Studi Keanekaragaman Ikan Karang di Sebelah Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam.

(1)

STUDI KEANEKARAGAMAN IKAN KARANG DI KAWASAN

PERAIRAN BAGIAN TIMUR PULAU RUBIAH

NANGROE ACEH DARUSSALAM

SKRIPSI

OLEH:

VALENTYNA PARDEDE 050805014

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMETERA UTARA

MEDAN 2009


(2)

STUDI KEANEKARAGAMAN IKAN KARANG DI KAWASAN

PERAIRAN BAGIAN TIMUR PULAU RUBIAH

NANGROE ACEH DARUSSALAM

SKRIPSI

OLEH:

VALENTYNA PARDEDE 050805014

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMETERA UTARA

MEDAN 2009


(3)

PERSETUJUAN

Judul : STUDI KEANEKARAGAMAN IKAN KARANG DI

KAWASAN PERAIRAN BAGIAN TIMUR PULAU RUBIAH NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Kategori : SKRIPSI

Nama : VALENTYNA PARDEDE

NIM : 050805014

Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI

Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

(FMIPA) SUMATERA UTARA

Diluluskan di Medan, Oktober 2009

Komisi Pembimbing

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Mayang Sari Yeanny S.Si, M. Si Prof. Dr. Ing Ternala A. Barus, M. Sc

NIP 132 206 571 NIP 131 695 907

Diketahui/ Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

Prof. Dr. Dwi Suryanto, M. Sc NIP 132 089 421


(4)

PERNYATAAN

STUDI KEANEKARAGAMAN IKAN KARANG DI KAWASAN PERAIRAN BAGIAN TIMUR PULAU RUBIAH

NANGGROE ACEH DARUSSALAM

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Oktober 2009

VALENTYNA PARDEDE 050805014


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur Penulis Panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, yang telah memberikan berkat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Studi Keanekaragaman Ikan Karang di Sebelah Timur Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam ” dalam waktu yang telah ditetapkan.

Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus.,M.Sc selaku pembimbing I, terima kasih atas perhatian, tenaga, dorongan, waktu, dan panduan yang telah diberikan kepada saya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, dan Ibu Mayang Sari Yeanny, S.Si.,M.Si selaku Dosen Pembimbing II. Terima kasih kepada Bapak Drs. Nursal M.Si selaku Penguji I dan Bapak Syafruddin S.Si., M. Biomed selaku Penguji II yang telah banyak memberikan saran dan arahan demi penyelesaian skripsi ini. Ibu Etti Sartina Siregar S.Si., M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik dan kepada Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc, Ketua Departemen Biologi FMIPA USU dan kepada seluruh staf pengajar di Departemen Biologi. Saya juga mengucapkan terimakasih kepada Dekan FMIPA USU Prof.Dr. Eddy M., M.Sc.

Ucapan terimakasih yang tak ternilai penulis ucapkan kepada Yang Terhormat Ayahanda A. Pardede dan Ibunda tercinta H. Simamora buat kasih sayang, nasehat, tiap tetes keringat, air mata, harapan, doa dan dukungan yang selalu menguatkan, sehingga penulis bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini. Kepada Abangku tersayang: Indra Pardede yang selalu memberikan doa dukungan moril maupun materi, juga untuk adik-adikku terkasih: Susilawati Pardede, Juwita Pardede, dan Julius Pardede yang selalu memberikan doa dan dukungan moril kepada penulis selama ini. Kepada Oppungku R. Pasaribu yang tak pernah jemu memberikan nasehat dan doa. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga besar Pardede, Simamora dan Pasaribu.

Ucapan terimakasih juga Penulis ucapkan kepada rekan-rekan Mahasiswa/i Biologi 2005 (Teteh, Kemis, Mbakyu, Utin, Imoes, Winda, Widya, Juned, Nana, Erni, Fe_fee, Mahmud, Sidada, Azai, Syapu, Dini, Filex, Didie, Uwie, Menik, Yuth, Kabullah, Irfan, Andiman, Coco, Che_lingga, Fendi, Sarmut, Giant, Ocid, Adel, Julit, Becha, Verta, Omie, Ulan, Imah, Yanthi, Happy, Erie, Pida, Ri2s, Sarah, Nia, Kalis), terima kasih atas kebersamaannya selama ini. Kepada Team Lapangan Sabang: Taripar, Erni, Fitria, Sarah dan driver Misran terimakasih atas bantuan dan kebersamaan yang diberikan selama di lapangan. Kepada teman-temanku Team Porsea: Misran, Oci dan Tober. Dan juga teman seperairan Becha dan Erna. Kepada Abang dan Kakak seperairan: B’David S.Si, B’Frans Bonardo S.Si., B’Boy, B’Gokmen, K’Rosa S.Si, dan stambuk 2004. Kepada junior-juniorku seluruh Stambuk 2006,2007 ,2008.

Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada kakak asuhku k’Metha S.Si., dan adik asuhku Yenni terima kasih buat kebaikan dan dukungannya selama ini. Dan kepada yang terkasih Misran siregar sahabat hatiku disaat suka maupun duka,


(6)

yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan dan semangat yang tak mungkin bisa terlupakan, terima kasih buat kesabarannya selama ini. Terima kasih juga buat teman sekamarku Erni Hutauruk dan seluruh teman-teman di kost Gitar 3A, terima kasih buat perhatian dan kebersamaan yang selama ini diberikan.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan hasil penelitian ini, untuk itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan hasil penelitian ini.

Medan, September 2009


(7)

Studi Keanekaragaman Ikan Karang

Di kawasan Perairan Bagian Timur Pulau Rubiah

Nanggroe Aceh Darussalam

ABSTRAK

Penelitian dengan judul “Studi Keanekaragaman Ikan Karang Di Kawasan Perairan Bagian Timur Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam” telah dilakukan pada bulan Mei 2009. Penelitian ini dilakukan dengan metode Purpossive Random Sampling yaitu menentukan 2 stasiun penelitian berdasarkan perbedaan aktivitas yang berlangsung di Perairan tersebut. Pengamatan Ikan Karang dilakukan pada transek yang berukuran 4 x 50 meter sebanyak 3 transek pada setiap stasiun. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat keanekaragaman ikan karang dan hubungan antara faktor fisik kimia dengan keanekaragaman ikan karang.

Dari hasil identifikasi diperoleh ikan karang yang termasuk kedalam kelas Osteichtyes yang tergolong dalam 1 ordo, 14 famili, 33 genus serta 50 spesies. Nilai Kepadatan dan kepadatan Relatif tertinggi terdapat pada Acanthurus leucosternon dengan nilai masing-masing 0,370 ind/m2 dan 5,150 %. Nilai Kepadatan dan Kepadatan Relatif terendah terdapat pada Labropsis sp. yaitu 0,005 ind/m2 dan 0,086 %. Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 3,472 sedangkan terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu 3,343. Indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 0.956 sedangkan terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu 0.955. Dari hasil analisis korelasi diketahui bahwa hubungan antara indeks keanekaragaman dengan nilai faktor fisik kimia berkorelasi kuat.


(8)

Study of Reef Fish Diversity At The East Part Oceanik Of Rubiah

Island Nanggroe Aceh Darussalam

ABSRACT

The research with the title “Study of Reef Fish Diversity At The East Part Oceanik Of Rubiah Island Nanggroe Aceh Darussalam” have been done at May 2009. This Research is done with the method of Purpossive Random Sampling that is determine 2 research station of pursuant to difference of society activity that goes on around this oceanik. Reef fish survey done at the transect that sized 4 x 50 metres by 3 restating times rill each research station. This research target is to see the diversity of reef fish and the correlation between chemical physical factor with the reef fish diversity.

From result identify to the reef fish obtained a class reef fish which pertained in 1 ordo, 14 set of family and 33 genus and 50 species. The highest abundance and relative abundance is obtained at Acanthurus leucosternon that is 0,370 ind/m2 and 5,150 %. The lowest abundance and relative abundance at Labropsis sp that is 0,005 ind/m2 and 0,086 %. The highest diversity index are at station 1 that is 3,472 while the lowest are at station 2 that is 3,343. Highest similarity index there are at station 1 that is 0.956 while the lowest of similarity index there are at station 2 that is 0,955. From result of correlation analysis known that the relation between variety index and chemical physical factor value is strong correlation.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

Penghargaan iii

Abstrak iv

Abstract v

Daftar Isi vi

Daftar Tabel viii

Daftar Lampiran ix

Bab 1. Pendahuluan 1

1.1Latar Belakang 2

1.2Permasalahan 2

1.3Tujuan Penelitian 2

1.4Hipotesis 2

1.5Manfaat Penelitian 3

Bab 2. Tinjauan Pustaka 4

2.1 Ekosistem Terumbu Karang 4

2.2 Ikan Karang 5

2.3 Pengelompokan Ikan Karang 7

2.4 Ekologi Ikan Karang 8

2.5 Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan 11

Bab 3. Bahan dan Metoda

3.1 Waktu Dan Tempat 16

3.2 Pengamatan Ikan Karang 16

3.3 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan 18

Bab 4. Hasil dan Pembahasan 22

4.1 Klasifikasi dan Jenis Ikan 22

4.2 Nilai Kepadatan (ind/m2

4.3 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) pada

Masing-masing Stasiun Penelitian 41

), Kepadatan Relatif (%) dan Frekuensi

Kehadiran (%) 37

4.4 Faktor Fisik Kimia Perairan 42


(10)

Bab 5. Kesimpulan dan Saran 48

5.1 Kesimpulan 48

5.2 Saran 48


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 3.1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran 20

Faktor Fisik Kimia Perairan

Tabel 4.1 Klasifikasi dan jenis ikan yang didapat Pada Setiap Stasiun Penelitian 22 Tabel 4.2 Nilai Kepadatan (ind/m2

Kehadiran (%) ikan pada Masing-Masing Stasiun Penelitian 37 ), Kepadatan relatif (%), dan Frekuensi

Tabel 4.3 Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman pada

Masing-Masing Stasiun Penelitian 39

Tabel 4.4 Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan pada Masing-Masing Stasiun

Penelitian 41

Tabel 4.5 Nilai Korelasi yang Diperoleh Antara Parameter Fisik Kimia Perairan dengan Keanekaragaman Plankton Yang Diperoleh dari Setiap Stasiun


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A: Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur DO Lampiran B: Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur BOD Lampiran C: Bagan Kerja Menghitung Kejenuhan Oksigen

5 Lampiran D: Nilai Oksigen Terlarut

Lampiran E: Data Mentah Ikan karang Lampiran F: Contoh Perhitungan Lampiran G: Data Mentah Corelations

Lampiran H: Gambar Ikan Karang Yang Diperoleh Pada Penelitian Lampiran I: Foto Lokasi Penelitian


(13)

Studi Keanekaragaman Ikan Karang

Di kawasan Perairan Bagian Timur Pulau Rubiah

Nanggroe Aceh Darussalam

ABSTRAK

Penelitian dengan judul “Studi Keanekaragaman Ikan Karang Di Kawasan Perairan Bagian Timur Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam” telah dilakukan pada bulan Mei 2009. Penelitian ini dilakukan dengan metode Purpossive Random Sampling yaitu menentukan 2 stasiun penelitian berdasarkan perbedaan aktivitas yang berlangsung di Perairan tersebut. Pengamatan Ikan Karang dilakukan pada transek yang berukuran 4 x 50 meter sebanyak 3 transek pada setiap stasiun. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat keanekaragaman ikan karang dan hubungan antara faktor fisik kimia dengan keanekaragaman ikan karang.

Dari hasil identifikasi diperoleh ikan karang yang termasuk kedalam kelas Osteichtyes yang tergolong dalam 1 ordo, 14 famili, 33 genus serta 50 spesies. Nilai Kepadatan dan kepadatan Relatif tertinggi terdapat pada Acanthurus leucosternon dengan nilai masing-masing 0,370 ind/m2 dan 5,150 %. Nilai Kepadatan dan Kepadatan Relatif terendah terdapat pada Labropsis sp. yaitu 0,005 ind/m2 dan 0,086 %. Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 3,472 sedangkan terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu 3,343. Indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 0.956 sedangkan terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu 0.955. Dari hasil analisis korelasi diketahui bahwa hubungan antara indeks keanekaragaman dengan nilai faktor fisik kimia berkorelasi kuat.


(14)

Study of Reef Fish Diversity At The East Part Oceanik Of Rubiah

Island Nanggroe Aceh Darussalam

ABSRACT

The research with the title “Study of Reef Fish Diversity At The East Part Oceanik Of Rubiah Island Nanggroe Aceh Darussalam” have been done at May 2009. This Research is done with the method of Purpossive Random Sampling that is determine 2 research station of pursuant to difference of society activity that goes on around this oceanik. Reef fish survey done at the transect that sized 4 x 50 metres by 3 restating times rill each research station. This research target is to see the diversity of reef fish and the correlation between chemical physical factor with the reef fish diversity.

From result identify to the reef fish obtained a class reef fish which pertained in 1 ordo, 14 set of family and 33 genus and 50 species. The highest abundance and relative abundance is obtained at Acanthurus leucosternon that is 0,370 ind/m2 and 5,150 %. The lowest abundance and relative abundance at Labropsis sp that is 0,005 ind/m2 and 0,086 %. The highest diversity index are at station 1 that is 3,472 while the lowest are at station 2 that is 3,343. Highest similarity index there are at station 1 that is 0.956 while the lowest of similarity index there are at station 2 that is 0,955. From result of correlation analysis known that the relation between variety index and chemical physical factor value is strong correlation.


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pulau Rubiah adalah salah satu pulau yang ada di Pulau Weh-Sabang. Pulau ini letaknya tepat di hadapan Pantai Iboih. Pemandangan alamnya masih sangat alami, dihiasi oleh pohon besar serta rumput-rumput liar. Pulau ini juga mempunyai pemandangan alam bawah laut yang indah, seperti; terumbu karang, ikan karang, dan biota laut lainnya hidup disini. Banyak pengunjung yang pernah singgah ketempat ini. Julukan tempat ini ialah "Rubiah Sea Garden" yang artinya taman laut yang sangat indah dengan beranekaragam biota laut. Keadaan perairan Taman Laut Pulau Rubiah sangat jernih dengan kecerahan mencapai antara 10 sampai 15 meter. Keanekaragaman hayati di bagian Timur Pulau Rubiah tergolong tinggi, karena terumbu karang yang bervariasi masih dalam keadaan baik dibandingkan terumbu karang sebelah Barat (http:id.coremap.or.id/Pulau_Rubiah).

Ikan merupakan hewan yang memiliki tulang belakang (vertebrata), berdarah dingin dan mempunyai insang. Jenis hewan ini merupakan penghuni laut yang paling banyak yaitu sekitar 42,6% atau sekitar 5000 jenis yang telah diidentifikasi, mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi baik dalam bentuk, ukuran, warna dan sebagian besar hidup di daerah terumbu karang (Pratiwi, 2006).

Asosiasi ikan karang dengan terumbu karang sangat erat, sehingga eksistensi ikan karang di suatu wilayah terumbu karang sangat rapuh ketika terjadi pengurasan habitatnya. Dengan sifatnya ini pula maka ikan karang dapat dijadikan indikator yang baik untuk mengetahui tingkat kerusakan habitat (Hartati & Edrus, 2005).


(16)

Perairan Pulau Rubiah yang termasuk dalam kawasan taman wisata bawah laut Pulau Weh yang berada di Kota Sabang memiliki hamparan terumbu karang yang baik. Beragam biota laut hidup dalam ekosistem ini, termasuk ikan karang yang merupakan salah satu biota pembentuk ekosistem terumbu karang. Sampai saat ini data mengenai keanekaragaaman ikan karang di Perairan Pulau Rubiah khususnya bagian Timur masih sedikit diketahui baik jenis maupun keanekaragamannya, karenanya perlu dilakukan suatu penelitian mengenai “ Studi Keanekaragaman Ikan Karang di Perairan Bagian Timur Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam”.

1.2 Permasalahan

Kondisi lingkungan seperti arus yang cukup kuat dan aktivitas masyarakat seperti penginapan, snorkeling, diving dan lalu lintas boat yang berlangsung di Kawasan Perairan Bagian Timur Pulau Rubiah dapat mempengaruhi faktor-fisik kimia perairan sehingga mempengaruhi keanekaragaman ikan karang. Sejauh ini masih sedikit diketahui tentang keanekaragaman dan faktor-faktor yang mempengaruhi keanekaragaman ikan karang yang ada di Kawasan Perairan Bagian Timur Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam.

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui keanekaragaman ikan karang di Kawasan Perairan Bagian Timur Pulau Rubiah

b. Untuk mengetahui faktor fisik-kimia perairan yang berkorelasi dengan keanekargaman ikan karang tersebut.


(17)

1.4 Hipotesis

a. Terdapat perbedaan keanekaragaman ikan karang di setiap stasiun yang berbeda. b. Adanya hubungan faktor fisik-kimia perairan yang mempengaruhi

keanekaragaman ikan karang di Kawasan Perairan Bagian Timur Pulau Rubiah.

1.5 Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Memberikan informasi yang berguna bagi instansi terkait mengenai kondisi ikan karang dalam rangka konservasi wilayah kelautan.

b. Memberikan informasi yang berguna bagi peneliti selanjutnya tentang keanekaragaman organisme ikan karang yang ada di Kawasan Perairan Bagian Timur Pulau Rubiah, Nanggroe Aceh Darussalam.


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Terumbu Karang

Sebagian besar wilayah Indonesia adalah lautan, sehingga dengan demikian secara alamiah bangsa Indonesia merupakan bangsa bahari. Hal ini ditambah lagi dengan letak wilayah Indonesia yang strategis di wilayah tropis. Hamparan laut yang luas merupakan suatu potensi bagi bangsa Indonesia untuk mengembangkan sumberdaya laut yang memiliki keragaman baik sumberdaya hayati maupun sumberdaya lainnya. Terumbu karang merupakan ekosistem yang amat peka dan sensitif sekali. Jangankan dirusak, diambil sebuah saja, maka rusaklah keutuhannya. Ini dikarenakan kehidupan di terumbu karang didasari oleh hubungan saling tergantung antara ribuan makhluk. Rantai makanan adalah salah satu dari bentuk hubungan tersebut. Tidak cuma itu proses terciptanya pun tidak mudah. Terumbu karang membutuhkan waktu berjuta tahun hingga dapat tercipta secara utuh dan indah. Terumbu karang perairan Indonesia terbentuk sejak 450 tahun silam (http:id.terumbukarang.org//Pulau_Rubiah).

Ekosistem terumbu karang terdapat di lingkungan perairan yang agak dangkal, seperti paparan benua dan gugusan pulau-pulau di perairan tropis. Untuk mencapai pertumbuhan maksimum, terumbu karang memerlukan perairan yang jernih, dengan suhu perairan yang hangat, gerakan gelombang yang besar dan sirkulasi air yang lancar serta terhindar dari proses sedimentasi. Ekosistem terumbu karang memiliki kemampuan yang baik dalam memperbaiki bagian yang rusak, bila karakteristik habitat dari berbagai macam formasi terumbu karang dan faktor lingkungan yang mempengaruhinya terpelihara dengan baik. Seperti ekosistem lainnya, terumbu karang tidak memerlukan campur tangan atau manipulasi langsung manusia untuk kelangsungan hidupnya (Dahuri et al, 2004).


(19)

Dalam proses saling makan, berbagai biota laut yang hidup dalam lingkungan komunitas terumbu ada yang bersimbiosis mutualisme, komensalisme, dan parasitisme. Yang berbentuk hubungan komensalisme dengan terumbu karang antara lain hewan-hewan Decapoda (Crustaceae) misalnya udang dan rajungan (Portunus spp) serta berbagai jenis ikan karang membutuhkan keberadaan terumbu karang sebagai tempat berteduh (shelter) dan tempat menyelinap (sembunyi) untuk melindungi diri dari serangan predator, serta tempat mencari makan berupa plankton dan serasah. Organisme lain yang juga bisa ditemui dilingkungan terumbu karang antara lain bulu babi (Diadema), hewan bangsa kerang-kerangan (Pelecypoda), ubur-ubur (jellyfish), bintang mengular (Ophiuroidea), bintang laut (Asterias sp), sea anemones, cumi (loligo sp), gurita (octopus spp), dan sebagainya (Wibisono, 2005).

2.2 Ikan karang

Empat puluh persen dari jenis ikan di dunia, atau sekitar 8000 jenis, hidup di paparan benua di perairan panas yang kecerahannya kurang dari 200 m. Perairan tropik dekat atau pada terumbu karang jika dibandingkan dengan daerah beriklim sedang, dihuni lebih banyak jenis tetapi umumnya setiap jenis sedikit jumlah hewannya. Semua jenis ikan pada terumbu karang masuk kedalam jaring makanan dalam beberapa cara sehingga terdapat keseimbangan yang rumit dari hubungan mangsa dimangsa. Beberapa kelompok ikan sangat penting bagi terumbu karang. Ikan kupu-kupu, misalnya, yang memakan hanya polip karang. Ikan ini hanya hadir kalau terdapat karang hidup dan dapat digunakan sebagai indikator kesehatan dan tutupan karang dengan melihat keanekaragaman jenis dan banyaknya ikan ini. Karena ikan kakatua memakan karang dan batuan kapur, dan membuang butiran-butiran putih yang telah dikerus oleh penggiling farengialnya, mereka penyebab penting erosi terumbu dan pembentuk pasir. Seekor ikan kakatua dewasa dapat menimbun 500 kg pasir karang pertahun pada terumbu (Juwana & Romimohtarto, 2001).

Menurut Hartati & Edrus (2005), identifikasi terjadinya perubahan dalam area perairan pantai yang direhabilitas membutuhkan indikator. Penggunaan suatu jenis biota sebagai indikator adalah diukur dari kemampuannya dalam memperlihatkan


(20)

tanda-tanda yang diukur oleh pengamat pada waktu sedini mungkin. Karena, pemulihan terumbu karang yang rusak adalah suatu proses jangka panjang. Indikator pertama yang dapat digunakan untuk mengkaji perubahan-perubahan seiring waktu dalam tingkat populasi adalah komunitas ikan. Beberapa alasan pemilihan ikan sebagai indikator diantaranya adalah:

1) Ikan merupakan satu kesatuan dari sistem kehidupan karang, tanggapan-tanggapan cukup mencerminkan adanya proses-proses yang mengancam atau mendukung sistem tersebut secara keseluruhan, dan termasuk mempengaruhi berbagai komponen lainnya.

2) Ikan adalah organisme yang relatif kompleks, dimana banyak aspek biologi dan perilakunya dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesesuaian habitatnya, seperti ikan Kepe-kepe (Chaetodontidae), predator polip karang. 3) Ikan karang mempunyai hubungan yang erat sekali dengan karang dengan

berbagai ketergantungan ini berguna untuk memantau pengaruhnya terhadap terumbu karang atau sebagai indikator yang sensitif untuk menentukan kondisi terumbu karang. Perubahan dalam distribusi dan kelimpahan ikan karang dapat menjadi suatu petunjuk bahwa komunitas karang telah mengalami gangguan dan tekanan. Selain itu, ikan tersebut dapat berguna dalam mendeteksi beberapa keadaan pada tingkat yang rendah, dengan polusi yang kronis melampaui periode waktu yang panjang atau ikan dapat berguna dalam mendeteksi keadaan-keadaan tanpa gangguan seperti hanya sekedar untuk mengetahui struktur karang.

Menurut Pratiwi (2006), ikan karang mempunyai ciri-ciri: Umumnya menetap, berukuran relatif kecil, gerakannya relatif mudah dijangkau oleh pengamat, hidup di perairan tropis, dan umumnya bersifat territorial. Jenis substrat tempat hidup ikan karang yaitu: Karang hidup, karang mati, pecahan karang, pasir dan karang lunak. Sebaran ikan karang dipengaruhi oleh beberapa hal seperti: Kebiasaan, habitat, arus dan larva. Ikan karang ditemukan pada kedalaman 0 sampai >20 meter.


(21)

2.3 Klasifikasi Ikan Karang

Menurut Suadi & Widodo (2006), ikan dapat digolongkan kedalam 2 kelompok besar yakni:

1. Ikan Bertulang Rawan

Ikan yang termasuk dalam kelompok ini antara lain ikan hiu dan ikan pari. Kedua ikan ini dapat dijumpai di daerah terumbu karang. Beberapa jenis ikan hiu seperti black-tip ( Carcharhinus spp.) dan white-tip ( Triaenodon spp.) sering terlihat mengunjungi terumbu karang, umumnya di daerah lereng terumbu maupun di rataan terumbu.

2. Ikan Bertulang Sejati

Kelompok ikan ini yang umum kita lihat hidup di terumbu karang.

2.4 Pengelompokan Ikan Karang

Menurut Hartati & Edrus (2005), berdasarkan periode aktif mencari makan ikan dikelompokkan menjadi:

1) Ikan Nokturnal (aktif ketika malam hari), contohnya pada ikan-ikan dari famili holocetridae (Swanggi), Apogoninadae (Beseng), Hamulidae, Priacanthidae (Bigeyes), Muranidae (Eels), Seramidae (Jewfish) dan beberapa famili dari Mullidae (goatfishes) dll.

2) Ikan Diurnal (aktif ketika siang hari), contohnya pada ikan-ikan dari famili Labraidae (wrasses), Chaetodontidae (Butterflyfishes) Pomacentridae (Damselfishes), Scaridae (Parrotfishes), Acanthuridae (Surgeonfishes), Bleniidae (Blennies), Balistidae (triggerfishes), Pomaccantidae (Angelfishes), Monacanthidae, Ostraciontidae (Boxfishes), Etraodontidae, Canthigasteridae dan beberapa dari Mullidae (goatfishes).

3) Ikan Crepuscular (aktif diantara) contohnya pada ikan-ikan dari famili Sphyraenidae (Baracudas), Serranidae (groupers), Caramgidae (jacks), Scorpinadae (Lionfishes), Synodontidae (Lizardfishes), Cacharhinidae, Lamnidae, Spyrnidae (sharks) dan beberapa dari Muranidae (Eels).


(22)

Pengelompokkan ikan karang berdasarkan peranannya: 1) Ikan target

Ikan yang merupakan target untuk penangkapan atau lebih dikenal juga dengan ikan ekonomis penting atau ikan konsumsi seperti: Serranidae, cara hidupnya soliter, biasanya bersembunyi di gua-gua bawah karang, ukuran panjang tubuh sampai 2 m dan berat sampai 200 kg, tergolong karnivora memakan ikan, Subfamili Anthidae, ukuran kecil, warna terang

2) Ikan Indikator ini merupakan ikan penentu untuk terumbu karang karena ikan ini erat hubungannya dengan kesuburan terumbu karang yaitu ikan dari famili Chaetodontidae (Kepe-kepe).

3) Ikan Lain

Ikan ini umumnya dalam jumlah banyak dan banyak dijadikan ikan hias air laut (Pomcentridae, Caesionidae, Scaridae, Pomacanthidae, Labridae, Apogonidae ).

2.4 Ekologi Ikan Karang

Indonesia sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia memiliki kurang lebih 85.700 km2 wilayah terumbu karang atau 14% dari luas terumbu karang di dunia (Nontji, 2002). Sejumlah besar dari area terumbu karang tersebut telah mengalami degradasi yang cukup parah. Penelitian P30 LIPI pada tahun 2000 menunjukkan bahwa 72% terumbu karang Indonesia tergolong rusak dan rusak berat, dan selebihnya hanya 28% yang tergolong baik dan baik sekali. Besarnya kerusakan ekosistem terumbu karang berdampak buruk terhadap kehidupan sosial, ekonomi dari orang yang hidup secara harmonis dan bergantung pada ekosistem tersebut untuk kebutuhan material dan pendapatan (KPP-CORAMAP, 2001).

Terumbu karang berasosiasi dengan ikan karang dan organisme lainnya. Ikan merupakan organisme yang jumlahnya terbanyak dan merupakan organisme besar yang mencolok yang dapat ditemui disebuah terumbu karang, karena jumlahnya besar dan mengisi seluruh daerah di terumbu, maka dapat terlihat dengan jelas bahwa ikan merupakan penyokong hubungan yang ada didalam ekosistem terumbu. Daerah Indo-Pasifik bagian tengah di Kepulaun Filipina dan Indonesia, mempunyai spesies yang


(23)

jumlahnya lebih banyak. Terumbu atlantik mempunyai spesies yang relatif sedikit. Jumlah spesies yang terdapat disebuah terumbu karang adalah sangat luar biasa, yaitu 500 untuk satu terumbu dalam sistem Great Barrier Reef (Nybakken, 1988).

Banyak ikan yang makan langsung di terumbu karang, hal ini menunjukkan tingkah laku teritorial dan jarang berkeliaran jauh dari sumber makanan dan tempat berlindungnya. Batas teritorialnya dapat didasarkan atas persediaan makanan, pola berbiak, banyaknya pemangsa, kebutuhan ruang atau lainnnya. Semua itu menambah kerumitan hubungan ikan terumbu yang satu dengan yang lain (Juwana & Romimohtarto, 2001).

Ikan karang membutuhkan habitat hidup untuk bersarang dan mencari makan. Umumnya ikan karang memiliki mobilitas yang rendah, oleh karenanya sarang sebagai tempat bertahan hidup dan berlindung sangat penting untuk keberlanjutan fungsinya di dalam area otoritas yang telah dipertahankannya. Semua kebutuhan ikan karang telah disediakan oleh terumbu karang sebagai suatu ekosistem yang secara co-evolution telah berkembang bersama-sama dengan ikan karang. Asosiasi ikan karang dengan terumbu karang sangat erat, sehingga eksistensi ikan karang di suatu wilayah terumbu karang sangat rapuh ketika terjadi pengurasan habitatnya. Dengan sifatnya ini pula maka ikan karang dapat dijadikan indikator yang baik untuk mengetahui tingkat kerusakan habitat. Kerusakan terumbu karang di pulau Rakiti dan Taikabo perairan teluk Saleh merupakan contoh baik, yang menunjukkan kehilangan biodiversitas ikan karang, baik jenisnya maupun relung ekologisnya. Berbagai fungsi ekologis ikan karang di perairan tersebut tidak terpenuhi karena kehilangan pelindung (shelter), area otoritas, organisme simbion, rantai makanan, tempat memijah, dan tempat mengasuh. Oleh karenanya, tingkat keanekaragaman ikan karang menjadi rendah (Hartati & Edrus, 2005).

Akibat dari jumlah spesies yang besar dan pembagian-pembagian habitat, dapat ditemukan bahwa kebanyakan ikan-ikan terumbu, meskipun gerakan mereka jelas tetapi ternyata mereka terbatas pada daerah tertentu di terumbu dan sangat terlokalisasi. Ikan karang juga tidak berpindah, dan banyak spesies yang lebih kecil


(24)

seperti ikan Belosoh, ikan Tembakul, dan ikan Betok yang terkenal dalam mempertahankan wilayahnya (Nybakken, 1988).

Karang-karang bercabang menyediakan perlindungan bagi ikan-ikan kecil seperti betok dan gobi yang berenang-renang memakan plankton hewan dan kembali untuk berlindung di karang tersebut. Alga terumbu menunjang kehidupan banyak jenis ikan herbivor. Beberapa perumput terumbu yang khas dengan gigi pemotong untuk merumput alga yang menempel pada karang terdapat banyak, antaranya ikan kakatua. Perumput yang mengambil sebagian dari substrat atau sebenarnya menggigit potongan-potongan karang lepas dari formasinya banyak jenisnya (Juwana & Romimohtarto, 2001).

Salah satu penyebab tingginya keragaman spesies di terumbu adalah karena variasi habitat terdapat di terumbu. Terumbu karang tidak hanya terdiri dari karang saja, tetapi juga daerah berpasir, berbagai teluk dan celah, daerah alga, dan juga perairan yang dangkal dan dalam zona-zona yang berbeda melintasi karang. Habitat yang beranekaragam mini dapat menerangkan peningkatan jumlah ikan-ikan itu. Akan tetapi, habitat yang banyak itu tidak cukup untuk menerangkan keragaman yang tinggi pada ikan-ikan terumbu karang, terutama pada daerah-daerah setempat. Tingginya keragaman ikan setempat mendorong untuk dilakukan sejumlah penelitian untuk menerangkan bagaimana spesies yang berjumlah besar itu dapat mempertahankan kehadirannya pada suatu daerah. Sebagai hasilnya timbul dua teori yang bertentangan mengenai keragaman ikan terumbu dan struktur komunitas. Pandangan paling klasik ialah bahwa hidup berdampingan merupakan hasil dari tingkat spesialisasi yang tinggi sehingga setiap spesies mempunyai tempat beradaptasi khusus yang didapat dari persaingan pada suatu keadaan di karang. Jadi dapat dikatakan bahwa, ikan-ikan mempunyai relung ekologi yang lebih sempit dan berarti daerah itu dapat menampung lebih banyak spesies. Pandangan lain dikemukakan, tentang hipotesis “Lottery”. Hipotesis ini menyatakan bahwa ikan tidak mempunyai sifat khusus, banyak spesies serupa yang mempunyai kebutuhan yang sama, dan terdapat persaingan yang aktif diantara spesies. Tempat yang baik dan ketekunan diakibatkan oleh kesempatan bagi spesies untuk menempati ruangan yang kosong. Kenyataannya belum dapat ditentukan pandangan mana yang benar (Nybakken, 1988).


(25)

Komunitas ikan dan kondisi perairan pada ekosistem terumbu karang (coral reef) merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan sehingga tetap berlangsung suatu proses kehidupan. Komunitas ikan kerapu misalnya, dikenal sebagai penghuni ekosistem terumbu karang bersama dengan kondisi lingkungan perairan secara normal turut menciptakan kehidupan yang serasi bagi jenis-jenis biota air lainnya. Ikan kerapu berjumlah 110 jenis dari 10 genus, seperti Aethaloterca, Anyperodon, Chepalopolis, Cromileptes, Dermatolepis, Epinephelus, Gracila, Plectropomus, Saloptia, Triso dan Variola. Penangkapan ikan kerapu di alam sudah sangat intesif dilakukan karena bernilai ekonomis tinggi, baik dalam negeri maupun luar negeri, sedangkan kondisi lingkungan perairan pada lokasi penangkapan ikan kerapu di alam, seperti suhu berkisar antara 27.00-29.620C, salinitas berkisar antara 34.259-34.351 0/00, oksigen terlarut berkisar antara 3.95-4.28 mg/l, nitrat berkisar antara 1.00-6.00 μg.at/l (Langkosono & Wenno, 2003).

2.5 Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan

Air laut mempunyai beberapa sifat fisik yang pengaruhnya sangat besar terhadap organisasi komunitas lautan. Sifat ini adalah kerapatan air laut yang lebih besar dari pada kerapatan udara dan kemampuannya untuk menyerap cahaya. Kerapatan air laut yang lebih besar menyebabkan organisme dan partikel yang relatif besar dapat terapung-apung didalamnya. Hal ini tak mungkin terjadi di udara. Suatu akibat penting dari keadaan ini adalah ekosistem lautan telah menciptakan suatu komunitas (Nybakken, 1988).

2.5.1 Temperatur

Dibandingkan dengan udara air mempunyai kapasitas panas yang lebih tinggi. Dalam setiap penelitian pada ekosistem air pengukuran temperatur air merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktifitas biologis-fisiologis didalam ekosistem air sangat dipengaruhi oleh temperatur. Menurut hukum Van’t Hoff, kenaikan temperatur sebesar 10oC (hanya pada kisaran temperatur yang masih ditolerir ) akan


(26)

meningkatkan laju metabolisme dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Akibat meningkatnya laju metabolisme, akan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat, sementara dilain pihak dengan naiknya temperatur akan menyebabkan kelarutan oksigen dalam air menjadi berkurang. Hal ini akan menyebabkan organisme air akan mengalami kesulitan untuk melakukan respirasi ( Barus, 2004 ).

2.5.2 Penetrasi Cahaya

Penetrasi cahaya merupakan besaran untuk mengetahui sampai kedalaman berapa cahaya matahari dapat menembus lapisan suatu ekosistem perairan. Nilai ini sangat penting dalam kaitannya dengan laju fotosintesis. Besar nilai penetrasi cahaya ini dapat diidentikkan dengan kedalaman air yang memungkinkan masih berlangsungnya proses fotosintesis. Untuk mengukur kekeruhan digunakan alat yang dinamakan turbidimeter ( Barus, 2004).

2.5.3 Intensitas Cahaya

Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke luar dari permukaan air. Dengan terbentuknya kedalaman lapisan air intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Cahaya gelombang pendek merupakan yang paling kuat mengalami pembiasan yang menyebabkan kolam air yang jernih akan terlihat berwarna biru dari permukaan. Pada lapisan dasar, warna air akan berubah menjadi hijau kekuningan, karena intensitas dari warna ini paling baik ditransmisi dalam air sampai ke lapisan dasar (Barus, 2004).

Menurut Juwana & Romimohtaro (2001), banyaknya cahaya yang menembus permukaan air laut dan menerangi lapisan permukaan air laut memegang peranan penting dalam menentukan pertumbuhan fitoplankton. Bagi hewan laut, cahaya mempunyai pengaruh terbesar yaitu sebagai sumber energi untuk proses fotosintesis tumbuh-tumbuhan yang menjadi sumber makanannya.


(27)

2.5.4 pH

Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Pada pH yang terdapat dalam air adalah 100% amonium, pada pH 7 perbandingan antara keduanya adalah 1% amonium dan 99% amonium, pada pH 8 terdapat 4% amoniak dan 96% amonium. Jika semakin tinggi nilai pH akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dengan amoniak semakin bergeser kearah amoniak artinya kenaikan pH akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang diketahui bersifat sangat toksik bagi organisme air. Organisme akuatik dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisma akuatik pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5 ( Barus, 2001).

Kehidupan organisme aquatik sangat dipengaruhi oleh fluktasi nilai dari pH. Pada umunya organisme aquatik toleran pada kisaran nilai pH yang netral menyatakan pH yang ideal bagi organisme aquatik pada umumnya terdapat diantara 7-8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi ( Odum, 1994).

Setiap spesies memiliki kisaran toleransi yang berbeda terhadap pH yang ideal bagi kehidupan organisme aquatik termasuk mikrozoobentos pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5. Pada pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik semakin tinggi yang tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme aquatik dan pH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air akan terganggu. Dimana kenaikan pH diatas netral akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat toksik bagi organisme ( Nybakken, 1992).


(28)

2.5.5 DO (Disolved Oxygen)

DO (Disolved Oxygen) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air terutama sangat dipengaruhi oleh faktor suhu, dimana kelarutan maksimum terdapat pada suhu 00C, yaitu sebesar 14,16 mg/l O2. Dengan peningkatan suhu akan menyebabkan konsentrasi oksigen akan menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah akan meingkatkan konsentrasi oksigen terlarut. Sumber utama oksigen terlarut dalam air berasal dari adanya kontak antara permukaan air dengan udara dan juga dari proses fotosintesis. Air kehilangan oksigen melalui pelepasan dari permukaan ke atmosfer dan melalui aktivitas respirasi dari organisme akuatik (Barus, 2004).

Menurut Michael (1994), oksigen hilang dari air alam oleh adanya pernafasan biota, pengurairan bahan organik, aliran masuk air bawah tanah yang miskin oksigen dan kenaikan suhu. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air terdapat pada suhu 00C, yaitu sebesar 14,16 mg oksigen/liter air. Sedangkan nilai oksigen terlarut di perairan sebaliknya tidak lebih kecil dari 8 mg oksigen/liter air.

2.5.6 BOD (Biological Oxygen Demand)

Kebutuhan oksigen biologis (Biological Oxygen Demand/BOD) yaitu suatu angka yang menggambarkan kebutuhan oksigen oleh mikroorganisme (jasad renik) untuk melakukan kegiatan metabolisme bahan organik terlarut dan sebagian bahan organik tersuspensi serta bahan anorganik (senyawa nitrogen, sulfid dan ferro) yang memasuki perairan marine. Bahan organik yang memasuki perairan laut dapat digolongkan menjadi 2 golongan, yakni golongan yang mudah diurai dan golongan yang sukar diurai. Limbah dari kegiatan industri, domestik, pertambangan dan pertanian yang umumnya mengandung bahan organik bila memasuki perairan marine bisa mempengaruhi oksigen dalam air (Wibiosono, 2005).


(29)

2.5.7 Salinitas

Salinitas menggambarkan jumlah zat terlarut yang berada dalam air. Salinitas dapat diukur dengan beberapa metode antara lain dengan metoda argentometri. Sekarang sudah banyak alat khusus dibuat untuk pengukuran salinitas air. Alat tersebut adalah salinometer.

Menurut Nybakken (1992), salinitas pada berbagai tempat di lautan terbuka yang jauh dari daerah pantai variasinya sempit saja, biasanya antara 34-37 0/00 dengan rataan 35 0/00. Perbedaan salinitas terjadi karena perbedaan dalam penguapan dan presipitasi. Salinitas lautan didaerah tropik lebih tinggi karena evaporasi lebih tinggi sedangkan pada lautan di daerah beriklim sedang salinitasnya rendah karena evaporasi lebih rendah.


(30)

BAB 3

BAHAN DAN METODA

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2009 di Kawasan Perairan bagian Timur Pulau Rubiah, Nanggroe Aceh Darussalam. Dimana dalam menentukan titik koordinatnya digunakan GPS (Global Positioning System). Secara geografis lokasi penelitian ini berada pada:

A. Stasiun I, 5o53’01,4” LU dan 95o15’32,4” BT s/d 5o53’06,6” LU dan 95o

B. Stasiun II, 5

15’28,1” BT, dimana daerah ini merupakan daerah tanpa aktifitas masyarakat.

o

52’32,8” LU dan 95o15’34,8” BT s/d 5o52’39,2” LU dan 95o15’35,6” BT, dimana daerah ini merupakan daerah wisata pantai berpasir juga ditemukan aktifitas masyarakat seperti penginapan, snorkeling, diving dan lalu lintas kapal.

3.2. Pengamatan Ikan Karang

Metoda yang digunakan dalam penentuan lokasi penelitian ini adalah metoda Purposive Random sampling. Metoda yang digunakan dalam pengamatan ikan karang adalah Visual sensus. Pada setiap stasiun dibuat tiga transek masing-masing sepanjang 50 x 4 m sejajar dengan garis pantai, jarak antara satu transek dengan transek berikutnya adalah 10 meter, setiap transek dilakukan pengamatan selama 1 jam. Data ikan karang didapat melalui snorkeling sepanjang garis transek, dilakukan pengamatan pada kanan dan kiri transek, kemudian dengan menggunakan alat tulis air digambar bentuk morfologi ikan karang yang paling mencolok agar mempermudah dalam mengidentifikasi, lalu dihitung jumlahnya pada masing-masing transek. Ikan


(31)

karang yang digambar juga difoto menggunakan kamera air. Identifikasi jenis ikan menggunakan buku petunjuk bergambar Allen et al (2003).

3.3. Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan

3.3.1 Temperatur

Temperatur air diukur dengan menggunakan alat termometer. Diambil satu ember dari sampel air kemudian termometer dimasukkan kedalamnya. Lalu dibaca skala dari termometer tersebut dan dicatat.

3.3.2 Penetrasi Cahaya

Penetrasi cahaya diukur dengan menggunakan keping sechii. Keping sechii dimasukkan kedalam laut, sampai keping sechii tersebut tidak kelihatan, kemudian diukur panjang talinya.

3.3.3 Intensitas Cahaya

Diukur dengan menggunakan lux meter yang diletakkan ke arah datangnya cahaya, kemudian dibaca angka yang tertera pada lux meter tersebut.

3.3.4 pH (Derajat Keasaman)

pH diukur dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan pH meter ke dalam sampel air yang diambil dari dasar perairan sampai pembacaan pada alat konstan dan dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut.


(32)

3.3.5 DO (Oksigen terlarut)

DO diukur dengan metode winkler dengan menggunakan reagen-reagen kimia yaitu MnSO4, KOHKI, H2SO4, Na2S2O3, dan amilum. Alur kerja DO dapat dilihat pada lampiran A.

3.3.6 Kejenuhan Oksigen

Kejenuhan = x100%

(t) DO

(u) DO

Keterangan:

 DO u = DO yang diukur di lapangan

 DO t = DO yang ada pada tabel 3.3.7 BOD5

BOD5 diukur dengan menggunakan reagen-reagen kimia yaitu MnSO4, KOHKI, H2SO4, Na2S2O3, dan amilum.Alur kerja BOD5 dapat dilihat pada lampiran B.

3.3.8 Salinitas

Salinitas diukur dengan menggunakan refraktometer. Diambil beberapa tetes air laut diletakkan di pinggir refraktometer. Lalu dilihat tingkat salinitas dari refraktometer.


(33)

Tabel 3.1 Alat dan Satuan yang dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan

No Parameter Fisik-Kimia Satuan Alat Tempat

Pengukuran 1 Temperatur Air 0C Termometer Air Raksa In – situ 2 Penetrasi Cahaya cm Keping Sechii In – situ 3 Intensitas Cahaya candela Lux Meter In – situ

4 pH air - pH Meter In – situ

5 DO (Oksigen terlarut) mg/l Metoda Winkler In - situ 6 Kejenuhan Oksigen % Tabel DO In- situ

7 BOD5 mg/l Metode winkler dan

inkubasi

Laboratorium

9 Salinitas o/oo Refraktometer In-situ

3.4. Analisis Data

Data ikan karang yang diperoleh dihitung nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shannon-Wienner, indeks ekuitabilitas, dan analisis korelasi dengan persamaan menurut Michael (1984) dan Krebs (1985) sebagai berikut:

a. Kepadatan Populasi (K)

K = sampel n pengambila area Luas jenis suatu individu Jumlah

b. Kepadatan Relatif (KR)

KR = x100%

N ni

dengan: ni = jumlah individu spesies 1 ∑N = total individu seluruh spesies


(34)

c. Indeks Diversitas Shannon – Wienner (H’)

H’= -

pilnpi

dimana :H’ = indeks diversitas Shannon-Wienner pi = proporsi spesies ke-i

In = logaritma nature

pi =Σ ni/N (Perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis)

dengan nilai H’: 0<H’<2,302 = keanekaragaman rendah 2,302<H’<6,907 = keanekaragaman sedang H’>6,907 = keanekaragaman tinggi

d. Indeks Equitabilitas (E) Indeks equitabilitas (E) =

max H

H'

dimana :H’ = indeks diversitas Shannon-Wienner H maks = keanekaragaman spesies maksimum

= In S (dimana S banyaknya spesies) dengan nilai E berkisar antara 0-1

e. Analisis Korelasi

Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui faktor-faktor lingkungan yang berkorelasi terhadap nilai keanekaragaman ikan karang. Analisis korelasi dihitung menggunakan Analisa Korelasi Pearson dengan metode komputerisasi SPSS Ver.13.00.


(35)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Klasifikasi Dan Jenis-jenis Ikan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di Perairan Bagian Timur Pulau Rubiah, didapatkan 50 jenis ikan, 33 genus dan 14 famili yang termasuk kedalam ordo Perciformes, seperti terlihat pada Tabel 4.1. Klasifikasi dan ciri-ciri umum ikan yang didapat berdasarkan buku Identifikasi (Allen et al., 2003).

4.1.1. Acanthurus

Bentuk badan Acanthurus leucosternon (Gambar 4.1) hampir bulat dengan panjang mencapai 23 cm. Bagian depan badan lebih besar dari bagian belakang. Seluruh tubuhnya disapu warna biru lembut. Bagian depan berwarna biru kehitaman sedangkan disekitar insang berwarna putih. Sirip punggungnya berwarna kuning dan panjang dimulai dari bagian tubuh yang tinggi sampai pangkal ekor. Sirip duburnya juga panjang dan berwarna putih, dan sirip ekor berbentuk sabit.

Sumber: Pengamatan Langsung Sumber: Allen et al.,(2003)


(36)

Tabel 4.1 Klasifikasi dan Jenis Ikan yang didapat pada Stasiun Penelitian

KELAS ORDO FAMILI GENUS SPESIES NAMA

LOKAL

Osteichtyes Perciformes

Acanthuridae

Acanthurus

A. Blochii Botana

A. flowleri Botana

A.grammoptilus Botana

A. leucocheilus Botana

A. leucosternon Botana biru

A. lineatus Botana kasur

Paracanthurus P. hepatus Botana letersix Ctenochaetus C. cyanocheilus Botana

Zebrasoma Z. rostratum Botana

Z.scopas Burung laut

Balistidae Sufflamen Sufflamen sp. -

Carangidae Caranx Caranx sp. Selar

Gonathanodon Gonathanodon sp. Ikan pidana

Chaetodontidae

Amphichaetodon Amphichaetodon sp. Kepe-kepe Chaetodon

C. decussatus Kepe-kepe

C. meyersi Kepe mayeri

C. triangulum Kepe-kepe

C. trifiascialis Kepe-kepe

Chelmon C. rostatus Kepe sumpit

Forcifiger F. flavissimus Kepe monyong

F. longirostris Kepe-kepe

Hemytaurichthys Hemytaurichthys sp. Kepe-kepe Heniochus H. acuminatus Ikan bendera Gobiidae Amblygobius Amblygobius sp. Kapalan

Ctenogobios Ctenogobios sp. Gobi Valenciennea Valenciennea sp Bloso Hemiramphidae Hyporhamphus Hyporhampus sp. Julung-julung Labridae

Anampses Anampses sp. Bayeman

Labropsis Labropsis sp. Keling Thalassoma T. jansenii Keling

Zanclus Z .comutus Ikan gayam

Malacanthidae Hoplolatilus H. fronticinctus Asoset hijau

H cuniculus Asoset abu2

Nemipteridae Scolopsis S. taeniopterus Pasir-pasir Pomacanthidae Pomacanthus P. imperator Enjiel batman

Pomacentridae

Abudefduf A. notatus Betok

Amphiprion A. clarkii Giro pasir

A. ephippium Giro totol

Chromis

C. atripectoralis Jae-jae

C. dimidiata Jae-jae

Chromis sp Jae-jae

Chrysiptera C. springeri Blue steak

C. talboti Enjel

Dischistodus D. fasciatus Enjel Pomacentrus P. spilotoceps Enjel

Scaridae Scarus S. altipinnis Kakatua

S. niger Kakatua

Serranidae Pseudanthias Pseudanthias sp. Rembo

P. squamipinnis Rembo


(37)

4.1.2. Paracanthurus

Ikan Paracanthurus hepatus (Gambar 4.2) ini dikenal sebagai raja kelompok ikan surgeon dan tergolong herbivora. Bentuk badannya bulat telur (oval) dan berwarna biru tua dengan sebuah gambar hitam horizontal. Sirip punggung dan sirip dubur berwarna biru dengan tepian berwarna gelap. Ujung sirip ekor mempunyai 1 jari-jari keras yang mencuat kedepan berwarna kuning dengan berwarna gelap diatas dan dibawah.

Sumber: Pengamatan Langsung Sumber: Allen et al.,(2003)

4.1.3 Ctenochaetus

Tubuh Ctenochaetus cyanocheilus (Gambar 4.3) berwarna kuning keemasan, mata berwarna coklat, moncong runcing, ekor berbentuk seperti sabit. Hidup soliter, mendapat makanan dari tumbuhan yang melekat pada terumbu karang, masih ditemukan hingga kedalaman 25 meter.


(38)

4.1.4. Zebrasoma

Ikan Zebrasoma rostatum (Gambar 4.4) ini mempunyai badan yang tinggi dengan panjang mencapai 20 cm. Warna badan kuning kecoklatan disertai dengan bintik putih dipangkal ekor. Sirip dubur dan sirip ekornya berwarna hitam sedangkan sirip perut, sirip dada, dan sirip punggung berwarna lebih terang. Habitat ikan ini dipuncak karang yang landai dengan penetrasi cahaya yang cukup.

Sumber: Pengamatan Langsung Sumber: Allen et al.,(2003)

4.1.5 Sufflamen

Ukuran tubuh Sufflamen sp. (Gambar 4.5) mencapai 30 cm, bagian kepala berwarna abu-abu bagian badan berwarna kuning keemasan, sedangkan ekor berwarna putih. Ditemukan pada terumbu karang dan hidup soliter.

Sumber: Pengamatan Langsung Sumber: Allen et al.,(2003)

Gambar 4.5 Sufflamen sp.


(39)

4.1.6. Caranx

Ukuran tubuh Caranx sp. (Gambar 4.6) mencapai 50 cm, tubuh berwarna hijau bercampur biru, terdapat garis hitam. Masih ditemukan pada terumbu karang yang kedalamannya mencapai hingga 30 meter. Hidup soliter.

Sumber: Pengamatan Langsung Sumber: Allen et al.,(2003)

4.1.7. Gonathonodon

Gonathonodon sp. ini (Gambar 4.7), mempunyai bentuk badan fusiform dan pipih kesamping. Panjangnya mencapai 35 cm. Badan berwarna kuning perak dan strip vertikal dengan satu pembatas di antara strip. Strip-strip ini akan membundar ketika ikan dewasa.

Sumber: Pengamatan Langsung Sumber: Allen et al.,(2003) Gambar 4.6 Caranx sp.


(40)

4.1.8 Amphichaetodon

Ikan Amphichaetodon sp. (Gambar 4.8), pada pengamatan langsung didapatkan ciri-ciri dari ikan ini berukuran kecil, gerakannya cepat. Bentuk badan bulat dan agak pipih. Kepala kecil dengan moncong yang menonjol dan memanjang. Bentuk badan gempal dengan kombinasi warna hitam dan kuning, Foto ikan karang diperoleh dari buku Allen et al.,(2003) yang telah diidentifikasi berdasarkan warna dan ciri-ciri morfologi yang paling mencolok pada ikan karang yang digambar dengan menggunakan alat tulis air pada waktu pengamatan dilapangan.

Sumber: Allen et al.,(2003)

4.1.9 Chaetodon

Panjang badan Chaetodon decussatus (Gambar 4.9) dapat mencapai 20 cm. Di bagian kepala terdapat tiga belang yang melintang. Garis rusuknya tidak mencapai ekor. Barisan sisik yang melintang di bagian atas miring ke atas sementara di bagian bawah miring ke bawah dan bertemu di pertengahan tinggi badan membentuk sudut yang mengarah ke depan. Baris sisik yang membujur di bagian atas mendatar, sedangkan di bagian bawah belakang membengkok ke atas. Sirip ekor membundar.

Sumber: Pengamatan Langsung Sumber: Allen et al.,(2003) Gambar 4.8 Amphichaetodon sp.


(41)

4.1.10 Chelmon

Pada pengamatan langsung didapatkan ciri-ciri dari ikan Chelmon rostatus (Gambar 4.10): Panjang badan mencapai 20 cm, bentuk badan agak bulat memanjang ke depan seperti cerobong. Pada sirip punggung terdapat titik hitam, sementara di pangkal sirip ekor terdapat belang berwarna hitam, sirip ekor membundar dan transparan. Ikan ini ditemukan pada kedalaman 10 m. Foto ikan karang diperoleh dari buku Allen et al.,(2003) yang telah diidentifikasi berdasarkan warna dan ciri-ciri morfologi yang paling mencolok pada ikan karang yang digambar dengan menggunakan alat tulis air pada waktu pengamatan dilapangan.

Sumber: Allen et al.,(2003)

4.1.11 Forcipiger

Panjang badan Forcipiger flavissimus (Gambar 4.11) mencapai 26 cm. di bagian kepala terdapat 2 bidang warna, yaitu coklat kehitam-hitaman dan putih. Ujung mulut memanjang ke depan seperti cerobong. Sirip dada panjang berbentuk seperti arit. Pada sirip dubur terdapat titik hitam. Sirip ekor membundar dan transparan. Habitatnya di pinggiran pantai karang yang dangkal sampai dalam.

Sumber: Pengamatan Langsung Sumber: Allen et al.,(2003) Gambar 4.11 Forcipiger flavissimus


(42)

4.1.12. Hemytaurichthys

Badan Hemytaurichthys sp. (Gambar 4.12) pipih dan terbagi dalam 3 bidang warna. Panjang badannya dapat mencapai 20 cm. Jari-jari keras ke-5 sirip punggung sampai moncong berwarna hitam. Jari-jari keras ke-5 sampai ke-9 sirip punggung berwarna putih, sedangkan jari-jari keras ke-10 sirip punggung sampai pangkal sirip ekor berwarna kuning. Sirip ekor berbentuk bundar atau membundar, berwarna putih dengan ujung yang transparan. Hidup di dasar, tengah dan bawah permukaan air dengan penetrasi cahaya yang cukup.

Sumber: Pengamatan Langsung Sumber: Allen et al.,(2003)

4.1.13 Heniochus

Panjang badan Heniochus acuminatus (Gambar 4.13) mencapai 20 cm, berwarna putih mutiara dengan belang hitam pada moncong dan mata. Pada tiga jari-jari keras pertama sirip punggung terdapat garis melintang. Garis tersebut melewati dasar sirip dada, daerah diantara sirip dubur dan sirip perut kemudian kebagian perut dan bagian depan sirip dubur. Pada jari-jari keras ke-5 sampai ke-7 sampai setengah sirip dubur dan bagian belakang sirip punggung juga ada garis melintang. Sirip dada dan sirip punggungnya berjari-jari lemah. Tepi sirip ekor lurus dan berwarna kuning.

Sumber: Pengamatan Langsung Sumber: Allen et al.,(2003) Gambar 4.12. Hemytaurichthys sp.


(43)

4.1.14. Amblygobius

Panjang badan Amblygobius sp. (Gambar 4.14) mencapai 10 cm. Badan dan kepalanya berbentuk pipih. Pada interorbital dan daerah di belakang mata terdapat 2 lubang terbuka. Sisik sikloid terdapat di belakang mata dan bagian atas operkulum. Pipinya tidak bersisik. Badan bagian atas berwarna kehijauan, dan bagian bawah berwarna putih kekuning-kuningan.

Sumber: Pengamatan Langsung Sumber: Allen et al.,(2003)

4.1.15 Ctenogobios

Ukuran tubuh Ctenogobios sp. (Gambar 4.15) kecil yaitu 6 cm. Badan dan kepala berbentuk pipih. Pada umumnya berwarna abu-abu dengan bintik-bintik coklat diseluruh tubuh. Foto ikan karang diperoleh dari buku Allen et al.,(2003) yang telah diidentifikasi berdasarkan warna dan ciri-ciri morfologi yang paling mencolok pada ikan karang yang digambar dengan menggunakan alat tulis air pada waktu pengamatan dilapangan.

Sumber: Allen et al.,(2003)

4.1.16 Valenciennea

Gambar 4.14 Amblygobius sp.


(44)

Badan Valenciennea sp. (Gambar 4.16) memanjang sampai 18 cm. Warna badan perak termasuk semua siripnya. Kepala berwarna kuning, bentuknya membundar dan tumpul. Garis rusuknya lengkap. Mulai dari pipi sampai dasar sirip dada bagian atas terdapat garis membujur berwarna biru bertepi hitam. Dibawah garis membujur tersebut terdapat beberapa bintik dan garis melintang miring. Bentuk sirip ekornya membundar.

Sumber: Pengamatan Langsung Sumber: Allen et al.,(2003)

4.1.17 Hiporhampus

Pada pengamatan langsung didapatkan ciri-ciri: Bentuk tubuh Hiporhampus sp. (Gambar 4.17) memanjang, moncong panjang dan runcing.. Rahang memanjang seperti pedang, ekor bercabang menjadi dua, hidup dekat permukaan, pinggir laut hingga menuju terumbu karang. Foto ikan karang diperoleh dari buku Allen et al.,(2003) yang telah diidentifikasi berdasarkan warna dan ciri-ciri morfologi yang paling mencolok pada ikan karang yang digambar dengan menggunakan alat tulis air pada waktu pengamatan dilapangan.

Sumber: Allen et al.,(2003)

4.1.18 Anampses

Gambar 4.17 Hiporhampus sp. Gambar 4.16 Valenciennea sp.


(45)

Pada pengamatan dilapangan ditemukan ciri-ciri : panjang badan Anampses sp. (Gambar 4.18) mencapai 22 cm, warna dasar hijau gelap, dengan bintik-bintik atau garis pendek kuning dibagian kepala. Ikan ini sering ditemukan pada kedalaman 6 meter. Ikan ini suka menggigit. Foto ikan karang diperoleh dari buku Allen et al.,(2003) yang telah diidentifikasi berdasarkan warna dan ciri-ciri morfologi yang paling mencolok pada ikan karang yang digambar dengan menggunakan alat tulis air pada waktu pengamatan dilapangan.

Sumber: Allen et al.,(2003)

4.1.19 Labropsis

Pengamatan dilapangan didapat ciri-ciri: bentuk tubuh pipih, dan diseluruh tubuh dipenuhi bintik-bintik berwarna kuning. Mata berwarna coklat, bagian kepala berwarna biru, begitu juga dengan ekor berwarna biru tetapi ditemukan garis berwarna putih. Hidup soliter, dijumpai pada daerah terumbu karang hingga kedalaman lebih dari 8 meter (Gambar 4.19). Foto ikan karang diperoleh dari buku Allen et al.,(2003) yang telah diidentifikasi berdasarkan warna dan ciri-ciri morfologi yang paling mencolok pada ikan karang yang digambar dengan menggunakan alat tulis air pada waktu pengamatan dilapangan.

Sumber: Allen et al.,(2003) 4.1.20 Thallosoma

Gambar 4.18 Anampses sp.


(46)

Panjang ikan keling ini (Gambar 4.20) mencapai 15 cm. Badannya berwarna hitam dengan campuran kuning, mata dan mulut juga berwarna kuning. Sirip dada mempunyai 2 jari-jari keras dan 13 jari-jari lemah. Habitatnya pada perairan karang

Sumber: Pengamatan Langsung Sumber: Allen et al.,(2003)

4.1.21 Zanclus

Ikan yang sering disebut dengan ikan gayam ini (Gambar 4.21), pada duri pertama sirip punggungnya amat panjang, mulutnya tampak runcing, dengan bentuk yang monyong panjang kedepan. warna dasar putih kuning ditimpa garis hitam yang lebar.

Sumber: Pengamatan Langsung Sumber: Allen et al.,(2003)

4.1.22 Hoplolatilus

Gambar 4.20 Thalassoma jansenii


(47)

Pada pengamatan langsung didapat ciri-ciri Hoplolatilus cuniculus (Gambar 4.22) yaitu badan bagian atas berwarna kuning sedangkan bagian bawah berwarna keputih-putihan. Semua siripnya berwarna transparan. Sirip ekornya tegak. Habitat diperairan karang. Foto ikan karang diperoleh dari buku Allen et al.,(2003) yang telah diidentifikasi berdasarkan warna dan ciri-ciri morfologi yang paling mencolok pada ikan karang yang digambar dengan menggunakan alat tulis air pada waktu pengamatan dilapangan.

Sumber: Allen et al.,(2003)

4.1.23 Scolopsis

Panjang badan Scolopsis taeniopterus (Gambar 4.23) mencapai 20 cm. Seluruh badan berwarna putih, ada garis hitam lateral dibagian tengah tubuhnya, mata berwarna coklat. Hidup pada perairan karang dan hidup soliter.

Sumber: Pengamatan Langsung Sumber: Allen et al.,(2003)

4.1.24 Pomachantus

Gambar 4.22 Hoplolatilus cuniculus


(48)

Badan Pomachantus imperator (Gambar 4.24) berwarna kuning emas dengan garis-garis biru. Ikan ini mempunyai topeng dimata yang tidak ditemukan pada ikan lain. Panjang ikan ini dapat mencapai 38 cm. Ciri khas ikan ini adalah kemampuannya menghasilkan bunyi ceklikan semacam isyarat yang terdengar nyaring dibawah permukaan air. Di badannya terdapat 15-25 garis membujur yang agak miring. Bentuk sirip ekor bundar atau membundar.

Sumber: Pengamatan Langsung Sumber: Allen et al.,(2003)

4.1.25 Abudefduf

Bentuk badan Abudefduf notatus (Gambar 4.25) oval dengan dua kombinasi warna, yaitu warna hitam dan hijau. Panjang badannya mencapai 10 cm. Tulang dimuka dan di bawah mata tidak berduri panjang tetapi bergigi pendek. Dibadannya terdapat 3 belang melintang di bagian kepala, badan, dan pangkal ekor. Moncong dan badan bagian bawah berwarna hijau. Sirip dada, sirip perut, dan sirip dubur berwarna hijau sedangkan sirip punggung berwarna kuning.

Sumber: Pengamatan Langsung Sumber: Allen et al.,(2003) Gambar 4.24 Pomachantus imperator


(49)

4.1.26 Amhiprion

Bentuk badan agak bulat dengan dua kombinasi warna, yaitu warna hitam dan kuning. Panjang badannya mencapai 15 cm. Dibadannya terdapat 3 belang melintang di bagian kepala, badan, dan pangkal ekor. Moncong dan badan bagian bawah berwarna orange atau kuning kemerahan. Sirip dada, sirip perut, dan sirip dubur berwarna orange sedangkan sirip punggung berwarna hitam. Tepi sirip ekor berlekuk (Gambar 4.26).

Sumber: Pengamatan Langsung Sumber: Allen et al.,(2003)

4.1.27 Chromis

Ikan Chromis actipectoralis (Gambar 4.27) berwarna hijau seluruh tubuhnya, dengan panjang mencapai 10 cm. Ikan ini tidak memeiliki tutup insang yang bergerigi. Sirip ekornya bercagak. Ikan ini senang bergerombol. Genus ini mengkomsumsi hewan golongan invertebrada, algae, dan zooplankton. Habitatnya di pantai karang.

Sumber: Pengamatan Langsung Sumber: Allen et al.,(2003) Gambar 4.27 Chromis actipectoralis


(50)

4.1.28 Chrisiptera

Badan ikan Chrisiptera spingeri (Gambar 4.28) berwarna biru dengan panjang mencapai 10 cm. Tepi sirip ekor berlekuk. Ikan ini banyak ditemukan pada kedalaman 7 m. Habitatnya di pantai karang pada kedalaman air dengan penetrasi cahaya yang cukup.

Sumber: Pengamatan Langsung Sumber: Allen et al.,(2003) Gambar 4.28 Chrisiptera spingeri

4.1.29 Dischistodus

Mempunyai dua kombinasi warna, yaitu warna hitam dan kuning. Panjang badannya mencapai 10 cm.. Dibadannya terdapat 3 belang melintang di bagian kepala, badan, dan pangkal ekor. Moncong dan badan bagian bawah berwarna kuning. Sirip dada, sirip perut, dan sirip dubur berwarna kuning sedangkan sirip punggung berwarna hitam (Gambar 4.29).

Sumber: Pengamatan Langsung Sumber: Allen et al.,(2003) Gambar 4.29 Dischistodus fasciatus


(51)

4.1.30 Pomacentrus

Ikan Pomacentrus spilotoceps (Gambar 4.30) ini berukuran kecil gerakannya Sangat cepat. Bentuk badannya bulat, panjang dan memipih. Mulut berukuran kecil. Pipi dan operkulumnya bersisik. Ekor berlekuk.

Sumber: Pengamatan Langsung Sumber: Allen et al.,(2003) Gambar 4.30 Pomacentrus spilotoceps

4.1.31 Scarus

Panjang badan kakatua (Gambar 4.31) dapat mencapai 40 cm. Bentuk badannya memanjang dan berwarna merah gelap sampai kecoklatan, keunguan, bahkan hampir hitam. Ikan ini mempunyai sirip punggung dengan 9 jari-jari keras dan 10 jari-jari lemah dengan ujung berwarna biru. Tepi sirip ekornya tegak dengan ujung berwarna biru yang terus berkembang sejalan dengan bertambahnya umur.

Sumber: Pengamatan Langsung Sumber: Allen et al.,(2003) Gambar 4.31 Scarus altipinnis


(52)

4.1.32 Pseudanthias

Ikan kecil Pseudanthias sp. (Gambar 4.32) merupakan ikan perenang cepat, tubuhnya hanya terdiri dari satu warna saja yaitu orange, dengan mata berwarna ungu. Ikan ini banyak dijumpai pada terumbu karang, ikan ini hidup berkelompok.

Sumber: Pengamatan Langsung Sumber: Allen et al.,(2003) Gambar 4.32 Pseudanthias sp

4.1.33 Siganus

Pada pengamatan langsung didapatkan ciri-ciri Siganus vulpinus (Gambar 4.33) ini yaitu dengan bentuk badannya yang khas, berbentuk bulat, panjang dan pipih. Bentuk kepala seperti kelinci dengan mulut yang kecil. Badan tidak bersisik. Ikan ini mengkomsumsi vegetasi laut.

Sumber: Allen et al.,(2003)

Gambar 4.33 Siganus vulpinus

4.2 Nilai Kepadatan Individu (ind/m2), Kepadatan Relatif (KR %) dan Frekuensi Kehadiran (FK %) Ikan Pada Setiap Stasiun Penelitian.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian diperoleh Nilai Kepadatan Individu (ind/m2), Kepadatan Relatif (KR %) dan Frekuensi Kehadiran (FK %) ikan seperti pada tabel 4.2 berikut:


(53)

Tabel 4.2 Nilai Kepadatan Individu (ind/m2), Kepadatan Relatif (KR %) dan Frekuensi Kehadiran (FK %) Ikan Pada Setiap Stasiun Penelitian.

No Spesies Stasiun 1 Stasiun 2

K (ind/m2) KR (%) FK (%) K (ind/m2) KR (%) FK (%)

1. Abudefduf notatus 0.215 2.992 66,667 0.115 1.979 33.333

2. Acanthurus blochii 0.125 1.740 33,333 0.190 3.270 100

3. Acanthurus flowleri 0.090 1.253 100 0.075 1.291 33.333

4. Acanthurus grammoptilus 0.180 2.505 100 0.140 2.410 100

5. Acanthurus leucocheilus 0.175 2.436 66,667 0.070 1.205 33.333

6. Acanthurus leucosternon 0.370 5.150 100 0.185 3.184 100

7. Acanthurus lineatus 0.115 1.601 66,667 0.115 1.979 100

8. Amblygobius sp. 0.200 2.784 100 0.155 2.668 100

9. Amphichaetodon sp. 0.230 3.201 100 0.140 2.410 100

10. Amphiprion ephippium 0.145 2.018 33.333 0.205 3.528 66.667

11. Amphiprion clarkii 0.110 1.531 66.667 0.120 2.065 66.667

12. Anampses sp. 0.090 1.253 66.667 0.060 1.033 33.333

13. Caranx sp. 0.045 0.626 66.667 0.050 0.861 66.667

14. Chaetodon decussatus 0.210 2.923 100 0.220 3.787 100

15. Chaetodon meyersi 0.090 1.253 66.667 0.165 2.840 100

16. Chaetodon triangulum 0.105 1.461 66.667 0.135 2.324 66.667

17. Chaetodon trifiascialis 0.180 2.505 100 - - -

18. Chelmon rostatus 0.260 3.619 100 0.080 1.377 33.333

19. Chromis atripectoralis 0.230 3.201 100 0.270 4.647 100

20. Chromis dimidiata 0.285 3.967 100 0.215 3.701 100

21. Chromis sp. 0.065 0.905 66.667 0.045 0.775 33.333

22. Chrysiptera springeri 0.205 2.853 100 0.145 2.496 100

23. Chrysiptera talboti 0.205 2.853 100 0.105 1.807 100

24. Ctenogobios sp. 0.165 2.296 33.333 0.225 3.873 66.667

25. Ctenochaetus cyanocheilus 0.155 2.157 100 0.040 0.688 33.333

26. Dischistodus fasciatus 0.140 1.948 66.667 0.075 1.291 33.333

27. Forcipiger flavissimus 0.175 2.436 100 0.160 2.754 100

28. Forcipiger longirostris 0.215 2.992 100 0.185 3.1842 100

29. Gonathanodon speciosus 0.200 2.784 66.667 0.160 2.754 33.333

30. Hemytaurichthys zoster 0.130 1.809 100 0.110 1.893 100

31. Heniochus acuminatus 0.060 0.835 66.667 0.070 1.205 66.667

32. Hoplolatilus fronticinctus 0.285 3.967 100 0.260 4.475 100

33. Hoplolatilus cuniculus 0.185 2.575 100 0.145 2.496 100

34. Hyporhamphus sp. 0.070 0.974 66.667 0.035 0.602 33.333

35. Labropsis sp. 0.035 0.487 100 0.005 0.0861 33.333

36. Paracanthurus hepatus 0.045 0.626 66.667 0.030 0.516 66.667

37. Pomacanthus imperator 0.045 0.626 33.333 0.110 1.893 66.667

38. Pomacentrus spilotoceps 0.075 1.044 100 0.165 2.840 100

39. Pseudanthias Squamipinnis 0.220 3.062 66.667 0.155 2.668 33.333

40. Pseudanthias sp. 0.275 3.827 100 0.205 3.528 100

41. Scarus altipinis 0.035 0.487 100 - - -

42. Scarus niger 0.045 0.626 100 0.015 0.2582 66.667

43. Scolopsis taeniopterus 0.210 2.923 66.667 0.115 1.979 33.333

44. Siganus vulpinus 0.010 0.1392 33.333 0.070 1.205 100

45. Sufflamen sp. 0.105 1.461 100 0.010 0.172 33.333

46. Thalassoma jansenii 0.055 0.765 66.667 0.025 0.430 33.333

47. Valenciennea sp 0.160 2.227 66.667 0.135 2.324 33.333

48. Zanclus comutus 0.105 1.461 100 0.180 3.098 100

49. Zebrasoma rostratum 0.030 0.418 66.667 0.050 0.861 66.667

50. Zebrasoma scopas 0.030 0.418 66.667 0.075 1.291 66.667

Total 7.185 100 5.810 100

Keterangan:

Stasiun 1 : Daerah kontrol

Stasiun 2 : Daerah aktivitas seperti daerah wisata, snorkeling, diving dan lalu lintas boat


(54)

Dari tabel 4.2 dapat diketahui nilai K, KR, FK tertinggi di stasiun I dijumpai pada spesies Acanthurus leucosternon masing-masing sebesar 0.370 ind/m2, 5.150%, 100%, ini disebabkan oleh kondisi lingkungan seperti kelarutan oksigen sebesar 6.8 mg/l, intensitas cahaya yang cukup tinggi sebesar 1230 candella dan nilai BOD5 yang cukup rendah sebesar 1.2 mg/l dan salinitas sebesar 35 0/00 yang mendukung pertumbuhan dari ikan jenis Acanthurus leucosternon. Nilai K, KR dan FK terendah pada spesies Siganus vulpinus sebesar 0.010 ind/m2, 0.139 % , 33.33%, hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan seperti suhu sebesar 300C yang kurang mendukung pertumbuhan Siganus vulpinus pada daerah tersebut, ikan ini lebih menyukai perairan yang lebih sejuk yang suhunya dibawah dari 300C.

Pada stasiun II nilai K, KR, FK tertinggi dijumpai pada spesies Chromis atripectoralis masing-masing sebesar 0.270 ind/m2, 4.647 % , 100%, ini disebabkan oleh kondisi lingkungan seperti suhu sebesar 290C, intensitas cahaya sebesar 949 candela, kelarutan oksigen sebesar 6.1 mg/l dan salinitas sebesar 34 0/00 yang mendukung pertumbuhan dari ikan jenis Chromis atripectoralis. Nilai K, KR, FK terendah pada spesies Labropsis sp. masing-masing sebesar 0.005 ind/m2, 0.086 %, 100%, hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan seperti penetrasi cahaya sebesar 4 m, BOD5 berkisar 1.8+ mg/l yang kurang mendukung pertumbuhan Labropsis sp. Ikan ini lebih menyukai perairan yang kedalamannya lebih dari 5 meter, selain itu nilai BOD5 yang ada pada stasiun ini juga tidak mendukung untuk pertumbuhan ikan tersebut.

Dari tabel 4.2 dapat dilihat bahwa pada lokasi penelitian nilai K, KR dan FK tertinggi terdapat pada Acanthurus leucosternon dengan nilai masing-masing sebesar 0.370 ind/m2, 5.150 %, 100%. Menurut Nontji (1993), ikan dengan famili Acanthuridae ini bersifat herbivor dan hidup di terumbu karang yang masih bagus. Ikan ini merupakan ikan pemakan fitoplankton, algae, dan vegetasi laut lainnya. Ikan ini menyukai ekosistem terumbu karang yang memiliki banyak algae. Algae banyak ditemukan menempel pada batuan dan terumbu karang. Nilai K, KR, FK terendah terdapat pada Labropsis sp yaitu 0.005 ind/m2, 0.086 %, 100%, hal ini disebabkan kondisi lingkungan yaitu BOD5 yang tidak mendukung pertumbuhan Labropsis sp. Menurut (Adrim & Burhanuddin, 1993) keanekaragaman ikan karang di Pulau Weh


(55)

sangat tinggi, jumlah ikan sebanyak 227 spesies yang mewakili 31 famili, ikan tersebut ada yang memang penghuni tetap, namun ada yang datang hanya mencari makan. Tabel 4.2 menunjukkan bahwa jenis ikan karang yang ditemukan pada penelitian sebanyak 50 spesies yang mewakili 14 famili, ini merupakan angka yang sangat jauh dibandingkan dengan penelitian pada tahun 1993 di Pulau Weh, salah satu penyebabnya karena pada saat pengamatan, ikan karang tidak berada pada transek karena pergerakannya yang bebas dan juga tsunami yang terjadi pada tahun 2004 yang menghancurkan banyak terumbu karang, sehingga tempat hidup ikan karang berkurang. Keterbatasan waktu, peralatan dan terutama jumlah titik stasiun yang sedikit dalam penelitian juga penyebab spesies ikan karang yang didapat dalam jumlah yang sedikit.

4.3 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Masing –Masing Stasiun Penelitian.

Indeks keanekaragaman (H’) dan nilai indeks keseragaman (E) yang diperoleh pada masing-masing stasiun seperti pada Tabel 4.3

Tabel 4.3 Rata-rata Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) Dan Indeks Keseragaman (E) Pada Masing-Masing Stasiun Penelitian

STASIUN

1 2

H’ (Keanekaragaman) 3.472 3.343

E (Keseragaman) 0.888 0.864

Dari tabel 4.3 dapat diketahui bahwa indeks keanekaragaman tertinggi pada stasiun I yaitu 3.472 dan terendah pada stasiun II yaitu 3.343. Menurut Krebs ( 1985), keanekaragaman rendah bila 0 < H’ < 2.30, keanekaragaman sedang bila 2.302 < H’ < 6.907 keanekaragaman tinggi bila H’ > 6.907. Berdasarkan kriteria tersebut dapat diketahui bahwa perairan Pulau Rubiah Bagian Timur mempunyai tingkat keanekaragaman ikan karang yang sedang, hal ini dikarenakan kondisi faktor fisik kimia perairan seperti kelarutan oksigen, temperatur, penetrasi dan intensitas yang cukup tinggi, serta BOD5 yang cukup rendah. Menurut Barus (2004), suatu komunitas


(56)

dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies yang relatif merata. Dengan kata lain bahwa apabila suatu komunitas hanya terdiri dari sedikit spesies dengan jumlah individu yang tidak merata, maka komunitas tersebut mempunyai keanekaragaman yang rendah.

Nilai indeks keseragaman pada stasiun I yaitu sebesar 0.888, pada stasiun II sebesar 0.864. Berdasarkannilai indeks keseragaman pada stasiun penelitian diketahui bahwa jumlah individu masing-masing spesies merata atau seragam (tidak ada spesies yang mendominasi). Menurut Krebs (1985), apabila indeks keseragaman mendekati 0 maka semakin kecil keseragaman suatu populasi dan penyebaran individu setiap genus tidak sama, serta ada kecenderungan suatu genus mendominasi pada populasi tersebut. Sebaliknya semakin mendekati nilai 1 maka populasi ikan karang menunjukkan keseragaman jumlah individunya merata.

4.4 Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan Pada Masing-Masing Stasiun Penelitian Di Kawasan Perairan Bagian Timur Pulau Rubiah

Nilai faktor fisik kimia perairan yang diperoleh berdasarkan hasil pengukuran pada masing-masing stasiun penelitian adalah seperti Tabel 4.4 berikut

Tabel 4.4. Rata-Rata Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan Pada Masing-Masing Stasiun Penelitian Di Kawasan Perairan Bagian Timur Pulau Rubiah

NO Faktor Fisik-Kimia Stasiun

I II

1. Temperatur (oC) 30 29

2. Penetrasi cahaya (M) 5 4

3. Intensitas cahaya (Candela) 1230 949

4. pH 7.7 7.6

5. DO (Mg/l) 6.7 6.1

6. Kejenuhan Oksigen (%) 88.589 79.842

7. BOD5 (Mg/l) 1.2 1.8

8. Salinitas (o/oo) 35 34

Keterangan:

Stasiun I : Daerah tanpa aktivitas


(57)

4.4.1 Temperatur

Hasil pengukuran memperlihatkan bahwa nilai faktor fisik kimia perairan pada kedua stasiun pengamatan tidak jauh berbeda. Temperatur di perairan Pulau Rubiah khususnya di Bagian Timur pada stasiun I 30 0C, pada stasiun II 29 0C . Hal ini menunjukkan bahwa temperatur perairan pulau Rubiah masih dalam kisaran normal untuk perairan daerah Tropis. Menurut Dahuri et. al (2004), pada perairan tropis, temperatur permukaan laut umumnya 27-29 0C dan pada perairan dangkal dapat mencapai 34 0C. Nontji (1993) juga menyatakan bahwa temperatur di permukaan perairan nusantara umumnya berkisar antara 28-31 0C, itu sebabnya terumbu karang dapat hidup dengan baik. Pada perairan yang vegetasi laut dan terumbu karangnya masih dalam keadaan baik banyak ditemukan ikan karang khususnya kelompok herbivora.

4.4.2 Penetrasi Cahaya

Penetrasi cahaya pada stasiun I sebesar 5 m, pada stasiun II sebesar 4 m. Perairan pada setiap stasiun pengamatan tergolong perairan yang cukup jernih dan merupakan perairan dangkal. Hal ini terlihat dari kedalaman perairan yang berkisar antara 3-8 m serta tingkat kecerahan yang cukup baik yang ditunjukkan dengan penetrasi cahaya matahari yang mencapai dasar perairan. Menurut Nybakken (1988), terumbu karang tumbuh pada kedalaman kurang dari 25 m, pada kedalaman lebih dari 25 meter, cahaya sedikit yang sampai, sehingga akan mempengaruhi fotosintesis. Tumbuhan yang ada diperairan juga sangat membutuhkan cahaya matahari untuk proses fotosintesis, baik terumbu karang, alga maupun vegetasi laut lainnya dapat berfotosintesis bila cahaya matahari masih diterima, dengan demikian ikan karang juga dapat hidup dengan baik jika habitat bagus dan ketersediaan makanannya banyak.

4.4.3 Intensitas Cahaya

Intensitas cahaya pada stasiun I sebesar 1230 candela, stasiun II sebesar 949 candela. Nybakken (1988), menyatakan bahwa cahaya adalah salah satu faktor yang paling penting yang membatasi terumbu karang, cahaya yang cukup harus tersedia


(58)

agar fotosintesis oleh zooxantella dalam jaringan karang dapat terlaksana. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan bersama dengan itu kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat dan membentuk terumbu akan berkurang pula. Titik kompensasi untuk karang nampaknya merupakan kedalaman di mana intensitas cahaya berkurang sampai 15-20 persen dari intensitas permukaan.

4.4.4 pH

Nilai pH pada stasiun pengamatan relatif stabil yaitu stasiun I sebesar 7.7 dan stasiun II sebesar 7.6. Ini menunjukkan bahwa perairan pulau Rubiah masih dalam kisaran yang normal untuk wilayah perairan laut pada umumnya. Menurut Nybakken (1988) mengungkapkan bahwa pH air laut biasanya bervariasi antara 7.5-8.4. Menurut Barus, (2004), menjelaskan bahwa nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8.5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup ikan karang karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme berbagai senyawa logam berat terutama ion Aluminium.

4.4.5 DO (Disolved oxygen)

Nilai oksigen terlarut pada stasiun I sebesar 6.7 mg/l dan pada stasiun II sebesar 6.1 mg/l. Pada stasiun I lebih banyak ditemukan tanaman fotosintetik yaitu terumbu karang dan vegetasi laut lainnya, itu sebabnya kelarutan oksigen pada stasiun I lebih tinggi. Nilai ini untuk perairan laut pada umumnya masih dalam kisaran normal. Kelarutan oksigen di perairan terkait dengan temperatur dan salinitas, sesuai dengan pernyataan Nybakken (1988) bahwa makin rendah suhu makin besar kandungan oksigen suatu badan perairan, demikian sebaliknya. Menurut Sastrawijaya (2000), oksigen terlarut bergantung kepada: suhu, kehadiran tanaman fotosintetik, tingkat penetrasi cahaya yang bergantung kepada kedalaman dan kekeruhan air, tingkat kederasan aliran air. Jika tingkat oksigen terlarut rendah, maka organisme aerob akan mati dan organisme anaerob akan menguraikan bahan organik dan


(59)

menghasilkan bahan seperti metana dan hidrogen sulfida. Zat-zat yang menyebabkan air berbau busuk.

4.4.6 Kejenuhan Oksigen

Dari perhitungan yang telah dikerjakan maka didapat nilai kejenuhan oksigen pada stasiun I sebesar 88.589 % dan kejenuhan oksigen pada stasiun II 79.842%. Hal ini menunjukkan bahwa pada stasiun 1 memiliki defisit oksigen yang lebih kecil dari seluruh stasiun penelitian yang dapat memberikan informasi bahwa daerah ini memiliki kemampuan menyerap oksigen yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun 2.

Menurut Barus (2004), kehadiran senyawa organik akan menyebabkan terjadinya proses penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme dan berlangsung secara aerob, artinya membutuhkan oksigen. Seandainya pada pengukuran temperatur 13,9o C diperoleh kadar oksigen terlarut 8 mg/l, maka sesuai dengan tabel pada lampiran C seharusnya kelarutan oksigen maksimum akan mencapai 10 mg/l. Disini terlihat ada selisih nilai oksigen terlarut antara yang diukur (8 mg/l) dengan yang seharusnya dapat larut (10 mg/l) yaitu sebanyak 2 mg/l dengan nilai kejenuhan sebesar 80%. Dalam kasus ini dapat disimpulkan bahwa pada lokasi tersebut terjadi defisit oksigen yang disebabkan karena penggunaan oksigen oleh mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik yang terdapat dalam perairan.

4.4.7 BOD5 (Biological oxygen Demand)

Nilai BOD5 pada stasiun I sebesar 1.2 mg/l sedangkan BOD5 pada stasiun II sebesar 1.8 mg/l. Menurut Barus (2004), bahwa nilai BOD menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobi dalam proses penguraian senyawa organik yang diukur pada suhu 20°C. Pengukuran BOD didasarkan pada kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik, artinya hanya terhadap senyawa yang mudah diuraikan secara biologis. Pada stasiun II perairan bagian timur pulau Rubiah ditemukan aktivitas masyarakat seperti penginapan dan


(1)

Lampiran E. Data Mentah Ikan Karang

No Spesies Stasiun 1 Stasiun 2

T1 T2 T3 T1 T2 T3 1. Abudefduf notatus 14 29 - - 23 - 2. Acanthurus blochii - 25 - 7 12 19 3. Acanthurus flowleri 12 3 3 15 - - 4. Acanthurus grammoptilus 17 15 4 6 7 15 5. Acanthurus leucocheilus 24 - 11 - 14 - 6. Acanthurus leucosternon 32 15 27 12 16 9 7. Acanthurus lineatus 13 - 10 6 5 12 8. Amblygobius sp. 21 14 5 17 9 5 9. Amphichaetodon sp. 27 11 8 3 12 13 10. Amphiprion ephippium - - 29 - 27 14 11. Amphiprion clarkii 14 8 - 9 - 15 12. Anampses sp. 5 - 13 - 12 -

13. Caranx sp. 2 - 7 6 - 4

14. Chaetodon decussatus 7 23 12 8 14 22 15. Chaetodon meyersi 13 5 - 12 6 15 16. Chaetodon triangulum 16 - 5 18 9 - 17. Chaetodon trifiascialis 14 10 12 - - - 18. Chelmon rostatus 20 24 8 - 16 - 19. Chromis atripectoralis 25 12 9 20 18 16 20. Chromis dimidiata 13 29 15 25 11 7

21. Chromis sp. - 8 5 - 9 -

22. Chrysiptera springeri 15 12 14 10 12 7 23. Chrysiptera talboti 21 8 12 7 9 5 24. Ctenogobios sp. - - 33 24 - 21 25. Ctenochaetus cyanocheilus 19 7 5 - - 8 26. Dischistodus fasciatus 16 12 - 15 - - 27. Forcipiger flavissimus 4 8 23 17 2 13 28. Forcipiger longirostris 19 10 14 8 17 12 29. Gonathanodon speciosus 22 18 - 32 - - 30. Hemytaurichthys zoster 4 7 15 6 12 4 31. Heniochus acuminatus 5 - 7 - 4 10 32. Hoplolatilus fronticinctus 25 11 21 17 19 16 33. Hoplolatilus cuniculus 15 12 10 10 8 11 34. Hyporhamphus sp. 6 8 - 7 - - 35. Labropsis sp. 2 1 4 - 1 - 36. Paracanthurus hepatus - 6 3 5 1 - 37. Pomacanthus imperator 9 - - 7 - 15 38. Pomacentrus spilotoceps 5 4 6 8 14 11 39. Pseudanthias Squamipinnis 28 - 16 - 31 - 40. Pseudanthias sp. 17 15 23 8 15 18 41. Scarus altipinis 4 1 2 - - - 42. Scarus niger 4 3 2 1 2 - 43. Scolopsis taeniopterus 28 - 14 23 - - 44. Siganus vulpinus - 2 - 9 4 1 45. Sufflamen sp. 5 3 13 - - 2 46. Thalassoma jansenii 4 7 - 5 - - 47. Valenciennea sp - 18 14 - 27 - 48. Zanclus comutus 12 3 6 9 20 7 49. Zebrasoma rostratum - 4 2 7 - 3


(2)

LAMPIRAN F. Hasil Perhitungan Korelasi Antara Faktor Fisik Kimia Dengan Indeks Keanekaragaman Dengan Metode Komputerisasi SPSS Ver. 13

temperatur pH Do K.Oksigen BOD5 Salinitas H’ temperatur Pearson

Correlation 1 .603 .743 .757 -.743 .866(*) .635

Sig.

(2-tailed) . .205 .091 .082 .091 .026 .176

N 6 6 6 6 6 6 6

ph Pearson

Correlation .603 1 .560 .531 -.504 .522 -.083

Sig.

(2-tailed) .205 . .248 .279 .308 .288 .876

N 6 6 6 6 6 6 6

do Pearson

Correlation .743 .560 1 .990(**) -.983(**) .965(**) .695

Sig.

(2-tailed) .091 .248 . .000 .000 .002 .125

N 6 6 6 6 6 6 6

kej.oksigen Pearson

Correlation .757 .531 .990(**) 1 -.959(**) .970(**) .721

Sig.

(2-tailed) .082 .279 .000 . .002 .001 .106

N 6 6 6 6 6 6 6

bod Pearson

Correlation -.743 -.504

-.983(**) -.959(**) 1 -.965(**) -.752

Sig.

(2-tailed) .091 .308 .000 .002 . .002 .085

N 6 6 6 6 6 6 6

salinitas Pearson

Correlation .866(*) .522 .965(**) .970(**) -.965(**) 1 .796

Sig.

(2-tailed) .026 .288 .002 .001 .002 . .058

N 6 6 6 6 6 6 6

h Pearson

Correlation .635

-.083 .695 .721 -.752 .796 1

Sig.

(2-tailed) .176 .876 .125 .106 .085 .058 .


(3)

Lampiran G. Data Mentah Nilai Keanekaragaman (H’) Dan Keseragaman (E)

Pada Masing-Masin Stasiun Penelitian

Stasiun I

Stasiun II

T1

T2

T3

T1

T2

T3

Keanekaragaman (H’)

3.548

3.406

3.462

3.384

3.354

3.293


(4)

Lampiran H. Data mentah faktor fisik kimia perairan pada masing-masing

stasiun penelitian

No

Faktor Fisik Kimia

Stasiun I

Stasiun II

T1

T2

T3

T1

T2

T3

1.

Temperatur (

0

C)

30

30

30

28.5

29.5

29

2.

Penetrasi Cahaya (M)

5

4.5

5.5

3.5

4.5

4

3.

Intensitas Cahaya

(Candela)

1233

1206

1250

1002

940

905

4.

pH

7.6

7.8

7.7

7.5

7.6

7.7

5.

DO (Mg/l)

6.6

6.8

6.7

6.2

6.0

6.1

6.

Kejenuhan Oksigen

(%)

87.071

89.005

89.692

81.152

78.534

79.842

7.

BOD

5

(Mg/l)

1.2

1.2

1.3

1.7

1.9

1.8


(5)

(6)

Lampiran J: Foto-Foto Lokasi Penelitian

Stasiun I