Latar Belakang 1 Waktu dan Tempat 12

vi DAFTAR ISI Halaman Persetujuan i Pernyataan ii Penghargaan iii Abstrak iv Abstract v Daftar Isi vi Daftra Tabel viii Daftar Gambar ix Daftar Lampiran x Bab 1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Permasalahan 3 1.3. Tujuan Penelitian 3 1.4. Hipotesis 3 1.5. Manfaat Penelitian 3 Bab 2. Tinjauan Pustaka 2.1. Botani Kelapa Sawit 4 2.2. Teknik Kultur Jaringan 5 2.3. Eksplan 6 2.4. Media Kultur 7 2.5. Zat Pengatur Tumbuh 8

2.5.1. Asam 2,4-Dikhlorophenoxy asetat 2,4-D 8

2.6. Variasi Somaklonal 9 2.7. RAPD 10 Bab 3. Metode Penelitian

3.1. Waktu dan Tempat 12

3.2. Bahan dan Alat 12 3.3. Rancangan Percobaan 12 3.4. Cara Kerja 13 3.4.1. Sterilisasi Alat dan Bahan 13 3.4.2. Pembuatan Media 14 3.4.3. Sterilisasi Eksplan 3.4.4. Induksi Kalus 3.4.5. Pemeliharaan Kultur 3.4.6. Subkultur 3.4.7. Isolasi DNA 3.4.8. Uji Kualitas dan Kuantitas DNA 3.4.9. Analisis Random Amplified Polymorfic DNA 15 15 15 15 15 16 17 Universitas Sumatera Utara vii RAPD 3.4.10. Variabel Pengamatan 3.5. Analisis Data Bab 4. Hasil dan Pembahasan 4.1. Waktu Terbentuk Kalus 4.2. Warna Kalus 4.3. Berat Basah Kalus 4.4. Analisis RAPD 4.4.1. Kualitas dan Kuantitas DNA 4.4.2. Amplifikasi DNA berdasarkan PCR 4.5. Kemiripan Genetik Kalus apical bud Kelapa Sawit Bab 5. Kesimpulan dan Saran 5.1. Kesimpulan 5.2. Saran Daftar Pustaka Lampiran 17 18 19 21 23 24 24 26 29 30 30 31 36 Universitas Sumatera Utara viii DAFTAR TABEL Nomor Judul Halaman Tabel 3.1. Bahan-bahan untuk Satu Kali Reaksi PCR 17 4.2. 4.3. 4.4. Persentase Warna Kalus Hasil Uji Rata-rata Berat Basah Kalus Apical Bud Kelapa Sawit Hasil Kualitas dan Kuantitas DNA 21 23 25 Universitas Sumatera Utara ix DAFTAR GAMBAR Nomor Judul Halaman Gambar 3.1. Pola Terjemahan Pita DNA. 18 4.1. Kalus Kelapa Sawit. 19 4.2. Hubungan Rata-rata Waktu Terbentuknya Kalus dengan Perlakuan Zat Pengatur Tumbuh. 20 4.3. Warna Kalus Kelapa Sawit Elaeis guineensis Jacq. 22 4.4. Hasil Kualitas DNA Menggunakan Gel Elektroforesis 0,8. 25 4.5. Profil Pola Pita DNA Kelapa Sawit Hasil RAPD dengan Primer W-15 dan OPC-08. 26 4.6. Dendogram Kemiripan Genetik Kalus Apical Bud Kelapa Sawit Berdasarkan Primer W-15 dan OPC-08. 28 Universitas Sumatera Utara x DAFTAR LAMPIRAN Nomor Judul Halaman Lampiran 1. Klon Kelapa Sawit Umur 8 Bulan 35 2. Komposisi Media MS Murashige Skoog 1962 36 3. Data Pengamatan Waktu Terbentuknya Kalus HST 37 4. Data Pengamatan Warna Kalus 38 5. Berat Basah Kalus 39 6. Data Biner Berdasarkan Primer W-15 dan OPC-08 41 Universitas Sumatera Utara iv PENGARUH 2,4-D DAN FREKUENSI SUBKULTUR TERHADAP PERUBAHAN GENETIK KULTUR APIKAL BUD KELAPA SAWIT Elaeis guineensis Jacq. PADA MEDIA MS. ABSTRAK Penelitian mengenai pengaruh 2,4-D dan frekuensi subkultur terhadap perubahan genetik kultur apikal bud kelapa sawit Elaeis guineensis Jacq. pada media MS telah dilakukan. Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 2 faktorial yaitu faktor konsentrasi Asam 2,4-diklorofenoksi asetat 2,4-D dengan taraf 0, 110, 120, dan 130 mgL dan perlakuan subkultur dengan frekuensi 3, 4 dan 5 bulan. Hasil analisis menunjukkan kalus pertama kali tumbuh pada perlakuan 130 mgL 2,4-D. Warna kalus yang terbentuk putih kekuningan, putih kecokelatan dan kuning kecokelatan. Berat basah kalus tertinggi pada 120 mgl 2,4-D + subkultur 5 bulan. Berdasarkan 2 primer RAPD W-15 dan OPC-08 menunjukkan bahwa konsentrasi 2,4-D yang tinggi dan lamanya subkultur menyebabkan terjadinya perubahan genetik kalus apikal bud kelapa sawit. Kata kunci: 2,4-D, apikal bud kelapa sawit, frekuensi subkultur, RAPD. Universitas Sumatera Utara v THE EFFECT OF 2,4-D AND SUBCULTURE FREQUENCY ON THE GENETIC CHANGES ON THE APICAL BUD OF OIL PALM Elaeis guineensis Jacq. IN THE MS MEDIUM. ABSTRACT The study of the effect of 2,4-D and subculture frequency on the genetic changes on the apical bud of oil palm in the MS medium has been carried out.The research method was designed according to Completely Randomized Design CRD with two factors which were four levels of 2,4-D concentration 0, 110, 120 and 130 mgl and three levels of subculture frequency 3, 4 and 5 months. The statistical analysis showed the fastest callus initiation was in MS medium enriched with 130 mgl of 2,4-D. The colour of calli were white yellow, white brown and yellow brown. Meanwhile, the best treatment of callus fresh weight found in MS medium containing 120 mgl of 2,4-D. Based on 2 RAPD primers W-15 and OPC-08 showed that concentration of 2,4-D and subculture frequency gave effect on genetic changes of oil palm. Keywords: 2,4-D, apical bud of oil palm, subculture frequency, RAPD. Universitas Sumatera Utara 1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman penghasil minyak nabati terpenting di Indonesia. Kelapa sawit memegang peranan penting untuk memenuhi kebutuhan minyak, menghasilkan penerimaan negara terbesar di sektor perkebunan, meningkatkan pendapatan negara dan menggerakkan pembangunan, khususnya di luar pulau jawa Tondok, 1998. Indonesia dan Malaysia sebagai penghasil terbesar minyak sawit pada tahun 2002 memasok 84 produksi minyak sawit dunia Basiron, 2004. Data minyak dunia menunjukkan volume produksi minyak sawit di Indonesia pada tahun 2020 diperkirakan mencapai 18 juta ton atau melampaui kapasitas CPO dari Malaysia yang hanya 15.4 juta ton Cheng Hai, 2002. Permintaan minyak sawit saat ini meningkat lebih 2,8-3 juta ton per tahun karena pemanfaatannya sebagai biodiesel Bangun, 2005. Usaha peningkatan produksi telah dilakukan salah satunya melalui perluasan areal penanaman. Permintaan benih kelapa sawit secara langsung berhubungan dengan agenda perluasan dan penanaman kembali kebun kelapa sawit. Jadi Indonesia memerlukan 70 juta benih setiap tahun. Namun, sampai saat ini hanya seperdua dari kebutuhan benih tersebut terpenuhi Asmono, 2006. Untuk mengatasi masalah tersebut dilakukan penyediaan bibit menggunakan teknik kultur jaringan. Keunggulan teknik kultur jaringan adalah mampu menghasilkan bibit dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu relatif singkat. Perbanyakan kultur jaringan pada tanaman kelapa sawit melalui proses embriogenesis dengan pembentukan embrio somatik. Perbanyakan melalui embrio somatik pada kelapa sawit dimulai dengan pemilihan pohon induk atau ortet yang sesuai dengan karakter-karakter yang diinginkan, selanjutnya dilakukan perbanyakan secara klonal Wong et al., 1999. Universitas Sumatera Utara 2 Perbanyakan bibit kelapa sawit dengan teknik kultur jaringan di samping mempunyai beberapa keunggulan juga terdapat kekurangan. Salah satu yang umum ditemukan pada klon kelapa sawit yang dihasilkan dari kultur jaringan adalah terjadinya perubahan 10-40 ke arah abnormalitas pada organ reproduktif yaitu bunga dan buah. Dalam proses abnormalitas ini terjadi konversi satu atau lebih primordial anter menjadi karpel tambahan yang lunak dan berkembang menjadi buah mantel Corley et al., 1986. Larkin Scowcroft 1991, menyatakan bahwa variasi pada tanaman yang diregenerasi dari kultur jaringan disebut sebagai variasi somaklonal. Variasi somaklonal berasal dari keragaman genetik eksplan dan keragaman genetik yang terjadi dalam kultur jaringan, keragaman genetik pada eksplan disebabkan adanya sel bermutasi. Penggunaan 2,4-D dan ZPT Zat Pengatur Tumbuh lainnya dalam konsentrasi tinggi meningkatkan frekuensi tanaman regeneran tumbuh abnormal, dan subfrekuensi subkultur yang berlebihan dapat menginduksi variasi. Secara teori, subkultur dapat dilakukan terus-menerus tetapi dengan bertambahnya umur kultur, maka subkultur menjadi kurang responsif dan muncul ketidakstabilan genetik variasi somaklonal Skirvin et al., 1994. Variasi somaklonal kemungkinan disebabkan ketidakteraturan mitotik yang berperan dalam terjadinya ketidakstabilan kromosom, terjadi amplifikasi atau delesi seperti inaktif gen atau aktif kembali gen-gen silent. Philips Kepler 1994, menyatakan bahwa beberapa tipe utama variasi genetik somaklonal adalah aberasi kromosom, aktivitas elemen transposon, dan terjadinya metilasi DNA. Frekuensi variasi somaklonal tergantung pada cara regenerasi planlet. Faktor-faktor yang mempengaruhi variasi somaklonal yaitu pertumbuhan jaringan meristematis yang digunakan sebagai sumber eksplan yang dikulturkan dan pemilihan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan. Di samping itu faktor banyaknya dilakukan subkultur selama masa penggandaan sel-sel embrio somatik dan fase pemeliharaan kalus turut mempengaruhi terbentuknya variasi somaklonal Karp, 1995. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian mengenai pengaruh tingkat konsentrasi 2,4-D dan frekuensi subkultur terhadap perubahan genetik hasil kultur jaringan dari eksplan apical bud kelapa sawit. Universitas Sumatera Utara 3

1.2. Permasalahan