BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
Teror dan terorisme adalah dua kata yang hampir sejenis yang dalam satu dekade ini menjadi sangat populer, atau tepatnya sejak peristiwa runtuhnya WTC World Trade Center
tanggal 9 September 2001 yang lalu. Jika kita memasukan kata terorisme pada mesin pencari di internet, maka kita akan mendapati ribuan bahkan jutaan hasilnya, dengan segala latar
belakang, pembelaan, tuduhan, perkembangan, dan lain-lainnya. Yang ironisnya, selalu saja menjadi kata sifat dan keterangan dari sebuah agama bernama Islam.
Kata teror berasal dari bahasa latin yaitu terrere. Namun di masa Revolusi Perancis, kata teror sendiri juga dikenal dengan sebutan “Le terreur” yang berasal dari bahasa Perancis.
Kata tersebut semula hanya dipergunakan untuk menyebut tindakan pemerintah hasil Revolusi Perancis yang mempergunakan kekerasan secara brutal dan berlebihan dengan cara
memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan anti pemerintah. Selanjutnya kata terorisme dipergunakan untuk menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah di Rusia. Maka
secara tak langsung kata terorisme sejak awal dipergunakan untuk menyebut tindakan kekerasan oleh pemerintah maupun kegiatan yang anti pemerintah.
Terorisme berkembang sejak berabad lampau. Asalnya, terorisme hanya berupa kejahatan murni seperti pembunuhan dan ancaman yang bertujuan untuk mencapai tujuan
tertentu. Perkembangannya bermula dalam bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik yang dilakukan secara perorangan maupun
oleh suatu kelompok terhadap penguasa yang dianggap sebagai pelakunya. Pembunuhan terhadap individu ini sudah dapat dikatakan sebagai bentuk murni dari terorisme.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai bagian dari fenomena sosial, terorisme jelas berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Cara-cara yang digunakan untuk melakukan kekerasan
dan ketakutan juga semakin canggih seiring dengan kemajuan teknologi modern. Proses globalisasi dan budaya massa menjadi lahan subur perkembangan terorisme. Kemudahan
menciptakan ketakutan dengan teknologi tinggi dan liputan media yang luas membuat jaringan dan tindakan teror semakin mudah mencapai tujuan.
Saat ini, motif terorisme lebih sering dikaitkan dengan dimensi moral yang luas seperti nilai, ideologi, agama, ketidakadilan tatanan dan struktur sosial. Namun tidak dipungkiri,
bahwa sekarang ini, Islam diidentifikasikan sedemikian rupa sebagai agama yang mengusung terorisme. Perkembangan Islam, baik secara institusi atau pun individualnya, telah
mengkhawatirkan dunia internasional sedemikian rupa tanpa alasan yang jelas sama sekali. Stigma Islam yang melahirkan kekerasan terus dimunculkan setiap hari di berbagai
belahan dunia. Hingga umat pun perlahan-lahan mulai percaya bahwa Islam mengusung kekerasan seperti itu, padahal tak sedikitpun agama islam menganjurkan kekerasan. Dalam
berperang, Islam telah mengajarkan syarat dan ketentuan seperti tidak sembarangan boleh membunuh, tidak boleh merusak pepohonan, tidak boleh berlebihan, dan sebagainya.
Beberapa bulan terakhir, ditengah berkecamuknya suasana politik negeri ini terkait dengan kasus bail-out bank century, kita kembali disuguhi berita perburuan teroris di
Pamulang dan Aceh. Dimana teroris di Aceh sekarang ini telah menjadi perbincangan hangat. Di media massa seperti koran, televisi dan lain-lain memuat berita tersebut. Teroris di Aceh
ini diduga kuat adalah jaringan Al Qaeda. Seperti yang di katakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seakan ingin memastikan, keberadaan pemimpin teroris di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam bukanlah asli orang Aceh. Presiden juga merasa yakin, apa yang terjadi di Aceh diindikasikan ada unsur terorisnya.
Universitas Sumatera Utara
Padahal belum lepas dari ingatan kita, berita terorisme terkait dengan kejadian bom di Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott pada tanggal 17 Juli 2009 yang lalu tidak hanya membuat
sibuk pengamat sosial, politik, keamanan dan budaya tetapi juga para insan olahraga karena tim kesayangannya, klub sepakbola kelas dunia MU Manchester United gagal ‘merumput’
di Gelora Bung Karno. Sejak kejadian WTC 9 September itu, dunia pun mulai menyatakan perang terhadap
teroris, Say No to Teroris. Slogan-slogan tersebut terus dijejalkan pada masyarakat dan tak lama kemudian dimulailah ‘operasi pembersihan’ di negara-negara yang dituduh sebagai
‘pabrik’ teroris, seperti Irak dan Afganistan yang mana keduanya merupakan negara muslim. Meskipun pada perkembangan selanjutnya, banyak para ahli yang mulai curiga
bahwa ada yang salah dalam cerita tragedi kemanusiaan itu namun masih lebih banyak yang tidak mau mencermati sejarah sehingga dengan mudah mereka menggunakan istilah teroris
dan mengaitkannya dengan gerakan Islam radikal, militan, fundamentalis, atau garis keras seperti halnya yang digembar-gemborkan pihak Barat.
Hal ini membuat banyak kalangan kebingungan siapa sebenarnya yang teroris itu. Penelitian ini tentu tidaklah cukup refresentatif untuk menjawab pertanyaan itu. Tapi paling
tidak bisa memberikan sedikit gambaran bahwa terorisme pada dasarnya adalah sebuah ideologi komunitas tertentu yang melakukan aksi bom bunuh diri sebagai sarana untuk
menyampaikan pesan anti Amerika dengan mengatasnamakan agama. Hal ini tentunya menodai citra Islam sebagai agama yang mengajarkan keselamatan dan kedamaian, agama
yang rahmatan lil alamiin yang semua aspek ajarannya jika dipahami dan diaplikasikan secara integral dalam kehidupan sehari-hari akan melahirkan pribadi yang mulia, secara
pribadi maupun sosial. Karena Islam tidak mengenal konsep jihad dengan makna membunuh ketika berada
dalam situasi damai dan ketentraman. Jihad itu maknanya adalah berjuang dalam dimensi
Universitas Sumatera Utara
yang luas, yakni bisa bermakna memperbaiki nasib rakyat, bersedekah, mendirikan sarana pendidikan, mengayomi masyarakat dan berbagai kebajikan lainnya. Kalau kemudian jihad
diartikan hanya berperang, itu sudah keliru dan akan melahirkan kekeliruan selanjutnya. Pertanyaan yang juga sering muncul adalah mengapa pelaku bom bunuh diri tersebut
yang sering disebut teroris, notabene adalah seorang muslim yang baik, shaleh, rajin shalat, taat menjalankan perintah agama, tidak pernah berbuat onar di masyarakat dan menguasai
berbagai pengetahuan termasuk ilmu agama. Untuk menilai kepribadian seseorang tidak hanya bisa dilihat dari satu faktor saja. Sangat kompleks permasalahannya karena manusia
adalah mahluk yang dinamis. Bisa jadi ketaatan beragamanya yang perlu dipertanyakan karena secara umum masyarakat Indonesia hanya taat dalam hal ritual saja tanpa penghayatan
makna yang mendalam dibalik semua ajaran agama yang dilakukannya. Dan banyak juga ini terjadi karena pengaruh lingkungan dan pergaulan. Terlebih jika dikaitkan dengan
kecenderungan usia remaja 13 - 18 tahun dimana keterikatan terhadap kelompok pergaulan lebih dominan ketimbang terhadap keluarga.
Oleh karena itu, untuk mengetahui bagaimana kepribadian para teroris itu terbentuk perlu adanya pendekatan khusus. Masyarakat dan pemerintah harus melakukan kajian
psikologis dan psikoanalisa jika ada pelaku-pelaku yang tertangkap. Dan sebagai antisipasi, perlu adanya konseling dan pendidikan yang lebih baik lagi bagi keluarga-keluarga teroris
yang mempunyai potensi menjadi teroris juga. Bentengi diri dan keluarga kita dengan memupuk dan mengembangkan nilai-nilai keagamaan dalam keluarga sebagai lingkungan
terdekat yang membentuk dan mempengaruhi pribadi dan budi pekerti seseorang. Dan tak kalah penting adalah selektif dalam memilih teman atau lingkungan.
Berita-berita mengenai terorisme yang pernah ditayangkan oleh TV One pun, tentu akan mendapatkan tanggapan yang beragam dari penontonnya. Informasi yang tersaji dalam
bentuk gambar dan ilustrasi dapat merangsang penonton TV One untuk memberikan
Universitas Sumatera Utara
tanggapan maupun sikap terhadap berita tersebut. Dengan adanya penonton yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda seperti usia, jenis kelamin maupun tingkat pendidikan,
memunculkan ketertarikan peneliti untuk melihat fenomena yang terjadi akibat berita terorisme tersebut. TV One yang dipilih oleh peneliti sebagai perwakilan media televisi yang
menayangkan berita terorisme dianggap sebagai saluran media televisi yang mampu memenuhi kebutuhan informasi akan suatu berita yang terdepan dalam mengabarkannya.
Dalam penyajian berita, TV One dapat menayangkannya secara langsung dari tempat kejadian perkara dimana pun dan kapan pun kejadian tersebut berlangsung.
Lokasi penelitian yang peneliti anggap mampu meneliti permasalahan yang ingin diteliti adalah SMA Al-azhar Medan. Penelitian lokasi ini berdasarkan kesesuaian dengan
judul yang peneliti angkat. Dimana peneliti ingin mengetahui akan sikap remaja muslim pada sekolah menengah umum yang ada di kota Medan. SMA Al-azhar merupakan salah satu
sekolah menengah umum yang tidak hanya diutamakan menguasai ilmu dan teknologi tapi yang paling utama harus dibekali akhlak dan taqwa.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh berita terorisme di TV One terhadap sikap remaja muslim di SMA Al-Azhar
Medan.
I.2. Perumusan Masalah