Pihak-Pihak yang Berhak dalam Hadhanah

28 Tetapi didalam Peraturan Perundang-Undang Perkawinan di Indonesia baik itu didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ataupun Inpres nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam tidak ada satupun pasal yang membahas masalah mengenai syarat-syarat atau persyaratan bagi sesorang yang berhak mendapatkan hak asuh anak. Di dalam Kompilasi Hukum Islam hanya mengatur bahwa apabila si pemegang hak asuh anak tidak mampu menjaga keselamatan jasmani dan rohani si anak, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanahnya kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanahnya pula. Sebagaimana dalam pasal 156 huruf c disebutkan : c Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula. 27

D. Pihak-Pihak yang Berhak dalam Hadhanah

Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai pada umur tertentu, memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupannya, seperti makan, pakaian, membersihkan diri, bahkan sampai kepada pengaturan bangun dan tidur. Oleh karena itu, orang yang menjaganya perlu mempunyai rasa kasih sayang, kesabaran, dan mempunyai keinginan agar anak itu baik saleh di kemudian hari. Di 27 Abduraahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 2007, hal. 151 29 samping itu juga, ia harus mempunyai waktu yang cukup pula untuk melakukan tugas itu. 28 Ulama fikih berbeda pendapat dalam menentukan siapa yang memiliki hak hadhanah tersebut, apakah hak hadhanah milik wanita ibu atau yang mewakilinya atau hak anak yang diasuh. 29 Jika wanita lebih berhak mendidik dan mengasuh anak daripada laki-laki, maka sesuai ijma ulama ibu kandung si anak tentu lebih berhak mengasuh anaknya setelah terjadi perpisahan antara suami dan istrinya, baik karena talak, meninggalnya suami atau suami menikah dengan wanita lain, karena ibu jauh memiliki kelembutan dan kasih sayang, kecuali jika ada penghalang yang menghapuskan hak si ibu untuk mengasuh anak. 30 Ulama berbeda pendapat siapa yang paling berhak mengasuh anak setelah ibu kandung atau urutan hak asuh anak jika ternyata ada penyebab yang menghalangi ibu kandung untuk mendapatkan hak asuhnya. Perbedaan pendapat ini disebabkan tidak adanya dalil qath ‟i yang secara tegas membahas masalah ini. Hanya saja keempat imam madzhab lebih mendahulukan kalangan kerabat dari pihak ibu dibandingkan dari kalangan kerabat dari pihak ayah dalam tingkat kerabatan yang sama misalnya mendahulukan nenek dari pihak ibu dari pada nenek pihak ayah. 28 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakaahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, hal. 217-218 29 Andi Syamsu Alam dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Jakarta: Kencana, 2008, hal. 116 30 Aby Yazid , “Hadhanah-Hak Asuh Anak”, artikel ini diakses pada 09 Februari 2011 dari http:abiyazid.woordpres.com200802...hadhanah-hak-asuh-anak-html. 30 Maka dari itu para Ulama memberikan urutan dan skala prioritas hak mengasuh anak bagi para wanita, sesuai dengan kemaslahatan anak tersebut. Menurut mereka, naluri kewanitaan mereka lebih sesuai untuk merawat dan mendidik anak, serta adanya kesabaran mereka dalam menghadapi permasalahan kehidupan anak lebih tinggi dibanding kesabaran seorang laki-laki. 31 Urut-urutan prioritas orang yang berhak mengasuh anak, menurut ulama fikih adalah sebagai berikut: a. Kalangan Mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang paling berhak mengasuh anak adalah: 32 1. Ibu kandungnya sendiri 2. Nenek dari pihak ibu 3. Nenek dari pihak ayah 4. Saudara perempuan kakak perempuan 5. Bibi dari pihak ibu 6. Anak perempuan saudara perempuan 7. Anak perempuan saudara laki-laki 8. Bibi dari pihak ayah. b. Kalangan Mazhab Maliki berpendapat bahwa urutan hak anak asuh dimulai dari: 31 Andi Syamsu Alam dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, hal. 118 32 Aby Yazid, “Hadhanah-Hak Asuh Anak”, artikel ini diakses pada 09 Februari 2011 dari http:abiyazid.woordpress.com200802...hadhanah-hak-asuh-anak--html. 31 1. Ibu kandung 2. Nenek dari pihak ibu 3. Bibi dari pihak ibu 4. Nenek dari pihak ayah 5. Saudara perempuan 6. Bibi dari pihak ayah 7. Anak perempuan dari saudara laki-laki 8. Penerima wasiat 9. Dan kerabat lain ashabah yang lebih utama. c. Kalangan Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa hak anak asuh dimulai dari: 33 1. Ibu kandung 2. Nenek dari pihak ibu 3. Nenek dari pihak ayah 4. Saudara perempuan 5. Bibi dari pihak ibu 6. Anak perempuan dari saudara laki-laki 7. Anak perempuan dari saudara perempuan 8. Bibi dari pihak ayah. 33 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Penerjemah: Masykur A.B. dkk, Al- Fiqh Ala Al-Madzahib Al-Khomsah, Jakarta: Lentera, 2006, hal. 415-416 32 9. Dan kerabat yang masih menjadi mahram bagi si anak yang mendapat bagian warisan ashabah sesuai dengan urutan pembagian harta warisan. Pendapat Mazhab Syafi’I sama dengan pendapat mazhab Hanafi. d. Kalangan Madzhab Hanbali berpendapat bahwa hak anak asuh dimulai dari: 34 1. Ibu kandung 2. Nenek dari pihak ibu 3. Kakek dan ibu kakek 4. Bibi dari kedua orang tua 5. Saudara perempuan seibu 6. Saudara perempuan seayah 7. Bibi dari ibu kedua orangtua 8. Bibinya ibu 9. Bibinya ayah 10. Bibinya ibu dari jalur ibu 11. Bibinya ayah dari jalur ibu 12. Bibinya ayah dari pihak ayah 13. Anak perempuan dari saudara laki-laki 14. Anak perempuan dari paman ayah dari pihak ayah 15. Kemudian kalangan kerabat dari urutan yang paling dekat. 34 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, hal. 415 33 Apabila saudara perempuannya pun dianggap tidak layak maka hak hadhanahnya pindah ke pihak laki-laki dengan urutan prioritas sebagai berikut: 35 a. Ayah b. Kakek yang terdekat c. Saudara seayah dan seibu d. Saudara lelaki ataupun kerabat lainnya dari pihak ayah dimulai dari jarak yang paling dekat. Jika para wali berdasarkan hukum ini tidak ada juga, maka hakim atau pengadilan menunjuk orang yang akan melakukan hadhanah sekaligus menjadi walinya. a Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan. 36 a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak- anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bila terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberi keputusannya. b. Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu. Bila bapak tidak memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. 35 Aby Yazid, “Hadhanah-Hak Asuh Anak”, artikel ini diakses pada 09 Februari 2011 dari http:abiyazid.woordpress.com200802...hadhanah-hak-asuh-anak-html 36 R. Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT.Pradnya Paramita, hal. 549 34 b Menurut pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam: “pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya”. Dengan demikian jelas bahwa anak yang belum dewasa tidak dapat mempunyai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum karena itu segala perbuatan yang menyangkut kepentingan anak tetap menjadi tanggung jawab orang tua.

E. Masa Hadhanah