Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai mahkluk sosial tidak pernah lepas dari hubungannya dengan manusia lain. Manusia memiliki kepentingan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dengan perbedaan kepentingan ini hubungan yang dibangun antara manusia yang satu dengan manusia yang lain bisa mengaruh terbentuknya pertentangan, perselisihan, sengketa, bahkan permusuhan. Untuk menghindari terjadinnya hal ini, diperlukan norma atau rambu-rambu kehidupan. Selain norma agama, norma etika, di kenal juga norma hukum yang sangat penting peranannya dalam mengatur perilaku manusia dalam hidup bermasyarakat. 1 Perkawinan harus dipahami sebagai ikatan manusia untuk menjelaskan hasrat seksualnya secara sah dan bertanggung jawab, dari sini akan terjalin hubungan kasih sayang cinta dan tanggung jawab untuk membentuk sebuah masyarakat kecil yang akan meneruskan perjalanan peradaban manusia. 2 Islam memandang perkawinan mempunyai nilai-nilai keagamaan sebagai wujud ibadah kepada Allah. Mengikuti sunnah Nabi, dan mempunyai nilai-nilai 1 Muhammad Nasir, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Djambatan, 2003, cet.2, hal. 1 2 Muhammad Husein, Perempuan, Yogyakarta : LKIS, 2001, hal 105 2 kemanusian untuk memenuhi naluri hidup dan menumbuhkan rasa kasih sayang dalam hidup bermasyarakat. 3 R. Abdul Djamali mengungkapkan, sebelum melangsungkan perkawinan ada hal-hal yang perlu diperhatikan bagi calon suami istri yaitu: Pertama harus benar- benar bersedia melanjutkan hidup sebagai pelaksanaan perintah Allah. Kedua memerlukan ketelitian untuk memilih dan menetapkan calon sebagai pasangan hidup. Suatu pilihan akan menghasilkan yang baik kalau dilaksanakan melalui proses meneliti secara mendalam mengenai tingkah laku dan kehidupan sehari-hari, tidak semua orang dapat mengatur rumah tangganya dengan baik. Ketiga niat berumah tangga lebih dahulu memahami seluk beluk kehidupan wanita atau pria yang baik. 4 Keempat berbagai kesiapan ilmu pengetahuan yang cukup, hal ini harus dimiliki setiap individu yang akan berkeluarga, baik kaum laki-laki maupun wanita, sehingga masing-masing mengetahui apa hak dan kewajiban serta posisinya jika sudah berkeluarga. Sebab bila seorang menikah tidak bisa memposisikan dirinya maka rumah tangga adalah awal dari sebuah masalah. Menurut bentuknya perkawinan mewujudkan susunan keluarga sebagai suami istri yang diridai Allah melalui ikatan perjanjian yang bernilai suci atau sakral. Pengertian ini identik dengan hukum nasional yang dicantumkan dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan “perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang 3 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press. 2000, hal. 13 4 R. Abdul Djamali, Hukum Islam, Bandung : Penerbit Mandar Maju, 2002, hal 81-82 3 pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha E sa.“Untuk mewujudkan tujuan perkawinan tersebut maka akan terpenuhi kewajiban masing-masing dalam menegakkan rumah tangga suasana damai dan saling pengertian. Muderis Zaini berpendapat bahwa keluarga mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia sebagai manusia sosial dan merupakan masyarakat kecil yang terdiri dari seorang ayah, ibu, dan anak. 5 Dalam Islam, perkawinan tidak terikat dalam ikatan mati dan tidak pula mempermudah terjadi perceraian. Perceraian baru boleh dilakukan jika benar-benar dalam kondisi yang sangat darurat dan terpaksa, sebagai solusi akhir dalam menyelesaikan masalah rumah tangga. Perceraian dibolehkan dan diperbolehkan apabila hal tersebut lebih baik dari pada tetap dalam ikatan perkawinan tetapi tidak tercapai kebahagian dan selalu ada dalam penderitaan, sebagaimana di tulis oleh Sayyid Sabiq bahwa lepasnya ikatan perkawinan sangat dilarang kecuali terdapat alasan yang dibenarkan terjadi hal yang sangat darurat. 6 Perceraian bukan hanya merupakan bencana bagi pasangan suami istri,, namun juga merupakan malapetaka bagi fisik dan psikis anak-anak mereka. Peristiwa perceraian, apapun alasanya merupakan sesuatu yang sangat berdampak negatif bagi 5 Mudderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga System Hukum , Jakarta : Sinar Grafika, 1992, hal.7 6 Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-sunnah, Kairo: Darul Fath, tth, juz II, hal. 106 4 anak dimana pada saat itu, anak tidak dapat lagi merasakan nikmat kasih sayang sekaligus dari kedua orang tuanya. Padahal, merasakan kasih sayang kedua orang tua merupakan unsur penting bagi pertumbuhan mental seorang anak. Menurut para fuqaha, hadhanah adalah hak untuk memelihara anak kecil, baik laki-laki maupun perempuan atau yang kurang sehat akalnya, jadi tidak termasuk disini pemeliharaan terhadap anak yang telah dewasa yang sehat akalnya. 7 Bilamana terjadi perceraian, maka orang yang paling berhak mengasuh dan memelihara anak-anaknya adalah ibunya yang secara emosional lebih sabar dibandingkan ayahnya. Namun dalam hadhanah, Agama Islam memberikan syarat- syarat kepada seorang pengasuh yaitu : berakal, baligh, mempunyai kemampuan dan kemauan untuk mendidik anak yang di asuh, dapat dipercaya, dan juga harus beragama Islamseaqidah dengan sang anak. 8 Sedangkan di dalam hukum Islam Fikih, M azhab Syi’ah Imamiyah dan Syafiiyah berpendapat bahwa seorang kafir tidak boleh mengasuh anak yang beragama Islam, sedangkan mazhab yang lainnya tidak mensyaratkannya. Sedangkan Ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa kemurtadan wanita atau laki-laki yang mengasuh, secara otomatis menggugurkan hak asuhnya. 9 7 Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah, Penerjemah Anshori Umar Sitanggal, dkk, Semarang : Asy Syifa, 1981, hal. 450 8 Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqh Wanita, Penerjemah :M. Abdul Ghaffar E.M Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 1998, hal. 435 9 Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah: Masykur A.B. dkk, Al-Fiqh Ala Al-Madzahib Al-Khomsah, Jakarta: Penerbit Lentera, 2006 h. 416-417 5 Dalam proses pemeliharaan anak dari kecil sampai baliq ada dua istilah yang berdekatan maksudnya yaitu kata hadhin dan kata wali, hadhin atau hadhinah adalah istilah yang dipakai bagi seseorang yang melakukan tugas hadhanah yaitu tugas menjaga dan mengasuh atau mendidik bayi atau anak kecil sejak ia lahir sampai bisa secara sederhana makan sendiri dan berpakaian sendiri dan bisa membedakan yang berbahaya baginya. Bila diukur dengan umur, sampai umur 7 atau 8 tahun. Pada masa sebelum umur tersebut, pada umumya seorang anak belum bisa mengatur dirinya dan belum bisa secara sederhana membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya. 10 Orang yang akan menjadi pengasuh anak disyaratkan mempunyai kafa’ah atau martabat yang sepadan dengan kedudukan si anak, mampu melaksanakan tugas sebagai pengasuh anak. Karena, dengan adanya kemampuan dan kafa’ah, maka mencakup beberapa syarat tertentu, dan apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka gugurlah haknya untuk mengasuh anak. 11 Kemudian masalah yang paling pokok dalam pemeliharaan anak adalah syarat-syarat yang akan menjadi hadhin, karena sifat seorang pengasuh akan berpengaruh kuat terhadap anak yang menjadi asuhannya, keberhasilan seorang anak dalam perkembangan, kedewasaan, dan pendidikannya. Sebab ciri dasar manusia adalah bersifat dinamis merdeka dan sosial. Maka pada saat inilah seorang anak 10 Satria Efendi M . Zein, ProblematikaHukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2004, hal. 220 11 H.S. Al-Hamdani, Risalah Nikah, Jakarta : Pustaka Amani, 1989, hal. 321 6 diberikan pendidikan yang paling besar sifatnya seperti diajarinya seorang anak mengenal Tuhan sebagai bekal tauhid dan jiwanya. Seperti yang terjadi dalam kasus perceraian pada putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 1829Pdt.G2008PAJT Perceraian antara Hamdy bin Bawazier penggugat dengan Inggriet Margarita Lasut binti Alfarits Lasut tergugat I, hak pemeliharaan anak laki-lakinya yang bernama Imtiyaz Hamdy Bawazier jatuh ke pihak bapak bukan berada dipihak ibu. Karena anak laki-laki penggugat tersebut terlahir dari perkawinan secara Islam dan mempunyai orang tua dan ayah yang beragama islam, penggugat khawatir anak tersebut dipelihara dan diberi pendidikan yang berbeda dengan agama orang tuanya mengingat nenek tergugat II atau mertua dari penggugat yang mengasuh anak tersebut bukan beragama Islam non muslim sehingga tidak berlebihan kecemasan dan rasa khawatir yang dirasakan oleh orang tua anak sebagai ayahnya. Inilah yang menjadi latar belakang penulisan untuk mengambil skripsi de ngan judul : “PELIMPAHAN HAK ASUH ANAK KEPADA BAPAK” Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 1829Pdt.G2008PAJT .

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah