Pembinaan Anak Jalanan Melalui Lembaga Sosial (Studi Kasus Pembinaan Anak Jalanan di Lembaga Sosial Yayasan Bina Anak Pertiwi di Pasar Minggu, Jakarta Selatan)

(1)

PEMBINAAN ANAK JALANAN MELALUI

LEMBAGA SOSIAL

(Studi Kasus Pembinaan Anak Jalanan di Lembaga Sosial Yayasan Bina Anak Pertiwi di Pasar Minggu, Jakarta Selatan)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh : KURNIYADI 108032200028

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2014


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAKSI

Skripsi ini membahas tentang pembinaan anak jalanan melalui lembaga sosial, studi kasus pembinaan anak jalanan di Lembaga Sosial Yayasan Bina Anak Pertiwi di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Keberadaan anak jalanan di negara ini menjadi permasalahan yang komplek. Jumlahnya yang setiap tahun mengalami peningkatan, patut mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Sebagai salah satu bentuk perhatian terhadap anak jalanan ini adalah dengan membawa mereka ke lembaga-lembaga sosial, sebagai upaya pembinaan. Salah satunya adalah keberadaan Lembaga Sosial Yayasan Bina Anak Pertiwi yang berada di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan ini. Kehadiran lembaga ini untuk memberikan pembinaan-pembinaan terhadap anak jalanan. Kegiatan pembinaan-pembinaan yang dilakukan adalah dengan memberikan fasilitas-fasilitas untuk anak jalanan agar mereka tetap belajar. Sehingga kebutuhan untuk pendidikan mereka tetap terpenuhi.

Dalam penelitian ini terdapat tiga rumusan masalah yaitu : (1). Bagaimana pola pembinaan anak jalanan di Yayasan Bina Anak Pertiwi ? (2). Apa saja bentuk-bentuk pembinaan yang dilakukan di Yayasan Bina Anak Pertiwi terhadap anak jalanan ? (3). Bagaimanakah kontribusi pembinaan anak jalanan yang dilakukan Yayasan Bina Anak Pertiwi terhadap perilaku anak jalanan ?

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, dengan 15 informan penelitian, di antaranya: pimpinan Yayasaan Bina Anak Pertiwi, pendamping/guru, anak jalanan, dan masyarakat. Pengambilan informan dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Dan proses pengambilan data dilakukan sejak bulan April – Mei 2013 dengan metode pengumpulan data, wawancara terstruktur, observasi, dan dokumentasi.

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan, pertama, pola pembinaan yang dilakukan di Yayasan Bina Anak Pertiwi yaitu dengan melalui pendekatan kekeluargaan. Artinya, dalam pendekatan ini seorang pengurus di lembaga bersikap bahwa anak-anak ini telah menjadi ikatan keluarga yang harus dibina dan dibimbing oleh semua pengurus lembaga. Selain itu juga melalui pembinaan individu dan kelompok. Kedua, bentuk-bentuk pembinaan yang dilakukan di Yayasan Bina Anak Peritiwi antara lain: pembinaan keterampilan dan skill, pembinaan yang melibatkan sejumlah tokoh masyarakat, pembinaan yang melibatkan pihak kepolisian, program pendidikan, pembinaan keagamaan, pembinaan kesehatan yang melibatkan dinas kesehatan. Ketiga, dengan adanya pembinaan ini nampak sekali perubahan yang terjadi pada kepribadian mereka. Perubahan ini dapat dilihat dari mereka yang sudah mempunyai arah dan tujuan hidup, mulai hidup mandiri, hidup bersih, rapi, tidak lagi suka berkelahi, mudah dinasehati, sopan terhadap masyarakat sekitar, mereka mulai mengurangi waktunya di jalanan, dan lain-lain.


(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberikan nikmat-Nya, sehingga kita bisa beraktifitas dan bertatap muka dengan semangat penuh gelora dalam keadaan sehat walafiyat. Allah Tuhan Semesta Alam telah memberikan kita nikmat iman dan Islam, yang merupakan hal paling sempurna bagi seorang muslim. Atas nikmat dan karunia-Nya pula peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini, “Pembinaan Anak Jalanan Melalui Lembaga Sosial (Studi Kasus Pembinaan Anak Jalanan di Lembaga Sosial Yayasan Bina Anak Pertiwi di Daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan)”, dengan lancar.

Shalawat dan salam semoga selalu tetap tercurahkan kepada sang tauladan kita, Nabi besar Muhammad SAW. Yang senantiasa mencintai ummatnya hingga akhir zaman. Dalam menyelesaikan skripsi ini, peneliti mengalami berbagai hambatan. Namun semua hambatan tersebut dapat teratasi karena adanya bantuan, bimbingan, arahan, dukungan dan kontribusi dari dan oleh banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya pada pihak yang telah membantu dalam memberikan bimbingan, dukungan moriil dan bantuan penyusunan skripsi ini. Hingga akhirnya penelitian skripsi ini telah selesai tepat pada waktunya. Ucapan terikma kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya, peneliti sampaikan kepada:

1. Allah SWT yang selalu ada dan menjadi tempat bagi penulis untuk mengadu dan memohon.


(7)

2. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Nur Kafid, MA selaku dosen pembimbing dengan sabar dan tiada henti hentinya memberikan semangat, saran-saran, kritik kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Dr. Zulkifly, MA selaku Kepala Program Studi Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Ibu Iim Halimatus’adiyah, MA selaku Sekretaris Program Studi Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Seluruh dosen dan staf pada program studi Sosiologi atas segala motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan dan pengalaman yang diberikan. 7. Keluargaku tercinta, (Ayahandaku ‘Marhasan’ dan Ibundaku tersayang

‘Hossirah’), terima kasih atas segala pengorbanan dan segala doanya yang terus mereka panjatkan untuk peneliti, agar peneliti sukses dan berhasil dalam penelitian skripsi ini dengan nilai yang baik.

8. Pimpinan Lembaga Sosial Yayasan Bina Anak Pertiwi, pengurus Yayasan, dan masyarakat sekitar, yang telah membantu dalam melakukan penelitian dan data-data yang dibutuhkan.

9. Saudara-saudaraku Kak Idris Hemay, Mbak Nia, Bang Yon, Mbak Atif, Kak Sabran Sanaf, dan Mbak Suliyati Sanaf yang telah membimbing peneliti dari masuk kuliah sampai sekaranng. Kawan-kawan Sosiologi angkatan 2008 yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu, dan


(8)

kawan-kawan satu kosan (bang Amir dan Eenk), terima kasih atas saran dan kebersamaannya selama ini.

10. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaiaan skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Peneliti menyadari akan segala keterbatasan yang ada pada peneliti secara personal dengan hasil penelitiannya, sehingga peneliti yakin dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik konstruktif pembaca sangat peneliti harapkan untuk perbaikan di masa mendatang demi terwujudnya insan akdemis yang mumpuni dan bertanggung jawab.

Jakarta, 10 April 2014


(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI………i

KATA PENGANTAR………ii

DAFTAR ISI………...v

BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah………...1

B. Pertanyaan Penelitian………...4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………...4

D. Tinjauan Pustaka………..5

E. Definisi Konsep………...8

A. Anak Jalanan………..8

1. Definisi Anak Jalanan………...8

2. Munculnya Anak Jalanan………...10

3. Kehidupan Anak Jalanan………13

B. Pendidikan………16

1. Definisi Pendidikan………...16

2. Tujuan Pendidikan……….19

F. Kerangka Teori 1. Pendidikan Demokratis………...………...22

2. Pendidikan Hadap Masalah (problem posing)…………...28

G. Metodologi Penelitian………....31


(10)

BAB II PROFIL YAYASAN BINA ANAK PERTIWI

A. Sejarah Berdirinya………..38 B. Visi, Misi, dan Tujuan………42 C. Struktur Yayasan Bina Anak Pertiwi……….………...44

BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN

A. Pola Pembinaan Anak Jalanan di Yayasan Bina Anak Pertiwi…..46 B. Bentuk-bentuk Pembinaan di Yayasan Bina Anak Pertiwi………55 C. Kontribusi Pembinaan Terhadap Perilaku Anak Jalanan………...65

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan………. 70 B. Saran-Saran………...72

DAFTAR PUSTAKA………...74


(11)

BAB I

PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah

Penelitian ini akan menganalisa tentang pembinaan anak jalanan melalui lembaga sosial dengan studi kasus pembinaan anak jalanan di Lembaga Sosial Yayasan Bina Anak Pertiwi di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Di Jakarta, masih banyak sekali kita temukan anak jalanan di mana-mana. Kehidupan mereka pun sangat menghawatirkan. Keberadaan mereka merupakan satu masalah yang harus ditangani oleh Pemerintah. Kehidupan mereka yang tidak terkontrol sering kali menyebabkan tindakan-tindakan yang menyimpang, baik secara hukum atau agama.

Menurut hasil penelitian Kementerian Sosial RI, terdapat sekitar 4,5 juta anak terlantar (seperti anak jalanan, kurang nutrisi, dan anak berkebutuhan khusus) yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Anak jalanan jumlahnya mencapai 232.000 anak. Sebanyak 80% diantaranya karena disuruh orang tua bekerja di jalanan, selain karena faktor kemiskinan. Menurut data yang didapat dari Dinas Sosial DKI Jakarta, tahun 2011 tercatat ada sekitar 7.315 anak jalanan di ibu kota Jakarta. Tahun 2010 jumlahnya 5.650 orang, dan tahun 2009 sebanyak 3.724 orang. Mereka bekerja sebagai pengelap kaca mobil, pedagang asongan, joki 3 in 1, parkir liar, penyemir sepatu, penjual koran, pencuci kendaraan, dan pemulung barang-barang bekas. Sebagian lagi pengemis, pengamen, dan bahkan ada yang menjadi pencuri, pencopet, bahkan ada yang terlibat perdagangan seks


(12)

(Widiantoro, 2011). Padahal, dalam usia mereka yang masih anak-anak, pendidikan merupakan hal yang harus mereka dapatkan.

Akan tetapi realitasnya, pendidikan di Indonesia yang terus berbenah tampaknya belum bisa menyentuh semua elemen masyarakat, khususnya anak-anak kurang mampu. Hal ini kemudian yang menjadi salah satu faktor munculnya para pekerja anak yang merupakan generasi putus sekolah (Afifah, 2012). Sehingga, bagi kalangan anak jalanan yang sama sekali tidak pernah mencicipi dunia pendidikan, sikap, dan perilakunya terkadang menyimpang dari norma-norma yang ada. Seperti, mencopet, minum-minuman keras, pergaulan bebas, pengguna narkoba, mengganggu ketenangan umum, dan lain-lain. Padahal, memperoleh pendidikan yang layak merupakan hal sangat penting bagi generasi masa depan di Indonesia, termasuk anak-anak jalanan. Adalah hak konstitusional setiap anak untuk berada di sekolah (Aprianita, 2010).

Secara umum, pendidikan merupakan serangkaian kegiatan komunikasi antara manusia dewasa dengan si anak didik, secara tatap muka atau dengan menggunakan media dalam rangka memberikan bantuan terhadap perkembangan anak seutuhnya, dalam artian supaya dapat mengembangkan potensinya semaksimal mungkin agar menjadi manusia dewasa yang bertanggungjawab. Potensi di sini ialah potensi fisik, emosi, sosial, sikap, moral, pengetahuan dan keterampilan (Idris, 1981: 11).

Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek), dan jasmani anak-anak. Maksudnya adalah supaya kita dapat memajukan


(13)

kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan dan penghidupan anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya (Ekosusilo & Kasihadi, 1999: 14).

Dari beberapa definisi di atas, terlihat bahwa pendidikan itu sangat dibutuhkan dalam kehidupan ini, khususnya dalam membentuk karakter dan perilaku seseorang. Pendidikan juga menjadi tujuan dari negara Indonesia yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sejalan dengan itu, pasal 28 ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan umat manusia. Amanat tersebut dipertegas oleh pasal 31 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan (Nandika, 2007: 3).

Oleh karena itu, penelitian ini ingin melihat bagaimana pendidikan anak jalanan dalam pembinaan yang di lakukan oleh Lembaga Sosial Yayasan Bina Anak Pertiwi di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.


(14)

B. Pertanyaan Penelitian

Terkait dengan uraian pernyataan masalah di atas, maka rumusan pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pola pembinaan anak jalanan di Yayasan Bina Anak Pertiwi ?

2. Apa saja bentuk-bentuk pembinaan yang dilakukan di Yayasan Bina Anak Pertiwi terhadap anak jalanan ?

3. Bagaimanakah kontribusi pembinaan anak jalanan yang dilakukan Yayasan Bina Anak Pertiwi terhadap perilaku anak jalanan ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mendeskripsikan pola pembinaan anak jalanan yang diberikan di Yayasan Bina Anak Pertiwi.

2. Untuk menjelaskan bentuk-bentuk pembinaan yang dilakukan di Yayasan Bina Anak Pertiwi.

3. Untuk mengidentifikasi sejauhmana kontribusi pembinaan terhadap perilaku anak jalanan.

Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara akademis, penelitian akan memberikan informasi pengetahuan (akademis) dalam bidang kajian sosiologi pendidikan, tentang bagaimana


(15)

pembinaan yang diberikan di Yayasan Bina Anak Pertiwi terhadap anak jalanan. Dan mengetahui bentuk-bentuk pembinaan yang dilakukan oleh Yayasan Bina Anak Pertiwi terhadap anak jalanan.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi kepada pihak-pihak terkait yang membutuhkan, sekaligus untuk mengetahui pembinaan yang diberikan oleh Yayasan Bina Anak Pertiwi terhadap anak jalanan, sehingga dapat ditindak lanjuti di masa yang akan datang. Serta diharapkan dapat memberikan motivasi bagi anak jalanan untuk dapat mengikuti pendidikan dan pembinaan sebaik-baiknya di Yayasan Bina Anak Pertiwi.

D. Tinjauan Pustaka

Untuk mengetahui relevansi sebuah penelitian, sangat dibutuhkan sekali perbandingan terhadap penelitian-penelitian yang sebelumnya mengenai masalah pendidikan, khususnya penelitian yang terkait dengan pendidikan anak jalanan. Salah satu penelitian tersebut adalah tesis yang berjudul “Kebutuhan Pendidikan Anak Jalanan (Suatu Studi Evaluasi Anak Jalanan Pada Yayasan Mitra Masyarakat Kota Cipinang, Kebemben, Jakarta Timur), yang ditulis oleh Maydian Wirdiastuti di Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Sosiologi tahun 1998. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa program pendidikan yang dilakukan Yayasan Mitra Masyarakat Kota (YMMK) menitikberatkan pada program literacy, yang berupaya mengembangkan kapasitas-kapasitas atau potensi-potensi kognitif, afektif, dan psikomotor yang mereka miliki. Kedua, metode lain yang digunakan Yayasan Mitra Masyarakat


(16)

Kota adalah karyawisata. Metode ini memiliki unsur hiburan, bermain, dan berpetualangan. Metode ini sangat menarik bagi anak-anak, tetapi penggunaannya sangat berkaitan dengan besarnya biaya yang harus disediakan dan juga membutuhkan persiapan yang matang.

Terkait dengan anak jalanan, tesis yang berjudul “Anak Jalanan Dan Model Penanganannya (Studi Kualitif Tentang Anak Jalanan Yang Dibina Oleh Yayasan Dian Mitra, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, Dan Yayasan Amalia Di Jakarta)”, yang ditulis oleh Tuti Kartika di Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Sosiologi tahun 1997. Studi ini menemukan beberapa faktor yang mendukung anak jalanan berperilaku negatif atau melakukan tindakan kriminal. Pertama, pola hubungan sosial. Anak jalanan dalam berhubungan sosial dengan tokoh jalanan mempelajari cara melarikan diri dari situasi krisis. Kedua, Stigma masyarakat, di mana masyarakat telah memberikan stigma bahwa anak jalanan sebagai anak kriminal. Sehingga keberadaan anak jalanan selalu dicurigai. Ketiga, Sebagai protes, dalam usianya yang relatif masih anak-anak, anak jalanan tidak mampu melawan orang dewasa yang mengancam kehidupannya.

Selanjutnya, tesis dengan judul “Pemberdayaan Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah (Studi Kebijakan Penanganan Anak Jalanan Di Indonesia)”. Yang ditulis oleh Bakhrul Khair Amal di Universita Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Sosiologi tahun 2003. Hasil penelitiannya menjelaskan, bahwa program yang diberikan kepada anak jalanan masih bersifat Top down, bukan berdasarkan kebutuhan anak atau Bottom up. Sehingga program yang


(17)

diberikan mengakibatkan terjadinya proses penanganan tidak tepat sasaran. Selain itu, program rumah singgah yang dilakukan tidak menginventaris data anak yang berada di jalan, sehingga program yang diberikan tidak dapat mencapai tujuan program yang sebenarnya. Selanjutnya, implementasi program pemberdayaan anak jalanan ini bersifat rehabilitatif. Program rumah singgah tidak mendapat dukungan dari masyarakat sekitar rumah singgah.

Hampir sama dengan kajian di atas, tesis yang ditulis oleh Ridha Haykal Amal dengan judul “Program Pemberdayaan Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah (Studi Kasus 5 Anak Jalanan Di Rumah Singgah Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia)”, ditulis oleh Ridha Haykal Amal pada tahun 2002, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Menemukan bahwa, strategi yang digunakan rumah singgah Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia yaitu menggunakan pendekatan centre based program dengan fungsi intervensi rehabilitatif, yaitu berusaha melepaskan anak jalanan. Meskipun demikian rumah singgah juga menggunakan pendekatan community based dan street based yang tercermin dalam beberapa program dan kegiatannya.

Terakhir, tesis yang berjudul “Peranan Rumah Singgah Dalam Membina Anak Jalanan di DKI Jakarta (Studi Kasus Rumah Singgah Insan Mandiri DKI Jakarta)”, Tesis ini ditulis oleh Alwi Alimuddin pada tahun 2007, Universitas Indonesia. Yang menemukan bahwa keberadaan Rumah Singgah Insan Mandiri dapat mendidik dan mengembangkan moral anak jalanan menjadi warga


(18)

masyarakat yang produktif dan berguna, sehingga mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan ketahanan wilayah DKI Jakarta.

Dari beberapa penelitian terdahulu terkait dengan anak jalanan, belum ada penelitian yang memfokuskan pada pola pembinaan dan kontribusinya terhadap perilaku anak jalanan. Walaupun ada penelitian yang sudah disebutkan di atas, tetapi itu hanya lebih pada pembinaan anak jalanan secara umum saja. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengungkap perbedaan dalam penelitian sebelumnya, yaitu dengan menganalisa tentang bagaimana pola pembianaan dan kontribusinya terhadap perilaku anak jalanan dengan mengambil lokasi di Lembaga Sosial Yayasan Bina Anak Pertiwi.

E. Definisi Konsep A. Anak Jalanan

1. Definisi Anak Jalanan

Sampai saat ini, pengertian tentang anak jalanan belum bisa ditemukan secara kongkrit, dan belum ada keseragaman pendapat. Banyak istilah atau sebutan yang ditujukan kepada mereka, seperti anak pasar, anak tukang semir, anak lampu merah, peminta-minta, anak gelandangan, anak pengamen, dan lain sebagainya (Setiawan, 2007: 45).

Menurut Pusdatin Kesos, Kementerian Sosial RI dalam kaitannya dengan penyajian data dasar Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), mendefinisikan anak jalanan sebagai anak yang berusia 5-18 tahun yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah dan berkeliaran di


(19)

jalanan maupun tempat-tempat umum (Suradi, 2011: 316). Di jalanan memang ada anak usia 5 tahun ke bawah, tetapi merekan biasanya dibawa orang tua atau disewakan untuk mengemis. Memasuki usia 6 tahun biasanya dilepas atau mengikuti temannya. Anak-anak yang berusia 18 sampai 21 tahun dianggap sudah mampu bekerja atau mengontrak rumah sendiri bersama teman-temannya (Setiawan, 2007: 45).

Selanjutnya, Lusk mendefinisikan anak jalanan adalah “any girl or boy…for whom the street (in the widest sense of the word, including unoccupied dwellings, wasteland, including unoccuplieed dwellings, wasteland, etc) has become his or her habitual abode and/or source of livelihood; and who is inadequately protected, supervised, or directed by responsible adults [setiap anak perempuan atau laki-laki yang memanfaatkan jalanan (dalam pandangan yang luas ditulis, meliputi tidak punya tempat tinggal, tinggal di tanah kosong, dan lain sebagainya) menjadi tempat tinggal sementara dan atau sumber kehidupan, dan tidak dilindungi, diawasi atau diatur oleh orang dewasa yang bertanggung jawab] (Setiawan, 2007: 45).

Sementara, Sunusi membedakan anak jalanan ke dalam tiga kategori, yang didasarkan pada pekerjaannya, waktu dan hubungan dengan orang tuanya (Suradi, 2011: 316-317), sebagaimana di bawah ini :

a. Children of the Street

Anak jalanan yang hidup dan tinggal di jalanan sepanjang waktu. Mereka tidak bersekolah dan tidak memiliki hubungan dengan keluarga dan orang tuanya.


(20)

Secara total mereka hidup mandiri, untuk perjuangan hidup secara fisik maupun secara psikologis.

b. Children on the Street

Anak dalam kategori ini menghabiskan sebagian besar waktunya di jalan atau tempat-tempat umum lainya, untuk bekerja dan penghasilanya digunakan untuk membantu kehidupan keluarga.

c. Vulnerable to be Street Children

Anak jalanan yang tinggal dengan orang tua atau keluarganya, tetapi bekerja di jalanan. Pada kelompok ini faktor ekonomi keluarga menjadi faktor dominan yang mendorong mereka memasuki kegiatan ekonomi jalanan.

2. Munculnya Anak Jalanan

Anak jalanan pada umumnya, menjadi masalah sosial di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Banyak kita saksikan keberadaan anak jalanan di sekitar perempatan lampu merah, di bus-bus kota, di depan pertokoan, dan di kolong jembatan. Hal ini menjadi masalah sosial bangsa yang harus segera diselesaikan.

Keberadaan anak jalanan merupakan akibat langsung dari pemenuhan kebutuhan yang tidak terpenuhi. Anak yang merupakan bagian dari keluarga, tidak mampu memenuhi kebutuhan fisik, psikis, sosial, dan spiritualnya. Anak tidak tercukupi kebutuhan makan, pendidikan, rasa nyaman, hingga tidak mampu menjalankan fungsi sosial sebagai anak secara wajar. Oleh karenanya, anak melakukan upaya dengan cara mereka untuk memenuhi kebutuhan dimaksud.


(21)

Untuk itu, anak-anak melakukan upaya mencari pemenuhan kebutuhan fisik, psikis, sosial, dan spiritualnya dengan turun ke jalan, menjadi anak jalanan (Mujiyadi, dkk, 2011: 3). Artinya, yang menjadi faktor utama dalam munculnya anak jalanan adalah aspek ekonomi.

Namun demikian, keberadaan anak jalanan di kota besar pada umumnya, lebih banyak diwarnai oleh kehadiran anak jalanan pendatang. Artinya, lebih banyak anak jalanan kategori pendatang daripada anak jalanan yang terlahir di kotanya sendiri. Demikian pula keberadaan orang tuanya, yang lebih banyak sebagai pendatang di kota (Mujiyadi, dkk, 2011: 12). Dengan kata lain, ada proses urbanisasi di sini. Mereka pindah ke kota tidak lebih untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan ekonominya. Karena kota dinilai menjadi tempat yang mudah untuk mendapatkan uang.

Untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi keluarga, perlu diketahui aspek pendukungnya. Aspek sosial ekonomi yang dimaksud di sini adalah pendidikan, pekerjaan dan pendapatan (ekonomi), juga tradisi (Suyanto, 2010: 198), sebagaimana diuraikan di bawah ini :

a. Pendidikan

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh sebab itu, dengan pendidikan diharapkan setiap masyarakat bisa menggunakan akal pikirannya secara sehat, sebagai upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.


(22)

Pada dasarnya, pendidikan merupakan hal sangat penting dalam kehidupan manusia, baik dari individu maupun dalam masyarakat. Karena pendidikan merupakan syarat untuk menjadi manusia berkualitas. Selain itu dengan memiliki pendidikan, masyarakat secara individu bisa meningkatkan status sosial ekonomi masyarakat.

Pada umumnya, keluarga anak jalanan juga tidak mendapatkan pendidikan secara layak. Kebanyakan mereka berpendidikan rendah, bahkan ada yang tidak pernah bersekolah.

b. Ekonomi

Kehidupan keluarga yang serba kekurangan, mendorong anak turun ke jalan untuk bekerja dan mencari uang, baik untuk diri sendiri maupun untuk kebutuhan keluarga. Alasan ekonomi menjadi penyebab utama dari sekian banyak anak jalanan. Mereka terdorong keinginan untuk membantu ekonomi keluarga, sehingga mereka terpaksa turun ke jalan.

Padahal, Keluarga merupakan orang pertama yang seharusnya mengajarkan hal-hal yang berguna bagi perkembangan dan kemajuan hidup manusia. Menurut ST. Vembriarto bahwa keluarga memiliki tiga fungsi dalam hubungan dengan anak, yaitu : (1) Fungsi biologik. Fungsi ini menunjuk kepada keluarga sebagai tempat melahirkan anak-anak. (2) Fungsi afeksi, dalam keluarga terjadi hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan, cinta kasih. Dari hubungan cinta kasih ini timbulah hubungan persaudaraan, persahabatan, kebiasaan, identifikasi, persamaan pandangan tentang nilai-nilai. (3) Fungsi


(23)

sosialisasi, fungsi ini menunjuk peranan keluarga dalam membentuk kepribadian anak. Melalui interaksi sosial didalam keluarga itu, anak mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai dalam masyarakat (Yusuf, 2008: 45-46).

c. Tradisi

Tradisi sering digunakan untuk menjelaskan keberadaan pekerja anak atau munculnya anak di jalanan. Anak-anak dari keluarga miskin, umumnya tidak memiliki alternatif lain dalam hal pekerjaan. Sehingga sudah menjadi semacam aksioma kultural bagi banyak kalangan, terutama di negara berkembang.

3. Kehidupan Anak Jalanan

Pada umumnya, anak jalanan merupakan bagian dari kehidupan di perkotaan. Di antara mereka, ada yang bekerja dan ada yang tidak bekerja. Mereka cenderung melaksanakan aktivitasnya di luar rumah, seperti di jalan raya, pasar, mall, tempat rekreasi, pelabuhan, terminal, dan tempat pembuangan sampah akhir. Sebagian besar dari mereka melakukan aktivitas tersebut untuk mendapatkan uang.

Anak jalanan selalu menghabiskan waktunya untuk bekerja. Akibat kelelahan, mereka sulit belajar dan akhirnya putus sekolah. Mereka yang putus sekolah, kehilangan hak belajarnya dan pada giliranya kehilangan kesempatan pekerjaan yang layak. Anak jalanan yang tidur di tempat umum, sering mengalami pelecehan seksual. Mereka berpeluang melakukan tindakan negatif, seperti mencopet, berjudi, mabuk, merokok, atau bergaul dengan pelacur. Anak jalanan


(24)

yang mengontrak kamar dengan sesama anak jalanan, biasanya merasa lebih bebas untuk melakukan apa saja dan cuek kepada tetangga. Makin lama anak berada di jalanan dan menginternalisasi nilai-nilai jalanan, akan mempunyai anggapan bahwa siapa yang kuat dialah yang menang. Sehingga, mereka yang tidak berkelompok, lebih sering mendapatkan penganiayaan. Dan yang berkelompok cenderung akan diperbudak oleh yang kuat (Suyanto, 2010: 176).

Terdapat berbagai macam-macam bentuk pekerjaan yang dilakukan oleh anak jalanan. Data dari Dinas Sosial Kota Administrasi Jakarta Selatan pada tahun 2011-2012, menunjukkan bahwa pekerjaan yang dilakukan anak jalanan dapat digolongkan sebagai berikut :

Tabel 1.

Golongan Pekerjaan Anak Jalanan Menurut Dinas Sosial Kota Administrasi Jakarta Selatan

Tahun 2011-2012

Bulan Pengamen Asongan Pengelap Mobil Pengemis

Januari 33 8 - 19

Februari 21 1 - 15

Maret 19 8 10 -

April 11 - - 25

Mei 1 5 - 24

Juni 4 1 - 24

Juli 2 4 8 51

Agustus 1 1 - 76


(25)

Oktober 4 1 - 13

November - - - -

Desember - - - -

Jumlah 98 29 18 267

Sumber : Data dari Dinas Sosial Kota Administrasi Jakarta Selatan tahun 2011-2012

Dari data di atas, dapat kita lihat bahwa anak jalanan yang bekerja sebagai pengemis merupakan yang tertinggi. Disusul oleh pengamen, asongan, dan pengelap mobil. Data ini juga menunjukkan bahwa keberadaan anak jalanan, khususnya di Jakarta Selatan masih sangat tinggi.

Pada dasarnya mereka bekerja seperti itu tidak lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kebutuhan yang harus mereka penuhi (Suradi, 2011: 319-320), yaitu :

a. Pemenuhan Kebutuhan Dasar.

Anak Jalanan tidak mampu memenuhi kebutuhan makan, pakaian, dan tempat tinggal yang layak dan manusiawi. Pada umumnya, makanan mereka tergolong kurang sehat karena hanya dua kali sehari dengan menu nasi, sayur atau lauk, serta jarang ada makanan tambahan. Di antara mereka ada yang makan dari sisa-sisa makanan yang dibuang di tempat sampah, seperti sayuran, buah-buahan, nasi, dan sebagainya.

b. Kondisi sosial, mental, dan spiritual.

Anak Jalanan hidup di dalam komunitasnya sendiri. Mereka tinggal di wilayah yang kurang menyatu dengan wilayah lain. Jadi, wilayah tinggal mereka


(26)

relatif tertutup dari komunitas luar. Di dalam komunitas itu, anak jalanan bersosialisasi dan mengembangkan pola relasi sosial berdasarkan nilai dan norma sosial yang berlaku dalam komunitas mereka.

Sebagian anak jalanan yang perempuan sudah menyalahgunakan Napza atau ngelem, berpotensi menjadi wanita tuna susila, dan bahkan ditemukan kasus sudah menjadi penjaja seks. Hal ini menggambarkan, betapa rapuhnya mental spiritual anak jalanan, baik karena tekanan ekonomi maupun hubungan sosial yang buruk di lingkungan keluarga maupun di dalam komunitas mereka (Suradi, 2011: 321).

B. Pendidikan

1. Definisi Pendidikan

Dalam definisi umum, pendidikan merupakan usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiaannya, dalam membimbing, melatih, mengajar, dan menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi muda, agar nantinya menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab akan tugas-tugas hidupnya sebagai manusia, sesuai dengan hakikat dan ciri kemanusiaannya (Munawwaroh & Tanenji, 2003: 5).

Menurut Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1973, pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup (Sabri, 2005: 7).

Sedangkan menurut Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003, pada Bab 1, Pasal 1, Ayat 1, dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan


(27)

terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (Sabri, 2005: 7).

Selanjutnya, Ki Hajar Dewantara mendefinisikan pendidikan dengan tuntutan bagi pertumbuhan anak-anak. Artinya, pendidikan menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada diri anak-anak, agar mereka sebagai manusia sekaligus sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setingi-tingginya (Zurinal & Sayuti, 2006: 2-3).

Sedangkan Emile Durkheim, mendefinisikan pendidikan sebagai proses di mana individu mendapat alat-alat fisik, intelektual, dan moral yang diperlakukan agar dapat berperan dalam masyarakat. Ia berpendapat, bahwa pendidikan akan menolong anak-anak mengembangkan sikap moral terhadap masyarakat. Baginya, pendidikan anak memberi individu disiplin-disiplin yang mereka butuhkan untuk mengendalikan nafsu yang mengancam mereka. Dan pendidikan bisa mengembangkan suatu rasa pengabdian terhadap masyarakat dan sistem moralnya di dalam diri para murid. Dia percaya, bahwa sekolah secara praktis adalah satu-satunya institusi yang akan memberikan landasan sosial bagi moralitas modern (Ritzer & Goodman, 2009: 115).

Bagi Durkheim, ruang kelas merupakan masyarakat kecil. Di sana ada sebuah kesadaran kolektif yang akan menciptakan kekuatan yang cukup untuk menanamkan sikap moral. Hal ini memungkinkan pendidikan untuk hadir dan


(28)

memproduksi semua elemen moralitas. Pertama, pendidikan akan memberikan individu disiplin-disiplin yang mereka butuhkan untuk mengendalikan nafsu yang mengancam mereka. Kedua, pendidikan bisa mengembangkan suatu rasa pengabdian terhadap masyarakat dan sistem moralnya di dalam para murid (Ritzer & Goodman, 2009: 115).

Dengan teori-teori pendidikannya, Durkheim (1858-1017) memandang pendidikan sebagai suatu “social thing”. Dia mengatakan, bahwa masyarakat secara keseluruhan beserta masing-masing lingkungan sosial di dalamnya, merupakan sumber penentu cita-cita yang dilaksanakan lembaga pendidikan. Suatu masyarakat bisa bertahan hidup, hanya jika terdapat suatu tingkat homogenitas yang memadai warganya. Keseragaman esensial yang dituntut dalam kehidupan bersama tersebut, oleh upaya pendidikan diperkekal dan diperkuat penanamannya sejak dini pada anak-anak. Tetapi dibalik itu, suatu kerja sama apa pun tentu tidak mungkin tanpa adanya keanekaragaman, yaitu upaya pendidikan dijamin dengan jalan pengadaan pendidikan yang beraneka ragam jenjang dan spesialisasi (Idi, 2011: 10-11).

Bertolak dari pandangannya tentang pendidikan sebagai “social thing", akhirnya Emile Durkheim berpendapat bahwa, pendidikan bukanlah hanya satu bentuk, dalam artian ideal dan aktual, tetapi bermacam-macam. Masyarakat secara keseluruhan beserta masing-masing lingkungan khususnya, akan menentukan tipe-tipe yang diselenggarakan (Idi, 2011: 11).

Berdasarkan dari beberapa definisi-definisi pendidikan di atas, sebenarnya memiliki kesamaan pandangan bahwa pendidikan itu adalah sebuah proses yang


(29)

melibatkan orang dewasa dan peserta didik dalam rangka pelestarian nilai-nilai budaya dan norma yang berkembang di masyarakat.

2. Tujuan Pendidikan

Pada hakikatnya, pendidikan itu bertujuan untuk merubah kelakuan anak didik menjadi lebih baik. Pendidikan bertalian dengan transmisi pengetahuan, sikap, kepercayaan keterampilan, dan aspek-aspek kelakuan lainnya kepada generasi muda. Pendidikan adalah proses mengajar dan belajar pola-pola kelakuan manusia menurut apa yang diharapkan oleh masyarakat (Nasution, 1995: 10).

Tujuan pandidikan merupakan faktor utama yang harus diperhatikan dan dijadikan sasaran oleh setiap pendidik yang melaksanakan kegiatan pendidikan. Mengingat, apa yang telah dijelaskan pada bab pendahuluan bahwa pendidikan itu menjadi tujuan dari negara Indonesia yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (Nandika, 2007: 3).

Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 1989, pada Bab II, Pasal 4, tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang


(30)

mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan bangsa (Sabri, 2005: 45).

Menurut Langeveld, tujuan pendidikan adalah terbentuknya kehidupan sebagai insan kamil, suatu kehidupan di mana ketiga hakikat manusia baik sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk susila atau religius dapat terwujud secara harmonis (Sabri, 2005: 43).

Dari beberapa tujuan pendidikan di atas, terdapat kesamaan yaitu untuk mencerdaskan bangsa dan menjadi manusia yang utuh dengan menunjukkan akhlak yang baik, memiliki pengetahuan dan keterampilan, serta bertanggung jawab terhadap masyarakat.

Saat ini, terlihat pendidikan dan penanaman nilai-nilai hanya pada persoalan knowledge saja, tetapi persoalan bagaimana pengetahuan tentang nilai tersebut dapat diimplementasikan dalam cara berfikir, merasa, dan bertindak seseorang. Dalam kaitannya dengan itu, ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menanamkan nilai-nilai pengetahuan (Muzakkar, 2007: 24-25), yaitu :

a. Learning by doing and exposure

Jenis belajar dengan cara ini dapat dilakukan dengan kuliah lapangan. Melalui kegiatan ini, para peserta didik diajak langsung ke lapangan dengan tujuan untuk mengamati, dan mendengar apa yang sesungguhnya terjadi. Kemudian mereka membuat refleksi tentang nilai-nilai apa yang dapat mereka pelajari melalui exposure tersebut.


(31)

b. Learning by experiencing

Peserta didik dilibatkan dalam berbagai kegiatan, baik lomba-lomba, kegiatan sosial, dan kegiatan kerohanian. Bagaimana peserta didik dapat memahami dan menghayati arti toleransi antar umat beragama bila mereka pernah berinteraksi, mengalami, dan merasakan perjumpaan dengan orang yang berbeda agama dan keyakinan.

c. Learning by exploring and appreciating

Melalui media film dan karya seni lainnya, para peserta didik dapat melihat nila-nilai apa yang dapat dipelajari dan reaksi apa yang muncul pada saat mereka melihat situasi yang ditayangkan di dalam film tersebut. Pada saat melihat adegan kekerasan terhadap orang tidak bersalah misalnya, apakah diri mereka muncul kemarahan moral atau bersikap indefferent. Rasa kemanusiaan dapat diasah melalui analisis film atau karya seni lainnya.

d. Learning by living in

Peserta didik diajak untuk tinggal beberapa lama di suatu daerah atau lingkungan untuk mengamati, mengalami, dan berinteraksi dengan penduduk setempat. Dari situ, mereka dapat mempelajari nilai-nilai yang berlaku, apakah ada sesuatu yang menggetarkan kesadaran dan nuraninya saat tinggal dan berinteraksi dengan dunia luar.

e. Problem solving method

Sebagaimana yang dikembangkan Jonh Dewey, peserta didik dilatih untuk menyadari bahwa ada persoalan, lalu mengidentifikasi dan memahami persoalan


(32)

tersebut, menganalisanya dengan tujuan untuk menggali akar penyebabnya, membuat hipotesis atau jalan keluar yang ditawarkan dan mengujinya ketingkat praksis, apakah jalan keluar yang diantisipasi sungguh-sungguh menyelesaikan persoalan yang dihadapi atau tidak. Melalui metode pemecahan masalah, para peserta didik dipicu kreasi dan imajinasinya untuk menemukan jalan keluar dari persoaalan yang dihadapinya.

f. Case study method

Melalui metode studi kasus, peserta didik dilatih melihat persoalan-persoaalan hidup dari berbagai sudut pandang. Melalui metode ini, peserta didik diajak untuk bekerja sama dan berintrakasi dalam upaya mencari pemecahan atas berbagai persoalan yang dihadapi. Sehingga peserta didik tidak hanya mengetahui dan memahami berbagai teori, tapi juga mahir dalam menggunakan teori dan prinsip-prinsip ke dalam praksis hidup yang kongkrit.

F.Kerangka Teoritis 1. Pendidikan Demokratis

Pendidikan merupakan suatu berkah dari Maha Pencipta terhadap ciptaan-nya. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang ditakdirkan untuk memperoleh pendidikan. Perolehan pendidikan bukanlah merupakan ikatan terhadap manusia itu justru untuk pembebasan manusia dari hakikatnya sebagai makhluk yang bebas dan berakal budi. Sebagai makhluk alamiah yang dilahirkan di dalam lingkungan alamiahnya manusia diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri posisinya di dalam dalam lingkungan alamiahnya itu. Di sinilah terletak kebebasan dan


(33)

keterikatan manusia dalam proses pengembangan kemanusiaannya. Realisasinya kemanusiaan makhluk manusia merupakan suatu proses pembebasan. Itulah makna pendidikan bagi manusia (Tilar, 2005: 110).

Hakikat pendidikan itu sendiri adalah proses memanusiakan anak manusia yaitu manyadari akan manusia yang merdeka. Manusia yang merdeka adalah manusia yang kreatif yang terwujud di dalam budayanya. Manusia dibesarkan di dalam budayanya, serta menciptakan atau merekstruksikan budayanya itu sendiri (Tilar, 2005: 112). Artinya, setiap manusia wajib mendapatkan pendidikan, karena dengan pendidikan manusia bebas dan merdeka.

Menurut James A. Beane dan Michael W. Apple, sekolah demokrasi tiada lain adalah mengimplementasikan pola-pola demokratis dalam pengelolaan sekolah, yang secara umum mencakup dua aspek yakni struktur organisasi dan prosedur kerja dalam struktur tersebut, serta merancang kurikulum yang bisa mengantarkan anak-anak didik memiliki berbagai pengalaman tentang praktik-praktik demokrasi. Dengan kata lain, sekolah demokrasi adalah sekolah yang dikelola dengan struktur yang memungkinkan praktik-praktik demokratis itu terlaksana, seperti pelibatan masyarakat (stakeholder dan user sekolah) dalam membahas program-program sekolah, dan prosedur pengambilan keputusan juga memperhatikan berbagai aspirasi publik, serta dapat dipertanggungjawabkan implementasinya kepada publik. Demikian pula dengan pola pembinaan siswa, bahwa pendidikan itu untuk semuanya, guru harus mampu memberikan perhatian yang sama pada semua siswa, tanpa membedakan antara yang sudah pintar dengan belum pintar, tidak membedakan antara yang rajin dan yang belum rajin,


(34)

semuanya memperoleh perlakuan sama, walaupun bentuknya mungkin berbeda. Mereka yang belum pintar diberi waktu untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuannya di saat liburan umum, sehingga kompetensinya meningkat. Pola-pola pembinaan seperti ini, telah memberikan pengalaman-pengalaman praktik demokrasi bagi anak-anak, yakni perhatian yang seimbang terhadap semua siswa, tanpa membedakan antara mayoritas dengan minoritas dalam sekolah (Rosyada, 2004: 17-18).

Lebih lanjut, James A. Beane dan Michael W. Apple juga menjelaskan berbagai kondisi yang sangat perlu dikembangkan dalam upaya membangun sekolah demokratis (Rosyada, 2004: 16), yaitu :

1. Keterbukaan seluruh ide dan gagasan, sehingga semua orang bisa menerima informasi seoptimal mungkin.

2. Meberikan kepercayaan kepada individu-individu dan kelompok dengan kapasitas yang mereka miliki untuk menyelesaikan berbagai persoalan sekolah.

3. Menyampaikan kritik sebagai hasil analisis dalam proses penyampaian evaluasi terhadap ide-ide, problem-problem dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan sekolah.

4. Memperlihatkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain dan terhadap persoalan-persoalan publik.

5. Ada kepedulian terhadap harga diri, hak-hak individu dan hak-hak minoritas.


(35)

6. Pemahaman bahwa demokrasi yang dikembangkan belumlah mencerminkan demokrasi yang diidealkan, sehingga demokrasi harus terus dikembangkan dan bisa membimbing keseluruhan hidup manusia.

7. Terdapat sebuah institusi yang dapat terus menerus mempromosikan dan mengmbangkan cara-cara hidup demokratis.

Jadi, inti dari teori James A. Baene dan Michael W. Apple di atas, bahwa sekolah demokratis itu akan terwujud jika semua informasi penting dapat dijangkau semua stakeholder sekolah, sehingga semua unsur tersebut memahami arah pengembangan sekolah, berbagai problem yang dihadapinya, serta langkah-langkah yang sedang akan ditempuh.

Demokrasi pendidikan pada dasarnya dapat dilihat dalam dua sudut pandang. pertama, demokrasi secara horizontal, bahwa setiap anak harus mendapat kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan di sekolah. Di Indonesia ha ini jelas sekali tercermin pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1 “setiap warga negara mendapat pengajaran”. Kedua, demokrasi secara vertical, bahwa setiap anak mendapatkan kesempatan yang sama untuk mencapai tingkat pendidikan sekolah setinggi-tingginya, sesuai dengan kemampuannya (Freire & Mangunwijaya, 2004: 93).

Sekolah demokratis juga harus diimbangi dengan perhatian yang kuat terhadap hak-hak asasi manusia. Oleh sebab itu, persoalan kesejahteraan para guru, serta semua yang terkait dengan pengelolaan sekolah harus menjadi perhatian serius, dan manajemen harus dilakukan secara terbuka, khususnya dalam aspek-aspek yang termasuk wilayah publik harus sekolah secara transparan,


(36)

sehingga semua ikut terlibat dalam menentukan dan memutuskannya. Dan bagian yang amat sensitif serta selalu menjadi persoalan universal, adalah hak-hak minoritas dalam komunitas sekolah yang harus diperhatikan sama, tidak boleh ada diskriminasi atas dasar perbedaan ras, agama atau warna kulit (Rosyada, 2004: 17).

Selanjutnya, keunggulan dari model sekolah demokratis, ini sebagaimana dikemukakan oleh Dwight W. Allen ketika menjelaskan sekolah untuk abad mendatang, dalam kerangka penguatan model sekolah demokratis (Rosyada, 2004: 20), antara lain adalah :

1. Akuntabilitas; yakni bahwa kebijakan-kebijakan sekolah dalam semua aspeknya dapat dipertanggungjawabkan pada publik, yang meliputi pengangkatan guru sesuai dengan kategori kebutuhan dan keahlian, yang kemudian teruji loyalitasnya terhadap proses pendidikan dan pengajaran di sekolah.

2. Pelaksanaan tugas guru senantiasa berorientasi pada siswa, guru akan memberikan pelayanan pada siswa secara invidual. Berbagai kesulitan siswa akan manjadi perhatian guru, dan dengan senang hati guru akan terus membantu sehingga siswa dapat menyelesaikan berbagai kesulitan. 3. Keterlibatan masyarakat dalam sekolah; yakni dalam sekolah demokratis,

sistem pendidikan merupakan refleksi dari keinginan masyarakat, masyarakat akan berpartisipasi dalam pendidikan, akan mempunyai rasa memiliki terhadap sekolah, dan akan responsif dengan berbagai persoalan sekolah. Dengan demikian, para guru bekerja juga akan merasa tenang


(37)

karena senantiasa bersama-sama dengan masyarakat, keputusan pimpinan sekolah juga akan manjadi keputusan bulat, karena disepakati bersama oleh masyarakat, dan sekolah akan selalu terkontrol oleh mekanisme yang diatur dalam sistem penyelenggaraan sekolah tersebut.

Selanjutnya, dalam proses mengajar seorang guru itu harus memenuhi dua kategori yaitu memiliki capability dan loyality. Artinya seorang guru itu harus memiliki kemampuan dalam bidang ilmu yang diajarkannya, memiliki kemampuan teoritik tentang mengajar yang baik, dari mulai perencanaan, implementasi sampai evaluasi, dan memiliki loyalitas keguruan. Gilbert H. Hunt dalam bukunya effective teaching menyatakan bahwa guru yang baik harus memenuhi tujuh kriteria (Rosyada, 2004: 113-114), yaitu :

1. Sifat, guru yang baik harus memiliki sifat-sifat antusias, stimulatif, mendorong siswa untuk maju, hangat, toleran, sopan, dan bijaksana, bisa dipercaya, demokratis, penuh harapan bagi siswa, mampu mengatasi stereotipe siswa, bertanggung jawab terhadap kegiatan belajar siswa. 2. Pengetahuan, guru yang baik juga mampu memiliki pengetahuan yang

memadai dalam mata pelajaran yang diampunya, dan terus mengikuti kemajuan dalam bidang ilmunya.

3. Apa yang disampaikan, guru yang baik juga mampu memberikan jaminan bahwa materi yang disampaikannya mencakup semua unit bahasa yang diharapkan siswa secara maksimal.

4. Bagaimana mengajar, guru yang baik mampu menjelaskan berbagai informasi secara jelas, dan terang, memberikan layanan yang variatif,


(38)

menciptakan dan memelihara momentum, mendorong siswa untuk berpartisipasi.

5. Harapan, guru yang baik mampu memberikan harapan pada siswa, mampu membuat siswa akuntibel, dan mendorong partisipasi orang tua dalam mamajukan kemampuan akademik siswanya.

6. Reaksi guru terhadap siswa, guru yang baik bisa menerima berbagai masukan, resiko, dan tantangan, selalu memberikan dukungan pada siswa. 7. Management, guru yang baik juga harus mampu menunjukkan keahlian

dalam perencanaan, memiliki kemampuan mengorganisasi kelas sejak hari pertama dia bertugas, cepet memulai kelas, melewati masa transisi dengan baik.

Menurut John Dewey, bahwa kualitas proses pembelajaran yang meningkat, secara otomatis akan meningkatkan pula kualitas hasil belajar siswa. Belajar dapat diartikan sebagai sebuah proses yang dengannya organisme memperoleh bentuk-bentuk perubahan perilaku yang cenderung terus mempengaruhi model perilaku umum menuju pada sebuah peningkatan. Perubahan perilaku tersebut terdiri dari berbagai proses modifikasi menuju bentuk permanen, dan terjadi dalam aspek perbuatan, berpikir, sikap, dan perasaan (Rosyada, 2004: 98).

2. Pendidikan Hadap Masalah (problem posing)

Pendidikan hadap masalah pada dasarnya merupakan salah satu alternatif bagi pendidikan gaya bank. Kerena dalam pendidikan gaya bank semuanya


(39)

diredusir sebagai usaha untuk menjinakkan manusia. Dalam pendidikan hadap masalah ini manusia diberikan ruang bebas dalam menikmati pendidikan.

Menurut Paulo Freire dan Mangunwijaya, pendidikan hadap masalah merupakan pendidikan yang memberikan kebebasan penuh kepada masyarakat atau siswa untuk merefleksikan masalah, seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau melakukan emansipasi memalui metode pendidikan. Pendidikan hadap masalah merupakan pendidikan kritis diaologis yang menempatkan manusia sebagai subjek bagi dirinya sendiri (Freire & Mangunwijaya, 2004: 117).

Selanjutnya, Jonh Dewey juga menekankan bahwa siswa-siswi harus dilatih untuk berfikir rekleftif, yakni mencoba melatih mereka untuk mengaplikasikan teori pada kasus dan situasi yang baru (Rosyada, 2004, 42).

Pola hadap masalah yang dibangun oleh Mangunwijaya adalah mengikutsertakan masyarakat serta siswa-siswi untuk tahu terhadap masalah dan berusaha memecahkan masalah. Emansipasi dalam pendidikan menurut Mangunwijaya penting, dan merupakan kunci utama bagi pemecahan masalah, terutama sekali dalam mengmbalikan cita-cita masyarakat yang selama ini merasa dibodohi, ditindas, dan dieksploitasi agar bisa bangkit untuk membangun masa depan yang baru (Freire & Mangunwijaya, 2004: 121).

Adapun metode dalam pendidikan hadap masalah adalah tidak membuat dikotomi kegiatan guru dan murid. Guru selalu menyerap baik ketika dia mempersiapkan bahan pelajaran maupun tidak ketika dia berdialog dengan para murid. Dia tidak akan menganggap obyek-obyek yang dapat dipahami sebagai


(40)

pemilik pribadi, tetapi sebagai obyek refleksi para murid serta dirinya sendiri. Dengan cara ini, pendidik hadap masalah secara terus-menerus memperbarui refleksinya di dalam refleksi para murid. Murid yang bukan lagi pendengar dan penurut telah menjadi rekan pengkaji yang kritis melalui dialog dengan guru. Guru mengkaji plajaran kepada murid sebagai bahan pemikiran mereka, dan menguji kembali pemikirannya yang terdahulu ketika murid menemukan hasil pemikiran sendiri (Freire, 2008: 65).

Adapun pembinaan anak jalanan yang dilakukan oleh Yayasan Bina Anak Pertiwi disini merupakan usaha untuk mengubah kehidupan anak jalanan menjadi lebih baik. Pembinaan yang diberikan oleh lembaga ini salah salah satunya adalah dengan melalui program pendidikan dan bimbingan-bimbingan. Karena tidak sedikit dari mereka yang masih membutuhkan bimbingan-bimbingan tersebut. Seperti, dengan melihat banyak dari mereka yang perilakunya masih tidak baik.

G. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Yaitu pendekatan yang bertujuan untuk mendapatkan data-data yang faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dari fenomena yang diteliti. Penelitian kualitatif (Qualitative research) adalah penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau dengan cara lain dari kuantitatif (pengukuran). Penelitian ini dapat menunjukkan pada penelitian tentang kehidupan masyarakat, sejarah,


(41)

tingkah laku, juga tentang fungsionalisasi organisasi, pergerakan-pergerakan sosial atau hubungan kekerabatan (Strauss & Corbin, 2007: 11).

Bogdan dan Taylor, mendefinisikan pendekatan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Moleong, 2005: 4). Indikasi dari model penelitian ini yang membedakannya dengan penelitian jenis lainnya, antara lain: (1) adanya latar alamiah; (2) manusia sebagai alat atau instrumen; (3) metode kualitatif; (4) analisis data secara induktif; (5) teori dari dasar (grounded theory); (6) deskriptif; (7) lebih mementingkan proses daripada hasil; (8) adanya batas yang ditentukan oleh fokus; (9) adanya kriteria khusus untuk keabsahan data; (10) desain yang bersifat sementara; (11) hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama (Moleong, 2005: 8-13).

Adapun penentuan informan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik purposive sampling (sampel purposif), yaitu penentuan yang ditetapkan secara sengaja oleh peneliti dengan didasarkan atas kriteria atau pertimbangan tertentu (Salam & Arifin, 2006: 54-55). Jumlah informan dalam penelitian ini dapat dilihat dari tabel berikut ini :

Tabel 2.

Daftar Nama Informan Penelitian di Yayasan Bina Anak Peritiwi

No Nama

Informan Status Umur

Jenis

Kelamin Wawancara Kategori 1 Abdus Saleh Pimpinan Yayasan 33 L 28-04-2013 Pendatang 2 Ari M Rifki Pendamping/guru 23 L 16-04-2013 Asli 3 Ali Santoso Pendamping/guru 24 L 17-04-2013 Asli


(42)

4 Ibu Teti Warga 42 P 27-09-2013 Asli

5 Moh. Nasir RT/Warga 26 L 27-09-2013 Asli

6 Dede Saputra Children on the street 18 L 6-04-2013 Asli 7 Riski Saputra Children of the street 18 L 8-04-2013 Asli 8 Faisal Saputra Children of the street 18 L 8-04-2013 Asli 9 Gifli Children of the street 18 L 12-04-2013 Pendatang 10 Riski Apriani Children of the street 15 P 16-04-2013 Asli 11 Maria Gureti Vulnerable to be street children 17 P 16-04-2013 Asli 12 Indri Vulnerable to be street children 15 P 16-04-2013 Asli 13 Dia Nurlela Vulnerable to be street children 13 P 17-04-2013 Asli 14 Maryam Vulnerable to be street children 16 P 20-04-2013 Asli 15 Dewi Apriani Vulnerable to be street children 15 P 20-04-2013 Asli

Sumber : Hasil Observasi

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa informan dalam penelitian ini yaitu terdiri dari 15 informan. Yang berasal dari 3 orang pengurus yayasan terdiri dari ketua dan 2 pendamping (guru) Yayasan Bina Anak Pertiwi. 2 masyarakat sekitar, dan 10 orang anak jalanan yang terdiri dari 4 laki-laki dan 6 perempuan dengan usia berkisar 13-18 tahun. Anak jalanan yang menjadi informan dalam penelitian ini lebih dominan tergolong kategori Vulnerable to be street children. Artinya kebanyakan dari anak jalanan yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah mereka yang tinggal dengan orang tua atau keluarganya, tetapi bekerja di jalanan. Informan dalam penelitian ini kebanyakan orang asli Jakarta ketimbanag dari luar (pendatang). Dan pengambilan jumlah informan tersebut dengan alasan mereka yang mengikuti program pembinaan dan terlibat langsung di Yayasan Bina Anak Pertiwi.


(43)

2. Metode Pengumpulan Data a. Wawancara

Wawancara ialah usaha untuk mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara lisan pula. Lexy J. Moeleng mendefinisikan wawancara sebagai percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) dan yang diwawancarai (interviewee) (Moleong, 2005: 135).

Dalam penelitian ini, wawancara di lakukan untuk menggali informasi tentang pola pembinaan anak jalanan di Yayasan Bina Anak Pertiwi. Mendalami informasi tentang bentuk-bentuk pembinaan dan bagaimana kontribusinya terhadap perilaku anak jalanan. Wawancara ini dilakukan dengan dilengkapi rekaman supaya dapat mengetahui informasi secara mendalam dari informan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Wawancara juga dibantu dengan sebuah interview quide (panduan wawancara), yaitu panduan wawancara yang didalamya berisi beberapa pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini.

b. Observasi

Observasi ialah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti. Observasi ini dilakukan langung ke Yayasan Bina Anak Pertiwi untuk mengamati situasi dan kondisi serta mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Seperti, dengan mengikuti kegiatan-kegiatan anak jalanan di yayasan. Kemudian, peneliti mencatat dan mengambil


(44)

foto-foto kegiatan yang dilakukan anak jalanan di yayasan, fasilitas yang diberikan, dan lain sebagainya.

c. Sumber dan jenis Data

Menurut Lofland (1984: 47) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain (Basrowi & Suwardi, 2008: 169).Sumber data adalah subyek dimana data dapat diperoleh, subyek dalam penelitian ini berjumlah dua pihak, diantaranya: pimpinan atau pengurus Yayasan Bina Anak Pertiwi dan anak jalanan seprti yang sudah dijelaskan di atas. Alasan peneliti memilih mereka sebagai subyek untuk memudahkan peniliti mendapatkan data dan informasi yang diperlukan.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini, terdiri dari dua sumber yaitu data primer dan sekunder. Data primer (sumber data utama) adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya (subyek penelitian), diamati dan dicatat, yang untuk pertama kalinya dilakukan melalui observasi (pengamatan) dan wawancara. Sedangkan data sekunder adalah pendukung atau pelengkap, seperti buku, majalah ilmiah, arsip, dokumentasi pribadi dan resmi dan sebagainya (Moleong, 2002: 56), yang berkaitan dengan masalah pembinaan moral di Yayasan Bina Anak Pertiwi.

3. Analisa Data Penelitian

Dalam penelitian ini, data dianalisis dengan menggunakan tiga tahap yaitu: Pertama, Reduksi Data (data reduction), mereduksi data berarti merangkum,


(45)

memilih hal-hal pokok, dan memfokuskan pada hal-hal penting, terhadap data yang terkait dengan objek penelitian. Kedua, Penyajian Data (display data), dengan mendisplay data, maka akan memudahkan untuk memahami objek penelitian berdasarkan apa yang telah dipahami. Ketiga, Penarikan Kesimpulan (Conclusion drawing/verification) dengan menyimpulkan terhadap data tentang objek penelitian, dan mengaitkan dengan kerangka teori.

4. Lokasi dan Waktu Penelitian

Adapun lokasi penelitian ini yaitu di Yayasan Bina Anak Pertiwi yang berada di Jalan Bacang No. 46, Kelurahan Jati Padang, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pemilihan tempat ini didasarkan oleh dua pertimbangan. Pertama, Pasar Minggu merupakan kantung anak jalanan yang merupakan lokasi pengedaran narkoba terbesar setelah Tanah Abang. Kedua, lokasi Yayasan Bina Anak Pertiwi sangat strategis sehingga mudah dijangkau oleh anak jalanan. Pemilihan lokasi ini diharapkan dapat merangkul banyak anak jalanan. Adapun waktu pelaksanaan penelitian ini yaitu mulai dari tanggal 01 April 2013 - 30 Mei 2013.

H. Sistematika Penulisan

Laporan hasil penelitian ini akan dituangkan dalam bentuk karya tulis skripsi dengan sistematika penulisan seperti dibawah ini :

Bab I : Pendahuluan. Dalam bab ini berisi pernyataan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan


(46)

pustaka, definisi konsep, kerangka teoritis, metedologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Gambaran umum Yayasan Bina Anak Pertiwi yang menjelaskan sejarah berdirinya, visi, misi, dan tujuan, profil anak jalanan. Bab III : Temuan hasil penelitian. Dalam bab ini berisi pola pembinaan

anak jalanan di Yayasan Bina Anak Pertiwi, bentuk-bentuk pembinaan di Yayasan Bina Anak Pertiwi, dan kontribusi pembinaan terhadap perilaku anak jalanan.


(47)

BAB II

PROFIL YAYASAN BINA ANAK PERTIWI

Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, berada di Jalan Bacang No. 46, Kelurahan Jati Padang, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pemilihan tempat ini didasarkan oleh dua pertimbangan; pertama, Pasar Minggu merupakan kantung anak jalanan yang merupakan lokasi pengedaran narkoba terbesar setelah Tanah Abang. Kedua, yaitu lokasi rumah singgah sangat strategis, sehingga mudah dijangkau oleh anak jalanan. Pemilihan lokasi ini diharapkan dapat merangkul banyak anak jalanan (Wawancara dengan Pengurus Yayasan Bina Anak Pertiwi, pada tanggal 20 Desember 2012).

Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak RT setempat pada tanggal 20 Maret 2013, bahwa Kelurahan Jati Padang adalah salah satu bagian wilayah Kecamatan Pasar Minggu yang mempunyai luas 249,77 Ha. Kelurahan ini terbagi atas 10 Rukum Warga (RW) dan 10 Rukun Tetangga (RT) dengan batas wilayah sebagai berikut:

1. Utara : Jalan Pejaten Raya, berbatasan dengan Kelurahan Pejaten Barat.

2. Timur : Jalan Salihara dan Jalan Holtikultura, berbatasan dengan Kelurahan Pasar Minggu.

3. Selatan: Jalan Ring Rood TB Simatupang, berbatasan dengan Kelurahan Kebagusan.


(48)

4. Barat : Jalan Margasatwa dan Jalan Buncit Raya, berbatasan dengan Kelurahan Ragunan.

Selanjutnya, dari hasil pengamatan penulis pada tanggal 20 Maret 2013 bahwa terdapat banyak tempat umum di Jati Padang dan daerah sekitarnya yang menjadi tempat perkumpulan anak jalanan, seperti: perempatan jalan dan pasar. Persimpangan jalan yang sering terdapat anak jalanan adalah pertigaan jalan, antara Jalan Raya Ragunan dan Jalan Warung Jati Barat. Perempatan jalan antara Jalan Warung Jati Barat, Jalan Pejaten Barat, dan Jalan Pejaten Raya yang biasa disebut “Repul”, merupakan tempat mengamen dan nongkrong anak jalanan. Tidak jauh dari Repul, terdapat sebuah jembatan di mana di kolong jembatan tersebut dimanfaatkan oleh banyak anak jalanan untuk tempat tinggal. Tempat umum lain di sekitar daerah Jati Padang yang menjadi kantung jalanan adalah Pasar Minggu. Banyak anak jalanan yang tinggal dan bekerja di pasar tersebut.

A. Sejarah Berdirinya

Berdasarkan Company profile Yayasan Bina Anak Pertiwi, bahwa pada awal mula terjadinya krisis politik serta kebangkrutan ekonomi yang melanda Indonesia, ada sekelompok aktivis mahasiswa yang tergabung dalam sebuah kelompok kajian sosial akademis yang cukup intens bernama Forum Studi Dialektika (FOSTUDIA), merasa gelisah dan sekaligus prihatin dengan nasib bangsanya sendiri, terutama fenomena meningkatnya jumlah anak-anak putus sekolah dan anak jalanan/terlantar. Mereka sudah bosan dengan berbagai aksi


(49)

demonstrasi yang selalu mengusung jargon “reformasi’, yang dinilainya kurang lagi menyuarakan kepentingan lapisan masyarakat bawah.

Forum tersebut beranggotakan mahasiswa-mahasiswa lintas perguruan tinggi, yang terdiri dari mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta, Pendidikan Guru Taman Kanak-Kanak (PGTK) Darul Qalam, dan Bina Sarana Informatika (BSI). Forum ini sepakat untuk menampilkan sebuah “reformasi gaya baru”, yang bersentuhan dengan sendi-sendi kehidupan masyarakat secara langsung. Karena itu, dirumuskanlah sebuah agenda aksi sosial dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang sekiranya dapat dilakukan. Maka, kelompok masyarakat anak jalanan menjadi prioritas utama, mengingat kelompok masyarakat ini tergolong rawan sosial dan masalahnya kompleks sekali.

Aksi sosial yang dilakukan adalah berupa kepedulian terhadap nasib pendidikan, kesehatan, kesejahteraan anak jalanan/terlantar yang kemudian diwujudkan dalam bentuk pendidikan luar sekolah paket A setara SD, dan pelayanan kesehatan masyarakat. Kegiatan pembelajaran tersebut awalnya dilaksanakan di Masjid Pasar Kebayoran Lama, tepatnya bulan Juni 1997, dengan warga belajar umumnya anak jalanan dan anak pemulung berjumlah 73 anak. Saat itu, proses kegiatan pembelajaran bernaung di bawah sebuah Yayasan Sosial.

Namun, kegiatan kurang berjalan mulus karena ada kekurang-sepahaman antara kelompok mahasiswa yang mengusung idealisme dengan pihak yayasan yang berujung pada hengkangnya kelompok mahasiswa dari kegiatan tersebut. Akhirnya, kegiatan belajar mengajar menjadi bubar.


(50)

Sekelompok mahasiswa tersebut tidak patah arang dan ingin tetap berbagi dengan sesama. Tepatnya awal bulan Juni 1998, pasca reformasi bergulir, dengan tekad yang bulat dan dibarengi oleh kejenuhan berdemonstrasi, mereka kembali turun gelanggang melakukan aksi sosial di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, yang kemudian berubah nama menjadi “Pusat Pembinaan dan Pemberdayaan Anak Jalanan (P3A)”. Nama ini lebih spesifik dan mencerminkan sebuah wadah pembinaan terhadap anak jalanan.

Awalnya, kegiatan ini hanyalah kegiatan kemahasiswaan biasa. Namun dalam perjalanananya, kegiatan tersebut mendapatkan dukungan luas dari berbagai kalangan, baik pemerintah maupun masyarakat. Dari pihak pemerintah, dukungan datang secara langsung dari Dirjen Dikluspora Depdiknas RI, waktu itu, Bapak Prof. Dr. Sudijarto. Bahkan Dharma Wanita Dikluspora dan Depdiknas RI adalah salah satu donatur kegiatan tersebut. Kemudian kegiatan pembelajaran tersebut diresmikan langsung oleh Ibu Soerono (Kasi Dikmenti DKI Jakarta) pada bulan Juni 1998, bertempat di Masjid Al-Aww abin, Polsek Pasar Minggu. Dari kelompok masyarakat, kegiatan tersebut mendapatkan dukungan dari berbagai kelompok pengajian serta perorangan, bahkan ada dari kalangan pengusaha. Seperti Pengajian Jenggala Cipete Selatan, Yayasan RAHMA (yang menyediakan nasi murah/cepek), Pengajian Keluarga Sakinah, dan lain-lain.

Mengingat kegiatan sosial tersebut haruslah berkesinambungan dan mesti ada pertanggungjawaban secara yuridis, muncul desakan dari kalangan masyara kat agar wadahnya berbadan hukum. Karena itu kelompok mahasiswa tersebut mulai berpikir keras serta melakukan pendekatan dengan tokoh-tokoh nasional


(51)

untuk mendukung kelangsungan serta keberhasilan proses belajar mengajar tersebut.

Maka, muncullah beberapa nama tokoh nasional seperti Hj. Anniswati M. Kamaluddin (Ketua Presidium Majlis Nasional KAHMI), DR. Hj. Marwah Daud Ibrahim (anggota DPR RI), Prof. DR. Ir. H. Fachrudin (Mantan Rektor Universitas Hasanuddin Ujung Pandang yang juga anggota DPR RI), H. Houtman Z. Arifin (seorang Bankir dan Mantan Vice President Citibank), Hj. Yufimar Ali, SH (keluarga pengusaha dan anggota Dewan Pakar ICMI KORWIL DKI Jakarta). Di samping mereka terlibat sebagai anggota badan pendiri, sekaligus juga sebagai dewan pembina lembaga, yang kemudian dibakukan dengan akte notaris No. 2, tanggal 3 November 1998 dengan nama Yayasan Bina Anak Pertiwi, Pusat

Pembinaan dan Rumah Belajar Anak Jalanan/Terlantar.

Yayasan Bina Anak Pertiwi, sebagai Pusat Pembinaan dan Rumah Belajar Anak Jalanan/Terlantar, dalam menjalankan aktivitasnya selalu bersama-sama masyarakat. Adanya pengakuan masyarakat serta rasa memiliki yang sangat tinggi terhadap lembaga, merupakan modal utama keberhasilan dan kelangsungan program. Menciptakan rasa saling ketergantungan antara masyarakat dengan lembaga, demikian juga sebaliknya adalah merupakan suatu hal yang niscaya.

Untuk itu, diperlukan sinergisitas antara kepentingan lembaga dengan kebutuhan masyarakat. Pihak lembaga harus mengidentifikasi jenis-jenis kebutuhan, potensi yang dimiliki, serta menginventarisasi berbagai aspirasi yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian, apa yang diprogramkan oleh


(52)

lembaga merupakan cerminan dari suatu kebutuhan murni serta harapan segmen-segmen masyarakat tertentu yang akan diberdayakannya.

Untuk itulah, Yayasan Bina Anak Pertiwi, dengan motto, ”bersama untuk

bangsa”, telah melaksanakan berbagai program riil di masyarakat, seperti, Bimbingan Agama dan Etika Bermasyarakat, Pendidikan dan Pelatihan Keterampilan Kerja, Pengembangan Seni Budaya (Minat dan Bakat), Pelayanan Kesehatan dan Kesejahteraan, Pengembangan Usaha Mandiri, serta Penempatan Kerja.

B.Visi, Misi, dan Tujuan

Adapun Visi, misi, dan tujuan Yayasan Bina Anak Pertiwi adalah sebagai berikut (Company profile Yayasan Bina Anak Pertiwi, dibuat pada tanggal 08 September 2007) :

Visi Yayasan Bina Anak Pertiwi adalah meningkatkan taraf hidup serta kesejahteraan sosial masyarakat fakir miskin, terutama anak yatim, anak jalanan/terlantar serta anak kurang mampu menjadi anak bangsa yang konstruktif dan bermartabat sejalan dengan potensi yang dimilikinya untuk mewujudkan masa depan bangsa yang lebih berkualitas.

Misi Yayasan Bina Anak Pertiwi, yaitu (1) menumbuhkan rasa percaya diri yang tinggi, (2) menciptakan peluang kerja baru dengan mengembangkan pelatihan kerja, (3) menggali serta memberdayakan potensi yang dimilikinya agar menjadi manusia yang mandiri dan produktif, dan (4) mengembangkan peran serta masyarakat dan pihak-pihak terkait untuk turut serta mengentaskan dan


(1)

Udah gak, klo dulu ngamin, ngernit, ngamin, ngernit, sekarang mah metap jadi sopir ja bang. Klo sikap udah bisa berubah bang, dulu brutal sekarang bisa menghormati orang bang.

Nama : Riska Apriani Asal : Jakarta Tinggal : Jaka karsa Usia : 15 tahun Pendidikan : SD

Tanggal : 16 April 2013

1. Sudah berapa lama kamu menjadi anak jalanan ?

Ya paling 1 tahun lah, dijalanan biasanya ngamen tapi sekarang sudah narik kopaja jadi kernit dari wisma tani sampe mampang. Klo pendapatan perhari ya tergantung peling lah Rp. 50.000 ke atas

2. Apa yang menyebabkan kamu menjadi anak jalanan ? Gak ada, hanya kemauan sendiri ja

3. Bagaimana hubungan kamu dengan keluarga ?

Sekarang udah gak ngikut keluarga kak, kalau hubungan masih ada tapi udah gak pernah pulang ke rumah sekarang

4. Siapa yang membawa kamu tinggal/ masuk di Yayasan Bina Anak Pertiwi ?

Kak Lia, waktu itu saya lagi ngamen di wisma tani terus diajak ke yayasan, teman sih yang ngajak, diajak kesini akhirnya, ya akhirnya masuk kesini kemudian langsung didata sama kak Lia

5. Kenapa kamu mau tinggal/ masuk di Yayasan Bina Anak Pertiwi ? Kurang tahu ya, ya paling ada 1 tahun kurang gitu

6. Berapa lama kamu tinggal/ masuk dan mengikuti pendidikan di yayasan ? Ya sekitar 1 tahunan lah

7. Kegiatan apa saja yang kamu dapatkan di Yayasan Bina Anak Pertiwi ?

Gak pernah mengikuti kegiatan sih, ya paling klo ada acara doank seperti belajar. Ya belajar bersama sama orang-orang sini.

8. Apakah kamu diajarkan untuk berperilaku baik di Yayasan Bina Anak Pertiwi ? seperti apa ?

Ya, seperti disuruh sopan sama orang tua, nurut sama orang tua, banyak sih pokoknya. Klo yang ngajari itu biasa kak Ari

9. Apakah kamu juga diajarkan tentang ilmu agama di yayasan ? seperti apa saja? Wah gak klo itu kak, saya gak pernah ikut

10.Apa manfaat yang kamu rasakan setelah ikut program pembinaan di yayasan ?

Manfaatnya sih banyak, setelah dapat pembinaan disini saya jadi lebih baik terutama dari sikap, dulu saya orangnya gak enak banget tapi sekarang udah lebih baik kok 11.Apakah sekarang masih beraktifitas menjadi anak jalanan seperti sebelumya ?

kenapa?

Udah gak, klo sebelumnya masih sering kejalanan gak pulang, sekarang udah di rumah terus. Klo sikap jauh lebih baik kak udah bisa sopan sama orang tua


(2)

Nama : Maria Gureti Asal : Jakarta Tinggal : Cijantung Usia : 17 tahun Pendidikan : SMP

Tanggal : 16 April 2013

1. Sudah berapa lama kamu menjadi anak jalanan ?

Baru 2 tahun, ya pekerjaan dijalanan ngamen ja sama anak-anak di daerah pejaten. Klo pendapatan perhari klo lagi rame ada Rp 50.000, klo sepi ya paling Rp 20.000 ja 2. Apa yang menyebabkan kamu menjadi anak jalanan ?

Ini apa ya, karena pengin bebas ja, juga kan orang tua saya jauh, ya kurang dapat perhatian ja dari orang tua

3. Bagaimana hubungan kamu dengan keluarga ?

Klo sama keluarga masih baik-baik ja kok, komunikasi masih baik, tapi klo ketemu jarang-jarang sih, tapi masih baik kak

4. Siapa yang membawa kamu tinggal/ masuk di Yayasan Bina Anak Pertiwi ?

Kak Lia, ya waktu itu kak Lia datang, kan dulu saya nongkrong di wisma tani kemudian di data langsung dan disuruh bergabung di yayasan biar mendapat bimbingan sih gtu katanya, ya udah saya mau

5. Kenapa kamu mau tinggal/ masuk di Yayasan Bina Anak Pertiwi ?

Ya karena enak ja sih di yayasan ini, enaknya ya karena banyak temannya dan juga kakak-kakaknya baik-baik, juga bisa ngelanjutin sekolah lagi disini

6. Berapa lama kamu tinggal/ masuk dan mengikuti pendidikan di yayasan ? Kurang lebih satu tahun

7. Kegiatan apa saja yang kamu dapatkan di Yayasan Bina Anak Pertiwi ?

Apa ya, banyak sih, dulu pas waktu masih ada kak Fifah, klo kak fifah lagi masak buat anak sering bantuin, bantuin masak juga dan cuci piring juga sama anak-anak

8. Apakah kamu diajarkan untuk berperilaku baik di Yayasan Bina Anak Pertiwi ? seperti apa ?

Ya di ajarkan, sepreti di suruh pulang klo dulu kan jarang pulang dan beberapa bulan gak pulang-pulang, ya disuruh pulang temui keluarga gitu sih sama kakak-kakak sini

9. Apakah kamu juga diajarkan tentang ilmu agama di yayasan ? seperti apa saja?

Klo disini kan mayoritasnya islan kan, klo agama saya kan katolik jarang sih, paling agama islam ja tapi saya denger-dengerin juga yang

10.Apa manfaat yang kamu rasakan setelah ikut program pembinaan di yayasan ?

Ya klo dulu kan di rumah sering males-malesan terus gak bantuin keluarga, nenek sendirian di rumah gitu ya, pas disini kan sering bantuin masak dan segala macem ya, di rumah ya dilakukan juga sekarang

11.Apakah sekarang masih beraktifitas menjadi anak jalanan seperti sebelumya ? kenapa?

Udah gak, sekarang udah tinggal di rumah. Klo dari segi prilaku ada sih perubahannya, sekarang lebih nurut ja sama orang tua.


(3)

Nama : Indri Asal : Jakarta

Tinggal : Mangga Besar, Jakarta Usia : 15 tahun

Pendidikan : SMA

Tanggal : 16 April 2013

1. Sudah berapa lama kamu menjadi anak jalanan ?

1 tahun kurang sih, kegiatan dijalanan ya ngamin sih gak ada lagi, ya ngamin pulang, ngamin pulang doang. Ngaminnya biasa muter-muter dari mampang – mabes gitu. Klo pendapatan gak tentu gimana sewanya klo sewanya bagus ya dapat gocap lebih, klo sewanya jelek ya dapet Rp 20.000 – 30.000

2. Apa yang menyebabkan kamu menjadi anak jalanan ?

Yang pasti faktor utama keluarga, yaitu problem mama papa. Ibu jarang di rumah jarang memberi perhatian sama anak-anaknya. Juga karena ekonomi keluar sih 3. Bagaimana hubungan kamu dengan keluarga ?

Klo sama bapak ya gitu dah kadang akur, kadang gak. Klo sama ibu baik-baik ja. Tapi komunikasi sama bapak masih lah ya walaupun agak renggang gitu. Klo pulang ya tiap hari pulang lah kak

4. Siapa yang membawa kamu tinggal/ masuk di Yayasan Bina Anak Pertiwi ?

Teman, kenal sih sama bocah-bocah disini dibawa terus didaftarin juga disini, dan sekarang jadi anak sini

5. Kenapa kamu mau tinggal/ masuk di Yayasan Bina Anak Pertiwi ?

Ya karena disini banyak teman kali’ ya, banyak pengalaman juga yang didapat disini, kayak pendidikan dan pembinaan gitu dari kakak-kakak disini

6. Berapa lama kamu tinggal/ masuk dan mengikuti pendidikan di yayasan ? Udah berapa ya, udah lama juga sih, ya kurang lebih 1 tahunan dech kurang 7. Kegiatan apa saja yang kamu dapatkan di Yayasan Bina Anak Pertiwi ?

Banyak, kan disini ada tu kayak pembinaan rehabilitasi perokok tu, ya itu dapat juga pelajaran dari kayak itu. Pendidikan juga, kayak yang selalu diajarkan disini untuk mendiri gitu, ya belajar mandiri lah

8. Apakah kamu diajarkan untuk berperilaku baik di Yayasan Bina Anak Pertiwi ? seperti apa ?

Iya lah, pasti lah itu mah, seperti disuruh sholat dan disuruh berpakaian sopan lah terus ngomong yang baik gitu, ya itu lah.

9. Apakah kamu juga diajarkan tentang ilmu agama di yayasan ? seperti apa saja?

Pasti lah diajarkan ilmu agama itu nomor satu, ya seperti ngaji, sholat, baca Qur’an, biasanya yang ngajarin Pembina-pembinanya, dan alhamdulillah sekarang sudah bisa melakukannya tapi jarang-jarang, sibuk saya ….hahaha

10.Apa manfaat yang kamu rasakan setelah ikut program pembinaan di yayasan ?

Ya banya, salah satunya lebih baik ja. Dulu kan saya jarang baget pulang tu satu minggu, dua minggu gak pulang, setelah dapat pembinaan disini saya pulang tiap hari, ya karena disuruh pulang sama Pembina disini.

11.Apakah sekarang masih beraktifitas menjadi anak jalanan seperti sebelumya ? kenapa?

Masih, cuma jarang ja sekarang udah gak kayak dulu lagi. Klo sikap ada perubahan tapi tidak sepenuhnya berubah cuma sedikit-sedikit ja, ya kayak dari segi berpakaian ja lah gitu.


(4)

Nama : Dia Nurlela Asal : Jakarta Tinggal : Jaka karsa Usia : 13 tahun Pendidikan : SD

Tanggal : 17 April 2013

1. Sudah berapa lama kamu menjadi anak jalanan ?

Ya baru 2 bulan doang, ya ngamin ja di daerah cilandak atau di wisma tani. Klo pendapatan perhari kecilnya ya Rp 20.000, klo besarnya ada Rp 50.000 lebih

2. Apa yang menyebabkan kamu menjadi anak jalanan ?

Iseng ja karena pertama kali melihat ada yang ngamen tu terus diajak-ajak, ya ikut-ikutan ja sampe sekarang

3. Bagaimana hubungan kamu dengan keluarga ?

Ya akrab, baik-baik ja. Klo orang tua gak mau saya ngamen dijalanan tapi itu kemauan saya sendir

4. Siapa yang membawa kamu tinggal/ masuk di Yayasan Bina Anak Pertiwi ?

Teman, waktu itu yang ngajak namanya Wati. Petama-tamanya sih ada kakak-kakak datang terus didaftarin gitu dikasih tahu.

5. Kenapa kamu mau tinggal/ masuk di Yayasan Bina Anak Pertiwi ?

Ya mau aja, pertama dinisi banyak teman, juga kakak-kakaknya baik-baik selalu mengajarkan kita semua disini yang baik-baik gitu

6. Berapa lama kamu tinggal/ masuk dan mengikuti pendidikan di yayasan ? Ya 2 bulan itu

7. Kegiatan apa saja yang kamu dapatkan di Yayasan Bina Anak Pertiwi ?

Apa ya, paling jalan-jalan, kadang-kadang juga dapat buku buat sekolah, gitu aja 8. Apakah kamu diajarkan untuk berperilaku baik di Yayasan Bina Anak Pertiwi ?

seperti apa ?

Ya, seperti diajarkan sopan santun dalam menghadapi kakak-kakak disini, disuruh menghormati orang yang lebih tua, udah gitu ja. Yang sering mengjarkan itu ya Kak Abdus.

9. Apakah kamu juga diajarkan tentang ilmu agama di yayasan ? seperti apa saja?

Gak, lum pernah, yak arena saya gak tinggal disini. Klo yang tinggal dinisi diajarin kayak ngaji gitu.

10.Apa manfaat yang kamu rasakan setelah ikut program pembinaan di yayasan ?

Ya banyak pengalaman ja, kayak bisa ngumpul-ngumpul bareng dan jalan-jalan bareng sama anak-anak sini, gitu aja

11.Apakah sekarang masih beraktifitas menjadi anak jalanan seperti sebelumya ? kenapa?


(5)

Nama : Maryam Asal : Jakarta Tinggal : Jakarta Usia : 16 tahun Pendidikan : SMA

Tanggal : 20 April 2013

1. Sudah berapa lama kamu menjadi anak jalanan ?

Udah lama sekitar 1 setengah tahun lah, ya kegiatannya dijalanan ngamin ja. Ngaminnya di daerah mampang sana. Klo pendapatan gak tentu sih ya paling dari Rp 15.000 – 35.000

2. Apa yang menyebabkan kamu menjadi anak jalanan ?

Karena ekonomi keluarga kak, saya cuma ingin membantu ekonomi keluarga ja di rumah.

3. Bagaimana hubungan kamu dengan keluarga ?

Klo sama keluarga masih baik-baik ja kok, komunikasi masih baik, masih ketemu tiap hari kok

4. Siapa yang membawa kamu tinggal/ masuk di Yayasan Bina Anak Pertiwi ?

Namanya kak Lia, pas saya lagi ngamen datang kak Lia kemudian diajak ke yayasan, dan di data sama yayasan.

5. Kenapa kamu mau tinggal/ masuk di Yayasan Bina Anak Pertiwi ?

Ya karena disini banyak temannya, banyak pengalaman juga yang didapat disini, kayak pendidikan dan pembinaan gitu

6. Berapa lama kamu tinggal/ masuk dan mengikuti pendidikan di yayasan ? 1 tahunan lah kayaknya

7. Kegiatan apa saja yang kamu dapatkan di Yayasan Bina Anak Pertiwi ?

Banyak kak, kayak pendidikan, pelatihan dan belajar bersama disini, banyak lah pokoknya

8. Apakah kamu diajarkan untuk berperilaku baik di Yayasan Bina Anak Pertiwi ? seperti apa ?

Pasti lah kak, kayak disuruh sholat dan disuruh berpakaian sopan lah terus ngomong yang baik dan sopan kepada orang yang lebih tua gitu

9. Apakah kamu juga diajarkan tentang ilmu agama di yayasan ? seperti apa saja?

Ya, kayak belajar ngaji, sholat, sama kakak-kakaknya disini, seperti yang sering ngajarin tu kak Ari

10.Apa manfaat yang kamu rasakan setelah ikut program pembinaan di yayasan ?

Apa ya ? ya manfaatnya sih banyak, seperti dari sikap kali’ ya, yang dulunya saya orangnya gitu banget tapi sekarang udah lebih mendingan lah

11.Apakah sekarang masih beraktifitas menjadi anak jalanan seperti sebelumya ? kenapa?

Klo ngamen masih kak, tapi Klo dari sikap ada perubahan walaupun cuma sedikit-sedikit


(6)

Nama : Dewi Apriani Asal : Jakarta Tinggal : Jakarta Usia : 15 tahun Pendidikan : SMP

Tanggal : 20 April 2013

1. Sudah berapa lama kamu menjadi anak jalanan ?

Kurang lebih 1 tahun, aktiviatasnya ya ngamin aja di disekitar jakarta. Klo pendapatan tergantung, ya Rp. 20.000 – 35.000

2. Apa yang menyebabkan kamu menjadi anak jalanan ? Kemauan sendiri kak, sering diajakin teman juga sih 3. Bagaimana hubungan kamu dengan keluarga ?

Baik, komunikasi masih dan sering ketemu

4. Siapa yang membawa kamu tinggal/ masuk di Yayasan Bina Anak Pertiwi ? Kak alay, dia ngajak saya ke yayasan dan di data

5. Kenapa kamu mau tinggal/ masuk di Yayasan Bina Anak Pertiwi ?

Mau aja kak, munkin dinisi banyak temannya, kakak-kakaknya baik-baik selalu mengajarkan kita semua disini yang baik-baik gitu

6. Berapa lama kamu tinggal/ masuk dan mengikuti pendidikan di yayasan ? Baru 5 tahunan

7. Kegiatan apa saja yang kamu dapatkan di Yayasan Bina Anak Pertiwi ?

Paling pendidikan doang kayak program paket disini, ya kayak pelatihan juga, dulu ada tu pelatihan bikin sandal, ya itu ja

8. Apakah kamu diajarkan untuk berperilaku baik di Yayasan Bina Anak Pertiwi ? seperti apa ?

Ya, kita selalu diajarin prilaku baik sama kakak-kakak disini, seperti harus sopan. Ya harus sopan kepada ketua-ketuanya disini kepada teman-teman sekitar, terhadap tetangga-tetangga sini juga

9. Apakah kamu juga diajarkan tentang ilmu agama di yayasan ? seperti apa saja? Ya, di ajarin, seperti belajar ngaji dan sholat.

10.Apa manfaat yang kamu rasakan setelah ikut program pembinaan di yayasan ?

Banyak lah kak yang bisa saya dapat dari sini, ya contohnya saya sudah bisa ngaji dan sholat dikit-dikit, udah ada perubahan dari prilaku saya gitu

11.Apakah sekarang masih beraktifitas menjadi anak jalanan seperti sebelumya ? kenapa?

Masih, masih tetap ngamin. Tapi klo dari segi sikap ada perubahan lah, dulu saya sering membatah orang tua tapi sekarang udah gak lagi kak