BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil
5.1.1. Perubahan Lahan Hutan Mangrove Menjadi Lahan Berbagai
Peruntukan Berdampak pada Produksi Perikanan
Kondisi hutan mangrove pada tahun 2001 seluas 13.869 Ha, namun kini kondisinya sudah sangat memprihatinkan akibat dikonversi untuk berbagai kegiatan
perekonomian, dan pada saat ini tahun 2007 luas hutan mangrove di Kabupaten Deli Serdang hanya tinggal 4.525 Ha, ini berarti kerusakan hutan mangrove setiap
tahunnya berkisar 1557,3 Ha, salah satu dampak yang ditimbulkan dari kerusakan hutan mangrove adalah penurunan produksi perikanan pada tahun 2004 sebanyak
41.521,60 ton sedangkan produksi perikanan pada tahun 2005 sebanyak 20.204,60 ton, ini berarti produksi perikanan mengalami penurunan yang sangat besar.
Tabel 14. Perkembangan Produksi Perikanan di 4 Kecamatan Pesisir Kabupaten Deli Serdang Tahun 2004 – 2008
Perkembangan Produksi Perikanan No
Uraian 2004
2005 2006
2007 2008
1 Tangkapan
dari laut ton
37,225.40 16.677.7 17.097.31 18.396.1 19.873,28
2 Budidaya tambak
ton 4.296,2
3.526.9 3.527
3.703.37 3.703,08
Jumlah 41.521,60 20.204.6 20.624.31 22.099.47 23.576,36
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2. Produksi Perikanan Tangkap dan Budidaya di Empat Kecamatan Lokasi Penelitian
Hal ini disebabkan karena wilayah pesisir Kabupaten Deli Serdang telah mengalami degradasi, terutama hutan mangrove sebagai akibat pemanfaatan atau
konversi menjadi peruntukan lain pertambakan, pemukiman, perkebunan, pertanian, pariwisata dan pertambangan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, salah satu
penyebab konversi hutan mangrove menjadi lahan peruntukan lain adalah belum adanya penataan ruang wilayah pesisir, penyusunan tata ruang yang dilakukan selama
ini belum mengintegrasikan wilayah pesisir, baik dalam rencana tata ruang kabupaten maupun kecamatan. Kenyataannya pelaksanaan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir
telah banyak terjadi pelanggaran misalnya pendirian bangunan atau pengusahaan tambak di sempadan pantai yang menyebabkan rusaknya hutan mangrove di jalur
hijau. Belum adanya penyusunan rencana tata ruang wilayah pesisir berkaitan erat dengan belum adanya peraturan yang mendukung secara tegas upaya penataan ruang
Universitas Sumatera Utara
wilayah pesisir tersebut. Penataan ruang merupakan salah satu usaha untuk menekan terjadinya konflik kepentingan pemanfaatan ruang, termasuk pemanfaatan ruang
di wilayah pesisir. Pada saat ini aktivitas dan jumlah orang yang ingin memanfaatkan sumberdaya pesisir semakin meningkat, sedangkan sumberdaya pesisir cenderung
berkurang. Di sisi lain pemanfaatan sumberdaya pesisir yang ada saat ini kurang ramah lingkungan dan tidak berkelanjutan. Untuk itu perlu dilakukan usaha
rehabilitasi hutan mangrove, Kusmana 2002 menyatakan bahwa ekosistem mangrove baik secara sendiri maupun secara bersama dengan ekosistem padang
lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun secara biologis, di samping itu ekositem mangrove
merupakan sumber plasma nuftah yang cukup tinggi. Karena karakter pohon mangrove yang khas, ekosistem mangrove berfungsi sebagai peredam gelombang dan
badai, pelindung abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen. Ekosistem mangrove juga merupakan penghasil detritus dan merupakan daerah asuhan nursery
ground, daerah untuk mencari makan feeding ground serta daerah pemijahan spauning ground bagi berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya, juga
sebagai pemasok larva, ikan dan udang, kini kondisinya sudah pada tingkat kerusakan yang sangat memprihatinkan. Peta sebaran hutan mangrove di Kabupaten Deli
Serdang dapat dilihat pada Lampiran 27. Untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan hidup para nelayan responden yang
menggantungkan hidupnya pada sumberdaya perikanan, maka mereka mengganti jenis alat tangkap maupun kapal penangkap ikan serta jumlah armada, walaupun
Universitas Sumatera Utara
dengan biaya dan resiko yang lebih besar. Jenis alat tangkap yang dipergunakan oleh kapal motor adalah jenis pukat layang mini beam trawl dan fish net atau otter trawl,
baik pukat layang maupun otter trawl merupakan alat tangkap yang secara hukum berdasarkan Keppres No. 39 Tahun 1980 dilarang penggunaannya, karena alat
tangkap ini dapat merusak sumberdaya perikanan secara luas serta memutus siklus regenerasi ikan dan bertentangan dengan visi pembangunan berkelanjutan
sustainable development yang merupakan visi dunia internasional maupun visi nasional.
Visi pembangunan berkelanjutan tidak melarang aktivitas pembangunan ekonomi, tetapi menganjurkannya dengan persyaratan bahwa laju tingkat kegiatan
pembangunan tidak melampaui daya dukung carrying capacity lingkungan alam. Dengan demikian, generasi mendatang tetap memiliki asset sumberdaya alam
dan jasa-jasa lingkungan yang sama atau kalau dapat lebih baik dari pada generasi yang hidup sekarang.
Sedangkan kalau dilihat produksi tahun 2006 – 2008 yang mengalami peningkatan, hal ini berhubungan dengan peningkatan jumlah nelayan dan armada
penangkapan yang terus meningkat, hal ini dapat dilihat pada Tabel 15 dan 16.
Tabel 15. Perkembangan Nelayan Kabupaten Deli Serdang Tahun 2004-2008 Tahun
No Uraian
2004 2005
2006 2007
2008
1 Jumlah nelayan
2.269 2.424
2.601 2.791
2.985 Sumber: Statistik Perikanan Tahun 2008.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 16. Perkembangan Perahu Penangkap Ikan Kabupaten Deli Serdang Tahun 2004 – 2008
Tahun No
Uraian 2004
2005 2006
2007 2008
1 Perahu tanpa motor
1.576 1.710
1.768 1.799
1.869 2
Perahu Motor 91
94 99
105 109
3 Kapal Motor
985 1.068
1.104 1.124
1.169 Sumber: Statistik Perikanan Tahun 2008.
Peningkatan produksi perikanan ini tidak diikuti dengan peningkatan taraf hidup nelayan responden, hal ini disebabkan karena jenis ikan yang tertangkap
kurang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan ukurannya relatif lebih kecil. Secara umum keragaman jenis tangkapan nelayan di Kabupaten Deli Serdang mengalami
penurunan. Jenis ikan yang mengalami penurunan diantaranya: ikan pari, ikan merah, ikan ketang, ikan sembilang, cumi-cumi dan lain-lain Utomo, 2009. Jenis ikan yang
sering tertangkap oleh para responden dapat dilihat pada Lampiran 31. Untuk produksi budidaya air payau tambak dilihat dari data sekunder pada
tahun 2004 sebesar 4.296,20 ton dan pada tahun 2005 sebesar 3.526,90 ton hal ini juga mengalami penurunan produksi. Penurunan produksi ini juga terkait dengan
degradasi kawasan pesisir terutama hutan mangrove yang secara fisik, kimia dan biologi tidak dapat lagi menunjang keberhasilan budidaya. Sebaran peta tambak
dapat dilihat pada Lampiran 28. Eksploitasi sumberdaya alam dalam dekade terakhir ini menunjukkan trend
yang semakin meningkat dan pemanfaatan maksimum, yaitu titik di mana eksploitasi telah mendekati kondisi yang membahayakan bagi kelestarian lingkungan dan
Universitas Sumatera Utara
sumberdaya alam. Berbagai resiko dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia tersebut apabila dibiarkan akan menjadi ancaman bagi kelestarian
sumberdaya alam itu sendiri dan lingkungan sekitarnya. Kondisi di atas dapat terjadi antara lain dikarenakan oleh anggapan masyarakat bahwa sumberdaya perikanan dan
kelautan merupakan sumberdaya milik bersama common property resources, sehingga setiap orang atau pemanfaat berlomba-lomba untuk memanfaatkan
sumberdaya tersebut tanpa adanya satu aturan yang membatasinya. Hal ini dilakukan karena setiap orang atau pemanfaat mempunyai asumsi bahwa orang lain juga akan
memanfaatkan sumberdaya tersebut bila tidak dimanfaatkan semaksimal mungkin.
5.1.2. Karakteristik Secara Individu Mempunyai Hubungan dengan Tingkat