b. Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata- mata, atau kalau ada hak
manusia disamping hak Allah maka hak Allah yang lebih dominan.
2. Jarimah Qishash dan Diat.
Jarimah qishash
dan diat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishash atau diat. Baik qishash atau diat kedua- duanya adalah hukuman yang sudah
ditentukan oleh syara’. Perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa hukuman had merupakan hak Allah hak masyarakat, sedangkan qishash dan diat merupakan
hak manusia hak individu. Disamping itu, perbedaan yang lain adalah karena hukuman qishash dan diat merupakan hak manusia maka hukuman tersebut bisa
dimaafkan atau digugurkan oleh korban atau keluarganya, sedangkan hukuman had tidak bisa dimaafkan atau digugurkan. Mengenai jarimah qishash dan diat ini
dikenakan atas dua macam perbuatan pidana, yaitu: pembunuhan dan penganiayaan. Namun apabila diperluas, jumlahnya ada lima macam; pembunuhan sengaja,
pembunuhan menyerupai sengaja, pembunuhan karena kesalahan, penganiayaan sengaja, dan penganiayaan tidak sengaja.
3. Jarimah Ta’zir.
Ta’zir secara harfiah berarti membinasakan pelaku kriminal karena tindak
pidana yang memalukan. Dalam ta’zir, hukuman itu tidak ditetapkan dengan
ketentuan hukum, dan hakim yang diperkenankan mempertimbangkan baik bentuk ataupun hukuman yang akan dikenakan.
86
Jarimah ta’zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir. Pengertian ta’zir menurut bahasa adalah ta’dib, artinya memberi pelajaran.
Sedangkan menurut istilah adalah, hukuman pendidikan atas dosa tindak pidana yang belum ditentukan hukumannya oleh syara’.
87
Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa hukuman ta’zir adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’, dan wewenang untuk menetapkannya diserahkan
kepada ulil amri. disamping itu, dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa ciri khas jarimah ta’zir adalah sebagai berikut :
a. Hukumannya tidak ditentukan dan tidak terbatas. Artinya, hukuman tersebut
belum ditentukan oleh syara’ dan ada batas minimal dan maksimalnya. b.
Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa ulil amri.
Pemidanaan Terhadap Anak diBawah Umur.
Allah mengetahui perbuatan baik dan buruk yang akan dilakukan manusia, namun tiap- tiap manusia bebas tidak terikat dalam berbuat hal tersebut. Apabila
seseorang berbuat dosa maka hal itu karena kehendaknya sendiri. Sehingga ia bertanggungjawab sepenuhnya atas perbuatannya, karena tanggungjawab dibebankan
86
A. Rahman,. Hudud dan Kewarisan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996. Cet ke-1,. h. 15.
87
Muslich. Pengantar Hukum. h. xii
kepadanya karena akalnya, kehendaknya, kecondongan hati kecenderungannya, dan pilihannya.
Pertanggungjawaban pidana dalam syari’at Islam adalah pembebanan seseorang akibat perbuatannya atau tidak berbuat dalam delik omisi yang
dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana ia mengetahui maksud- maksud dan akibat- akibat dari perbuatannya itu.
88
Pertanggungjawaban pidana ditegakan atas tiga hal, yaitu:
1. Adanya perbuatan yang dilarang;
2. Dikerjakan dengan kemauan sendiri;
3. Pembuatannya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut.
Dengan demikian, maka hanya manusia berakal fikiran, dewasa, dan berkemauan sendiri yang dapat dibebani tanggungjawab pidana. Oleh karena itu tidak
ada pertanggungjawaban pidana bagi anak- anak, orang gila, orang dungu, orang yang hilang kemauannya, dan orang yang dipaksa atau terpaksa.
Mengenai dasar penghapusan pidana, ada pembagian antara: dasar pembenar, dan dasar pemaaf. Dalam hukum Islam alasan atau dasar pembenar itu ada dalam hal-
hal sebagai berikut: 1.
Bela diri legal defense. 2.
Penggunaan hak. 3.
Menjalankan wewenang atau kewajiban.
88
Topo Santoso. Menggagas Hukum Pidana Islam. Bandung: Asy Syaamil Press Grafika, 2000. Cet ke-1,. h. 165
4. Dalam olah raga.
Sementara dosa pemaaf ada dalam hal- hal sebagai berikut: 1.
Anak- anak. 2.
Orang gila. 3.
Mabuk. 4.
Daya paksa dan keadaan darurat. Jadi dapat disimpulkan menurut berbagai pendapat diatas, bahwa seorang
anak tidak dapat dikenakan hukuman had atas kejahatan yang dilakukan, karena tidak ada istilah beban hukum bagi anak kecil. Misalkan anak- anak yang belum mencapai
usia puber, maka hakim masih berhak menegur kesalahan atau menetapkan beberapa batasan yang akan membantu memperbaiki dan menghentikan tindak kejahatan untuk
masa yang akan datang. Menurut Abu Zaid Al- Qayrawani, ulama Madzhab Maliki, tidak ada hukuman had bagi anak kecil bahkan dalam kasus tuduhan zina yang palsu
Qadzaf atau ia sendiri yang melakukan zina.
89
Namun menurut salah satu buku ”Fiqih Wanita” mengatakan, bagi anak yang sudah pernah dikawin, meski sekarang
sudah kembali menduda atau menjada, apabila berbuat zina hukumannya lain dengan yang belum pernah kawin ghairu mughsan. Untuk pezina mughsan hukumannya
adalah rajam, yakni dilempar batu sedang sampai mati, apabila pezina itu memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Mukallaf;
89
Al- Qayrawani. Fil Ahkam Wal Hudud. _; Risalah___tanpa tahun. Bab 37,. h. 121- 130.
2. Merdeka;
3. Sudah pernah bersetubuh sebelumnya dengan perkawinan yang sah.
Untuk syarat yang ketiga maksudnya, bahwa pezina itu sudah pernah menikah secara sah dan mengalami persetubuhan sekalipun belum sempat inzal mengeluarkan
mani. Artinya, kalau ada seseorang yang sudah pernah kawin sah, dan telah terjadi pula persetubuhan dengan istrinya dalam perkawinan tersebut, kemudian bercerai,
lalu berzina dalam keadaan tidak beristri, maka atasnya dikenakan hukuman rajam. Dan demikian pula orang perempuan yang sudah pernah bersuami, kemudian
bercerai, lalu berzina ketika menjadi janda, maka dia tetap disebut seorang mughsan dan dikenai hukuman rajam.
90
2. Menurut Hukum Positif.