winkler. Sampel air yang diambil dari dasar perairan dimasukkan ke dalam botol winkler. BOD5 diukur dengan menggunakan reagen-reagen kimia yaitu MnSO4, KOHKI, H2SO4, Na2S2O3, dan amilum. Alur kerja BOD5 dapat dilihat pada lampiran B.

3.3.6 Penetrasi cahaya (cm)

Pengukuran penetrasi cahaya dilakukan dengan menggunakan keping secchi yang dimasukkan kedalam air hingga tidak nampak dari permukaan, kemudian diukur panjang tali sebagai kedalaman penetrasi cahaya.


(33)

3.3.7 Kejenuhan Oksigen ( %)

Kejenuhan = x100%

(t) DO

(u) DO

Keterangan:

 DO (u) = DO yang diukur di lapangan  DO (t) = DO yang ada pada

Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik kimia berserta satuan dan alat yang

digunakan dapat dilihat pada tabel 3.1

Tabel 3.1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan

No. Parameter

Fisik – Kimia Satuan Alat

Tempat Pengukuran

1 Suhu air 0C Termometer In-situ

2 Penetrasi Cahaya Cm Keping Seechi In-situ

3 Intensitas Cahaya Candela Lux Meter In-situ

4 pH air - pH air In-situ

5 DO Mg/l Metoda Winkler In-situ

6 Kejenuhan Oksigen % Tabel DO In-situ

7 BOD5 Mg/l

Metoda Winkler dan Inkubasi

Laboratorium

8 Salinitas ‰ Refraktometer In-situ

9 Jenis substrat % -- In-situ

3.4 Analisa Data

Data Fauna Echinodermata yang diperoleh dihitung nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shannon-Wienner, indeks equitabilitas dan indeks similaritas dengan persamaan menurut Michael (1984) dan Krebs (1985) sebagai berikut:


(34)

3.4.1 Kepadatan Populasi (K) K = sampel n pengambila area Luas jenis suatu individu Jumlah

3.4.2 Kepadatan Relatif (KR)

KR = Jlh Indsuatu Spesies x100%

TotalK

dengan: ni = jumlah individu spesies 1 ∑N = total individu seluruh spesies

3.4.3 Frekuensi Kehadiran (FK)

FK = x100%

plot total Jumlah jenis suatu ditempati yang plot Jumlah

dimana nilai FK : 0 – 25% = sangat jarang 25 – 50% = jarang

50 – 75% = sering

> 75% = sangat sering

3.4.4 Indeks Diversitas Shannon – Wienner (H’)

H’= -

pilnpi

dimana :H’ = indeks diversitas Shannon-Wienner pi = proporsi spesies ke-i

In = logaritma nature

pi =Σ ni/N (Perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis)


(35)

dengan nilai H’: 0<H’<2,302 = keanekaragaman rendah 2,302<H’<6,907 = keanekaragaman sedang

H’>6,907 = keanekaragaman tinggi

3.4.5 Indeks Equitabilitas (E)

Indeks equitabilitas (E) =

max H

H'

dimana :H’ = indeks diversitas Shannon-Wienner H maks = keanekaragaman spesies maksimum

= In S (dimana S banyaknya spesies) dengan nilai E berkisar antara 0-1

3.4.6 Indeks Similaritas (IS)

IS = x100%

b a

2c

+

dengan: a = jumlah spesies pada lokasi a b = jumlah spesies pada lokasi b

c = jumlah spesies yang sama pada lokasi a dan b

Bila: IS = 75 – 100% : sangat mirip IS = 50 – 75% : mirip

IS = 25 – 50% : tidak mirip


(36)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Parameter Biotik

Hasil penelitian yang telah dilakukan terdapat 13 spesies Echinoermata, terdiri dari: 1 filum, 4 kelas, 5 ordo, 7 famili, 11 genus dan 13 spesies.

Tabel 4.1 Klasifikasi dan Jenis Echinodermata yang didapat pada Stasiun Penelitian Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies 1

Echinodermata

Asteroidea Spinulosida Acanthasteridae Achantaster A. plancii

2 Valvatida Ophidiasteridae Linkia L. laevigata

3 Protoreaster P. nodosus

4 Oreasteridae Culcita Culcita sp

5 Crinoidea Comatulida Colobometridae Colobometra Colobometra sp

6 Comasteridae Comanthus Comanthus sp

7 Echinoidea Cidaroidea Diadematoidae Diadema Diadema sp

8 Echinometridae Echinometra Echinometra sp

9 Holothuroidea Aspidochirotida

Holothuroidae Actinopyga A.lecanora

10 Holothuria H. atra

11 H.edulis

12 Holothuria sp

13 Pearsonothuria P. graffei

Deskripsi jenis Echinodermata yang ditemukan menurut Patrick L. C. & Charles A.

(1995) dan Nontji (1993) , seperti yang tertera dibawah ini:

a. Achantaster plancii (kaki seribu)

Hewan ini dari kelas Asteroidea atau sering disebut kaki seribu yang memiliki lengan banyak dan seluruh tubuhnya ditutupi oleh duri. Warna tubuh dominan biru dan bagian tepi berwarna hitam (Gambar 4.1.1 Achantaster plancii). Hewan ini ditemukan menempel di terumbu karang atau di bawah karang berbentuk meja. Menurut Patrick L. C. & Charles A. (1995), bintang laut berlengan banyak dan seluruh tubuhnya ditutupi oleh duri yang panjangnya kira-kira 2-4 cm. Permukaan


(37)

tubuh hewan ini kira-kira 20-30 cm. Lengannya berjumlah kira-kira 10-20 buah. Hewan ini memakan polip karang mati atau yang hidup.

(Foto dilapangan) (Foto Patrick L. C. & Charles A.)

Gambar 4.1.1 Achantaster plancii

b. Culcita sp (bantal raja)

Jenis bintang laut yang tidak memiliki lengan, berbentuk seperti segi lima. Tubuh tebal seperti roti. Warna tubuh hewan ini kuning kecoklatan (Gambar 4.1.2

Culcita sp). Menurut Patrick L. C. & Charles A. (1995), pada saat muda memiliki

bentuk tubuh yang berbeda yaitu pipih, setelah dewasa berbentuk seperti segi lima dengan diameter kira-kira 20 cm. Hidup di terumbu karang, pasir dan padang lamun.


(38)

c. Linkia laevigata (bintang laut)

Berbentuk bintang yang memiliki lengan lima dan warna sangat menjolok atau kontras dengan lingkungan yaitu coklat muda, coklat tua, biru, jingga. Tiap lengan berbentuk memanjang dan langsing. Permukaan tubuh halus dan tidak terdapat tonjolan-tonjolan (Gambar 4.1.3 Linkia laevigata). Nontji (1993), tiap lengan berbentuk memanjang dan langsing sampai kira-kira 15 cm atau lebih, hidup di terumbu karang, pasir dan padang lamun.

Gambar 4.1.3 Linkia laevigata (Foto dilapangan)

d. Protoreaster nodosus (bintang laut)

Berbentuk bintang lengan lima dan tergolong besar. Warna coklat kemarahan

dan terdapat tonjolan-tonjolan berwarna hitam. Ujung setiap lengan berwarna hitam (Gambar 4.1.4 Protoreaster nodosus). Nontji (1993), diameter tubuhnya kira-kira 10

cm. Ukuran hewan ini lebih besar dibanding dengan Linkia laevigata. Hidup di terumbu karang, pasir dan padang lamun.

Gambar 4.1.4 Protoreaster nodosus (Foto Patrick L. C. & Charles A.)


(39)

e. Colobometra sp (lili laut)

Memiliki bentuk tubuh yang indah apabila hewan ini berenang. Warna tubuh hitam (Gambar 4.1.5 Colobometra sp). Menurut Nontji (1993), memiliki lengan yang banyak kira-kira sebanyak 12 buah atau lebih. Hewan ini berpegang pada batu atau tumbuhan dengan alat yang disebut dengan cirri dan hidup di terumbu karang, pasir dan padang lamun.

Gambar 4.1.5 Colobometra sp (Foto dilapangan)

f. Comanthus sp (lili laut)

Memiliki bentuh tubuh yang indah apabila hewan ini berenang. Warna kuning dan ujung cirrinya berwarna biru (Gambar 4.1.6 Comanthus sp). Menurut Nontji (1993), memiliki lengan yang banyak kira-kira sebanyak 12 buah atau lebih. Hewan ini berpegang pada batu atau tumbuhan dengan alat yang disebut dengan cirri. Hidup menempel pada terumbu karang, tumbuhan, pasir dan padang lamun.


(40)

g. Diadema sp (bulu babi)

Bulu babi (Diadema sp), tubuh berwarna hitam dan ada juga berwarna putih. Seluruh tubuhnya ditutupi dur i yang tajam, lancip dan sangat rapuh (Gambar 4.1.7

Diadema sp). Hidup berkelompok, satu kelompok dapat terdiri atas 20-40 individu

atau lebih. Nontji (1993), seluruh tubuhnya ditutupi duri yang berukuran kira-kira mencapai 10 cm. Makanannya alga dan partikel organik atau detritus. Biasanya hidup berkelompok untuk dapat saling melindungi terhadap ancaman musuh-musuhnya dan mungkin juga untuk lebih memudahkan terjadinya fertilisasi. Ada juga beberapa ikan kecil yang senang hidup untuk berlindung disela duri-duri bulu babi.

(Foto dilapangan) (Foto Patrick L. C. & Charles A.)

Gambar 4.1.7 Diadema sp

h. Echinometra sp (bulu babi)

(Foto dilapangan) (Foto Patrick L. C. & Charles A.)


(41)

Echinometra sp mirip dengan Diadema sp, bedanya hewan ini memiliki duri

lebih pendek, gemuk dan pendek dibanding Diadema sp. Tubuh berwarna hitam dan duri berwarna putih (Gambar 4.1.8 Echinometra sp). Menurut Patrick L. C. & Charles A. (1995), makanannya alga dan partikel organik atau detritus. Hidup di terumbu karang, karang mati dan batu.

i. Holothuria atra (teripang)

Tubuh berbentuk bulat panjang atau silindris, dengan mulut pada salah satu ujungnya dan dubur pada salah satu ujungnya. Terdapat tentakel-tentakel bercabang yang mengelilingi mulut. Warna hitam (Gambar 4.1.9 Holothuria atra). Menurut Patrick L. C. & Charles A. (1995), tubuh berotot tebal, lembek atau licin, kulitnya halus. Sering dijumpai membenamkan diri dalam pasir atau dipermukaan pasir, panjang tubuh kira-kira sekitar 10-30 cm.

Gambar 4.1.9 Holothuria atra ((Foto Patrick L. C. & Charles A.)

j. Holothuria edulis (teripang pasir)

Tubuh berbentuk bulat panjang atau silindris, dengan mulut pada salah satu ujungnya dan dubur pada salah satu ujungnya. Warna tubuh bagian atas warna hitam sedangkan bagian bawah warna merah (Gambar 4.1.10 Holothuria edulis). Menurut Patrick L. C. & Charles A. (1995), terdapat tentakel-tentakel bercabang yang mengelilingi mulut. Tubuh berotot tebal, lembek atau licin, kulitnya halus. Sering dijumpai membenamkan


(42)

diri dalam pasir, dipermukaan pasir padang lamun dan terumbu karang dan panjangnya kira-kira sekitar 10-30 cm.

Gambar 4.1.10 Holothuria edulis (Foto dilapangan)

k. Actinopyga lecanora (teripang)

Tubuh berbentuk bulat panjang atau silindris, dengan mulut pada salah satu ujungnya dan dubur pada salah satu ujungnya. Terdapat tentakel-tentakel bercabang yang mengelilingi mulut. Warna coklat dan terdapat bercak-bercak hitam (Gambar 4.1.11 Actinopyga lecanora). Nontji (1993), tubuh berotot tebal, lembek dan permukaan kulit kasar dan panjangnya kira-kira sekitar 10-30 cm. Sering dijumpai membenamkan diri dalam pasir dan dipermukaan pasir padang lamun dan terumbu karang.

Gambar 4.1.11 Actinopyga lecanora (Foto Patrick L. C. & Charles A.)


(43)

Tubuh berbentuk bulat panjang atau silindris dan terdapat mulut pada salah satu ujungnya dan dubur pada salah satu ujungnya. Tubuh berotot tebal, lembek atau licin, kulitnya halus. Warna abu-abu dan memiliki garis di punggung atau sisinya berwarna hitam (Gambar 4.1.12 Holothuria sp). Menurut Patrick L. C. & Charles A. (1995), terdapat tentakel-tentakel bercabang yang mengelilingi mulut dan panjangnya kira-kira sekitar 10-30 cm. Sering dijumpai membenamkan diri dalam pasir atau dipermukaan pasir.

Gambar 4.1.12 Holothuria sp (Foto dilapangan)

m. Pearsonothuria graffei

Tubuh berbentuk bulat panjang atau silindris dan berotot tebal, permukaan tubuh kasar. Warna abu-abu kekuningan dan bulat-bulat berwarna coklat (Gambar 4.1.13 Pearsonothuria graffei). Menurut Patrick L. C. & Charles A. (1995), Dengan mulut pada salah satu ujungnya dan dubur pada salah satu ujungnya. Terdapat tentakel-tentakel bercabang yang mengelilingi mulut. Sering dijumpai membenamkan diri dalam pasir, dipermukaan pasir padang lamun dan terumbu karang. Panjangn kira-kira sekitar 10-30 cm.


(44)

4.1.1 Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif, dan Frekuensi Kehadiran Echinodermata.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian diperoleh nilai Kepadatan Populasi (ind./m2), Kepadatan Relatif (%) dan Frekuensi Kehadiran (%) pada setiap stasiun penelitian pada Tabel 4.2 berikut:

Tabel 4.2 Nilai Kepadatan Populasi (ind./m2), Kepadatan Relatif (%) dan Frekuensi Kehadiran (%) pada setiap stasiun penelitian

NO Spesies Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

K KR FK K KR FK K KR FK K KR FK

I Asteroidae

1 Achantaster plancii

0,011 1,694 66,66 0,011 1,940 66,66 0,015 3,198 66,66 - - -

2 Culcita sp

- - - 0,015 2,645 66,66 0,005 1,066 33,33 - - -

3 Linkia laevigata

0,066 10,169 100 0,144 24,691 100 0,111 21,321 100 0,075 10,638 100

4 Protoreaster

nodosus 0,005 0,847 33,33 0,011 1,940 66,66 - - - -

II Crinoidae

5 Colobometra sp

0,033 5,084 100 0,033 5,291 100 0,025 5,330 100 0,025 3,546 66,66

6 Comanthus sp

0,115 19,491 100 0,165 29,100 100 0,145 30,916 100 0,155 21,985 100

III Echinodae

7 Diadema sp

42,372

0,255 100 0,085 14,991 100 0,099 21,108 100 0,299 41,134 100 8 Echinometra sp

0,045 7,627 100 0,011 1,763 33,33 - - - 0,055 7,801 100

IV Holothuroidae

9 Actinopyga

lecanora 0,005 0,847 33,33 0,005 0,881 33,33 0,005 1,066 33,33 0,005 0,709 33,33 10 Holothuria atra

- - - 0,015 2,645 66,66 0,011 2,132 66,66 0,011 1,418 66,66

11 Holothuria edulis

0,005 0,847 33,33 0,015 2,645 66,66 0,005 1,066 33,33 0,011 1,418 33,33 12 Holothuria sp

0,022 3,389 66,66 0,015 2,645 66,66 0,015 3,198 66,66 0,022 2,833 66,66 13 Pearsonothuria

graffei 0,045 7,627 100 0,055 8,818 100 0,045 9,594 100 0,066 8,510 100

Ket: Stasiun 1: Daerah terkena tsunami Stasiun 2: Daerah kontrol.

Stasiun 3: Daerah tempat wisata

Stasiun 4: Daerah terkena tsunami dan dekat pemukiman masyarakat

Hasil perhitungan pada stasiun 1 mendapatkan bahwa spesies Diadema sp memiliki nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi sebesar 0,255 ind/m2 (K), 42,372% (KR) dan 100% (FK). Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran yang terendah pada 3 spesies yaitu Protoreaster

nodosus, Actinopyga lecanora dan Holothuria edulis yaitu sebesar 0,005 ind/m2 (K), 0,847% (KR) dan 33,33% (FK). Tingginya nilai kepadatan Diadema sp pada stasiun


(45)

ini, karena hewan ini menyukai terumbu karang yang rusak atau mati dan batuan. Menurut Romimohtarto & Juwana (2001), habitat hewan ini adalah koloni karang mati, pasir, batu dan terumbu karang. Pada stasiun ini tidak ada ditemukan Culcita sp dan Holothuria atra, hal ini karena rendahnya persen tutupan karang pada stasiun ini, selain itu hewan ini sering hidup pada substrat yang berupa rumput laut atau padang lamun sedangkan substrat di tempat ini berupa batu, pasir, koloni karang. Kondisi lingkungan di stasiun ini memiliki terumbu karang yang rusak karena pengaruh dari tsunami yang terjadi pada tahun 2004, tidak terdapat aktivitas masyarakat atau bahan pencemar yang merusak kondisi lingkungannya. Kondisi faktor fisik kimia perairan masih tergolong alami dan tidak terdapat bahan-bahan pencemar yang merusak lingkungan.

Hasil pada stasiun 2 mendapatkan bahwa spesies Comanthus sp memiliki nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi sebesar 0,165 ind/m2 (K), 29,100% (KR) dan 100% (FK). Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran yang terendah pada spesies Actinopyga lecanora, sebesar 0,005 ind/m2 (K), 0,881% (KR) dan 33,33% (FK). Kondisi lingkungan stasiun ini merupakan kontrol, dimana tidak terdapat aktivitas masyarakat atau bahan pencemar yang merusak kondisi lingkungannya dan memiliki terumbu karang yang baik. Kondisi faktor fisik kimia perairan (Tabel 4.6) pada daerah ini masih tergolong alami dan cocok untuk pertumbuhan Echinodermata dan tidak ditemukan bahan-bahan pencemar yang mempengaruhi perairan ini. Rendahnya Actinopyga lecanora ditemukan pada stasiun ini karena penelitian dilakukan pada siang padahal hewan ini aktif pada malam hari. Menurut Brotowidjoyo (1994), teripang (Actinopyga lecanora) ini jarak ditemukan karena memiliki sifat bergerak/merayap lambat sekali, biasanya bersembunyi dalam lubang atau celah batu atau menanamkan diri dalam lumpur atau pasir laut dan hanya bagian posteriornya saja yang nampak. Umumnya hewan ini aktif pada malam hari berkeliaran pada mencari makan.

Hasil perhitungan pada stasiun 3 diperoleh bahwa spesies Comanthus sp memiliki nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi sebesar 0,145 ind/m2 (K), 30,916% (KR) dan 100% (FK). Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran terendah didapatkan pada Culcita sp, Actinopyga


(46)

lecanora dan Holothuria edulis sebesar 0,005 ind/m2 (K), 1,066% (KR) dan 33,33% (FK). Hal ini karena kondisi faktor fisik kimia perairan sesuai bagi pertumbuhan

Comanthus sp misalnya suhu, pH, Intensitas Cahaya dan substrat dasar perairan

berupa pasir, batu dan koloni karang. Stasiun ini merupakan tempat wisata, terdapat tempat penginapan dan tempat menyelam wisatawan. Daerah ini masih memiliki terumbu karang yang baik karena aktivitas masyarakat tidak terlalu berpengaruh terhadap lingkungan. Menurut Koesbiono (1979), kadar organik pada substrat adalah satu hal yang sangat berpengaruh pada kehidupan makrozoobenthos, dimana kadar organik ini adalah sebagai nutrisi bagi makrozoobenthos tersebut. Pada perairan yang kaya bahan organik, umumnya terjadi peningkatan populasi hewan benthos.

Di daerah ini tidak ditemukan Protoreaster nodosus dan Echinometra sp. Hal ini karena Protoreaster nodosus memiliki bentuk tubuh yang unik dan warna yamg menarik sehingga banyak masyarakat yang mengambil. Selain itu hewan ini sering hidup pada substrat yang berupa rumput laut atau padang lamun sedangkan substrat di tempat ini berupa batu, pasir, koloni karang. Romimohtarto & Juwana (2001), menyatakan hewan ini peka terhadap lingkungan, tetapi mempunyai kemampuan regenerasi tinggi sehingga dapat menyembuhkan diri jika ada luka.

Hasil perhitungan pada stasiun 4 mendapatkan bahwa spesies Diadema sp memiliki nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi, sebesar 0,299 ind/m2 (K), 41,134 % (KR) dan 100% (FK). Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran yang terendah pada Actinopyga lecanora sebesar 0,005 ind/m2 (K), 0,709% (KR) dan 33,33% (FK). Jenis Achantaster plancii,

Culcita sp dan Protoreaster nodosus tidak ada ditemukan pada lokasi ini karena

substrat yang dijumpai berupa karang mati, batu, pasir dan sedikit dijumpai karang hidup sedangkan habitat Echinodermata adalah terumbu karang. Kondisi lingkungan pada stasiun ini, memiliki terumbu karang yang rusak (kategori buruk). Rusaknya terumbu karang pada daerah ini bukan karena pengaruh Diadema sp yang banyak, tetapi karena pengaruh dari tsunami yang terjadi pada tahun 2004 dan terdapat aktivitas masyarakat seperti pemukiman penduduk, keramba udang, penggunaan kapal mesin sehingga membuat terumbu karang rusak. Menurut Wargadinata (1995), menyatakan beberapa genus benthos ada yang dapat mentolerir perubahan faktor


(47)

lingkungan yang besar dan drastis atau dapat mentolerir faktor lingkungan yang sangat ekstrim.

Hasil penelitian yang dilakukan bila dibandingkan dengan penelitian Eddy Y. (2003) yang berada di Aceh Selatan Nanggroe Aceh Darussalam maka diperoleh keanekaragaman echinodermata di daerah ini lebih banyak dibanding perairan P. Rubiah. Daerah Aceh Selatan ditemukan sebanyak 20 spesies dari 5 kelas Echinodermata sedangkan di P. Rubiah terdapat 13 spesies dari 4 kelas Echinodermata. Rendahnya Echinodermata di P. Rubiah karena pengaruh bencana tsunami yang melanda tempat ini tahun 2004, dimana terjadi kerusakan terumbu karang sebagai habitat dari hewan ini sedangkan daerah Aceh Selatan memiliki lingkungan yang masih baik untuk pertumbuhan Echinodermata.

4.1.2 Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Keseragaman (E) dan Indeks Persen Tutupan Karang (r) pada Setiap Stasiun Penelitian

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian diperoleh nilai Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Keseragaman (E) dan Indeks Persen Tutupan Karang (r) pada setiap stasiun penelitian pada Tabel 4.3 berikut:

Tabel 4.3 Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Keseragaman (E) dan Indeks Persen Tutupan Karang (r) pada Setiap Stasiun Penelitian

Indeks Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

Keanekaragaman (H') 1,764 1,859 1,854 1,720

Persen Tutupan Karang (r) 50,82% 73,10% 59,68% 16,28%

Keseragaman (E) 0,709 0,748 0,773 0,692

Dari hasil perhitungan didapat Indeks Keanekaragaman (H’) tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 1,859 dan terendah pada stasiun 4 sebesar 1,720. Tingginya nilai Indeks Keanekaragaman pada stasiun 2, karena daerah merupakan kontrol dan tidak ditemukan aktivitas masyarakat atau bahan pencemar dan memiliki terumbu karang yang baik. Stasiun 4 memiliki terumbu karang yang rusak akibat dari bencana tsunami yang melanda tempat ini tahun 2004 dan merupakan daerah pemukiman penduduk. Barus, (2004) menyatakan suatu komunitas dikatakan mempunyai


(48)

keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies yang relatif merata. Dari nilai Indeks Keanekaragaman yang diperoleh berkisar antara 1,720-1,859 dapat digolongkan bahwa pada daerah ini memiliki nilai keanekaragaman rendah.

Hasil penelitian Taripar N. & Fitria M. (2009) di Pulau Rubiah diperoleh persen tutupan terumbu karang yang tertinggi diperoleh pada stasiun 2 sebesar 73,10% dan terendah pada stasiun 4 sebesar 16,28%. Dari hasil penelitian diatas dapat dilihat hubungan keanekagaman Echinodermata dengan persen tutupan terumbu karang. Persen tutupan karang yang tinggi akan memiliki keanekaragaman Echinodermata yang tinggi seperti pada stasiun 3. Pada stasiun 4 memiliki persen terumbu karang yang rendah (kategori buruk), memiliki keanekaragaman yang sedikit. Kondisi faktor fisik kimia perairan ini tergolong baik dan cocok untuk pertumbuhan terumbu karang, misalnya suhu, pH, penetrasi cahaya, salinitas dan lain sebagainya (Tabel 4.6). Rusaknya terumbu karang di daerah penelitian ini khususnya pada stasiun 1 dan 4 karena bencana alam (Tsunami) dan pengaruh aktifitas masyarakat. Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 2001, terumbu karang di kategorikan; buruk (0-24,9 %), sedang (25-49,9 %), baik (50-74,9 %) dan baik sekali (75- 100 %).

Indeks keseragaman (E) yang diperoleh dari 4 stasiun penelitian berkisar 0,773 – 0,692 dengan indeks keseragaman (E) tertinggi pada stasiun 3 sebesar 0,773 dan terendah pada stasiun 4 sebesar 0,692. Rendahnya nilai keseragaman pada stasiun 4 karena ditemukan beberapa spesies yang mendominasi yaitu Diadema sp karena memiliki terumbu karang yang rusak sehingga penyebaran tidak marata. Krebs (1985), menyatakan indeks keseragaman (E) berkisar 0 – 1. Indeks keseragaman yang tinggi menunjukkan bahwa pembagian jumlah individu pada masing-masing spesies merata dan sebaliknya jika Indeks Keseragaman semakin kecil maka keseragaman suatu populasi akan semakin kecil.


(49)

4.1.3 Indeks Similaritas

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian diperoleh nilai indeks Similaritas (IS) seperti pada tabel berikut:

Tabel 4.4 Nilai Indeks Similaritas (IS) atau Kesamaan pada Stasiun Penelitian

Stasiun 1 2 3 4

1 - 91,66% 81,81% 90,00%

2 - - 91,66% 90,90%

3 - - - 80,00%

4 - - - -

Dari Tabel 4.4 dapat dilihat hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai indeks similaritas (IS) yang didapat pada stasiun penelitian bervariasi dan berkisar antara 81,81% - 91,66%. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa empat stasiun memiliki nilai IS kriteria sangat mirip (75-100%). Kemiripan ini karena faktor ekologis dan faktor fisik kimia yang hampir sama antara stasiun sehingga menyebabkan terdapatnya kesamaan nilai spesies benthos pada stasiun tersebut.

4.2 Parameter Abiotik

Berdasarkan pengukuran faktor fisik kimia perairan pada masing-masing stasiun pengamatan di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam diperoleh rata-rata seperti Tabel 4.6 dibawah ini:

Tabel 4.5 Rata-rata Nilai Faktor Fisik Kimia yang Diperoleh pada Setiap Stasiun Penelitian di Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam.

No Faktor fisik kimia perairan

Satuan Stasiun

1 2 3 4

1 Suhu Air °C 29 30 29 29

2 Penetrasi Cahaya m 4 5 4 3

3 Intensitas Cahaya Candela 1383 1229 949 1047

4 pH air -- 7,4 7,8 7,7 6,5

5 DO (Oksigen terlarut) mg/l 6,2 6,8 6,1 6,2

6 Kejenuhan Oksigen % 81,17 88,589 79,842 80,77

7 BOD5 mg/l 1,2 1,1 1,8 2,4

8 Salinitas ‰ 35 35 34 35


(50)

4.2.1 Suhu

Hasil pengukuran suhu pada 4 stasiun penelitian, berkisar 29-30 °C. Hal ini menunjukkan bahwa temperatur perairan P. Rubiah masih dalam kisaran normal untuk perairan tropis. Ini disebabkan karena daerah penelitian ini masih tergolong alami dan dilindungi, belum terdapat banyak aktivitas masyarakat yang dapat menimbulkan pencemaran. Menurut Wells (1954), suhu yang baik untuk pertumbuhan karang adalah berkisar antara 25- 29°C dan batas minimum suhu berkisar 16-17°C serta batas maksimum 36°C. Menurut Nontji (1993), bahwa suhu permukaan di perairan Nusantara umunya berkisar antara 28-31°C. Menurut Romimohtarto & Juwana (2001), bahwa suhu alami air laut berkisar antara suhu dibawah 0°C sampai 33°C dan perubahan suhu dapat memberi pengaruh besar terhadap sifat-sifat air laut dan termasuk biota laut.

4.2.2 Penetrasi Cahaya

Penetrasi cahaya yang diperoleh pada 4 stasiun penelitian ini sama yaitu 4-5 meter. Tingginya penetrasi cahaya ini disebabkan karena kondisi perairan di P. Rubiah masih tergolong baik. Menurut Sastrawijaya (1991), cahaya matahari tidak dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau terlarut tinggi, akibatnya akan mempengaruhi proses fotosintesis di dalam perairan tersebut. Berkurangnya cahaya matahari disebabkan karena banyak faktor antara lain adanya bahan yang tidak larut seperti debu, tanah liat maupun mikroorganisme air yang mengakibatkan air menjadi kotor / tidak jernih.

4.2.3 Intensitas Cahaya

Intensitas cahaya yang tertinggi diperoleh pada stasiun 1 sebesar 1383 Candela dan terendah pada stasiun 3 sebesar 949 Candela. Rendahnya intensitas cahaya pada stasiun 3 disebabkan karena pada saat pengukuran dilakukan pada pagi hari, sedangkan pada stasiun 1 dilakukan siang hari, selain ini terdapat banyak pohon ditepi perairan ini. Menurut Barus (2004), vegetasi yang ada di sepanjang aliran


(51)

sungai dapat mempengaruhi intensitas cahaya, karena tumbuh-tumbuhan tersebut mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi cahaya matahari. Bagi organisme air, intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya. Faktor cahaya matahari yang masuk dalam perairan akan mempengaruhi sifat optis air, sebagian cahaya itu akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke luar dari permukaan air.

4.2.4 pH air

Derajat keasaman atau kebasaan (pH) tertinggi pada stasiun 2 yaitu 7,8 sedangkan yang paling rendah pada stasiun 4 yaitu 6,5. Rendahnya pH pada stasiun 4 berpengaruh terhadap jenis Echinodermata yang ditemukan, dimana nilai H’, E dan r rendah. Namun demikian secara keseluruhan nilai pH pada lokasi penelitian masih dapat mendukung kehidupan makrozoobenthos. Sutrisno (1987), menyatakan pH optimum untuk spesies makrozoobenthos berkisar 6,0 – 8,0 sedangkan Barus (2004) menyatakan nilai ideal pH bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 - 8,5. Kondisi perairan yang sangat basa akan membahayakan organisme karena akan mengganggu metabolisme dan respirasi, disamping itu nilai pH yang asam akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama ion Aluminium.

4.2.5 Oksigen terlarut ( DO/ Dissolved Oxygen)

Nilai DO yang diperoleh dari 4 stasiun penelitian ini berkisar 6,1-6,8 mg/l. Nilai DO yang tertinggi pada stasiun 2 yaitu 6,8 mg/l sedangkan terendah pada stasiun 1 sebesar 6,1 mg/l. Menurut Suin (2002), menyatakan bahwa, suhu memiliki peranan yang besar terhadap kelarutan oksigen galam air, apabila temperatur air naik maka kelarutan oksigen dalam air menurun. Bersamaan dengan peningkatan aktivitas metabolisme akuatik, sehingga kebutuhan akan oksigen juga meningkat. Sastrawijaya (1991), bahwa temperatur mempunyai pengaruh besar terhadap kelarutan oksigen, jika suhu naik maka oksigen di dalam air akan menurun.


(52)

4.2.6 Kejenuhan Oksigen (%)

Kejenuhan oksigen yang diperoleh dari 4 stasiun penelitian berkisar antara 79,84 – 89,00%. Menurut Barus (2004), menyatakan bahwa disamping pengukuran konsentrasi biasanya dilakukan pengukuran terhadap tingkat kejenuhan oksigen dalam air. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah nilai maksimum atau tidak. Untuk dapat mengukur tingkat kejenuhan oksigen air, maka diperlukan pengukuran temperatur dari ekosistem air tersebut. Kehidupan di air dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimum sebanyak 4 mg/l, selebihnya tergantung pada ketahanan organisme, derajat keaktifan, kehadiran pencemar, temperatur air dan sebagainya

4.2.7 BOD5 (Biologycal Oxygen Demand)

Hasil BOD5 yang diperoleh di perairan P. Rubiah berkisar antara 1,1- 2,4 mg/l. Nilai BOD5 yang tertinggi pada stasiun 4 yaitu sebesar 2,4 mg/l sedangkan terendah pada stasiun 3 sebesar 1,1 mg/l. Menurut Barus (2002), bahwa nilai BOD menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobik dalam proses penguraian senyawa organik yang diukur pada suhu 20°C. Pengukuran BOD didasarkan pada kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik, artinya hanya terhadap senyawa yang mudah diuraikan secara biologis seperti senyawa yang umumnya terdapat dalam limbah rumah tangga. Brower et al., (1990), bahwa apabila konsumsi oksigen selama 5 hari berkisar 5 mg/l O2, maka perairan tersebut tergolong baik. Sebaliknya apabila konsumsi oksigen antara 10-20 mg/l O2 menunjukkan bahwa tingkat pencemaran oleh senyawa organik tinggi.

4.2.6 Salinitas (‰)

Nilai Salinitas yang diperoleh pada 4 stasiun penelitian ini sama yaitu berkisar 34 - 35‰. Nilai salinitas di perairan ini masih tergolong normal seperti yang dinyatakan oleh Nontji (1986), bahwa, di Samudra umumnya salinitas berkisar antara 34-35 ‰. Zat padat terlarut meliputi garam-garam anorganik, senyawa-senyawa


(53)

organik yang berasal dari organisme hidup, dan gas-gas terlarut. Ini disebabkan karena didalam air laut terlarut garam-garam yang paling utama adalah natrum klorida (NaCl) yang sering disebut garam dapur. Selain NaCl, di dalam air laut terdapat pula MgCl2, kalium, kalsium dan sebagainya. Salinitas adalah jumlah berat semua garam (dalam gram) yang terlarut dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dengan satuan ‰ (permil, gram per liter), sedangkan menurut Brotowidjojo et al., (1995) menyatakan organisme lautan sejati tidak dapat bertahan pada salinitas laut normal (32-35‰). Kinsman (1964), Salinitas air laut di daerah tropis rata-rata sekitar 35‰, dan binatang karang hidup subur pada kisaran salinitas 34-35‰.

4.2.8 Jenis Subtrat

Jenis substart yang umum dihuni oleh Echinodermata pada stasiun penelitian ini berupa pasir, batu, pecahan karang, rumput laut, koloni karang. Hewan ini biasanya hidup melekat (sesil) pada substrat. Kehidupan organisme air ada juga ketergantungannya dengan bahan dan ukuran partikel dasar badan air. Dengan mengetahui bahan dasar dan ukuran partikel dasar perairan akan didapat informasi yang mungkin dapat menunjukkan tipe fauna yang terdapat di substrat badan air (Suin, 2002).

4.3 Nilai Analisis Korelasi Pearson Metode Komputerisasi SPSS Ver. 13.00

Nilai uji analisis korelasi keanekaragaman Echinodermatadengan faktor fisik kimia perairan yang didapatkan pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini:

Tabel 4.6 Nilai Analisis Korelasi Keanekaragaman Echinodermata dengan Faktor Fisik Kimia Perairan

Suhu (°C)

Penetrasi

(m) I. Cahaya pH

DO

(mg/l) K.Oksigen

BOD5

(mg/l)

Salinitas


(54)

Keterangan:

Nilai + = Arah Korelasi Searah

Nilai - = Arah Korelasi Berlawanan

Dari Tabel 4.6 menunjukkan bahwa hasil uji analisis korelasi pearson antara faktor fisik kimia perairan dengan indeks keanekaragaman (H’) berbeda tingkat korelasi dan arah korelasinya. Nilai (+) menunjukkan korelasi yang searah antara nilai faktor fisik kimia perairan dengan nilai Indeks Keanekaragaman (H’), yaitu suhu, penetrasi cahaya, pH, DO dan kejenuhan oksigen. Berkorelasi searah dengan Indeks Keanekaragaman (H’), artinya semakin besar nilai salah satu faktor fisik kimia maka nilai Indeks Keanekaragaman akan semakin besar pula. Nilai (-) menunjukkan korelasi yang berlawanan yaitu Intensitas cahaya, BOD dan Salinitas berkorelasi berlawanan dengan Indeks Keanekaragaman (H’), artinya semakin besar nilai faktor fisik kimia perairan tersebut maka nilai H’ akan semakin kecil, begitu juga sebaliknya, jika semakin kecil nilai faktor fisik kimia perairan maka nilai H’ akan semakin besar. Menurut Sokal & James (1992) koefisien dapat berkisar dari +1 untuk hubungan positif sempurna sampai -1 untuk hubungan negatif sempurna.

Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson pada Tabel 4.7, dapat dilihat bahwa faktor fisik kimia yang berkorelasi searah adalah suhu, penetrasi cahaya, pH, DO dan kejenuhan oksigen, sedangkan yang berkorelasi berlawanan adalah Intensitas cahaya, BOD dan Salinitas. Menurut Sugiono (2005) koefisien korelasi dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu:

Table 4. 7 Nilai Koefisien Korelasi

Interval Koefisien Tingkat Hubungan

0,00 – 0,199 Sangat Rendah

0,20 – 0,399 Rendah

0,40 – 0,599 Sedang

0,60 – 0,799 Kuat

0,80 – 1,00 Sangat Kuat

Berdasarkan Tabel 4.7 diatas, dapat diketahui bahwa korelasi antara faktor fisik kimia dengan indeks keanekaragaman (H’) memiliki hubungan yang sangat rendah, sedang dan sangat kuat. Hubungan yang sangat rendah adalah intensitas


(55)

cahaya, tingkat hubungan yang sedang adalah suhu, kejenuhan oksigen, DO, BOD, salinitas. Hubungan yang sangat kuat terdiri dari penetrasi cahaya dan pH

Oksigen terlarut berkorelasi searah terhadap keanekaragaman makrozoobentos dimana semakin tinggi nilai DO maka tingkat keanekaragaman juga semakin tinggi. Menurut Sastrawijaya (1991), untuk mempertahankan hidupnya mahkluk yang tinggal di air, baik tanaman maupun hewan bergantung pada oksigen terlarut.


(56)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap keanekaragaman Echinodermata, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Echinodermata yang diperoleh 13 genera yang terdiri dari 4 kelas, 6 ordo, 7 famili, 11 genus dan 1 filum.

2. Pada stasiun 1 terdapat 5 ordo, 6 famili, 9 genus dan 11 spesies. Pada stasiun 2 terdapat 5 ordo, 7 famili, 11 genus dan 13 spesies. Pada stasiun 3 terdapat 5 ordo, 6 famili, 9 genus dan 11 spesies. Pada stasiun 3 terdapat 5 ordo, 4 famili, 8 genus dan 10 spesies.

3. Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi pada

Diadema setosum, sebesar 0,299 ind/m2 (K), 41,134 % (KR) dan 100% (FK). Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran yang terendah

Culcita novaeguineae, Actinopyga lecanora, Holothuria edulis dan Protoreaster nodosus sebesar 0,005 ind/m2 (K), 0,709% (KR) dan 33,33% (FK). 0,005 ind/m2 pada setiap stasiun.

4. Indeks Keanekaragaman (H’) tertinggi pada stasiun 2 sebesar 1,859 dan terendah pada stasiun 4 sebesar 1,720

5. Indeks Keseragaman (E) tertinggi pada stasiun 3 sebesar 0,773 dan terendah pada stasiun 4 sebesar 0,692.

6. Persen tutupan karang yang paling tinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 73,10% (kategori baik) dan terendah pada stasiun 4 sebesar 16,28% (kategori buruk). 7. Nilai (+) menunjukkan korelasi yang searah antara nilai faktor fisik kimia perairan

dengan nilai Indeks Keanekaragaman (H’), yaitu suhu, penetrasi cahaya, pH, DO dan kejenuhan oksigen.


(57)

8. Nilai (-) menunjukkan korelasi yang berlawanan antara nilai faktor fisik kimia perairan dengan nilai Indeks Keanekaragaman (H’) yaitu Intensitas cahaya, BOD dan Salinitas berkorelasi berlawanan.

5.2 Saran

Hampir semua jenis Echinodermata aktif pada malam hari, oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian selanjutnya mengenai keanekaragaman hewan ini pada saat malam hari agar data yang diperoleh akurat dan bisa sebagai data pembanding dengan penelitian yang dilakukan pada siang hari.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 1993. Mengenal Lebih Dekat Satwa yang Lindungi: Biota Laut,

Kupu-kupu dan Reptil. Jakarta: Biro Hubungan Masyarakat Sekretariat Jenderal

Departemen Kehutanan

Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. Medan: USU Press. hlm: 33-35

Brotowidjojo, M.D. 1994. Zoologi Dasar. Jakarta: Erlangga. hlm: 118-124.

Brower, J. E., H.Z. Jerrold. & Car I.N. Von Ende. 1990. Field and Laboratory

Methods for General Ecology. Third Edition. USA, New York: Wm. C. Brown

Publisher. hlm: 52.

Clark, A. M. and F. W. E. Rowe. 1971. Monograph of Shallow Water Indo West

Pacific Echinoderm. Trustees of Brit. Mus: 234

http: 2008.

Hyman, H. L. 1955. The Invertebrates Echinodermata. New York: Mc Graw- Hill Book Company.

Kinsman, D. J. J. 1964. Reef Coral Tolerance of High Temperatures and Salinities. Nature 202: 1280-1282.

Kobayashi, N & K. Nakamura. 1967. Spawning Periodicity of Sea Urchin at Seto II.

Diadema Setosum. Publ. Seto Mar. Biol. Lab : 173- 184

Koesbiono. 1979. Dasar-Dasar Ekologi Umum. Bagian IV. (Ekologi Perairan). Bogor: Pasca Sarjana Program Studi Lingkungan IPB. hlm: 27.

Krebs, C. J. 1985. Ecology. Third Edition. New York: Harper & Row Publisher. hlm: 523.

Michael, P. 1984. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium. Jakarta: Universitas Indonesia Press. hlm: 169.

Niel, A. C, Jane, B. R & Lawrence, G. M. 2003. Biologi. Edisi 5. Jilid 2. Jakarta: Erlangga. hlm: 240-242.

Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan. hlm: 200-209.

Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT. Gramedia. hlm: 198.


(1)

Lampiran E. Foto Lokasi Penelitian

Gambar 1. Stasiun 1

Gambar 2. Stasiun 2


(2)

Lampiran F. Jumlah dan Jenis Echinodermata yang didapat pada setiap stasiun

penelitian

NO Spesies Stasiun 1

Rata-rata

Stasiun 2

Rata-rata

Stasiun 3 Rat

a-rata

Stasiun 4

T1 T2 T3 T1 T2 T3 T1 T2 T3 T1 T

2 T3 1 Achantaster

plancii

1 2 - 1 1 1 - 0,66 1 1 - 0,66 - - - -

2 Culcita novaeguineae

1 - - 0,33 - 2 1 1 - - - - - - - -

3 Linkia laevigata

5 10 5 6,66 5 12 11 9,33 5 4 3 4 4 5 6 5

4 Protoreaster nodosus

- - - - 1 - 1 0,66 1 - - 0,33 - - - -

5 Colobometra sp

2 2 1 1,66 2 1 3 2 3 2 1 2 2 3 - 1,66

6 Comanthus sp 10 8 11 9,66 6 12 15 11 10 5 8 7,66 11 1

0

10 3,88

7 Diadema setosum

3 10 5 6 5 6 6 5,66 15 20 15 16,6 18 2

0

20 19,3

8 Echinometra mathaei

- - - - 2 - - 0,66 5 2 2 3 4 3 4 3,66

9 Actinopyga lecanora

1 - - 0,33 - - 1 0,33 1 - - 0,33 - - 1 0,33

10 Holothuria atra

1 1 - 0,66 1 2 - 1 - - - - 1 1 - 0,66

11 Holothuria edulis

1 - - 0,33 2 - 1 1 - 1 - 0,33 1 - 1 0,66

12 Holothuria sp - 2 1 1 2 - 1 1 - 3 1 1,33 2 - 2 1,33

13 Pearsonothuri a graffei


(3)

Lampiran G. Contoh Hasil Perhitungan

a.

Kepadatan Populasi

K =

Jumlah individu suatu jenis (A. Leuchosternon = 74; St. 1)

Luas area pengambilan sampel (200 m)

K =

74

200

= 0, 37 ind/m

2

b. Kepadatan Relatif (KR)

KR =

x

100%

N

ni

dengan: ni

= jumlah individu spesies i ( 0, 37 ind/m

2

)

N = total individu seluruh spesies ( 7, 185)

KR =

0, 37

x 100%

7,185

= 5, 14961 %

c. Frekuensi Kehadiran (FK)

KR =

Jumlah plot yang ditempati suatu jenis

x 100%

Jumlah plot yang ditempati seluruhjenis

KR =

3

x 100%

3


(4)

dimana :H’

= indeks diversitas Shannon-Wienner

pi

= proporsi spesies ke-i ( A. Leucosternon = 74; total individu dari

seluruh spesies = 1437)

In

= logaritma nature

pi

=

Σ

ni/N (Perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan

jenis)

pi =

74

1437

= 0.051496

maka pi ln pi = 0.051496 x ln 0.051496

= -0.15275

∑ pi ln pi stasiun I

= -3, 7388

H’

= 3, 7388

e.

Indeks Equitabilitas (E)

Indeks equitabilitas (E) =

max

H

H'

dimana :H’

= indeks diversitas Shannon-Wienner (St.1 = 3, 7388)

H maks

= keanekaragaman spesies maksimum

= In S (dimana S banyaknya spesies)

dengan nilai E berkisar antara 0-1 ( St. 1 = 50)

(E) =

3,7388

ln 50

(E) =

3,7388

3,912023005


(5)

Lampiran H. Hasil Analisis Korelasi Pearson

suhu P.cahaya I.cahaya pH DO K.oksigen BO

D Salinitas H Suhu

Pearson Correlation

1 ,816 ,266 ,50 7

,989(

*) ,990(**) -,58 1

,333 ,555 Sig. (2-tailed)

,184 ,734 ,49 3 ,011

,41

9 ,667 ,445 N

4 4 4 4 4 4 4 4 4

P.caha ya

Pearson Correlation

,816 1 ,385 ,89

7 ,765 ,791 -,88 1

,000 ,818 Sig. (2-tailed)

,184 ,615 ,103 ,235 ,209 ,119 1,000 ,182 N

4 4 4 4 4 4 4 4 4

I.caha ya

Pearson Correlation

,266 ,385 1 ,18

8 ,359 ,378 -,73 4

,702 -,166 Sig. (2-tailed)

,734 ,615 ,81

2 ,641 ,622 ,26

6 ,298 ,834 N

4 4 4 4 4 4 4 4 4

Ph

Pearson Correlation

,507 ,897 ,188 1 ,414 ,448 -,80 0

-,394 ,922 Sig. (2-tailed)

,493 ,103 ,812 ,586 ,552 ,20

0 ,606 ,078 N

4 4 4 4 4 4 4 4 4

DO

Pearson Correlation

,989(

*) ,765 ,359 ,41

4 1 ,999(**) -,57 5

,469 ,433 Sig. (2-tailed)

,011 ,235 ,641 ,58

6 ,001

,42

5 ,531 ,567 N

4 4 4 4 4 4 4 4 4

K.oksi gen Pearson Correlation ,990(

**) ,791 ,378 ,44

8 ,999(

**) 1

-,60 9

,455 ,457 Sig. (2-tailed)

,010 ,209 ,622 ,55

2 ,001

,39

1 ,545 ,543 N

4 4 4 4 4 4 4 4 4

BOD

Pearson Correlation

-,581 -,881 -,734 -,80 0

-,575 -,609 1 -,194 -,548 Sig. (2-tailed)

,419 ,119 ,266 ,20

0 ,425 ,391 ,806 ,452 N

4 4 4 4 4 4 4 4 4

Salinit as

Pearson Correlation

,333 ,000 ,702 -,39 4

,469 ,455 -,19 4

1 -,555 Sig. (2-tailed)


(6)