Peran Yayasan Bina Anak Pertiwi dalam pengentasan kemiskinan : studi kasus pada anak jalanan di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan

(1)

PERAN YAYASAN BINA ANAK PERTIWI DALAM

PENGENTASAN KEMISKINAN

(Studi Kasus pada Anak Jalanan di Daerah Pasar Minggu,

Jakarta Selatan)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Sosiologi Agama (S.Sos)

Disusun Oleh: Husnul Khotimah Nim. 104032201023

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

PERAN YAYASAN BINA ANAK PERTIWI DALAM

PENGENTASAN KEMISKINAN

(Studi Kasus pada Anak Lalanan di Daerah Pasar

Minggu, Jakarta Selatan)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Sosiologi Agama (S.Sos)

Disusun Oleh:

Husnul Khotimah Nim. 104032201023

Di Bawah Bimbingan

Dra. Joharotul Jamilah, M.Si. Nip. 150282401

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

ABSTRAKSI Husnul Khotimah

Peran Yayasan Bina Anak Pertiwi dalam Pengentasan Kemiskinan Anak Jalanan (Studi Kasus pada Anak Jalanan di Daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan)

Masalah kemiskinan anak jalanan merupakan masalah yang multidimensional. Dewasa ini masalah yang dihadapi cukup mengkhawatirkan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Secara kuantitas akibat dari krisis ekonomi yang melanda negeri ini membuat terjadinya peningkatan pada jumlah anak-anak jalanan. Sedangkan kualitas tentu saja perilaku mereka yang cukup memprihatinkan. Sebagai tunas-tunas bangsa, maka sudah seharusnya hal-hal negatif yang ada pada diri anak-anak jalanan perlu segera ditangani.

Dalam penanganan masalah anak jalanan dibutuhkan kerja sama berbagai pihak, profesi dan disiplin ilmu agar menghasilkan pola penanganan yang mampu menangani masalah anak jalanan secara komprehensif. Salah satunya dengan mendirikan lembaga-lembaga di luar pemerintah seperti LSM, dan yayasan-yayasan rumah singgah.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang program-program dalam pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh Yayasan Bina Anak Pertiwi sebagai salah satu lembaga yang menjadi ‘kepanjangan tangan’ pemerintah. Program-program tersebut bertujuan untuk menghantarkan mereka pada masa depan yang lebih baik khususnya mereka mampu mengatasi kemiskinan mereka yang selama ini telah membelenggu mereka dan keluarganya.

Dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengumpulkan data baik berupa kata-kata maupun dari tulisan-tulisan dari orang-orang yang diamati guna mendapatkan data-data yang diperlukan yang kemudian dijabarkan secara deskriptif.

Melalui wawancara, observasi dan dokumentasi, selama ini mereka masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat luas. Banyak hal mengapa anak memilih jalanan, karena usia mereka yang relatif muda tanpa memiliki kreativitas apa-apa, akhirnya mereka memilih jalanan untuk menyambung hidupnya karena tekanan kemiskinannya. Maka dengan program-program yang diajarkan Yayasan Bina Anak Pertiwi, dapat membantu mereka menjalankan kehidupan normal dan menggapai masa depan yang lebih cerah.

Program-program tersebut berupa pelatihan keterampilan, kesenian, pertanian dan yang lebih penting lagi adalah pendidikan berupa sekolah kejar paket. Kegiatan program-program tersebut paling tidak bertujuan untuk mengalihkan profesi anak jalanan ke non jalanan. Dan itu sangat berdampak positif.


(4)

KATA PENGANTAR

Tengadah jemari ke hadirat Ilahi Robbi, terucap untaian kata nan suci yang penuh makna dari lubuk hati yang paling dalam “Alhamdulillah”, sebagai ungkapan rasa syukur yang ikhlas sebagai wujud penghambaan diri kepada Dzat yang maha agung tempat mengembalikan segala urusan, Allah SWT. Karena atas rahmat, hidayah, dan inayah-Nya penulis dapat merampungkan penulisan skripsi ini.

Shalawat serta salam semoga tetap terlimpah curahkan kepada Rasulullah saw, penghulu para nabi, suri tauladan bagi umatnya yang membawa ajaran islam sebagai rahmatan lil alamin.

Penulis menyadari sepenuh hati bahwa penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan baik dari segala materi, pembahasan maupun tata bahasa. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan penulis yang masih perlu mengisi diri dengan ilmu pengetahuan. Untuk itu, kritikan dan saran yang bertujuan dan membangun sungguh merupakan masukan bagi penulis demi kesempurnaan skripsi ini.

Skripsi ini adalah buah dari ketulusan dan keikhlasan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Bapak DR. M. Amin Nurdin, MA selaku dekan fakultas Ushuluddin dan Filsafat

2. Ibu Dra. Ida Rasyidah, MA selaku Ketua Jurusan Sosiologi Agama.


(5)

3. Ibu Dra. Joharotul Jamilah, M.Si, selaku Sekretaris Jurusan sekaligus sebagai pembimbing skripsi penulis yang telah membimbing, meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk penulis.

Orang tuaku tercinta ( H. Hamdani(alm) dan Hj. Marhanih) yang selalu ada dihati penulis, yang selalu memberikan kasih sayang tanpa batas, yang selalu berharap dalam setiap do’a yang dipanjatkan, yang selalu terjaga dalam setiap langkah kemana kaki ini berjalan, yang selalu tersenyum penuh cinta dalam setiap canda tawa.

Para dosen pengajar fakultas Ushuluddin dan Filsafat khususnya jurusan Sosiologi Agama yang membuat wawasan penulis lebih terbuka lagi.

Staff perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Umum, perpustakaan Iman Jama, dan Perpumda yang telah memberikan pelayanan dengan baik selama penulis menyelesaikan skripsi.

Kakak-kakakku tersayang yang selalu memotivasi dan memberikan fasilitas kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. Keponakan-keponakanku yang nakal yang selalu mengganggu penulis ketika mengetik.

Specially for “abang Q A. Hafiz” yang telah mengisi dan memberikan warna dalam kehidupan penulis, yang tak pernah berhenti memberikan semangat dalam penulisan skripsi ini, terima kasih untuk kesabaran, pengertian dan waktu yang diluangkan.


(6)

4. Pengurus Yayasan Bina Anak Pertiwi khususnya kak Zayyadi, kak Ali, Ardi, beserta anak-anak penghuni lainnya yang telah membantu penulis dan memberikan data-data yang terkait dengan penulisan ini.

Teman-teman SA angkatan 2004, yang tidak bisa disebutkan satu persatu, tapi kalian semua adalah the best friend khususnya Nia, Zumi, Umi, Uti dan Ita teman curhat penulis, tempat berbagi kesedihan dan keceriaan. Terima kasih atas masukan-masukan dan do’a yang diberikan. Sampai kapanpun kita harus selalu saling mendo’akan.

Teman-teman alumni Seblak angkatan 2004, Uun, Ika, Zah, Bad, dan lainnya. Jangan pernah putuskan tali silaturahmi kita.

Ciputat, Januari 2009

Husnul Khotimah


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ……… i

KATA PENGANTAR ………. ii

DAFTAR ISI ……… v

DAFTAR TABEL ………. vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Tinjauan Pustaka ... 10

E. Metodologi Penelitian ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II KAJIAN TEORI A.Pengertian Peranan dalam Perspektif Sosiologis ... 16

B.Kemiskinan ... 21

1. Pengertian Kemiskinan ... 21

2. Ukuran dan Kriteria Kemiskinan ……… 28

3. Sebab dan Proses Terjadinya Kemiskinan ……….. 32

C.Anak Jalanan ... 36

1. Pengertian Anak Jalanan ... 36

2. Potret Anak Jalanan di Jakarta 41 D.Teori Manajemen Organisasi ... 46


(8)

BAB III GAMBARAN UMUM YAYASAN BINA ANAK PERTIWI A. Sejarah Berdirinya ... 49 B. Visi, Misi, dan Tujuan ……….. 56 C. Profil Anak Jalanan ……….. 57

BAB IV PEMBINAAN DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN ANAK JALANAN PASAR MINGGU JAKARTA SELATAN

A. Partisipasi Anak Jalanan di Lingkungan Yayasan ... 62 B. Strategi Pengentasan Kemiskinan ... 65 C. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Pelaksaan Program ... 79

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 83

B. Saran-Saran ………. 83

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemiskinan merupakan masalah sosial yang senantiasa hadir di tengah-tengah masyarakat, khususnya di Negara-negara berkembang. Kemiskinan senantiasa menarik perhatian berbagai kalangan, baik para akademisi maupun para praktisi. Berbagai teori, konsep dan pendekatan pun terus menerus dikembangkan untuk menyibak tirai dan misteri kemiskinan ini. Oleh karena itu, kemiskinan merupakan masalah rumit yang harus terus dikaji dalam mencari jalan keluarnya.

Di Indonesia, masalah kemiskinan merupakan masalah sosial yang senantiasa relevan untuk dikaji terus menerus. Ini bukan saja karena masalah kemiskinan telah ada sejak lama dan masih hadir di tengah-tengah kita saat ini, melainkan pula karena gejalanya meningkat sejalan dengan krisis multidimensional yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia.

Setelah dalam kurun waktu 1976-1996 tingkat kemiskinan menurun secara spektakuler dari 40,1 persen menjadi 11,3 persen, jumlah orang miskin meningkat kembali dengan tajam, terutama selama krisis ekonomi. Studi yang dilakukan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin pada periode 1996-1998, meningkat dengan tajam dari 22,5 juta jiwa (11,3%) menjadi 49,5 juta jiwa (24,2%) atau bertambah sebanyak 27,0 juta jiwa (BPS,1999). Sementara itu, International Labour Organization (ILO) memperkirakan jumlah


(10)

orang miskin di Indonesia pada akhir tahun mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3% dari seluruh jumlah penduduk (BPS, 1999).1

Meningkatnya jumlah penduduk miskin terutama di daerah perkotaan yang ditandai dengan fenomena anak jalanan, yang tiap tahun makin bertambah jumlahnya. Pada tahun 2002 berdasarkan data Dinas Bina Mental dan Kesejahteraan Sosial pemprov DKI Jakarta, jumlah anak jalanan mencapai 8.158 jiwa, terdiri atas 1.795 anak di Jakarta Barat, 1.883 anak di Jakarta Pusat, 1.532 di Jakarta Selatan, 2.296 di Jakarta Timur, dan 652 di Jakarta Utara.2

Sementara itu pada tahun 2004, jumlah anak jalanan di Indonesia berdasarkan data yang dikumpulkan oleh BPS (Badan Pusat Statistik), tercatat 154.861 anak. Padahal sebelum krisis berdasarkan beberapa sumber (LSM dan Depkesos) diperkirakan jumlahnya hanya berkisar sebanyak kurang lebih 50.000 orang.3

Permasalahan sosial ekonomi tersebut saling berpengaruh yang tidak hanya menjadi kesulitan bagi orang–orang dewasa, tetapi juga berdampak pada anak-anak mereka dengan ikut menanggung penderitaan untuk sekedar mencari makan.

Pendidikan dan perlindungan anak merupakan tanggung jawab orang tua, namun karena kemiskinan mereka, maka mereka tidak lagi sanggup memenuhi fungsi sosialnya dengan baik dalam mendidik, melindungi dan mengembangkan

1 Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat (Bandung: PT Refika Aditama, 2005), h. 136.

2Pada Hari Ini Mari Dengar Suara Anak Jalanan,” artikel ini diakses tanggal 12 januari 2009 dari http://www.kompas.com/kompas_cetak/0307/23/utama.

3 Sander Diki Zulkarnaen. “Pemberdayaan Keluarga Sebagai Basis Utama Dalam

Pembinaan Anak Jalanan,” artikel ini diakses tanggal 12 januari 2009 dari


(11)

anak-anak mereka.4 Sehingga mereka tidak bisa melanjutkan sekolah misalnya. Banyak sekali di jalanan Ibu Kota kita jumpai anak-anak yang bekerja dengan cara mengamen atau menjadi pemulung, bahkan mereka harus hidup di jalanan. Padahal untuk usia anak-anak, tidaklah ada yang paling penting selain pendidikan untuk masa depan mereka agar mampu hidup di tengah tantangan perkembangan zaman. Pendidikan mereka terlantar demi memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Orang tua mereka tentu saja tidak mampu untuk membiayai pendidikan mereka. Padahal dengan bekal pendidikan yang baik diharapkan anak tersebut dapat memperbaiki taraf hidupnya sehingga tidak terus menerus hidup dalam kemiskinan.

Anak merupakan generasi penerus bangsa yang akan mewujudkan cita-cita bangsa. Oleh karena itu, anak perlu mendapatkan perlindungan, seperti tercantum dalam UU RI No.4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan Anak Bab II, pasal 2 bahwa: “Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarga maupun di dalam asuhan khusus

untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.” 5

Masa kanak-kanak merupakan salah satu masa terpenting dalam kehidupan manusia, Keberadaannya adalah tumpuan bagi masa selanjutnya. Pada masa ini terletak pokok pertumbuhan kepintaran anak, bertunasnya pembawaan-pembawaan, kecenderungan minat bakatnya, perkembangan pengetahuannya, penampakan akar-akar kemampuannya, pemilahan kecenderungannya yang baik

4Kusmana,ed., Bunga Rampai Islam dan Kesejahteraan Sosial (Jakarta: IAIN Indonesia Social Equity Project, 2006), h. 122.


(12)

maupun yang buruk. Pada masa ini juga terletak cikal bakal sosok kepribadian anak dalam proses pencapaian selanjutnya.6

Keberadaan anak jalanan sering dianggap mengganggu keamanan dan ketertiban serta meresahkan masyarakat. Penilaian seperti ini ada benarnya, karena secara rasional dapat dimengerti bahwa anak yang hidup di jalanan cenderung hidupnya tidak teratur dan karena kerasnya kehidupan mereka, maka anak tersebut lebih mudah untuk berbuat sesuatu yang mengganggu ketertiban dan keamanan. Misalkan berkelahi, mencuri, dan sebagainya. Sehingga dengan seringnya melakukan tindakan tersebut, maka stigma negatif untuk anak jalanan sulit dilepaskan. Kendati begitupun, ini tidak berarti bahwa semua anak jalanan melakukan perbuatan yang meresahkan masyarakat.

Setidaknya ada tiga kategori resiko dari keterpaksaan yang dialami oleh anak-anak jalanan, yaitu penderitaan mental, penderitaan kesehatan fisik dan terganggunya masa depan pendidikan mereka.7 Tidak jarang kita jumpai anak jalanan harus terlibat dalam berbagai pekerjaan yang beresiko tinggi dan berbahaya. Situasi yang rentan dan rawan terhadap berbagai tindakan kejahatan. Tentu saja hal ini berdampak negatif terhadap sikap moral dan mental mereka. Selain itu juga dari segi kesehatan dan keselamatan mereka rawan terhadap kecelakaan yang dapat mengakibatkan kecacatan fisik bahkan tidak sedikit yang mengalami kematian. Keprihatinan lainnya tentu saja dalam hal kelangsungan pendidikan mereka.

6 Hasan Baryagis. Wahai Ummi Selamatkan Anakmu (Jakarta: Penerbit Arina, 2005), h. 5.

7 Pungki Purnomo, Nasib Pekerja Anak dan Kepedulian Kita dalam jurnal Islam dan Lingkungan Hidup (Jakarta: PSKLH IAIN, 2001), h.39.


(13)

Banyak latar belakang yang menyebabkan anak turun ke jalan, Tetapi kemiskinan bukanlah satu-satunya yang menyebabkan anak-anak hidup dan mencari nafkah di jalan.8 Menurut Heru Prasadja, anak jalanan dilihat dari sebab dan intensitas mereka berada di jalanan memang tidak dapat disamaratakan. Dilihat dari sebab, sangat dimungkinkan tidak semua anak jalanan berada di jalan karena tekanan ekonomi, boleh jadi karena pergaulan, pelarian, tekanan orang tua, atau atas dasar pilihannya sendiri.9

Untuk mengatasi masalah kemiskinan dan anak-anak kurang mampu, pemerintah sudah berusaha mencari solusinya dengan berbagai program. Namun upaya-upaya yang dilakukan pemerintah masih belum seluruhnya dapat mengurangi kemiskinan dan meningkatkan sumber daya manusia yang lebih baik bagi masyarakat kurang mampu. Akibat dari ketidakmampuan ekonomi orang tua, anak-anak tidak dapat melanjutkan pendidikan. Ironisnya anak yang seharusnya dinafkahi oleh orang tuanya, ia terpaksa mencari nafkah dengan cara mengamen, memulung, atau berjualan di jalanan dan sebagainya. Dengan demikian tujuan nasional yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia belum berhasil dengan baik.10 Ketidakmampuan ekonomi merupakan masalah yang bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja akan tetapi juga merupakan tanggung jawab bersama termasuk masyarakat sebagai komponen bangsa.

Allah dan Rasulullah memerintahkan agar manusia memperdulikan nasib

8 Irwanto, Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus di Indonesia ( Jakarta: PKPM Unika Atma Jaya, 1999), h.112.

9 Heru Prasadja dan Murni Ati Agustian, Anak Jalanan dan Kekerasan (Jakarta: PKPM Unika Atma Jaya, 2000), h.1.

10Ary H. Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999), cet. Ke-2, h.121.


(14)

mereka yang kebanyakan tergolong dhuafa dan terlantar. Dengan melaksanakan aktivitas penyantunan sosial dalam masyarakat. Dalam Islam ditegaskan bahwa anak yang kurang mampu karena orang tuanya miskin, atau yatim piatu, merupakan kewajiban umat Islam untuk membantunya, bila tidak mau membantu, mereka dicap sebagai pendusta agama, sebagaimana dalam surat al-Ma’un ayat 1-7 yang artinya: “(1) tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? (2) itulah orang yang menghardik anak yatim, (3) dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, (4) maka celakalah bagi orang yang sholat, (5) yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, (6) orang-orang-orang-orang yang berbuat riya, (7) dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”

Dalam keadaan kehidupan mereka yang miskin, wajarlah jika anak jalanan memerlukan perhatian dan kasih sayang orang lain yang peduli dengan nasib mereka. Perhatian dan kasih sayang yang mereka perlukan tidak sebatas pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Untuk itulah anak-anak jalanan membutuhkan kepedulian, yaitu orang-orang yang mengikhlaskan dan mengorbankan diri termasuk harta untuk membantu penderitaan mereka.

Bebagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi keberadaan anak jalanan ini. Namun masalah ini tidak hanya dapat diatasi sendiri oleh satu pihak. Perlu kerja sama berbagai pihak yang melibatkan kalangan profesional dari berbagai disiplin ilmu di dalamnya agar menghasilkan pola penanganan yang komprehensif.

Menghadapi masalah anak jalanan, telah banyak berdiri lembaga-lembaga sosial dan pemerintah untuk membantu persoalan yang dihadapi anak jalanan


(15)

tersebut. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pemerhati anak telah lebih dahulu menyuarakan hak-hak mereka sebagai seorang anak. Strategi dan cara atau pendekatan yang ditempuh oleh masing-masing LSM dalam mengatasi masalah anak jalanan berbeda-beda.

Namun secara garis besar, kegiatan-kegiatan yang umumnya dilakukan oleh para aktivitas LSM itu sendiri berkisar pada bimbingan sosial, pendidikan jalanan, ekonomi jalanan, bimbingan keluarga dan kegiatan agama. Selain LSM lembaga yang banyak berdiri adalah rumah singgah.

Keberadaan rumah singgah sedikit banyak telah membantu mengurangi masalah anak jalanan. Para anak jalanan dididik menjadi anak yang lebih disiplin, serta dibekali dengan ketrampilan-ketrampilan untuk masa depan mereka, agar mereka mampu mengatasi kemiskinan yang mereka alami.

Oleh karena itu, berdasarkan pesan-pesan yang dibawa dalam al-Qur’an tersebut, maka penulis di sini ingin melakukan penelitian terhadap Yayasan Bina Anak Pertiwi yang sudah lama berkecimpung dalam membina anak-anak jalanan. Ada beberapa alasan mengapa penulis ingin mengangkat tentang fenomena anak jalanan.

Pertama, karena fenomena kemiskinan dan anak jalanan merupakan masalah yang rumit untuk dipecahkan dan senantiasa menjadi fenomena yang aktual dalam membicarakannya.

Kedua, penulis belum melihat maksimalnya pemerintah dalam menangani permasalahan yang terjadi di masyarakat khususnya anak-anak jalanan, karena pada kenyataannya anak jalanan sampai saat ini masih sangat mudah dijumpai.


(16)

Ketiga, penulis ingin mengetahui program-program pembinaan yang digunakan sebuah yayasan yang konsen menangani masalah anak-anak jalanan dengan mengembangkan potensi diri mereka secara optimal melalui kreativitas atau wirausaha dan lainnya.

Selain itu yang lebih penting lagi adalah masalah bimbingan yang dapat mengembangkan potensi kecerdasan spiritual terhadap nilai-nilai akidah dan ibadah sehingga anak-anak jalanan itu dapat mengenal dirinya dan mengenal Tuhannya dengan baik.

Karena anak-anak merupakan generasi masa depan yang menjadi harapan bangsa, maka sebagai aset yang berharga dan mahal, anak-anak harus dipelihara dan dijaga dengan sebaik-baiknya. Oleh sebab itu, segala urusan dan permasalahan yang terkait dengan mereka harus senantiasa diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Karena ditangan generasi muda itulah, perjalanan bangsa, masyarakat, Negara, dan peradaban umat manusia ditentukan. Demikian pula dengan maju dan mundurnya masyarakat, serta keterpurukan yang dialami oleh sebuah bangsa, ditangan generasi mudalah, pembangunan peradaban dilakukan. Dari pemikiran di atas, maka penulis tertarik untuk memilih judul “Peran Yayasan Bina Anak Pertiwi dalam Pengentasan Kemiskinan (Studi Kasus pada Anak Jalanan di Daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan).”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk mempermudah dalam pelaksanaan penelitian, penulis membatasi masalah yang diteliti pada beberapa hal yaitu Penelitian ini diartikan sebagai


(17)

upaya yang dilakukan oleh Yayasan Bina Anak Pertiwi melalui peranannya dalam pengentasan kemiskinan anak jalanan melalui program yang ada di yayasan seperti pendidikan, pelatihan pemberdayaan, dan pelatihan keagamaan. Selain itu subjek penelitian dibatasi pada anak-anak jalanan di bawah asuhan Yayasan Bina Anak Pertiwi yang berkisar pada usia remaja antara 14-17 tahun.

Kemudian untuk memperjelas permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini, maka perlu dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut: “bagaimana upaya yang dilakukan oleh Yayasan Bina Anak Pertiwi dalam mengentaskan kemiskinan anak-anak jalanan?”

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan yang telah penulis rumuskan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui program apa saja yang dilakukan Yayasan Bina Anak Pertiwi melalui peranannya dalam mengentaskan kemiskinan anak jalanan.

Sedangkan manfaat penelitian adalah: 1. Manfaat bagi penulis

Melatih berfikir ilmiah dalam mengentaskan masalah-masalah melalui penelitian langsung pada objek tertentu yang menjadi sasaran, sehingga ilmu yang selama ini dipelajari dapat diaplikasikan, serta sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat jurusan Sosiologi Agama di UIN Syarif Hidayatullah.


(18)

Sebagai salah satu referensi bagi pengelola yayasan untuk lebih mengembangkan dan meningkatkan bidang pembinaan yang sudah ada, menjadi lebih baik.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini, adalah agar kita dan masyarakat bisa lebih memahami kehidupan dalam sebuah yayasan-yayasan sosial dan bisa memberikan sumbangsih dan kontribusi bagi anak-anak yang hidup dalam yayasan-yayasan sosial.

D. Tinjauan Pustaka

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang telah peulis lakukan, ada beberapa skripsi yang membahas atau berkaitan dengan anak jalanan, diantaranya: 1. Agama Anak Jalanan (Studi Kasus Anak Jalanan di Wilayah Melawai, Jakarta Selatan). Skripsi ditulis oleh Firdaus, mahasiswa Sosiologi Agama, tahun 2006.

Religiusitas Pengamen Jalanan (Studi Kasus Pengamen Jalanan di Tanjung Priok. Skripsi ditulis oleh Nur Fitriah, mahasiswa Sosiologi Agama, tahun 2005.

Dari skripsi-skripsi di atas, walaupun ada kesamaan dalam subjek penelitian, akan tetapi yang menjadi kajian utamanya berbeda. Dalam skripsi yang ditulis oleh Firdaus, membahas tentang perilaku keagamaan anak jalanan yang berada di wilayah Melawai, Jakarta Selatan.

Begitu juga dengan skripsi yang ditulis oleh Nur Fitriah, membahas tentang religiusitas pengamen Jalanan yang berkaitan dengan pemahaman agama mengenai ibadah wajib dan sunnah yang dilakukan sehari-hari.


(19)

jalanan dan upaya sebuah yayasan melalui program-programnya untuk mengentaskan kemiskinan anak jalanan tersebut

E. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif, yaitu studi tentang suatu penelitian yang berupaya menghimpun data baik berupa kata-kata maupun tulisan dari orang-orang yang diamati guna mendapatkan data-data yang diperlukan kemudian mengolah dan menganalisanya secara deskriptif.

Kata deskriptif berasal dari bahasa Inggris “description” yang berarti penggambaran, kata kerjanya adalah “to describe” artinya menggambarkan.11 Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu gejala menurut apa adanya.

2. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi

Observasi adalah cara untuk memperoleh data dalam bentuk mengamati serta mengadakan pencatatan dari hasil observasi. Teknik observasi yang penulis lakukan adalah bersifat langsung yaitu mendatangi Yayasan Bina Anak Pertiwi, di wilayah Pasar Minggu Jakarta Selatan yang mana terdapat informan sebagai nara sumber.

11 M. Meden Ridwan, ed. Tradisi Baru Penelitian Agama Islam (Bandung: Nuansa, 2001), h.229.


(20)

b. Wawancara/Interview

Wawancara adalah percakapan langsung dan tatap muka (face to face) dengan maksud tertentu. Percakapan ini dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.12

Penelitian ini menggunakan wawancara terbuka tak berstruktur dengan cara mengajukan pertanyaan yang tidak terikat dan lebih bebas berdasarkan pedoman pertanyaan yang dimiliki oleh penulis untuk memperoleh data yang diperlukan. Hal ini dilakukan untuk memperluas informasi yang dibutuhkan.

Untuk mendukung analisa tersebut, penulis melakukan wawancara secara langsung kepada 1 orang ketua sebagai informan utama, dan 1 orang pengurus sekaligus pekerja sosial yang ada di yayasan sebagai tambahan informasi yang mendukung dari informan utama dan para anak jalanan sebanyak 5 orang sebagai penguat dari pernyataan informan utama. Terdiri dari I orang berusia 14 tahun, 2 orang berusia 15 tahun, 1 orang berusia 16 tahun, dan 1 orang berusia 17 tahun. Lama mereka tinggal di yayasan bervariasi mulai dari 2-5 tahun agar mudah mengetahui program apa saja yang sudah mereka dapatkan.

c. Waktu dan tempat penelitian

Waktu yang dibutuhkan penulis untuk melakukan penelitian ini dimulai dari bulan November 2008 sampai Februari 2009. Lokasi penelitian dilakukan di Yayasan Bina Anak Pertiwi yang beralamat di Jl. Bacang Gg. Kenanga no. 46 Kelurahan Jati Padang Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

12 Imam prayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama (Bandung :Remaja Rosda Karya, 2003), cet ke-2, h.167.


(21)

d. Dokumentasi

Yaitu dengan mencari data-data yang tertulis, baik berupa buku, jurnal, ataupun lainnya. Teknik ini dilakukan dengan cara mengkategorikan (mengklasifikasikan) kemudian mempelajari bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan masalah penelitian dan mengambil data atau informasi yang dibutuhkan. Sumbernya berupa dokumen, buku, majalah, koran dan lain-lain. Data yang diambil adalah data sekunder.

3. Instrumen Penelitian

Instumen yang dilakukan dalam penelitian ini, penulis menggunakan pedoman wawancara, kamera digital untuk dan tape recorder untuk mendukung kegiatan wawancara agar lebih mudah mengolah data hasil wawancara.

4. Sumber Data

a. Data primer. Yaitu data dari hasil obsevasi, wawancara dan dokumentasi Yayasan Bina Anak Pertiwi

b. Data sekunder. Yaitu buku-buku tertentu, majalah dari berbagai literatur yang berhubungan dengan penelitian.

5. Analisis Data a. Proses penafsiran

Dalam penafsiran ini, penulis melakukan analisa pengumpulan data dengan menggunakan beberapa bukti, membangun rangkaian bukti dan mengklarifikasinya. Setelah data itu direduksi dan dilakukan berbagai proses pemilihan pemusatan perhatian dan penyederhanaan data dasar. Selanjutnya dilakukan penyajian data yang merupakan sekumpulan informasi yang tersusun


(22)

memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan. b. Penyimpulan hasil penelitian

Penyimpulan hasil penelitian ini penulis menggunakan pola fikir deduktif dan induktif. Deduktif adalah menarik kesimpulan dari dalil-dalil yang sifatnya umum untuk dijadikan kesimpulan yang sifatnya khusus. Sedangkan induktif adalah menarik kesimpulan dari yang bersifat khusus untuk kemudian dijelaskan secara luas.

Kesimpulan yang akan diambil oleh peneliti selalu didasarkan atas semua data yang diperoleh dalam kegiatan penelitian. Kesimpulan adalah jawaban berdasarkan data yang terkumpul, dan kesimpulan merupakan solusi yang bukan diberikan kepada objek penelitian.

F. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan pada penelitian ini, penulis membagi menjadi lima bab, sebagai berikut:

Bab satu (I) berupa pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab dua (II) berupa kajian teori yang berisi pengertian peranan dalam perspektif sosiologis, kemiskinan yang meliputi: pengertian kemiskinan, ukuran dan kriteria kemiskinan, sebab dan proses terjadinya kemiskinan, dan anak jalanan yang meliputi: pengertian anak jalanan, dan potret anak jalanan di Jakarta.


(23)

misi, dan tujuan, struktur organisasi, serta aktivitas sosial anak jalanan di yayasan. Bab empat (IV) berupa pembinaan dalam pengentasan kemiskinan anak jalanan yang berisi, partisipasi anak jalanan di lingkungan yayasan, strategi pengentasan, dan faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksaan program.


(24)

BAB II KAJIAN TEORI

A. PERANAN DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS

Asal usul kata peranan sosial dipinjam dari dunia sandiwara (drama). Sebuah drama terdiri dari suatu “lakon” dan sejumlah pelaku. Istilah peranan (dalam sandiwara) oleh para sosiolog dialihkah ke “panggung masyarakat”.13 Manusia dalam masyarakat diungkapkan sebagai pelaku dari peranan-peranan sosial, istilah peranan menunjukkan bahwa masyarakat mempunyai lakon. Lakon masyarakat itu disebut fungsi atau tugas masyarakat Jadi peranan sosial adalah bagian dari fungsi masyarakat. Karena manusia dalam kehidupannya menempati kedudukan-kedudukan tertentu, oleh karena itu mereka merasa bahwa setiap kedudukan yang mereka tempati itu menimbulkan harapan-harapan (expectations) tertentu dari orang-orang sekitar. Misalnya dalam setiap peranan yang berkaitan dengan pekerjaan, seseorang diharapkan dapat menjalankan kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan peranan yang di pegangnya.

Gross, Mason, dan McEachern mendefinisikan peranan sebagai seperangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu.14 Dengan kata lain peranan-peranan tersebut ditentukan oleh norma-norma di dalam masyarakat, maksudnya adalah setiap individu dalam setiap pekerjaannya diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang diharapkan oleh

13Drs. D. Hendropuspito, Sosiologi sistematik ( Yogyakarta: Kanisius, 1989), h.177-178. 14 David Berry, Pokok-Pokok Pikiran dalam Sosiologi (Jakarta: CV Rajawali, 1983), h.100.


(25)

masyarakat, di dalam keluarga, dan di dalam peranan-peranan lainnya.

Sarlito Wirawan Sarwono juga mengemukakan hal yang sama tentang peranan, yaitu harapan-harapan orang lain pada umumnya tentang prilaku yang pantas, dan seyogyanya ditentukan oleh seseorang yang mempunyai peranan tertentu.15 Di dalam peranan terdapat dua macam harapan, yaitu:16

Harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau kewajiban-kewajiban dari pemegang peran.

Harapan-harapan yang dimiliki oleh si pemegang peran terhadap masyarakat atau terhadap orang-orang yang berhubungan dengannya dalam menjalankan peranannya atau kewajiban-kewajibannya.

Dari penjelasan tersebut di atas terlihat suatu gambaran bahwa yang dimaksud dengan peranan merupakan kewajiban-kewajiban dan keharusan yang dilakukan seseorang karena kedudukannya dalam status tertentu pada lingkungan di mana dia berada. Dalam realitas kehidupan, semua orang mempunyai peranan masing-masing. Dan setiap yang mempunyai peranan itu biasanya bisa menyesuaikan dengan peranan tersebut. Misalnya, seseorang ketika berada di rumah ia mempunyai peranan sebagai kepala rumah tangga, namun ketika di kantor ia berperan sebagai karyawan, dan sebagainya. Peranan seperti ini sangat kompleks tergantung pada mobilitas sosialnya.

15 Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-Teori Psikologi Sosial (Jakarta : CV Rajawali, 1984), cet.ke.I, h. 235.


(26)

Peranan mencakup tiga hal, yaitu :17

Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.

Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.

Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

Perlu pula disinggung mengenai fasilitas-fasilitas bagi peranan individu (role-facilities). Masyarakat biasanya memberikan fasilitas-fasilitas pada individu untuk dapat menjalankan peranan. Lembaga-lembaga kemasyarakatan merupakan bagian masyarakat yang banyak menyediakan peluang-peluang untuk pelaksanaan peranan. Kadang-kadang perubahan struktur suatu golongan kemasyarakatan menyebabkan fasilitas-fasilitas bertambah. Misalnya perubahan departemen pemerintahan dalam menangani kasus anak jalanan, dan lain lain.

Bertolak dari sudut-sudut pandangan di atas, peranan sosial dapat didefinisikan sebagai bagian dari fungsi sosial masyarakat yang dilaksanakan oleh orang atau kelompok tertentu, menurut pola kelakuan lahiriah dan batiniah yang telah ditentukan.

17Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 244.


(27)

Dari gambaran di atas tentang peranan, dapat disimpulkan beberapa aspek yaitu:18

1. Peranan sosial adalah sebagian dari keseluruhan fungsi masyarakat.

Fungsi pada umumnya adalah suatu pengertian yang menunjukkan pengaruh khas dari satu bagian terhadap keseluruhan. Masyarakat sebagai keseluruhan kesatuan hidup bersama mengemban tugas umum, ialah mencukupi kepentingan umum yang berupa kesejahteraan spiritual dan material, tata tertib ketentaraman dan keamanan. Tugas umum ini hanya dapat terlaksana dengan baik jika anggota-anggotanya dan bagian-bagiannya berfungsi baik. Adapun bagian-bagian masyarakat itu tak lain adalah kelompok-kelompok sosial atau lembaga-lembaga sosial. Lembaga-lembaga sosial inilah yang bisa berupa sebuah yayasan yang berdiri sendiri atau lembaga lainnya yang mengemban tugas bagian yang disebut fungsi sosial. Dalam hal ini misalnya yayasan Bina anak Pertiwi memiliki komitmen terhadap kesejahteraan anak-anak jalanan di daerah Pasar Minggu.

2. Peranan sosial mengandung sejumlah pola kelakuan yang telah ditentukan. Jika peranan sosial ditinjau dari sudut lain yakni bagaimana pelaksanaannya, peranan sosial adalah seperangkat pola kelakuan lahiriah dan batiniah yang harus diikuti oleh individu yang bersangkutan. Misalnya, bagaimana seorang pengurus yayasan yang fokus terhadap permasalahan anak jalanan mampu memahami karakter anak-anak jalanan,


(28)

bagaimana harus bersikap terhadap mereka, bagaimana harus berbicara dan berbuat kepada mereka, semua itu sudah mempunyai pola tersendiri, dia tidak hanya harus memahami anak-anak jalanan, tetapi juga harus mengerti dan merasakan segala kesulitan-kesulitan anak-anak jalanan. 3. Peranan sosial dilakukan oleh perorangan atau kelompok tertentu,

misalnya sebuah yayasan atau lembaga lainnya.

4. Pelaku peranan sosial mendapat tempat tertentu dalam tangga masyarakat. Sama halnya dengan suatu pementasan sebuah drama, pelaku-pelaku yang menjalankan peranan sosial diberi tempat dalam suatu tangga masyarakat. Misalnya dalam setiap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh sebuah lembaga, maka masyarakat akan memberikan dukungan baik berupa materi atau semangat.

5. Dalam peranan sosial terkandung harapan-harapan yang khas dari masyarakat.

Setiap peranan sosial adalah sejumlah harapan yang hendak diwujudkan, juga harapan dari orang banyak yang realisasinya diserahkan kepada seorang atau beberapa pelaku. Isi harapan dari masyarakat adalah agar peranan (tugas) sosial tersebut dilakukan menurut norma dan peraturan yang telah ditentukan. Misalnya sebuah yayasan yang fokus dalam masalah anak jalanan memiliki harapan dari masyarakat yang menginginkan anak-anak jalanan bebas dari keterpurukannya.


(29)

Setiap peranan yang dipegang oleh individu atau kelompok memiliki harapan-harapan yang berbeda sesuai dengan penjiwaannya. Misalnya lembaga yang menangani masalah anak jalanan, maka penjiwaannya pun seperti halnya anak-anak jalanan, atau contoh lainnya lembaga yang menangani masalah kemiskinan, maka karakternya pun dapat memahami kemiskinan tersebut dibanding orang atau lembaga yang tidak memahami masalah tersebut.

B. KEMISKINAN

a. Pengertian Kemiskinan

Dalam merumuskan pengertian-pengertian tentang kemiskinan nampaknya bukan suatu hal yang mudah, karena selain kompleksnya masalah yang berkaitan dengan kemiskinan di samping itu juga masing-masing para pembuat pengertian tentang kemiskinan sangat dipengaruhi oleh latar belakang kerangka berfikir dan fokus perhatian yang berbeda dalam melihat masalah kemiskinan itu sendiri. Kemiskinan merupakan masalah global yang sering dikaitkan dengan masalah kebutuhan, kesulitan, dan kekurangan-kekurangan dalam hidup. Kemiskinan memiliki beberapa ciri, yaitu:

1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang, dan papan).

2. Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih, dan transportasi).

3. Ketiadaan jaminan masa depan (karena tiada investasi untuk pendidikan dan keluarga).


(30)

4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam. 5. Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat.

6. Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.

7. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental. 8. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita

korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil).19

Kemiskinan itu sendiri berasal dari kata “miskin” dengan mendapatkan awalan “ke” dan akhiran “an”. Miskin adalah tidak berharta benda; serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah), sedangkan kemiskinan adalah hal miskin; keadaan miskin; situasi penduduk atau sebagian penduduk yang hanya dapat memenuhi makanan, pakaian, dan perumahan yang sangat diperlukan untuk mempertahankan tingkat kehidupan yang minimum.20

Dalam literatur hukum Islam, istilah kemiskinan atau “miskin” dibedakan dengan “fakir”. Mengenai perbedaan kedua istilah tersebut, definisi miskin adalah yang memiliki harta benda/pencaharian atau kedua-duanya hanya bisa menutupi seperdua atau lebih dari kebutuhan pokok. Sedangkan yang disebut fakir ialah mereka yang tidak memiliki sesuatu harta benda atau tidak memiliki mata pencaharian tetap atau mempunyai harta benda tetapi hanya mampu menutupi

19 Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. h.132.

20 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka , 1998) Cet. Ke-2. h.587.


(31)

kurang seperdua kebutuhan pokoknya.21

Para sosiolog menyebut masyarakat miskin sebagai masyarakat marjinal, masyarakat pinggiran, atau masyarakat kumuh. Karena itu banyak pula teori yang menjelaskan tentang masyarakat miskin, antara lain menurut Murray, masyarakat miskin atau masyarakat marjinal, atau masyarakat kumuh adalah mereka yang dalam kehidupan sehari-harinya tinggal di perkampungan perkotaan yang letaknya sangat strategis untuk bertahan hidup, di mana perkampungan tersebut dikenal sebagai kampung ilegal, liar, kotor, sarang penyakit. Sumber perlawanan dan kejahatan. Hal senada juga diutarakan oleh Adam Firol, yang menjelaskan bahwa masyarakat miskin adalah mereka yang memiliki buruknya kondisi rumah sebagai tempat tinggal dan kampung-kampung pemukiman mereka disebabkan oleh adanya ledakan jumlah penduduk.22

Terdapat banyak sekali teori dalam memahami kemiskinan. Bila dipetakan maka terdapat dua paradigma atau teori besar (grand theory) mengenai kemiskinan: yakni paradigma neo-liberal yang memfokuskan pada tingkah laku individu dan demokrasi sosial (social-democracy) yang mengarah pada struktur sosial.23 Teori neo-liberal berakar pada karya politik klasik yang ditulis oleh Thomas Hobbes, John Lock dan John Stuart Mill. Teori yang memfokuskan pada tingkah laku individu merupakan teori tentang pilihan, harapan, sikap, motivasi, dan kapital manusia (human capital). Intinya menyerukan bahwa komponen penting

21 Ali Yafie, Islam dan Problematika Kemiskinan Pesantren (Jakarta: Buku P3LM, 1986), h.6.

22 Y. Argo Twikromo, Pemulung Jalanan Yogyakarta : Konstruksi Marjinalitas dan

Perjuangan terhadap Bayang-Bayang Budaya Dominan (Yogyakarta: Media Pressindo, 1999),h.5.


(32)

dari sebuah masyarakat adalah kebebasan individu. Kaum neo-liberal yang mengedepankan azas laissez faire disebut sebagai ide yang mengunggulkan mekanisme pasar bebas. Maksudnya bahwa manusia bebas mengambil keputusan untuk dirinya sendiri dengan tersedianya pilihan-pilihan. Perspektif ini sejalan dengan teori sosiologi fungsionalis, yang menyarankan bahwa sejumlah fungsi lebih penting dan tentu saja lebih menguntungkan bagi masyarakat dibandingkan dengan fungsi-fungsi lainnya. Dari perspektif teori fungsional, ketidaksetaraan itu tidak dapat dihindari dan diinginkan adalah keniscayaan dan penting bagi masyarakat secara keseluruhan.24

Para pendukung teori neo-liberal beragumen bahwa kemiskinan merupakan persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahan-kelemahan atau pilihan-pilihan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang dengan sendirinya jika kekuatan-kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya dan pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Secara langsung, strategi penanggulangan kemiskinan harus bersifat ‘residual’ sementara, dan hanya melibatkan keluarga, kelompok-kelompok swadaya atau lembaga-lembaga keagamaan. Peran Negara hanyalah sebagai “penjaga malam” yang baru boleh ikut campur manakala lembaga-lembaga di atas tidak mampu lagi menjalankan tugasnya.

Sedangkan teori demokrasi sosial memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individual, melainkan struktural. Kemiskinan di sebabkan oleh adanya ketidak adilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumber-sumber kemasyarakatan.

24 Michael Sherraden. Aset untuk Orang Miskin; Perspektif Baru Usaha Pengentasan


(33)

Pandangan strukturalis ini diwakili oleh kelompok Marxis, yaitu bahwa hambatan-hambatan struktural yang sistematik telah menciptakan ketidaksamaan dalam kesempatan, dan berkelanjutannya penindasan terhadap kelompok miskin oleh kelompok kapitalis. Variasi teori struktural ini terfokus pada topik seperti ras, gender, atau ketidaksinambungan geografis dalam kaitannya atau dalam ketidakterkaitannya dengan ras.25

Pendukung demokrasi sosial berpendapat bahwa kesetaraan merupakan prasyarat penting dalam memperoleh kemandirian dan kebebasan. Pencapaian kebebasan hanya dimungkinkan jika setiap orang memiliki atau mampu menjangkau sumber-sumber, seperti pendidikan, kesehatan yang baik, dan pendapatan yang cukup. Kebebasan lebih dari sekedar bebas dari pengaruh luar. Melainkan pula bebas dalam menentukan plihan-pilihan (choice). Dengan kata lain kebebasan berarti memilliki kemampuan (capabilities) untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Misalnya, kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya, kemampuan menghindari kematian dini, kemampuan menghindari kekurangan gizi, kemampuan membaca, menulis, dan berkomunikasi. Negara karenanya memiliki peranan di dalam menjamin bahwa setiap orang dapat berpartisipasi dalam transaksi-transaksi kemasyarakatan yang memungkinkan mereka menentukan pilihan-pilihannya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

Singkatnya, teori perilaku individu meyakini bahwa sikap individu yang tidak produktif telah mengakibatkan lahirnya kemiskinan. Disisi lain, teori struktur sosial melihat bahwa kondisi miskinlah yang mengakibatkan perilaku tertentu


(34)

pada setiap individu, yaitu munculnya sikap individu yang tidak produktif merupakan akibat dari adaptasi dengan keadaan miskin.

Pada tingkat ekstrem, kedua teori ini bersifat normatif, dilihat dari anggapan teori perilaku individu yang melakukan tuduhan moral bahwa orang yang tidak produktif dikarenakan mereka lemah dibidang kualitas, latihan, atau moralitas dan mereka harus bangkit sendiri dan berbuat lebih baik. Teori struktural juga memiliki anggapan mengenai penilaian moral, bahwa struktur sosial yang ada saat ini tidak adil terhadap kelompok miskin sehingga harus diubah.

Di luar pandangan-pandangan keras tersebut, ada juga kelompok yang tidak memihak (middle ground). Teori yang paling terkenal dari kelompok ini antara lain adalah teori mengenai budaya miskin sebagaimana dijelaskan oleh Oscar Lewis. Teori ini menggambarkan budaya kelompok kelas bawah, khususnya pada orientasi untuk masa sekarang dan tidak adanya penundaan atas kepuasan, mengekalkan kemiskinan di kalangan mereka dari satu generasi ke generasi berikutnya.26

Perspektif ini dikenal sebagai situasi miskin, yang mengindikasikan bahwa adanya disfungsi tingkah laku ternyata merupakan adaptasi fungsional terhadap keadaan-keadaan yang sulit yang mengakibatkan mereka menempati posisi di bawah dalam struktur sosial.27

Kelompok tengah (middle ground) ini bermuara kepada Max Weber, seorang sosiologis institusional besar yang kemudian dilanjutkan oleh Ralf Dahrendrof. Weber menentang posisi Marxis tentang teori determinisme ekonominya. Weber

26Michael Sherraden. Aset untuk Orang Miskin. h. 50. 27Michael Sherraden. Aset untuk Orang Miskin, h. 51.


(35)

melihat “kesempatan hidup” (life chances) secara jauh lebih kompleks yang tidak hanya bergantung pada kedudukan kelas ekonomi, tetapi juga kekuasaan politik, preseden sejarah, hubungan status sosial, dan lain sebagainya. Kesempatan-kesempatan ini merepresentasikan kemungkinan-kemungkinan untuk mobilitas sosial dan ekonomi.28

Kesempatan hidup diartikan sebagai seperangkat kesempatan yang tersedia untuk seorang individu. Kesempatan hidup merupakan batasan-batasan, atau sedikitnya batasan-batasan terhadap pilihan. Dengan kata lain, kesempatan bagi semua orang tidak sama dan sejak usia dini, pembatasan terhadap pilihan-pilihan tersebut diinternalisasikan dan ikut membentuk sikap hidup dan tingkah laku seseorang. Dahrendrof meminjam dari teori Weber, menciptakan hubungan variable-variabel tatanan sosial dan kesempatan hidup bagi setiap individu,

Kesempatan-kesempatan hidup merupakan kesempatan pengembangan individu yang dibekali

oleh karakter struktur sosial, bentukan, atau cetakan (moulds), sebagaimana biasa kita

menyebutnya, karena cetakan tersebut menyediakan sebuah jembatan penting untuk memahami

masyarakat yang menekankan pentingnya kualitas struktur sosial……dan merupakan sebuah teori

normatif masyarakat yang menekankan kebebasan individu.29

Jadi konsep kesempatan hidup dan institusi-institusi ekonomi dan sosial yang membentuk kesempatan-kesempatan tersebut dapat digunakan sebagai dasar penting bagi teori kesejahteraan.

b. Ukuran dan Kriteria Kemiskinan

Untuk mengukur kemiskinan pada umumnya menggunakan indikator

28Michael Sherraden. Aset untuk Orang Miskin, h. 52. 29Michael Sherraden. Aset untuk Orang Miskin. h. 53.


(36)

pendapatan per waktu kerja (untuk Amerika digunakan ukuran setahun sebagai waktu kerja, sedangkan di Indonesia digunakan ukuran waktu kerja sebulan). Dengan adanya tolok ukur ini, maka jumlah dan siapa-siapa yang tergolong sebagai orang miskin dapat diketahui untuk dijadikan kelompok sasaran yang diperangi kemiskinannya.

Tolok ukur lainnya adalah berdasarkan kebutuhan relatif per keluarga yang batasan-batasannya dibuat berdasarkan kebutuhan minimal yang harus dipenuhi agar sebuah keluarga dapat melangsungkan kehidupannya secara sederhana, tetapi memadai sebagai warga masyarakat yang layak. Yang menjadi cakupan dalam tolok ukur ini adalah kebutuhan-kebutuhan yang berkenaan dengan biaya sewa rumah dan mengisi rumah dengan peralatan rumah tangga yang sederhana tetapi memadai, biaya-biaya untuk memelihara kesehatan dan untuk pengobatan. Biaya-biaya untuk menyekolahkan anak-anak, Biaya-biaya untuk sandang yang sewajarnya dan biaya untuk pangan yang sederhana tetapi mencukupi dan memadai.

Berdasarkan definisi kemiskinan dan fakir miskin dari BPS dan Depsos (2002), jumlah penduduk miskin pada tahun 2002 mencapai 35,7 juta jiwa dan 15,6 juta jiwa (43 %) diantaranya masuk kategori fakir miskin.angka kemiskinan ini akan lebih besar lagi jika dalam kategori kemiskinan dimasukkan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang kini jumlahnya mencapai lebih dari 21 juta orang. PMKS meliputi gelandangan, pengemis, anak jalanan, yatim piatu, jompo terlantar, dan penyandang cacat yang tidak memiliki pekerjaan atau memiliki pekerjaan namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.30


(37)

Batas garis kemiskinan itu sendiri yang dipakai oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahunnya selalu berubah berdasarkan tingkat inflasi yang berlaku dan dipisahkan antara kota dan desa.

Dalam seminar yang diadakan oleh Universitas Prof. DR. Moestopo (Beragama) disebutkan bahwa masyarakat yang termasuk kategori miskin (target group) baik secara kultural maupun struktural sebagai berikut :

•Buruh tani (tidak memiliki lahan)

•Petani gurem dengan pemilikan lahan kurang dari 0,25 ha •Nelayan miskin (buruh nelayan)

Penganggur (fully unemployment)

Penganggur terselubung (disguised unemployment) Putus sekolah (drop out)

Buruh kecil

Perambah hutan (forest squatters), dll.31

Selain itu dalam seminar tersebut juga mengkategorikan orang miskin dilihat dari pendekatan wilayah (target area), yaitu sebagai berikut:

• Daerah padat penduduk • Daerah kritis tandus • Daerah kumuh perkotaan

• Daerah rawan bencana alam (kebakaran, banjir, dll) • Daerah terkena penataan wilayah

31 Universitas Prof. DR. Moestopo (Beragama), Rangkuman Seminar Sehari

Pengentasan Kemiskinan dan Kesenjangan Pemerataan Hasil Pembangunan (Jakarta 24 juli 1993), h.13.


(38)

• Daerah terkena proyek pembangunan Daerah aliran sungai (DAS) • Perkampungan nelayan miskin Daerah perbatasan32

Dalam usaha untuk melakukan pengukuran tingkat kemiskinan tidak cukup dilihat hanya dari sudut pendapatan, konsep taraf hidup (level of living) juga perlu diukur berdasarkan faktor pendidikan, kesehatan, perumahan, dan kondisi sosial lainnya. Kenyataan tersebut mengakibatkan pendekatan yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan juga bervariasi.33

Adanya berbagai variasi pendekatan dan pengukuran tersebut sekaligus menunjukkan bahwa kemiskinan dapat dilihat secara absolut dan secara relatif. Secara absolut maksudnya tingkat kemiskinan diukur dengan standar tertentu, sehingga kemudian dapat dikatakan bahwa mereka yang taraf hidupnya di bawah standar yang ditentukan tersebut dikatakan miskin, sebaliknya mereka yang berada di atas standar dinyatakan tidak miskin.

Dengan membandingkan jumlah penduduk yang berada di bawah standar, apabila perbandingannya dilakukan antar dua kondisi yang mempunyai rentang waktu yang cukup panjang dan tuntutan kebutuhan hidup yang semakin meningkat sebagai perubahan sosial ekonomi yang telah terjadi, maka standar yang dipakai sudah tidak memadai lagi.

Walaupun dengan menggunakan standar yang lama dapat diketahui semakin banyak warga masyarakat yang sudah keluar dari kondisi kemiskinan, akan tetapi dilihat dari tuntutan kebutuhan yang semakin berkembang, kondisi tersebut tetap

32 Rangkuman Seminar Sehari Pengentasan Kemiskinan dan Kesenjangan Pemerataan Hasil Pembangunan, h.13-14.

33Soetomo, Masalah Sosial dan Pembangunan (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1995), h.117.


(39)

dirasakan sebagai masih berada dalam keadaan miskin. Permasalahan yang sama akan dijumpai apabila memperhatikan stratifikasi sosial yang ada, dimana walaupun lapisan bawah telah meningkat taraf hidupnya, akan tetapi apabila peningkatan itu dibandingkan dengan yang dialami lapisan lain, masih jauh lebih rendah, maka secara relatif masih merasakan kondisinya tetap miskin.

Dalam pengukuran kemiskinan relatif bertambah relevan jika digunakan dalam masyarakat yang sudah semakin terbuka dan berkembang. Dalam konsep kemiskinan relatif ini, kemiskinan tidak semata-mata diukur dengan menggunakan standar yang baku, melainkan juga dilihat dari seberapa jauh peningkatan taraf hidup lapisan terbawah telah terjadi dibandingkan dengan lapisan masyarakat lain, juga dibandingkan dengan kenaikan tuntutan kebutuhan hidup yang berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan bermasyarakat.

c. Sebab dan Proses Terjadinya Kemiskinan

Masalah kemiskinan mempunyai keterkaitan pada seluruh aspek kehidupan masyarakat. Latar belakang yang akan kita jumpai meliputi beberapa aspek yaitu: sosial, ekonomi, psikologi, dan politik. Dalam aspek sosial yang menjadi penyebab kemiskinan adalah akibat dari keterbatasan interaksi sosial dan penguasaan informasi. Pada aspek ekonomi akan tampak pada keterbatasan pada kepemilikan alat produksi, upah yang kecil, daya tawar yang rendah, tabungan yang nihil, kurang agresifnya memanfaatkan peluang yang ada. Dari aspek psikologis terutama akibat rasa rendah diri, fatalisme, malas, dan rasa terisolir. Sedangkan dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam proses pengambilan


(40)

keputusan.34

David cox membagi kemiskinan ke dalam beberapa dimensi, yaitu:

1. Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi menghasilkan pemenang dan yang kalah. Pemenang umumnya adalah Negara-negara maju. Sedangkan Negara-negara berkembang seperti Indonesia seringkali semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi.

2. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsisten (kemiskinan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan), kemiskinan perkotaan kemiskinan yang disebabkan oleh hakekat dan percepatan pertumbuhan perkotaan).

3. Kemiskinan sosial, kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas.

4. Kemiskinan konsekuensional, kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain atau faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan, dan tingginya jumlah penduduk.35

Di Indonesia, salah satu penyebab kemiskinan adalah akibat pembangunan fisik yang hanya berpusat di kota-kota besar seperti Jakarta, selain tidak tepat juga

34Amrullah Ahmad, Islamisasi Ekonomi (Yogyakarta: PLT@M, 1985), h. 109. 35Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, h.132-133.


(41)

tidak adil. Akibatnya banyak penduduk desa yang lari ke kota besar untuk mempertahankan hidupnya. Banyak pilihan yang mereka rasakan dapat dilakukan setibanya di kota besar, tetapi kenyataan yang cukup berat menghadang mereka setibanya di kota.

Jakarta sebagai kota terbesar di Indonesia, merupakan kota yang menggoda banyak orang desa untuk menyentuhnya. Namun kenyataannya mereka tersisih di Jakarta, namun dengan kondisi ini tidak membuat mereka jera dan kembali ke desa. Bertahan, merupakan tekad yang dijalankan ketimbang malu tanpa hasil setelah merantau ke Jakarta, karena bila kembali ke desa pun tidak juga menjamin tersedianya lapangan pekerjaan.

Pendapat lain menyebutkan bahwa penyebab kemiskinan adalah kolusi antara para penguasaha dengan para birokratnya dan elit militer. Kolusi yang begitu lama, telah mengakibatkan korupsi yang begitu biasa terhadap dana rakyat, yang seharusnya diperuntukkan bagi pembangunan. Kolusi antara kekuasaan dan uasaha yang berorientasi keuntungan telah mengakibatkan korupsi atas dana-dana Negara dan berbagai penyelewengan kekuasaan, serta kebijaksanaan pembangunan, yang pada gilirannya mendorong terjadinya kesenjangan antara si kaya dan si miskin.36 Kepemimpinan pada masa Orde Baru bisa dijadikan contoh dalam kategori ini.

Kemiskinan juga banyak dihubung-hubungkan dengan beberapa penyebab yaitu: penyebab individu atau patologis yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin. Penyebab keluarga yang

36 Seminar Sehari Pengentasan Kemiskinan dan Kesenjangan Pemerataan Hasil Pembangunan, h.10.


(42)

menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga. Penyebab sub-budaya (subkultural) yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar. Penyebab agensi yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi. Penyebab struktural yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.37

Di daerah-daerah tertentu, terdapat aspek kultural yang mengakibatkan tejadinya proses kemiskinan, misalnya sistem pewarisan tanah kepada ahli waris, yang antara lain meyebabkan munculnya petani-petani gurem dan buruh-buruh tani di Jawa. Proses kemiskinan seringkali juga timbul secara tidak disadari dalam hubungan sosial yang berkembang dalam masyarakat sendiri.

Secara kultural juga, kemiskinan disebabkan karena pandangan dunia yang keliru, yang dipengaruhi pemahaman nilai-nilai agama yang pasif dan fatalistik. Doktrin takdir bahwa Tuhan telah menentukan segalanya sejak setiap manusia diciptakan, termasuk kaya-miskin, status sosial, kecerdasan, membelenggu mereka yang tidak sempat mengenyam pendidikan agama yang mencerahkan.38

Seperti juga pendapatnya Harun Nasution melihat bahwa kemiskinan dan keterbelakangan di Indonesia banyak dipengaruhi oleh budaya dan corak pemahaman teologi tradisional paham Qodho dan Qodar dalam arti fatalisme serta keyakinan bahwa masa depan lebih banyak diserahkan kepada nasib yang telah ditetapkan oleh Tuhan yang maha kuasa. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa

37 http://id.wikipedia.org/wiki/kemiskinan artikel diakses pada tanggal 6 Januari

2009.

38 Mutohharun Jinano, “Kemiskinan dan Filantropi Agama,” Sindo. 4 September 2007, h.7.


(43)

kemiskinan memang sudah berupa salah satu takdir Tuhan. Tuhan maha pengasih, nampaknya tiada tega jika melihat laki-laki tanpa ada wanita. Tuhan maha bijkasana, tidak mungkin akan mengisi dunia seluruhnya dengan orang kaya saja.39

Penyebab lain dari kemiskinan dalam situasi sekarang adalah tiadanya teknologi dan kemampuan SDM mengelola teknologi. Dalam kaitan ini kemiskinan bersumber dari ketidak mampuan menguasai aset, baik aset fisik berupa alat-alat produksi, modal, mesin, peralatan, tanah dan tenaga kerja serta aset non-fisik yakni kesehatan, pendidikan, keterampilan, manajemen, informasi, dan teknologi. Orang menjadi miskin karena mereka tidak mampu memiliki aset-aset tersebut, yang sebenarnya merupakan sumber pendapatan dan penghidupan.

Dari berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tentang faktor penyebab terjadinya kemiskinan tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada tiga faktor utama penyebab kemiskinan, yaitu:

a. Kemiskinan alami yang disebabkan keterbatasan kualitas sumber daya alam maupun sumber daya manusia.

Kemiskinan struktural yang diakibatkan oleh berbagai kebijakan, peraturan, dan keputusan dalam pembangunan.

b. Kemiskinan kultural yang lebih banyak disebabkan oleh sikap individu dalam masyarakat yang mencerminkan gaya hidup, perilaku atau budaya yang menjebak dirinya dalam kemiskinan.40

39 Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1995), h.145.


(44)

C. ANAK JALANAN

a. Pengertian Anak Jalanan

Anak menurut UU RI nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.41 Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial yang komplek. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas, dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat dan Negara.

Banyak pengertian dan batasan dikemukakan tentang anak jalanan yang satu dengan yang lainnya tidak selalu sama, tergantung darimana cara memandang. Unicef memberikan batasan tentang anak jalanan yaitu:

“………street child are those who have abandoned their homes, school and immediate communities before they are sixteen years of age and have clrifted into a nomadic street life ( anak jalanan merupakan anak-anak yang berumur di bawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari keluarga, lingkungan masyarakat terdekatnya, larut dalam kehidupan yang berpindah-pindah di jalan raya)……….42

Sedangkan definisi resmi yang dikeluarkan oleh PBB dalam mendefinisikan anak jalanan adalah sebagai berikut:

Any boy and girl…..whom the street in the wides sense of the word, including unoccupied dwellings, wasteland, etc, has become her or his habitualabode and or sources of livelihood and who is inadequately protected, supervised or directed by responsible adults” (setiap anak baik laki-laki maupun perempuan, dimana dalam berbagai hal, meliputi tidak memiliki rumah tempat tinggal, membuat mereka memiliki

Sosial dan Lingkungan (Jakarta: LP3ES, 2004), h.166-168.

41UU RI Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak (Surabaya: Media Center, 2006), h.50.

42 Armai Arief, Upaya Pemberdayaan Anak Jalanan dalam Rangka Mewujudkan

Kesejahteraan Sosial dan Stabilitas Nasional (Jakarta: Fajar, jurnal LPM UIN Syahid Jakarta, 2002), h.23.


(45)

tempat tinggal, dan juga memiliki sumber penghidupan, termasuk disini adalah anak-anak baik laki-laki maupun perempuan yang tidak memiliki perlindungan, bimbingan dan pengawasan dari orang dewasa yang cukup bertanggung jawab).43

HIMMATA ( Himpunan Mahasiswa Pemerhati Masyarakat Marjinal Kota) mengelompokkan anak jalanan menjadi dua kelompok, yaitu44 :

a. Anak semi jalanan

Istilah ini digunakan untuk anak-anak yang hidup dan mencari penghidupan di jalanan, tetapi tetap mempunyai hubungan dengan keluarga.

b. Anak jalanan murni

Istilah ini digunakan untuk anak-anak yang hidup dan menjalani kehidupannya di jalanan tanpa punya hubungan dengan keluarga.

Sedangkan Tata Sudrajat mengelompokkan anak jalanan menjadi tiga kelompok berdasarkan hubungan anak dengan orang tuanya, yaitu:

a. Anak yang putus hubungan dengan orang tuanya, tidak sekolah dan tinggal di jalanan. Di sebut anak yang hidup di jalanan atau children of the street.45 Seluruh waktunya dihabiskan di jalanan. Adapun ciri dari anak-anak ini biasanya tinggal dan bekerja di jalanan (living and working on the street), tidak mempunyai rumah (homeless) dan jarang atau bahkan tidak pernah kontak dengan keluarga. Mereka umumnya berasal dari keluarga berkonflik, misalnya ayah-ibunya cerai, penyiksaan orang tuanya dan konflik-konflik lainnya.

43 Nurhayati, “Pengaruh Pendidikan Agama Islam terhadap Anak Jalanan (Studi Kasus Rumah Singgah Sakina)”, skripsi Sarjana Pendidikan (Jakarta: Perpustakaan UIN, 2004), h.25-26. 44Asmawi, “Menatap Masa Depan Anak-Anak Jalanan”, Ummi (majalah Islam wanita) September 2001, h.28.

45 Tata Sudrajat, “Pola Hubungan Sosial dan Aktivitas Sosial Ekonomi Anak Jalanan” makalah PKBI, 1999, h.3.


(46)

Mereka lebih mobile, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, karena mereka tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Masalah yang banyak dialami mereka adalah karena tinggal di jalanan dan tanpa ada yang mendampinginya. Jumlah mereka lebih sedikit di bandingkan kelompok anak jalanan lainnya, diperkirakan hanya 10-15% dari seluruh populasi anak jalanan. b. Anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya, tidak sekolah, kembali ke orang tuanya seminggu sekali, dua minggu sekali, sebulan sekali, dua bulan sekali atau bahkan tiga bulan sekali. Disebut dengan anak yang bekerja di jalanan atau children on the street.46Mereka hanya berada sesaat di jalanan. Dalam kelompok ini sendiri terdapat dua kelompok lagi anak jalanan, yakni anak dari luar kota dan anak yang tinggal bersama dengan orang tuanya. Pada anak-anak dari luar kota, mereka biasanya mengontrak rumah secara bersama-sama di satu lingkungan tertentu dan penghuninya adalah teman daerah sendiri. Mereka ini sudah tidak bersekolah lagi dan ikut ke kota karena ajakan teman-teman atau orang yang lebih dewasa. Kontak dengan keluarga lebih sering dibandingkan kelompok children of the street, bahkan lebih teratur. Mereka pulang untuk menyerahkan uang penghasilannya kepada orang tua. Sebagian kecil mereka tinggal bersama orang tuanya (urbanisan). Motivasi mereka adalah ekonomi, jarang yang sifatnya konflik. Persentasenya mencapai 40 %

c. Anak yang masih tinggal bersama orang tuanya. Setiap hari pulang ke rumah, masih sekolah atau putus sekolah. Disebut anak yang rentan menjadi anak


(47)

jalanan atau vulnerable to be street children.47Mereka umumnya adalah anak-anak dari dalam kota sendiri. Biasanya orang tua mereka ada yang asli penduduk kota dan adapula yang urban. Mereka ke jalanan umumnya berjualan koran. Di samping mempunyai motivasi ekonomi, beberapa anak mempunyai motivasi untuk belajar mencari uang dan menolong diri sendiri. Aspirasi mereka terhadap sekolah masih baik dibandingkan kelompok lainnya. Mereka pulang ke rumahnya setelah berjualan, tetapi karena jalanan menawarkan kemudahan memperoleh uang dan hal-hal menarik lainnya maka sebagian kecil dari mereka menjadi lebih lama di jalanan. Persentase kelompok ini mencapai 45 % dari seluruh populasi anak jalanan.

Sementara itu, menurut Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) membedakan anak jalanan menjadi 4 kelompok, yaitu:

1. Anak-anak yang tidak berhubungan lagi dengan orang tuanya. Mereka tinggal 24 jam di jalanan dan menggunakan semua fasilitas jalanan sebagai ruang hidupnya. Hubungan dengan keluarga sudah terputus. Kelompok anak ini disebabkan oleh faktor sosial psikologis keluarga, mereka mengalami kekerasan, penolakan, penyiksaan, dan perceraian orang tua. Umumnya mereka tidak mau kembali ke rumah, kehidupan jalanan dan solidaritas sesam temannya telah menjadi ikatan mereka.

Anak-anak yang berhubungan dengan orang tua. Mereka adalah anak yang bekerja di jalanan. Mereka seringkali diidentikkan sebagai pekerja migran kota


(48)

yang pulang tidak teratur kepada orang tuanya di kampung. Pada umumnya mereka bekerja dari pagi hingga sore hari seperti menyemir sepatu, pengasong, pengamen, kuli panggul. Tempat tinggal mereka di lingkungan kumuh bersama dengan saudara atau teman-teman senasibnya.

Anak-anak yang masih berhubungan teratur dengan orang tuanya. Mereka tinggal dengan orang tuanya. Beberapa jam di jalanan sebelum atau sesudah sekolah. Motivasi mereka ke jalan karena terbawa teman, belajar mandiri, membantu orang tua dan disuruh orang tua. Aktivitas usaha mereka yang paling mencolok adalah berjualan koran.

Anak-anak yang berusia di atas 16 tahun. Mereka berada di jalanan untuk mencari kerja, atau masih labil pada suatu pekerjaan. Umumnya mereka telah lulus SD bahkan ada yang SLTP. Mereka biasanya kaum urban yang mengikuti orang dewasa (orang tuanya atau saudaranya) ke kota. Pekerjaan mereka biasanya mencuci bus, menyemir sepatu, membawa barang belanjaan (kuli panggul), pengasong, pengamen, pengemis, dan pemulung.48

b. Potret Anak Jalanan di Jakarta

Keberadaan anak jalanan sudah menjadi pemandangan yang lazim di Ibu Kota Jakarta. Hampir diseluruh perempatan jalan dan lampu merah yang ada di Jakarta terdapat anak-anak jalanan dengan penampilan yang menimbulkan perasaan belas kasihan. Entah itu pengamen atau pengemis atau juga pemulung dan lainnya. Selain di perempatan jalan dan lampu merah, hampir seluruh angkutan umum seperti bus kota, metro mini, dan mikrolet yang beroperasi tiap


(49)

hari menjadi sasaran yang empuk bagi anak-anak jalanan untuk mengemis ataupun mengamen. Dari waktu ke waktu bukan berkurang justru semakin bertambah banyak jumlahnya. Akibatnya kepekaan masyarakat terhadap anak jalanan semakin berkurang. Padahal, anak terlahir di dunia ini bukan sekedar perhiasan dan bukan hiburan bagi orang tua, tetapi lebih dari itu, anak adalah amanah dari Allah SWT. Wajib bagi kita untuk memelihara dan mendidik mereka sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.

Menurut UUD 1945, “anak terlantar itu dipelihara oleh Negara”. Artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Hak-hak Asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang pengesahan Convention on the Right of the Child (konvensi tentang hak-hak anak). Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan, (civil right and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family environment anf alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare), pendidikan, rekreasi, dan budaya (education, leisure and culture activities), dan perlindungan khusus (special protection).49

Makin meningkatnya jumlah anak jalanan disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah akibat meningkatnya urbanisasi dan industrialisasi. Urbanisasi dan


(50)

industrialisasi mengacaukan keluarga-keluarga di pedesaan yang pindah ke kota dengan tujuan meningkatkan taraf hidup. Kebanyakan mereka yang pindah ke kota tidak mempunyai keterampilan yang memadai. Akibatnya timbul kantong-kantong pemukiman padat di daerah-daerah yang tidak bertuan, seperti pinggiran sungai, di bawah kolong jembatan, di pinggiran rel kereta, bahkan di tanah-tanah negara yang kosong, dan sebagainya. Efek tersebut menjadikan keluarga miskin menyuruh anak-anak mereka untuk mencari uang, baik untuk membantu ekonomi keluarga dan lainnya.

Berdasarkan hasil survey sementara yang dilakukan Unika Atmajaya dengan pendanaan Asian Development Bank (ADB) pada tahun 1997 jumlah anak jalanan di 12 kota besar di Indonesia adalah 39.861 orang. Sementara hasil laporan UNICEF pada tahun 1998 menyebutkan jumlah anak jalanan diseluruh Indonesia 50.000 orang.50

Berbeda jauh dengan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 1998 memperlihatkan bahwa anak jalanan secara nasional berjumlah sekitar 2,8 juta anak. Dua tahun kemudian, tahun 2000 angka tersebut mengalami kenaikan sekitar 5,4 %, sehingga jumlahnya menjadi 3,1 juta anak. Pada tahun yang sama, anak yang tergolong rawan menjadi anak jalanan berjumlah 10,3 juta anak atau 17,6% dari populasi anak di Indonesia, yaitu 58,7 juta anak.51 Berapapun jumlahnya, angka-angka tersebut sangat memprihatinkan, padahal mereka adalah aset, investasi SDM dan sekaligus tumpuan masa depan bangsa. Jika kondisi dan kualitas hidup anak kita

50Dana untuk Tangani Anak Jalanan Kurang, Media Indonesia. Jakarta 21 Juli 2001. 51 http://harjasaputra.wordpress.com/ . Diakses pada tanggal 6 Januari 2009.


(51)

memprihatinkan, berarti masa depan bangsa dan Negara juga kurang menggembirakan.

Di Ibu Kota Jakarta, berdasarkan catatan Profil Dinas Bina Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial tahun 2002, anak jalanan berjumlah sekitar 31.304 anak, sedangkan panti pemerintah yang memberikan pelayanan sosial terhadap mereka hanya berjumlah 9 panti, yaitu : 4 Panti Balita Terlantar, 4 Panti Anak Jalanan dan 1 Panti Remaja Putus Sekolah. Daya tampung keseluruhannya adalah 2.370 anak. Sementara itu, panti Sosial Asuhan Anak yang diselenggarakan masyarakat berjumlah 58 Panti dengan daya tampung 3.338 anak dan pelayanan sosial kepada anak di luar panti sebanyak 3.200 anak. Secara akumulatif jumlah yang mendapat pelayanan Panti dan non-Panti adalah 8.908 anak dan yang belum tersentuh pelayanan pemerintah maupun organisasi sosial atau LSM adalah 22.396 anak. Bahkan tidak tertutup kemungkinan, sebagian dari anak bangsa kita mengalami lost generation (generasi yang hilang).52

Data tersebut cukup memprihatinkan kita semua, karena idealnya sebagai “kota percontohan” DKI dapat bebas dari masalah anak jalanan, atau setidak-tidaknya jumlah anak jalanan tergolong rendah.

Jika kita kaji literatur, fenomena anak jalanan di Indonesia dan di Negara berkembang lainnya berbeda dengan Negara maju. Anak jalanan di Negara maju berkaitan erat dengan kenakalan dan keluarga yang broken home, orang tua pengangguran, penyalahgunaan obat dan minuman keras. Sedangkan di Negara berkembang berkaitan dengan kemiskinan, anak-anak tidak bisa memenuhi


(52)

kebutuhan dasarnya, tidak bisa bersekolah, lalu bekerja membantu orang tuanya dan diri sendiri.

Anak jalanan hidup dan berada dalam situasi sosial yang terdiri dari berbagai latar belakang, yaitu:

Pertama, adalah lingkungan sosial yang terdiri dari keluarga, sekolah, dan masyarakat dimana keluarga anak jalanan tinggal. Ini adalah lingkungan pertama bagi seorang anak, sebelum perubahan-perubahan yang terjadi menyebabkan seorang anak keluar dari lingkungan sosial dan menjadi anak jalanan. Perubahan-perubahan tersebut antara lain kesulitan ekonomi, keluarga atau perceraian orang tua, biaya sekolah yang tinggi, atau penolakan warga masyarakat sekitarnya menyebabkan anak-anak menjadi korban dan tidak lagi dapat hidup layak untuk dapat tumbuh kembang secara wajar.

Kedua, adalah lingkungan jalanan yang merupakan lingkungan kedua bagi anak jalanan. Di jalanan anak berinteraksi dengan berbagai orang, baik sebagai pribadi maupun atas nama dinas. Mereka antara lain para pemegang otoritas jalanan seperti petugas DLLAJ, kepala stasiun, kepala terminal, polisi, trantib, para pekerja LSM dan lain-lain. Proses interaksi ini dapat menghasilkan bentuk-bentuk kepribadian tertentu. Dalam lingkungan jalanan ini, anak juga berinteraksi dengan berbagai norma dari pemegang otoritas jalanan serta bentuk-bentuk perlawanan terhadapnya.

Latar belakang yang lebih khusus lagi dari lingkungan jalanan adalah kehidupan kaum marjinal. Jalanan adalah ruang terbuka, di mana dan siapapun dapat masuk untuk mengadu nasib. Jenis-jenis pekerjaan dijalanan tidak membutuhkan


(1)

itu ada di daerah Jonggol dan sedang berjalan. Dan di sana juga ada peluang, kita ingin membuat pabrik tahu. Selain itu juga ada kerjasama-kerjasama dengan PT lalin seperti PT Andromina dalam bidang perkebunan. Kita mengutus anak sekitar 17 orang di Sukabumi. Jadi memang kedatangannya itu dari hulu ke hilir. Tapi semuanya bisa kita lakukan secara simultan.

6. Dalam melaksanakan program-program, pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dari mana saja bantuan yang diperoleh oleh BAP untuk membiayai program-program tersebut?

Jawab : Dari lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta yang menaungi segala aktivitas yang berhubungan dengan anak-anak jalanan. Seperti Direktorat PSLB (Pendidikan Sekolah Luar Biasa), dan lain sebagainya.

7. Bagaimana pandangan masyarakat sekitar terhadap kehadiran BAP? Jawab : Pada awalnya kehadiran yayasan ini mendapat tantangan dari

masyarakat sekitar yang mayoritas beragama Islam. Penyebabnya adalah sebelum hadirnya yayasan ini telah berdiri sebelumnya sebuah yayasan sosial untuk anak jalanan yang ternyata milik non-muslim. Masyarakat merasa kecolongan dengan kehadiran yayasan tersebut karena masyarakat tidak membutuhkannya. Namun demikian para pengurus tidak patah semangat untuk meyakinkan masyarkat sekitar, dan setelah mengatasnamakan Pesantren Kota akhirnya keberadaan yayasan ini diterima oleh masyarakat sekitar.


(2)

8. Sejauh mana peran masyarakat sekitar dalam membantu pogram-program BAP dalam mengentaskan kemiskinan anak jalanan?

Jawab : Sebetulnya penerimaan anak-anak jalanan di lingkungan mereka itu sebuah peran yang sangat membantu mengingat respon awal mereka yang kurang baik. Yang namanya orang kalau mendengar kata ‘anak jalanan’ sudah alergi, image anak jalanan kan jorok, susah diatur, tidak bermoral, kriminal, Bengal, tidak sopan. Image seperti itu yang selalu menempel pada wajah anak-anak jalanan. Makanya Yayasan ini selalu menyuruh anak-anak jalanan yang dibina disini untuk selalu terjun dalam setiap kegiatan sosial yang ada di masyarakat. Untuk itu maka yayasan ini sangat terbuka kepada masyarakat berupa pelayanan-pelayanan. Seperti misalnya yayasan ini memiliki sertifikat sehat untuk anak-anak jalanan berupa askes khusus, dan itu bisa dimanfaatkan banyak orang. Dan masyarakat disekitar sini banyak yang minta tolong.. yang namanya masyarakat kalau sudah ditolong pasti persepsinya terhadap anak-anak jalanan berubah

9. Bagaimana pemerintah menanggapi upaya-upaya yang dilakukan oleh BAP dalam pengentasan kemiskinan anak jalanan?

Jawab : Pemerintah sangat mendukung dengan memberikan bantuan dana untuk melaksanakan program. Pernah juga Yayasan BAP bekerja sama dengan Depnaker dalam bidang keterampilan dan usaha.

10.Dukungan apa saja yang diberikan oleh pemerintah terhadap BAP? Jawab : Pemerintah tergantung dari direktorat mana, kalau saat ini yang

memang konsen yaitu Direktorat PSLB (Pendidikan Sekolah Luar Biasa) melalui program PLK (Program Layanan Khusus) untuk anak


(3)

jalanan, pemulung, pekerja anak, untuk daerah terpencil. Dan alhamdulillah sekarang sudah diprogramkan, dan pemerintah mengambil bagian dalam pendidikannya. Misalnya ada subsidi untuk penyelenggaraan. Kalau dulu tidak ada, tapi sekarang sudah ada Direktorat Jenderal Managemen Pendidikan Dasar dan Menengah.

11.Faktor apa saja yang bisa mendukung dan menghambat upaya-upaya yang dilakukan oleh BAP dalam mengentaskan kemiskinan anak jalanan?

Jawab : Faktor-faktor yang mendukung itu sebetulnya dapat dilihat dari segi internal seperti bangunan yayasan milik sendiri jadi tidak usah bayar sewa, selain itu juga letaknya yang strategis selain itu yang lebih mendukung lagi adalah motivasi dari anak-anak jalanan itu sendiri, karena semua program akan sia-sia jika dari anak- anak jalanan tersebut tidak memiliki minat untuk merubah masa depan mereka sehingga mereka dapat mengentaskan kemiskinan mereka sendiri. Faktor lainnya bisa juga dari mitra usaha yang memberikan bantuan modal dan sebagainya juga Mitra kerja yang datangnya dari para pekerja profesional yang mau membantu jalannya program. Sedangkan faktor penghambatnya bisa berupa sarana dan prasarana yang masih kurang lengkap, kemudian keterbatasan areal fisik sehingga pihak yayasan tidak bisa mengembangkan bangunan yang sudah ada apalagi ditambah dengan masih kurang intensifnya penggalangan dana sehingga masih sering menjadi kendala.


(4)

12.Bagaimana reaksi anak-anak terhadap program-program yang dijalankan?

Jawab : Sebetulnya anak-anak jalanan sangat senang dengan program-program yang dilakukan oleh Yayasan BAP ini, tapi yang namanya anak-anak motivasinya kan masih maju mundur, jadi perlu ada kontrol khusus dalam hal motivasi.

Informan


(5)

Wawancara dengan Ali (pengurus)

1. Siapa yang menjadi pengajar dalam sekolah paket ka?

Jawab : Yang menjadi pengajar sekolah paket dari istri-istri pengurus juga, seperti istrinya ka Abdul Saleh, terus ada juga……

2. Waktu untuk belajarnya kapan dan dimana?

Jawab : Kalo waktu untuk belajarnya biasanya dari jam 9 sampai 12. trus tempatnya di sini aja, di kamar sebelah yang sekarang lagi direnovasi.

3. gimana respon anak-anak dalam kegiatan belajar sekolah paket?

Jawab : Namanya juga anak-anak jalanan, mereka biasa hidup bebas, kalo lagi banyak yang belajar ya banyak, tapi kalo lagi sedikit paling Cuma 3 sampe 4 orang.

4. Susah ga ka ngurus mereka?

Jawab : Pastinya ya, mereka kan kebanyakan waktunya di jalan, otomatis agak susah diatur apalagi harus disiplin. Makanya jadi pengurus di sini harus bener-bener sabar ngadepin tingkah laku mereka. Apalagi anak-anak ini dalam kondisi yang luar biasa jiwa premanismenya. Maka pendekatannya pun harus pelan-pelan. Yang harus kita sadari bahwa anak ini adalah manusia. Manusia itu adalah makhluk sosial, dia punya hati, punya perasaan, juga punya gengsi. Kalo kita bisa masuk pada hal-hal sepele itu, orang menganggap itu kecil padahal sangat besar pengaruhnya. Maka dari itu kita tidak bisa setengah hati. Tuhan kan tidak bisa dibohongin. Hubungan batin itu terjalin kalo ada ketulusan walaupun dibaik-baikin kaya gimana juga tetap aja hasilnya pasti hambar. Kalo emang kita sayang sama mereka sepenuh hati, ya tidak marah-marah. Kalo memang harus marah di saat-saat tertentu, tapi marahnya kan bukan dengan kebencian, tapi karma kita sayang mereka. Kalo anak yang sudah punya ikatan batin seperti itu mau dimarahin kaya gimana juga mereka pasrah, mereka pasti mau denger!


(6)

5. Selain rumah singgah, apalagi yang Yayasan Bina Anak Pertiwi ini punya? Jawab : Yayasan Bina Anak Pertiwi ini tidak hanya rumah singgah saja, tetapi

juga di dalamnya terdapat PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Mengajar) Pesantren Kota yang saat ini konsen pada program pendidikan paketnya, PKBM ini juga berada di daerah Depok dan Citayam yang bernama PKBM Lentera Ummah, yang menangani Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang merupakan cabang dari Yayasan Bina Anak Pertiwi. Selain di ketiga tempat tersebut, masih ada lagi cabang di daerah Jonggol yang konsen pada PLK (Pendidikan Layanan Khusus) untuk daerah terpencil. Di daerah ini juga yang dijadikan sebagai pusat pertanian, khususnya budidaya belimbing karena memiliki lahan yang cukup luas.

6. Siapa lagi yang menjadi donatur selain dari luar ka?

Jawab : Rata-rata yang menjadi donatur adalah dari para pembinanya, Diantaranya adalah ibu Isis (istri Arifin Panigoro) yang menanggung pendidikan anak sebanyak 30 orang, bapak Erwin Husein (pengusaha perkapalan) menanggung sebanyak 8 orang, jamaah Kajian Islam Raudlah Pondok Indah yang menanggung 10 orang, jamaah ibu-ibu Pengajian Sakinah, Tebet, dan sisanya dari kas yayasan

Informan