Sejarah Berdirinya GAMBARAN UMUM YAYASAN BINA ANAK PERTIWI

BAB III GAMBARAN UMUM YAYASAN BINA ANAK PERTIWI

A. Sejarah Berdirinya

Keterpurukan Negeri akibat krisis politik dan kebangkrutan ekonomi menyebabkan peningkatan tajam jumlah anak-anak jalanan. Masalah yang dihadapi oleh anak-anak jalanan pun semakin kompleks dan rumit. Berbagai latar belakang membentuk depresi sosial, ekonomi, kultural dan psikologis membuat semua menjadi saling terkait dalam membentuk pola perilaku dan kematangan emosi mereka, sehingga masyarakat pun pada umumnya memandang anak jalanan dengan predikat buruk dan menempatkan mereka pada posisi yang tersudut. Anak jalanan tentunya memiliki latar belakang dan motivasi yang berbeda-beda untuk turun ke jalan, salah satunya tentu saja faktor yang berkenaan dengan tekanan ekonomi orang tuanya yang tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari- hari, kemudian berangkat dari keinginan membantu orang tua mereka akibat kemiskinan yang mereka alami, maka mereka melakukan pekerjaan dengan kemampuan yang mereka miliki. Selain itu ada juga anak jalanan yang melakukan pekerjaan tersebut demi mendapatkan uang untuk memenuhi biaya hidupnya sendiri.57 Mengingat anak adalah aset masa depan bangsa, maka keterlibatan anak dalam kegiatan ekonomi dapat berdampak buruk bagi perkembangan dan masa depan anak tersebut, bahkan kondisi ini cenderung tidak menguntungkan bagi masa depan mereka. 57 “ Karakteristik Sosial Ekonomi dan Demografi Anak Jalanan di Kotamadya Malang .” artikel diakses pada tanggal 7 februari 2009 dari http.www.depnakertrans.org.id. Berangkat dari keprihatinan dan kepedulian, beberapa mahasiswa yang tergabung dalam sebuah Forum Studi Dialektika FOSTUDIA secara khusus mengkaji masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Forum tersebut beranggotakan mahasiswa lintas perguruan tinggi terdiri dari mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Institut Ilmu Al-Qur’an IIQ Jakarta, Pendidikan Guru Taman Kanak-Kanak PGTK Darul Qalam, dan Bina Sarana Informatika BSI Pondok Labu. Dalam kajiannya forum ini menampilkan ‘reformasi gaya baru’, maksudnya ketika perhatian orang-orang tersita oleh tuntutan reformasi politik dan ekonomi, maka kumpulan mahasiswa ini mengambil bagian untuk menyelamatkan generasi bangsa yang hidup di jalanan. Bahkan masalah anak jalanan dijadikan prioritas utama, karena anak-anak adalah aset bangsa yang harus segera diselamatkan dari keterpurukan dan masa depan yang tidak jelas. Disadari atau tidak, masa depan suatu bangsa sangat ditentukan oleh keberhasilan mendidik generasi sekarang.58 Strategi awal yang digunakan oleh para mahasiswa ini dalam merekrut anak jalanan yaitu dengan kunjungan lapangan atau penjangkauan, dengan cara bermain bersama dengan menggunakan berbagai media, seperti nongkrong bareng, bermain game, bermain sepak bola, dan lain-lain. Salah satu cara yang dilakukan oleh mahasiswa pada saat itu adalah mengikuti pekerjaan yang mereka lakukan. Waktu itu mereka adalah pedagang-pedagang di kereta, mau tidak mau mereka memang harus ikut jadi pedagang asongan, ada juga yang menjadi agen minuman, seperti aqua, dan minuman ringan lainnya, ada juga yang menjadi 58 Berdasarkan data dari profil Yayasan Bina Anak Pertiwi. pedagang rokok, tisu dan segala macamnya, lainnya adalah menjadi pedagang Koran. Seperti pernyataan Zayyadi : ”Dari situ sebenarnya kami dituntut untuk menjadi ‘bos’nya langsung.”59 Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mengenal dunia mereka lebih dalam. Karena dengan cara seperti itu, maka komunikasi dapat terjalin lebih hangat dan mereka akan lebih merasa diakui keberadaannya sehingga komunikasi yang tercipta lebih terbuka dan akrab. Jika sudah begitu maka para mahasiswa ini akan mengetahui dari mana mereka harus memulai pembinaan yang kemudian mengajak mereka untuk datang ke asrama dan belajar bersama. Aksi sosial selanjutnya yang dilakukan sebagai bentuk kepedulian terhadap nasib pendidikan anak jalananterlantar adalah dengan mewujudkan pendidikan luar sekolah paket A yang setara dengan SD. Karena pada umumnya anak-anak jalananterlantar tidak memiliki ijazah sekalipun SD. Lokasi awal yang dijadikan sebagai tempat untuk kegiatan ini, dilaksanakan di masjid pasar Kebayoran Lama, tepatnya pada bulan Juni 1997, dengan jumlah anak jalanan dan pemulung yang disebut sebagai ‘warga belajar’ berjumlah 73 anak. Saat itu kegiatan pembelajaran masih bernaung di bawah Yayasan Sosial. Tetapi kemudian kegiatan belajar mengajar ini bubar, karena adanya kurang kesepahaman antara kelompok mahasiswa dengan pihak yayasan.60 Kejadian tersebut membuat sekelompok mahasiswa putus asa, tetapi hal itu tidak berlangsung lama, karena pada tahun 1998 banyak respon-respon positif dari 59 Wawancara pribadi dengan Zayyadi ketua Yayasan Bina Anak Pertiwi, Jakarta 11 Februari 2009. 60 Berdasarkan data dari profil Yayasan Bina Anak Pertiwi. masyarakat terhadap upaya-upaya yang dilakukan oleh para mahasiswa sehingga mereka memulai kembali melakukan aksi sosialnya di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kemudian sebagai sebuah gebrakan baru, mereka mengganti Forum Studi Dialektika FOSTUDIA menjadi Pusat Pembinaan dan Pemberdayaan Anak Jalanan P3A. perubahan nama ini dimaksudkan agar lebih spesifik dan berimplikasi pada visi, misi yang dijalankan agar terfokus pada pembinaan dan pemberdayaan anak jalanan.61 Pada awal kegiatannya, P3A melakukan kegiatan pembinaan biasa dalam bentuk pendidikan luar sekolah. Namun seiring berjalannya waktu, kegiatan sekelompok mahasiswa ini dalam hal penanganan anak jalanan semakin berkembang pesat, karena kegiatan tersebut mendapatkan simpati dan dukungan luas dari berbagai kalangan baik masyarakat maupun pemerintah, sehingga para mahasiswa yang tergabung dalam P3A ini mulai membuka diri dan melibatkan para tokoh masyarakat untuk menunjang agar pembinaan terhadap anak-anak jalanan ini dapat terus dilakukan agar semakin berkembang.62 Mengingat kegiatan ini harus berkesinambungan dan harus ada pertanggungjawaban secara yuridis, dari kalangan masyarakat banyak yang mendesak agar lembaga ini memiliki badan hukum, karena badan hukum adalah sumber kekuatan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dan mengurangi kepercayaan. Maka kemudian lembaga ini dibakukan dengan akta Notaris No.2 tanggal 3 November 1998 dengan nama Yayasan Bina Anak Pertiwi. Yayasan ini membangun rasa kekeluargaan dan kebersamaan terhadap orang lain, khususnya 61 Profil Yayasan Bina Anak Pertiwi. 62 Profil Yayasan Bina Anak Pertiwi. anak-anak jalanan dan anak-anak terlantar.63 Bila dilihat dari namanya, sekilas mengandung nilai-nilai nasionalisme yang tinggi, padahal secara implisit Yayasan Bina Anak Pertiwi ini tidak hanya rumah singgah saja, tetapi juga di dalamnya terdapat PKBM Pusat Kegiatan Belajar Mengajar Pesantren Kota yang saat ini konsen pada program pendidikan paketnya, PKBM ini juga berada di daerah Depok dan Citayam yang bernama PKBM Lentera Ummah, yang juga menangani Pendidikan Anak Usia Dini PAUD yang merupakan cabang dari Yayasan Bina Anak Pertiwi. Selain di ketiga tempat tersebut, masih ada lagi cabang di daerah Jonggol yang konsen pada PLK Pendidikan Layanan Khusus untuk daerah terpencil. Di daerah ini juga yang dijadikan sebagai pusat pertanian, khususnya budidaya belimbing karena memiliki lahan yang cukup luas.64 Dalam perkembangannya, yayasan ini mengalami perjalanan yang sangat panjang, sebelum akhirnya menempati bangunan permanen milik sendiri yang sekarang ada di Jl. Bacang Gg. Kenanga No.46 Kelurahan Jati Padang Kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan. Pada awal berdirinya, yaitu pada bulan Juni tahun 1998, anak-anak jalanan yang tergabung dalam yayasan ini menempati sebuah kontrakan di Tanjung Barat Pasar Minggu selama 3 bulan, sedangkan sekretariatnya ada di Jl. Limun Pisangan Barat Ciputat. Dalam kondisi tersebut, pembinaan terhadap anak jalanan berjalan kurang efektif dikarenakan kurangnya kontrol. Dimana jarak antara asrama dengan sekretariat cukup jauh dan kurang kondusif sehingga pembinaan berjalan kurang efektif, efisien, dan fokus. 63 Profil Yayasan Bina Anak Pertiwi. 64 Wawancara dengan Ali pengurus, Jakarta 18 Februari 2009. Pada bulan September 1998 atas usul dari anak-anak jalanan sendiri, asrama dipindahkan dari Tanjung Barat, Pasar Minggu ke Bojong Gede. Sedangkan sekretariatannya yang pada mulanya ada di Jl. Limun Pisangan Barat, Ciputat pindah ke Jl. Semanggi II Rt 00403 Cempaka Putih, Ciputat. Selama di Bojong Gede banyak konflik yang terjadi antara anak-anak jalanan dengan pemilik tempat, karena barang-barang anak jalanan sering dicuri oleh famili pemilik tempat. Hal ini terjadi karena pandangan masyarakat cenderung memvonis anak jalanan sebagai “anak liar”, “anak kotor”, dan “pelaku kriminal”. Adanya stigmatisasi ini tentu saja akan mengesahkan jalan kekerasan dalam menghadapi anak jalanan. Kemudian pada tahun 1999 asrama anak jalanan kembali dipindah ke daerah Pasar Minggu Baru, sedangkan tempat belajarnya di Masjid Al-Awwabin. Akan tetapi kehadiran anak jalanan di daerah ini kurang mendapat simpati dari masyarakat sekitarnya, karena ada kecemburuan sosial terhadap anak-anak jalanan binaan. Menurut informasi yang penulis terima, masyarakat sekitar asrama yang rata-rata kurang mampu merasa iri terhadap anak-anak jalanan ini karena mereka sering mendapat bantuan dari berbagai pihak, seperti bantuan makanan dan pakaian. Lalu pada tahun 2001 asrama dipindah lagi ke sebuah ruko di Terminal Pasar Minggu. Di sini pembinaan terhadap anak jalanan mulai berjalan efektif, karena ada beberapa faktor yang mendukung, yaitu: pertama, karena asrama berdekatan dengan komunitas mereka. Kedua, keberadaan anak jalanan yang tinggal di asrama terkontrol selama 24 jam. Keberadaan anak jalanan di ruko ini sempat bertahan selama satu tahun, dikarenakan harga untuk menyewa ruko cukup mahal. Dan sejak itulah mulai berfikir untuk mendapatkan bangunan permanen milik sendiri. Dengan usaha yang maksimal akhirnya dana dapat terkumpul untuk membeli bangunan di Jl. Bacang Pasar Minggu yang kebetulan milik Wali Kota Jakarta Barat yang sekarang ditempati menjadi asrama anak jalanan. Pada awalnya kehadiran yayasan ini mendapat tantangan dari masyarakat sekitar yang mayoritas beragama Islam. Penyebabnya adalah sebelum hadirnya yayasan ini telah berdiri sebelumnya sebuah yayasan sosial untuk anak jalanan yang ternyata milik non-muslim. Masyarakat merasa kecolongan dengan kehadiran yayasan tersebut karena masyarakat tidak membutuhkannya. Namun demikian mereka tidak patah semangat untuk meyakinkan masyarakat sekitar, dan setelah mengatasnamakan Pesantren Kota akhirnya keberadaan yayasan ini diterima oleh masyarakat sekitar.65 Sesuai dengan motto yayasan ini, yaitu “bersama untuk bangsa”, maka dalam menjalankan setiap aktivitasnya yayasan ini selalu bersama-sama masyarakat dimana kegiatan tersebut dilangsungkan. Kalau saja bukan karena kegigihan para pendiri dalam memperjuangkan keberadaan lembaga ini, maka belum tentu yayasan ini dapat berjalan dengan baik. Selain itu juga peran masyarakat dalam mendukung keberadaan yayasan ini memiliki nilai lebih. Dan merupakan modal yang paling utama untuk keberhasilan kelangsungan program yang paling utama untuk keberhasilan kelangsungan 65 Wawancara pribadi dengan Zayyadi ketua. program dan kesejahteraan anak-anak jalanan dan terlantar tersebut.

B. Visi, Misi, dan Tujuan Yayasan Bina Anak Pertiwi