Pengaruh 2,4-D dan Frekuensi Subkultur Terhadap Perubahan Genetik Kultur Apikal Bud Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) pada Media MS

(1)

PENGARUH 2,4-D DAN FREKUENSI

SUBKULTUR TERHADAP PERUBAHAN GENETIK KULTUR

APIKAL BUD KELAPA SAWIT (

Elaeis guineensis

Jacq

.) PADA

MEDIA MS.

SKRIPSI

ELVA NURIZA BAYZURA

090805001

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

i

i

PENGARUH 2,4-D DAN FREKUENSI

SUBKULTUR TERHADAP PERUBAHAN GENETIK KULTUR

APIKAL BUD KELAPA SAWIT (

Elaeis guineensis

Jacq

.) PADA

MEDIA MS.

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

ELVA NURIZA BAYZURA

090805001

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(3)

i

PERSETUJUAN

Judul : Pengaruh 2,4-D dan Frekuensi Subkultur

Terhadap Perubahan Genetik Kultur Apikal Bud Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada Media MS

Kategori : Skripsi

Nama : Elva Nuriza Bayzura

Nomor Induk Mahasiswa : 090805001

Program Studi : Sarjana (S1) Biologi

Departemen : Biologi

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Diluluskan di Medan, Juli 2014

Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2, Pembimbing 1,

Dr. Saleha Hannum, M.Si. Dr. Suci Rahayu, M.Si.

NIP. 197108312000122001 NIP. 196506291992032002

Disetujui Oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc. NIP. 196301231990032001


(4)

ii

ii

PERNYATAAN

PENGARUH 2,4-D DAN FREKUENSI

SUBKULTUR TERHADAP PERUBAHAN GENETIK KULTUR

APIKAL BUD KELAPA SAWIT (

Elaeis guineensis

Jacq.) PADA

MEDIA MS.

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juli 2014

ELVA NURIZA BAYZURA 090805001


(5)

iii

PENGHARGAAN

Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh 2,4-D dan Frekuensi Subkultur Terhadap Perubahan Genetik Kultur Apikal Bud Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada Media MS.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Suci Rahayu, M.Si selaku dosen pembimbing I, Ibu Dr. Saleha Hannum, M.Sc., selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta waktu dan perhatiannya kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc. selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA USU dan dosen penguji I serta Ibu Dra. Emita Sabri, M.Si selaku dosen penguji II, dan Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuty, MS, selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberi saran serta motivasi demi penyempurnaan skripsi ini. Terima kasih kepada Bang Endra Raswin, Kak Roslina Ginting, Ibu Nurhasni Muluk, Ibu Mizarwati, S.Si, terima kasih atas kesabaran dan kabaikannya dalam membantu penulis selama masa pendidikan di Departemen Biologi.

Ucapan terima kasih tak terhingga penulis sampaikan kepada Ayahanda tercinta, Zulhamid, Ibunda tersayang, Rabiah, S.Pd, atas segala materi, doa, cinta, dukungan, dan doa kepada penulis. Untuk saudara-saudara tersayang, Abangda Jeffrey Afriandi, SH, S.Pd, adinda Muhammad Adrian Nouval, terima kasih atas kehangatan, cinta, canda tawa dan motivasi yang tiada henti.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis kepada teman seperjuangan, Imam, Shofy, dan Novi, semoga kerja keras kita selama ini memberi arti dalam hidup kita, terima kasih penulis ucapkan kepada abangda Mahdi Ansory Harahap yang telah memberikan semangat dan dukungan yang tak henti-hentinya kepada penulis, untuk sahabatku Icha, Ulan, Nisa, Siska, Sepwin, Zulfan, Bobby, Zubeir terima kasih atas persahabatan yang indah ini, teman-teman di Laboratorium Kultur Jaringan, Nora, Ima, Suma, Ririn dan Inur terima kasih atas ilmu dan hari-hari yang menyenangkan di Lab. Kepada Sahabat-sahabat angkatan 2009, Aan, Rita, Essy, Putri, Willy, Riris, Popo, Afni, Nurul, Hema, Rachmi, Zuwanna, Eryna, Dila, Anderson, Astri, Febrin, Agus, Febri, Grace, Hotman, Yeni, Bertua, Fika, Venny, Jessica, Julie, Rissa, Fivin, Yully, Sabeth, Hans, Mona, Laura, Frisi, Ledy, Rencina, Sylvia, Raymond, Boy, Uba, Sahat, dan kepada abang dan kakak angkatan 2006, 2007, 2008 dan adik-adik angkatan 2010, 2011 dan 2012, terima kasih telah mengisi hari-hari penulis dengan kebersamaan dan mengajarkan penulis untuk saling mengerti dan memahami. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini.


(6)

iv

iv

PENGARUH 2,4-D DAN FREKUENSI

SUBKULTUR TERHADAP PERUBAHAN GENETIK KULTUR

APIKAL BUD KELAPA SAWIT (

Elaeis guineensis

Jacq

.) PADA

MEDIA MS.

ABSTRAK

Penelitian mengenai pengaruh 2,4-D dan frekuensi subkultur terhadap perubahan genetik kultur apikal bud kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada media MS telah dilakukan. Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 2 faktorial yaitu faktor konsentrasi Asam 2,4-diklorofenoksi asetat (2,4-D) dengan taraf 0, 110, 120, dan 130 mg/L dan perlakuan subkultur dengan frekuensi 3, 4 dan 5 bulan. Hasil analisis menunjukkan kalus pertama kali tumbuh pada perlakuan 130 mg/L 2,4-D. Warna kalus yang terbentuk putih kekuningan, putih kecokelatan dan kuning kecokelatan. Berat basah kalus tertinggi pada 120 mg/l 2,4-D + subkultur 5 bulan. Berdasarkan 2 primer RAPD (W-15 dan OPC-08) menunjukkan bahwa konsentrasi 2,4-D yang tinggi dan lamanya subkultur menyebabkan terjadinya perubahan genetik kalus apikal bud kelapa sawit.


(7)

v

THE EFFECT OF 2,4-D AND SUBCULTURE FREQUENCY ON

THE GENETIC CHANGES ON THE APICAL BUD OF OIL

PALM (

Elaeis guineensis

Jacq

.) IN THE MS MEDIUM.

ABSTRACT

The study of the effect of 2,4-D and subculture frequency on the genetic changes on the apical bud of oil palm in the MS medium has been carried out.The research method was designed according to Completely Randomized Design (CRD) with two factors which were four levels of 2,4-D concentration (0, 110, 120 and 130 mg/l) and three levels of subculture frequency (3, 4 and 5 months). The statistical analysis showed the fastest callus initiation was in MS medium enriched with 130 mg/l of 2,4-D. The colour of calli were white yellow, white brown and yellow brown. Meanwhile, the best treatment of callus fresh weight found in MS medium containing 120 mg/l of 2,4-D. Based on 2 RAPD primers W-15 and OPC-08 showed that concentration of 2,4-D and subculture frequency gave effect on genetic changes of oil palm.


(8)

vi

vi DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan i

Pernyataan ii

Penghargaan iii

Abstrak iv

Abstract v

Daftar Isi vi

Daftra Tabel viii

Daftar Gambar ix

Daftar Lampiran x

Bab 1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Permasalahan 3

1.3. Tujuan Penelitian 3

1.4. Hipotesis 3

1.5. Manfaat Penelitian 3

Bab 2. Tinjauan Pustaka

2.1. Botani Kelapa Sawit 4

2.2. Teknik Kultur Jaringan 5

2.3. Eksplan 6

2.4. Media Kultur 7

2.5. Zat Pengatur Tumbuh 8

2.5.1. Asam 2,4-Dikhlorophenoxy asetat (2,4-D) 8

2.6. Variasi Somaklonal 9

2.7. RAPD 10

Bab 3. Metode Penelitian

3.1. Waktu dan Tempat 12

3.2. Bahan dan Alat 12

3.3. Rancangan Percobaan 12

3.4. Cara Kerja 13

3.4.1. Sterilisasi Alat dan Bahan 13

3.4.2. Pembuatan Media 14

3.4.3. Sterilisasi Eksplan 3.4.4. Induksi Kalus 3.4.5. Pemeliharaan Kultur 3.4.6. Subkultur

3.4.7. Isolasi DNA

3.4.8. Uji Kualitas dan Kuantitas DNA

3.4.9. Analisis Random Amplified Polymorfic DNA

15 15 15 15 15 16 17


(9)

vii

(RAPD)

3.4.10. Variabel Pengamatan 3.5. Analisis Data

Bab 4. Hasil dan Pembahasan 4.1. Waktu Terbentuk Kalus 4.2. Warna Kalus

4.3. Berat Basah Kalus 4.4. Analisis RAPD

4.4.1.Kualitas dan Kuantitas DNA 4.4.2. Amplifikasi DNA berdasarkan PCR

4.5. Kemiripan Genetik Kalus apical bud Kelapa Sawit Bab 5. Kesimpulan dan Saran

5.1. Kesimpulan 5.2. Saran Daftar Pustaka Lampiran

17 18

19 21 23 24 24 26 29 30 30

31 36


(10)

viii

viii

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel

3.1. Bahan-bahan untuk Satu Kali Reaksi PCR 17

4.2. 4.3. 4.4.

Persentase Warna Kalus

Hasil Uji Rata-rata Berat Basah Kalus Apical Bud

Kelapa Sawit

Hasil Kualitas dan Kuantitas DNA

21 23 25


(11)

ix

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar

3.1. Pola Terjemahan Pita DNA. 18

4.1. Kalus Kelapa Sawit. 19

4.2. Hubungan Rata-rata Waktu Terbentuknya Kalus dengan Perlakuan Zat Pengatur Tumbuh.

20 4.3. Warna Kalus Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq). 22 4.4. Hasil Kualitas DNA Menggunakan Gel Elektroforesis

0,8%.

25 4.5. Profil Pola Pita DNA Kelapa Sawit Hasil RAPD dengan

Primer W-15 dan OPC-08.

26 4.6. Dendogram Kemiripan Genetik Kalus Apical Bud Kelapa

Sawit Berdasarkan Primer W-15 dan OPC-08.

28


(12)

x

x

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

Lampiran

1. Klon Kelapa Sawit Umur 8 Bulan 35

2. Komposisi Media MS (Murashige & Skoog) 1962 36 3. Data Pengamatan Waktu Terbentuknya Kalus (HST) 37

4. Data Pengamatan Warna Kalus 38

5. Berat Basah Kalus 39


(13)

iv

PENGARUH 2,4-D DAN FREKUENSI

SUBKULTUR TERHADAP PERUBAHAN GENETIK KULTUR

APIKAL BUD KELAPA SAWIT (

Elaeis guineensis

Jacq

.) PADA

MEDIA MS.

ABSTRAK

Penelitian mengenai pengaruh 2,4-D dan frekuensi subkultur terhadap perubahan genetik kultur apikal bud kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada media MS telah dilakukan. Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 2 faktorial yaitu faktor konsentrasi Asam 2,4-diklorofenoksi asetat (2,4-D) dengan taraf 0, 110, 120, dan 130 mg/L dan perlakuan subkultur dengan frekuensi 3, 4 dan 5 bulan. Hasil analisis menunjukkan kalus pertama kali tumbuh pada perlakuan 130 mg/L 2,4-D. Warna kalus yang terbentuk putih kekuningan, putih kecokelatan dan kuning kecokelatan. Berat basah kalus tertinggi pada 120 mg/l 2,4-D + subkultur 5 bulan. Berdasarkan 2 primer RAPD (W-15 dan OPC-08) menunjukkan bahwa konsentrasi 2,4-D yang tinggi dan lamanya subkultur menyebabkan terjadinya perubahan genetik kalus apikal bud kelapa sawit.


(14)

v

v

THE EFFECT OF 2,4-D AND SUBCULTURE FREQUENCY ON

THE GENETIC CHANGES ON THE APICAL BUD OF OIL

PALM (

Elaeis guineensis

Jacq

.) IN THE MS MEDIUM.

ABSTRACT

The study of the effect of 2,4-D and subculture frequency on the genetic changes on the apical bud of oil palm in the MS medium has been carried out.The research method was designed according to Completely Randomized Design (CRD) with two factors which were four levels of 2,4-D concentration (0, 110, 120 and 130 mg/l) and three levels of subculture frequency (3, 4 and 5 months). The statistical analysis showed the fastest callus initiation was in MS medium enriched with 130 mg/l of 2,4-D. The colour of calli were white yellow, white brown and yellow brown. Meanwhile, the best treatment of callus fresh weight found in MS medium containing 120 mg/l of 2,4-D. Based on 2 RAPD primers W-15 and OPC-08 showed that concentration of 2,4-D and subculture frequency gave effect on genetic changes of oil palm.


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman penghasil minyak nabati terpenting di Indonesia. Kelapa sawit memegang peranan penting untuk memenuhi kebutuhan minyak, menghasilkan penerimaan negara terbesar di sektor perkebunan, meningkatkan pendapatan negara dan menggerakkan pembangunan, khususnya di luar pulau jawa (Tondok, 1998). Indonesia dan Malaysia sebagai penghasil terbesar minyak sawit pada tahun 2002 memasok 84% produksi minyak sawit dunia (Basiron, 2004). Data minyak dunia menunjukkan volume produksi minyak sawit di Indonesia pada tahun 2020 diperkirakan mencapai 18 juta ton atau melampaui kapasitas CPO dari Malaysia yang hanya 15.4 juta ton (Cheng Hai, 2002).

Permintaan minyak sawit saat ini meningkat lebih 2,8-3 juta ton per tahun karena pemanfaatannya sebagai biodiesel (Bangun, 2005). Usaha peningkatan produksi telah dilakukan salah satunya melalui perluasan areal penanaman. Permintaan benih kelapa sawit secara langsung berhubungan dengan agenda perluasan dan penanaman kembali kebun kelapa sawit. Jadi Indonesia memerlukan 70 juta benih setiap tahun. Namun, sampai saat ini hanya seperdua dari kebutuhan benih tersebut terpenuhi (Asmono, 2006).

Untuk mengatasi masalah tersebut dilakukan penyediaan bibit menggunakan teknik kultur jaringan. Keunggulan teknik kultur jaringan adalah mampu menghasilkan bibit dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu relatif singkat. Perbanyakan kultur jaringan pada tanaman kelapa sawit melalui proses embriogenesis dengan pembentukan embrio somatik. Perbanyakan melalui embrio somatik pada kelapa sawit dimulai dengan pemilihan pohon induk atau ortet yang sesuai dengan karakter-karakter yang diinginkan, selanjutnya dilakukan perbanyakan secara klonal (Wong et al.,1999).


(16)

2

2

Perbanyakan bibit kelapa sawit dengan teknik kultur jaringan di samping mempunyai beberapa keunggulan juga terdapat kekurangan. Salah satu yang umum ditemukan pada klon kelapa sawit yang dihasilkan dari kultur jaringan adalah terjadinya perubahan 10-40% ke arah abnormalitas pada organ reproduktif yaitu bunga dan buah. Dalam proses abnormalitas ini terjadi konversi satu atau lebih primordial anter menjadi karpel tambahan yang lunak dan berkembang menjadi buah mantel (Corley et al., 1986). Larkin & Scowcroft (1991), menyatakan bahwa variasi pada tanaman yang diregenerasi dari kultur jaringan disebut sebagai variasi somaklonal.

Variasi somaklonal berasal dari keragaman genetik eksplan dan keragaman genetik yang terjadi dalam kultur jaringan, keragaman genetik pada eksplan disebabkan adanya sel bermutasi. Penggunaan 2,4-D dan ZPT (Zat Pengatur Tumbuh) lainnya dalam konsentrasi tinggi meningkatkan frekuensi tanaman regeneran tumbuh abnormal, dan subfrekuensi subkultur yang berlebihan dapat menginduksi variasi. Secara teori, subkultur dapat dilakukan terus-menerus tetapi dengan bertambahnya umur kultur, maka subkultur menjadi kurang responsif dan muncul ketidakstabilan genetik (variasi somaklonal) (Skirvin et al.,

1994).

Variasi somaklonal kemungkinan disebabkan ketidakteraturan mitotik yang berperan dalam terjadinya ketidakstabilan kromosom, terjadi amplifikasi atau delesi seperti inaktif gen atau aktif kembali gen-gen silent. Philips & Kepler (1994), menyatakan bahwa beberapa tipe utama variasi genetik somaklonal adalah aberasi kromosom, aktivitas elemen transposon, dan terjadinya metilasi DNA. Frekuensi variasi somaklonal tergantung pada cara regenerasi planlet.

Faktor-faktor yang mempengaruhi variasi somaklonal yaitu pertumbuhan jaringan meristematis yang digunakan sebagai sumber eksplan yang dikulturkan dan pemilihan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan. Di samping itu faktor banyaknya dilakukan subkultur selama masa penggandaan sel-sel embrio somatik dan fase pemeliharaan kalus turut mempengaruhi terbentuknya variasi somaklonal (Karp, 1995). Oleh karena itu dibutuhkan penelitian mengenai pengaruh tingkat konsentrasi 2,4-D dan frekuensi subkultur terhadap perubahan genetik hasil kultur jaringan dari eksplan apical bud kelapa sawit.


(17)

3

1.2. Permasalahan

Perbanyakan benih kelapa sawit dengan teknik kultur jaringan saat ini telah banyak digunakan. Namun, klon yang dihasilkan dengan teknik kultur jaringan memiliki beberapa kelemahan, salah satu yang sering dijumpai yaitu terjadi perubahan genetik yang dapat menurunkan produksi minyak kelapa sawit. Oleh karena itu, dibutuhkan pengetahuan mengenai pengaruh konsentrasi ZPT (2,4-D) dan tingkat subkultur yang berpengaruh terhadap perubahan genetik pada kultur kelapa sawit. Pada penelitian ini dilakukan pengkulturan kelapa sawit pada berbagai tingkat konsentrasi 2,4-D dan frekuensi subkultur yang berbeda.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh 2,4-D dan frekuensi subkultur terhadap perubahan genetik kultur apical bud kelapa sawit.

1.4. Hipotesis

Konsentrasi 2,4-D yang berbeda dan frekuensi subkultur dapat menimbulkan perubahan genetik pada klon kelapa sawit.

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam perbanyakan tanaman kelapa sawit melalui teknik kultur jaringan. Sebagai bahan informasi mengenai pengaruh 2,4-D dan frekuensi subkultur terhadap perubahan genetik kalus apical bud kelapa sawit.


(18)

4 BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Botani Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)

Kelapa sawit merupakan tanaman asli Afrika Barat yang selanjutnya menyebar ke Amerika Selatan dan sampai ke semenanjung Indo-Malaysia. Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan ke Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1848, tepatnya di kebun Raya Bogor. Tanaman kelapa sawit mulai dikenal di Indonesia dan dibudidayakan secara komersil dalam bentuk perusahaan perkebunan pada tahun 1911. Pada mulanya hanya berkembang di Sumatera Utara dan Riau yang kemudian berkembang di seluruh Indonesia (Hartley, 1977).

Kelapa sawit merupakan tanaman menyerbuk silang sehingga di alam akan dihasilkan keturunan heterozigot heterogen. Tipe pembungaan tanaman kelapa sawit adalah berumah satu dengan bunga betina dan bunga jantan ada dalam satu tanaman, tetapi berbeda tandan bunga. Bunga akan tumbuh pada setiap ketiak pelepah daun setiap tanaman dapat menghasilkan bunga jantan atau bunga betina saja dan masing-masing mempunyai polinasi yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan terjadinya penyerbukan silang (Lubis, 1992).

Buah kelapa sawit tersusun dalam satu tandan yang merupakan buah batu dan terdiri atas kulit buah, daging buah, cangkang dan inti. Minyak sawit diekstrak dari bagian kulit buah dan daging buah yang disebut perikarp sebanyak 20%-27% sedangkan bagian inti hanya mengandung minyak 4-6%. Varietas tanaman kelapa sawit cukup banyak dan dapat diklasifikasikan berdasarkan berbagai hal, antara lain tipe buah, bentuk luar, tebal cangkang dan warna buah (Pahan, 2006).

Pertumbuhan dan produktivitas kelapa sawit dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor dari luar maupun faktor dalam tanaman kelapa sawit itu sendiri, antara lain jenis atau varietas tanaman. Sedangkan faktor luar adalah faktor lingkungan, antara lain iklim dan tanah, dan teknik budidaya yang dipakai. Dalam


(19)

5

menunjang pertumbuhan dan proses produksi kelapa sawit, faktor tersebut saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain (Mangoensoekarjo, 2003).

Faktor iklim sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tandan kelapa sawit. Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada daerah tropika basah disekitar lintang utara-selatan 12 derajat pada ketinggian 0-500 m dpl. Beberapa unsur iklim yang penting dan saling mempengaruhi adalah curah hujan, sinar matahari, suhu, kelembapan udara dan angin. Curah hujan optimum yang diperlukan kelapa sawit rata-rata 2.000-2.500 mm/tahun dengan distribusi merata sepanjang tahun tanpa bulan kering yang berkepanjangan. Sinar matahari yang cukup untuk memproduksi karbohidrat dan memacu pembentukan bunga dan buah. Oleh sebab itu, intensitas, kualitas, dan lama penyinaran sangat berpengaruh. Lama penyinaran optimum yang diperlukan tanaman kelapa sawit antara 5-7 jam/hari. Selain curah hujan dan sinar matahari yang cukup, tanaman kelapa sawit memerlukan suhu optimum sekitar 24-28o

C (Fauzi, 2004).

2.2. Teknik Kultur Jaringan

Kultur jaringan merupakan suatu teknik untuk mengisolasi bagian-bagian tanaman seperti protoplasma, sel, jaringan dan organ dalam media aseptik yang kaya nutrisi serta zat pengatur tumbuh yang tepat sehingga bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi kembali menjadi tanaman yang lengkap (Gunawan, 1995).

Kemampuan internal sel untuk berdiferensiasi disebut totipotensi, ke arah mana sel-sel tanaman dapat diinduksi untuk mengekspresikan totipotensinya, sangat tergantung pada sejumlah variabel termasuk faktor eksplan, komposisi medium, zat pengatur tumbuh, dan stimulus fisik, seperti cahaya, suhu dan kelembaban. Sebagai konsekuensinya, keberhasilan teknik kultur jaringan sangat tergantung pada optimasi variabel-variabel tersebut. Aplikasi kultur jaringan tanaman bermanfaat terutama dalam perbanyakan klon atau perbanyakan massal dari tanaman yang sifat genetiknya identik satu sama lain (Zulkarnain, 2009).

Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan (tissue culture) bertujuan untuk mendapatkan tanaman dalam jumlah banyak dan seragam pertumbuhannya. Seiring dengan permintaan bibit yang semakin meningkat, cara perbanyakan


(20)

6

6

secara konvensional menggunakan setek, anakan, dan cabut pucuk tidak lagi bisa mencukupi. Satu-satunya cara perbanyakan yang mampu memenuhi kebutuhan permintaan bibit dalam jumlah besar hanya kultur jaringan. Eksplan yang digunakan adalah jaringan yang masih muda. Jaringan muda ini tersusun atas sel-sel yang masih muda dan aktif membelah sehingga diharapkan bisa menghasilkan tanaman yang sempurna (Purwanto, 2008).

2.3. Eksplan

Bahan tanaman yang dikulturkan lazim disebut eksplan. Dalam perbanyakan tanaman secara kultur jaringan, eksplan merupakan faktor penting penentu keberhasilan. Umur fisiologis, umur ontogenetik, ukuran eksplan, serta bagian tanaman yang diambil merupakan hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih eksplan yang akan digunakan sebagai bahan awal kultur. Umumnya, bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah jaringan muda yang sedang tumbuh aktif (Yusnita, 2004).

Penggunaan eksplan dari jaringan muda lebih sering berhasil karena sel-selnya aktif membelah, dinding sel tipis karena belum terjadi penebalan lignin dan selulosa yang menyebabkan kekakuan pada sel menyatakan bagian tanaman yang dapat digunakan sebagai eksplan adalah: pucuk muda, batang muda, daun muda,

apical bud, hipokotil (Gunawan, 1995). Menurut Wattimena & Mattjik (1992) perbedaan dari bagian tanaman yang digunakan akan menghasilkan pola pertumbuhan yang berbeda. Eksplan tanaman yang masih muda menghasilkan tunas maupun akar adventif.

Pada hampir semua tanaman, di bagian yang juvenil, keadaan sel-selnya masih aktif membelah dan merupakan bagian tanaman yang paling baik untuk eksplan. Untuk mendapatkan jaringan yang muda atau juvenil dapat dilakukan pembiakan secara aseptik atau bagian tanaman yang masih muda yang berasal dari bibit, kecambah atau tunas adventif (Herawan, 2004).

Seleksi bahan eksplan yang cocok merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan program kultur jaringan. Untuk memulai sistem kultur jaringan yang baru dengan spesies atau kultivar tanaman yang baru pula,


(21)

7

seringkali menghendaki analisis yang sistematis terhadap potensi eksplan dari setiap tipe jaringan (Hartman et al., 1990).

2.4. Media Kultur

Menurut George & Sherrington (1984), kultur jaringan memiliki beberapa aspek yang berpengaruh terhadap keberhasilan perbanyakan tanaman salah satu diantaranya adalah komposisi media. Media tersebut harus berisi unsur hara makro, mikro, gula, protein, vitamin dan zat pengatur tumbuh. Berbagai komposisi media telah diformulasikan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dikulturkan beberapa diantaranya yaitu: Knudson C (1946), Nitsch & Nitsch (1956), Murashige dan Skoog-MS (1962), B5 (1968), Schenk dan Hildebrandt-SH (1972) serta Woody Plant Medium-WPM (Lloyd & McCown, 1981).

Media tanam adalah senyawa–senyawa anorganik maupun senyawa- senyawa organik yang dipergunakan untuk pertumbuhan eksplan dan plantlet

Berhasilnya kultur jaringan banyak ditentukan oleh media tanam. Campuran media yang satu belum tentu cocok untuk semua jenis tanaman (Soeryowinoto, 1996). Pemilihan komposisi media tergantung pada jenis tanaman yang dikulturkan (Pierik, 1987). Saat ini terdapat banyak formulasi media yang biasa digunakan untuk kultur in vitro. Sampai saat ini, regenerasi kelapa sawit melalui embriogenesis dilakukan dengan menggunakan media Murashige dan Skoog (MS) (Tahardi, 1988). Untuk membuat media dengan jumlah zat seperti yang ditentukan, diperlukan penimbangan dan penakaran bahan secara tepat. Ketidaktepatan ukuran dapat menyebabkan terjadinya proses yang dikehendaki. Pada umumnya untuk suatu keperluan, media yang telah dirumuskan dapat diubah atau diperbarui, dengan mengganti zat-zat tertentu, atau menambah zat lain (Zulkarnain, 2009).

Gula merupakan komponen penting dalam media kultur untuk pertumbuhan dan perkembangan in vitro, sebab gula merupakan sumber energi yang biasa didapat tanaman dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Sukrosa merupakan sumber karbon terbaik diikuti glukosa, maltosa dan rafinosa, sedangkan fruktosa, galaktosa, manosa dan laktosa kurang efektif digunakan


(22)

8

8

(George & Sherington, 1984). Agar sebagai bahan pemadat merupakan polisakarida yang diperoleh dari beberapa spesies alga. Penggunaan alga berfungsi untuk menyangga eksplan sehingga kontak antara eksplan dengan media dengan udara terpenuhi. Umumnya konsentrasi agar yang ditambahkan dalam media kultur berkisar antara 0,6%-1% (Gunawan, 1995).

2.5. Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)

Zat pengatur tumbuh (ZPT) pada tanaman adalah senyawa organik yang bukan hara yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung (promote), menghambat dan merubah proses fisiologi tumbuhan (Abidin, 1995). Auksin dan sitokinin adalah ZPT yang sering ditambahkan dalam media tanam karena mempengaruhi pertumbuhan dan organogenesis dalam kultur jaringan dan organ. Menurut Wattimena & Mattjik (1992) auksin sintetik perlu ditambahkan karena auksin yang terbentuk secara alami sering tidak mencukupi untuk pertumbuhan jaringan eksplan. Auksin mempunyai peranan terhadap pertumbuhan sel, dominansi apikal dan pembentukan kalus. Kisaran konsentrasi auksin yang biasa digunakan adalah 0,01-10 ppm.

ZPT memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan kultur. Faktor yang perlu mendapat perhatian dalam penggunaan ZPT antara lain: jenis ZPT yang digunakan, konsentrasi ZPT, urutan penggunaan, dan periode masa induksi dalam kultur tertentu (Gunawan, 1992). Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemberian ZPT diantaranya ZPT harus sampai ke dalam jaringan target, ZPT harus cukup lama dalam jaringan target, ZPT yang diberikan akan berinteraksi dengan fitohormon dan tanaman atau bagian tanaman yang sehat akan memberikan respon yang baik terhadap ZPT yang diberikan (Wattimena, 1991).

2.5.1. Asam 2,4-Dikhlorophenoxy Asetat (2,4-D)

Dalam kultur jaringan, auksin digunakan untuk inisiasi kalus dan morfogenesis, namun dalam penggunaannya dengan sitokinin harus ada interaksi sinergis yakni adanya keseimbangan konsentrasi zat pengatur tumbuh dalam media. Bila konsentrasi auksin lebih rendah dari sitokinin maka akan terbentuk akar,


(23)

9

sebaliknya bila konsentrasi auksin lebih rendah dari sitokinin maka akan terbentuk tunas, apabila konsentrasi auksin sama dengan konsentrasi sitokinin maka akan terbentuk kalus (Zulkarnain, 2009).

Jenis ZPT 2,4-D adalah golongan auksin yang sangat baik digunakan untuk memacu pertumbuhan kalus. Zat ini merupakan salah satu golongan auksin buatan yang memiliki sifat seperti auksin alami yang berperan sebagai aspek perkembangan tumbuhan. Auksin 2,4-D merupakan golongan auksin sintetis yang mempunyai sifat lebih stabil dari IAA, karena tidak mudah terurai oleh enzim yang dikeluarkan oleh sel atau oleh pemanasan pada proses sterilisasi (George & Sherrington, 1984).

Auksin 2,4-D lebih efektif dibandingkan dengan auksin yang lain untuk meningkatkan perkembangan dan proliferasi kultur embriogenik. 2,4-D mendorong pertumbuhan embrio somatik dari embriogenesis. Kultur embriogenesis dipindahkan ke medium 2,4-D yang lebih rendah. Dengan 2,4-D yang lebih rendah sehingga memblok ekspresi gen-gen yang dibutuhkan untuk perubahan bentuk ketahap hati (Zimmerman, 1993). Kebutuhan 2,4-D atau ZPT lain untuk inisisasi embriogenesis somatik sangat besar ditentukan oleh tahap perkembangan dari jaringan eksplan. Kalus embrio somatik umumnya dibentuk pada medium yang mengandung auksin. Salah satu mekanisme auksin dapat mengatur embriogenesis melalui asidifikasi pada sitoplasma atau dinding sel (Kutschera, 1994).

2.6. Variasi Somaklonal

Teknik kultur jaringan tidak selalu menghasilkan tanaman yang identik dengan induknya, karena selama proses kultur jaringan dapat terjadi variasi fenotip baik yang disebabkan oleh perubahan genetik maupun epigenetik yang disebut variasi somaklonal. Keragaman genetik tanaman yang dihasilkan melalui kultur jaringan dapat diturunkan pada tanaman hasil regenerasi (Larkin & Scowcroft, 1991). Variasi somaklonal merupakan keragaman genetik yang terjadi secara spontan hasil regenerasi sel somatik pada kultur in vitro. Variasi somaklonal dapat juga berasal dari keragaman genetik eksplan yang disebabkan adanya sel-sel bermutasi


(24)

10

10

maupun adanya sel-sel polisomik dari jaringan tertentu (Wattimena & Mattjik, 1992).

Dalam perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan sering terjadi mutasi gen, sehingga menyebabkan terjadinya variasi genetik atau variasi somaklonal (Wattimena, 1991). Terjadinya variasi genetik dapat disebabkan oleh komposisi zat kimia yang terkandung dalam media kultur, sumber eksplan, lamanya masa pengkulturan atau lingkungan terkendali yang mengalami gangguan dan lain sebagainya. Variasi somaklonal merupakan variasi genetik yang terjadi dari tanaman yang dihasilkan melalui kultur jaringan (Larkin & Sowcroft, 1991). Dengan demikian untuk mendeteksi variasi somaklonal yang terjadi perlu dilakukan evaluasi stabilitas genetik dengan menggunakan penanda genetik, diantaranya adalah Random Amplified Polymorphic DNA(RAPD).

Variasi somaklonal kemungkinan disebabkan oleh ketidakteraturan mitotik yang berperan dalam terjadinya ketidakstabilan kromosom amplifikasi atau delesi gen. Keunggulan teknik kultur jaringan adalah mampu menghasilkan bibit secara massal dalam waktu yang relatif singkat dan produktivitasnya lebih tinggi (Van Harten, 1998).

Propagasi tanaman melalui teknik kultur jaringan tidak selalu sederhana, karena ketidakstabilan genetik atau kromosom dari kultur sel atau jaringan umumnya terjadi pada banyak spesies. Berbagai perubahan genetik dapat terjadi selama dalam proses kultur, namun demikian ketidakstabilan genetik dalam kultur dapat terkendali dan hal tersebut memungkinkan untuk mendapatkan variasi somaklonal (Nasir, 2002)

2.7. Random Amplified Polymorfic DNA (RAPD)

Random Amplified Polymorfic DNA (RAPD) adalah suatu metode analisis DNA genom melalui pola pita DNA yang dihasilkan setelah genom tersebut diamplifikasi menggunakan suatu primer tunggal. Metode ini didasarkan pada reaksi berantai polymerase atau dikenal denga PCR (Polymerase Chain Reaction) dengan menggunakan polymerase DNA yang tahan terhadap suhu tinggi. RAPD merupakan salah satu metode penanda genetik yang mempunyai beberapa kelebihan, yaitu: (1) DNA yang digunakan lebih sedikit, (2) tidak menggunakan


(25)

11

radioisotope, (3) hasilnya diperoleh dalam waktu yang relatif singkat karena tidak memerlukan banyak tahapan, dan (4) primer acak yang digunakan untuk analisis genom semua organisme tanpa mengetahui latar belakang genomnya (Mc Clelland et al., 1994).

Teknik RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) dimulai oleh Williams et al. (1990) setelah berhasil mengamplifikasi DNA dan bersifat polimorfik dengan menggunakan primer acak serta bantuan enzim Taq (Themus aquaticus) DNA polimerase. Teknik ini sudah banyak digunakan para peneliti di dunia karena mempunyai beberapa keuntungan. Menurut William et al. (1990), metode RAPD lebih sederhana, cepat, DNA yang diperlukan sedikit dan tidak perlu terlalu murni, tidak menggunakan radioisotop maupun DNA probe, cocok digunakan untuk sampel banyak, dan cukup menggunakan satu primer.

Teknik RAPD didasarkan pada penggunaan primer sekuens nukleotida yang berubah-ubah untuk mengamplifikasi segmen genomik DNA acak melalui pemanfaatan PCR sehingga menunjukkan polimofisme. Primer untuk analisis RAPD mengandung 9-10 basa panjangnya. Polimorfisme yang teramati dengan menggunakan RAPD diyakini karena adanya perubahan basa tunggal yang mencegah perpasangan primer dengan sekuens target, delesi sisi utama, insersi atau delesi yang memodifikasi ukuran DNA. Keuntungan dari metode ini adalah bahwa set oligonukleotida yang sama dapat digunakan untuk berbagai spesies atau organisme dan setelah amplifikasi selama 2-4 jam, polimorfisme ini dapat diamati secara langsung dengan agarose normal gel elektroforesis (Nasir, 2002).


(26)

12 BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Pebruari 2013 sampai April 2014 bertempat di Laboratorium Kultur Jaringan Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan Laboratorium Terpadu Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah apical bud klon tanaman kelapa sawit yang berasal dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Marihat, Pematang Siantar (Lampiran 1). Bahan kimia yang digunakan adalah bahan-bahan penyusun media MS (Murashige dan Skoog, 1962) (Lampiran 2), ZPT 2,4-D, agar, HCl 0,1N, NaOH 0,1N, HgCl2 0,1%, akuades, alkohol 70%, Benlate® 2 g/l, Bayclin® 10 dan 20%, Tween® 80, Nitrogen Cair & PVP, EDTA pH 8, HCl pH 8, NaCl, CTAB, Kloroform, Fenol, Etanol, Natrium Asetat, Isoamilalkohol, Buffer Tris-EDTA, Agarose, ddH2O steril, dNTP, pewarna ethidium bromide, primer RAPD.

Alat-alat yang digunakan adalah botol kultur, pisau, gunting, pinset, cawan petri, autoklaf, neraca analitik, pemanas, shaker, gelas ukur, kertas saring, spatula, batang pengaduk, pipet tetes, pipet serologi, propipet, handsprayer, bunsen, mikroskop stereo, pH meter, kertas pembungkus, aluminium foil, kertas label, selotip, karet, entkas, rak kultur, PCR, sentrifugasi, elektroforesis, vortex, tabung 1,5 ml, pipet serologi, propipet, lumping porselin, water bath, freezer, tisu gulung, lemari pendingin.

3.3. Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan metode percobaan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 faktorial. Jumlah ulangan untuk setiap kelompok ditentukan dengan menggunakan rumus Federer (1963) dalam (Chairul et al., 1992) yaitu:


(27)

13

(t-1) (n-1) ≥ 15 T = jumlah perlakuan

N = jumlah ulangan

Faktor 1 (A) : Perlakuan media MS dengan penambahan ZPT 2,4-D A0 : Konsentrasi 0 mg/l (sebagai kontrol)

A1 : Konsentrasi 110 mg/l A2 : Konsentrasi 120 mg/l A3 : Konsentrasi 130 mg/l Faktor 2 (B) : Perlakuan interval subkultur

B0 : 3 kali subkultur B1 : 4 kali subkultur B2 : 5 kali subkultur

Sehingga diperoleh kombinasi perlakuan 4 x 3 = 12 perlakuan A0B0 A0B1 A0B2

A1B0 A1B1 A1B2 A2B0 A2B1 A2B2 A3B0 A3B1 A3B2

Jumlah percobaan adalah 12 perlakuan, dengan masing-masing ulangan 3 kali, sehingga jumlah total 36 botol.

3.4. Cara Kerja

3.4.1. Sterilisasi Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini seperti cawan petri, botol kultur, pipet serologi, aluminium foil, kertas saring, dan pinset dicuci dengan deterjen dan dibilas dengan air mengalir, dikeringkan dan disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 1210C dengan tekanan 15 psi selama 15 menit. Bersamaan dengan alat dimasukkan juga botol berisi akuades yang ikut dalam sterilisasi alat.


(28)

14

14 3.4.2. Pembuatan Media

Media yang digunakan adalah media dasar MS (Murashige dan Skoog, 1962) dengan penambahan ZPT 2,4-D. Tahap awal pembuatan media adalah pembuatan larutan stok terlebih dahulu yaitu hara makro, mikro, iron, dan vitamin. Unsur-unsur lain ditimbang sesuai kebutuhan seperti sukrosa dan agar. Pembuatan media sebanyak 1000 ml.

Larutan MS dibuat dengan cara memasukkan hara makro, mikro, iron, vitamin, sukrosa, ZPT ke dalam beaker glass lalu ditambahkan akuades sehingga volumenya menjadi 500 ml. Larutan dibagi dalam 5 beaker glass dan masing-masing berisi 100 ml, setiap bagian ditambahkan ZPT berupa 2,4-D sesuai dengan konsentrasi untuk masing-masing perlakuan, kemudian ditambahkan dengan akuades sehingga volumenya menjadi 200 ml. pH diatur sebesar 5,8 dengan cara menambahkan HCl 0,1 N atau NaOH 0,1 N. Dimasukkan Bacto agar 10 g/l pada masing-masing perlakuan, lalu dipanaskan hingga mendidih dan dituang ke dalam botol kultur yang telah diberi label sesuai banyaknya ulangan. Botol kultur yang telah berisi media ditutup dengan aluminium foil dan plastik, diikat dengan karet gelang, disterilisasi dalam autoklaf bertekanan 15 psi pada suhu 1210C selama 30 menit kemudian disimpan dalam ruang kultur lebih kurang selama 1 minggu sebelum digunakan.

3.4.3. Sterilisasi Eksplan

Eksplan berupa apical bud kelapa sawit dibersihkan dengan air mengalir dan direndam dalam detergen selama + 10 menit, kemudian dibilas dengan akuades steril hingga bersih. Eksplan dishaker dalam larutan fungisida 0,2% yang diberi 200 µl tween 80® selama 30 menit. Selanjutnya dibilas dengan akuades steril. Eksplan direndam dalam larutan antibiotik (Betadine®) selama 10 menit dan dibilas dengan akuades steril. Bahan tanaman dimasukkan ke dalam larutan Na-hipoklorit 1,0% selama 5 menit dan dibilas dengan akuades steril. Tahap selanjutnya bahan tanaman direndam dalam larutan HgCl2 0,1% selama 30 menit, dan dibilas tiga kali dengan akuades steril masing-masing 5 menit. Eksplan steril dikeringkan di atas cawan petri steril yang berisi kertas saring. Eksplan siap ditanam (Zulkarnain, 2009).


(29)

15

3.4.4. Induksi Kalus

Sebelum melakukan penanaman diupayakan agar ruangan dalam keadaan bersih. Penanaman eksplan dilakukan di dalam laminar air flow. Alat-alat diseksi, lampu bunsen dan alkohol 70% dipersiapkan terlebih dahulu. Eksplan yang akan ditanam dipotong hingga ukuran eksplan ±1cm selanjutnya ditanam dalam media kultur. Setiap botol kultur berisi satu eksplan. Penanaman dilakukan dengan cara aseptik sehingga setiap kali menggunakan pisau dan pinset terlebih dahulu dicelupkan kedalam alkohol 70% kemudian dibakar diatas lampu bunsen. Botol yang berisi eksplan ditutup dengan aluminium foil dan plastik, diikat dengan karet gelang dan disusun di rak kultur.

3.4.5. Pemeliharaan Kultur

Botol-botol yang berisi eksplan disusun dengan acak pada rak kultur sesuai dengan lay out penelitian. Ruang pemeliharaan kultur harus senantiasa dalam keadaan bersih dan aseptik dengan cara disemprot dengan alkohol 70% setiap hari. Suhu dijaga berkisar 22o C dengan pengaturan AC. Botol kultur diletakkan diruang tanpa cahaya.

3.4.6. Subkultur

Sub kultur dilakukan dengan cara memindahkan kalus ke dalam media yang sama secara aseptik. Subkultur dilakukan pada interval empat minggu.

3.4.7. Isolasi DNA

Isolasi DNA berdasarkan metode CTAB (Doyle & Doyle, 1990) yang dimodifikasi. Sampel dari kalus sebanyak 0,4 g digerus dalam lumpang porselin dengan bantuan nitrogen cair. Sampel yang telah halus seperti tepung berwarna putih dimasukkan ke dalam tabung 1,5 ml yang telah berisi 1 ml buffer ektraksi (100 mM Tris HCl, 4 M NaCl, 20 mM EDTA, 3% CTAB, 6% PVP dan 0,2% β -mekaptoetanol) yang telah dipanaskan pada suhu 650C. Larutan dibolak-balik sampai terbentuk suspensi. Selanjutnya diinkubasi di dalam waterbath pada suhu 650C selama 30 menit dan setiap 10 menit dibolak-balik. Setelah proses ekstraksi, sampel dibiarkan dingin pada suhu ruang dan dilanjutkan dengan proses


(30)

16

16

pemurnian. Proses pemurniaan diawali dengan penambahan Tris-Phenol : Kloroform : Isoamilalkohol (25:24:1) dengan volume yang sama dan dibolak-balik hingga homogen. Larutan disentrifus dengan kecepatan 10.000 rpm pada suhu 40C selama 15 menit. Supernatan dipindahkan ke tabung 1,5 ml yang baru dan dimurnikan dengan larutan kloroform: isoamilalkohol (24:1) dengan volume yang sama dan dibolak-balik secara teratur, disentrifus dengan kecepatan 10.000 rpm pada suhu 40C selama 15 menit. Supernatan diambil dengan pipet dan dipindahkan ke tabung 1,5 ml yang baru dan steril.

DNA diendapkan dengan penambahan 1/10 kali volume sodium asetat (pH 5,2) dan 2 kali volume etanol absolut dingin, larutan dibolak-balik beberapa kali sampai DNA terlihat seperti benangbenang putih. DNA diinkubasi pada suhu -200C selama 3 jam dan disentrifus dengan kecepatan 10.000 rpm pada suhu 40C selama 15 menit. Supernatan dibuang dan pelet dibersihkan dengan 50 µl alkohol 70% dan disentrifus dengan kecepatan 10.000 rpm pada suhu 40C selama 15 menit. DNA dikering-anginkan atau divakum pada suhu 370C selama 10 menit. DNA yang telah kering dilarutkan dengan aquabides (ddH2O) steril sebanyak 100 µl.

Kontaminan RNA pada DNA dihilangkan dengan cara menambahkan 5 µl RNAse (20 mg/ml) dan diinkubasi selama 90 menit (suhu 370C). RNAse dinonaktifkan dengan cara diinkubasi pada suhu 700C selama 3 menit dan selanjutnya disimpan pada suhu -200C.

3.4.8. Uji Kualitas dan Kuantitas DNA

Kualitas sampel DNA ditentukan menggunakan teknik elektroforesis 0,8% gel agarose. Gel agarose 0,8% dibuat dengan melarutkan 0,8 gram agarose

dalam 100 ml buffer TAE 1 x (Tris base, asam asetat glacial, 0,5 M EDTA, pH 8.0) dipanaskan hingga mendidih. Larutan agarose dituang ke dalam cetakan elektroforesis yang di dalamnya telah diletakkan sisir sebagai cetakan sumur, dibiarkan sampai gel memadat. Gel diletakkan ke dalam bak elektroforesis yang tela diisi larutan TAE 1 x sampai terendam. Sampel DNA dimasukkan ke dalam sumur gel dan dirunning secara elektrik selama 30 menit pada voltase 90 V. Selanjutnya dilakukan dokumentasi gel dengan alat kodak gel logic (UVITec,


(31)

17

Cambridge) dengan software. Kuantitas DNA diukur menggunakan

nanophotometer (Implen, Singapura).

3.4.9. Analisis Random Amplified Polymorfic DNA (RAPD)

Analisis RAPD menggunakan 2 primer yaitu W-15 (5’- ACAACCGGAAC-3’) dan OPC-08 OPC-08 (5’-TGGACCGGTG-3’) (Hetharie, 2010) untuk melihat perubahan genetik dari induk terhadap hasil kultur jaringan. Reaksi PCR menggunakan Kit 2 x PCR Master Mix Solution (iNtRON Biotechnology, Korea) (Tabel 3.1). Bahan-bahan reaksi PCR tersebut dikondisikan pada suhu 940C selama 2 menit untuk proses pre-denaturasi. Amplifikasi dilakukan sebanyak 40 siklus dengan tahapan sebagai berikut: 940C selama 20 detik untuk denaturasi, 360C selama 20 detik untuk penempelan primer, 720C selama 1 menit untuk proses pemanjangan. Reaksi diakhiri pada suhu 720C selama 5 menit kemudian dikondisikan pada suhu tetap 40C. Hasil PCR dielektroforesis pada 1,2% gel agarose, tegangan listrik 70 volt, arus 100 ampere selama 90 menit. Gel agarose direndam dalam larutan pewarna ethidium bromide. Hasil elektroforesis divisualisasikan dengan UV Transilluminator (UVITec, Cambridge).

Tabel 3.1. Bahan-bahan untuk Satu Kali Reaksi PCR

No. Komponen PCR Volume

1. PCR reaction 10 µl

2. DNA (5 ng/µl) 2 µl

3. Primer (10 pmol/µl) 1 µl

4. ddH2O 7 µl

Volume Akhir 20 µl

3.4.10. Variabel Pengamatan

Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah: a. Waktu terbentuk kalus.

Waktu terbentuknya kalus diamati pada hari awal terbentuknya kalus. b. Warna kalus.


(32)

18

18 c. Berat basah kalus (g)

Berat basah kalus diamati setiap akhir perlakuan subkultur. d. Pita Polimorfik DNA

DNA hasil PCR diterjemahkan kedalam data biner berdasarkan ada tidaknya pita, dengan ketentuan nilai 0 (nol) untuk tidak ada pita, dan nilai 1 (satu) untuk adanya pita pada suatu posisi yang sama dari setiap individu yang dibandingkan. Cara pemberian nilai dapat dilihat pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1. Pola Terjemahan Pita DNA.

3.5. Analisis Data

Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan uji F pada taraf 5%. Jika perlakuan berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan Duncan’s (DMRT) pada taraf 5%. Data biner pita DNA diproses dengan bantuan software NTSYS (Rohlf, 2000) sehingga dihasilkan pohon dendogram kesamaan genetik.

1 2 3 4 5 6 7

No A B C D E

1 0 0 1 1 0 2 1 0 0 1 1 3 1 1 0 0 0 4 1 0 1 0 0 5 0 1 1 1 0 6 1 0 1 0 1 7 0 0 0 1 0 No A B C D E

Diterjemahkan menjadi


(33)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Waktu Terbentuk Kalus

Berdasarkan hasil penelitian, waktu terbentuknya kalus mulai terjadi pada 74 hari setelah tanam (HST), data pengamatan waktu terbentuknya kalus dapat dilihat pada Lampiran 3. Kalus muncul pada bagian tepi eksplan (Gambar 4.1).

Gambar 4.1. Kalus Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq), a): Eksplan, b): Kalus, c): Media.

Berdasarkan Gambar 4.1. dapat dilihat bahwa kalus muncul dari tepi eksplan. Eksplan pada media induksi mengalami pembengkakan pada hari ke-7 setelah tanam sampai hari ke-30. Hal ini terjadi karena eksplan menyerap air dari media (imbibisi) sebagai tahap awal pertumbuhan, akibatnya sel-sel nya membesar. Pada tahap tersebut terbentuk kalus, karena eksplan berada pada fase lag yaitu fase adaptasi dengan media. Kalus mulai terbentuk pada hari ke-74 setelah tanam, yang ditandai dengan adanya tonjolan-tonjolan berwarna keputihan pada bagian bekas luka. Hal ini sesuai dengan pendapat Meagher & Green (2002), yang menyatakan bahwa induksi kalus diawali dengan penebalan eksplan pada bagian potongan dan daerah yang mengalami pelukaan. Penebalan tersebut merupakan interaksi eksplan dengan media tumbuh, zat pengatur tumbuh sehingga ekplan bertambah besar. Menurut (Soeryowinoto, 1996), timbulnya kalus merupakan aktivitas sel di bagian eksplan yang terluka dengan

sel-1 cm c b


(34)

20

20

selnya menjadi meristematik lagi. Luka yang dialami jaringan atau sel tumbuhan akan mengaktivasi mekanisme pertahanan diri tumbuhan baik secara lokal maupun sistemik dalam bentuk perubahan arah jalur metabolisme dan menginduksi ekspresi gen-gen tertentu. Zat pengatur tumbuh dari kelompok auksin seperti 2,4-D sangat dibutuhkan untuk induksi kalus. Selain itu, auksin juga dapat menyebabkan sel yang telah terdiferensiasi mampu mengalami dediferensiasi (Hopkins, 1995).

Berdasarkan uji statistik, pemberian 2,4-D dengan konsentrasi yang berbeda memberikan pengaruh terhadap waktu terbentuknya kalus. Perlakuan tanpa ZPT (0 mg/L) tidak dapat menginduksi kalus. Hubungan rata-rata waktu terbentuknya kalus dengan perlakuan zat pengatur tumbuh 2,4- D dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda, berbeda nyata pada uji Duncan.

Gambar 4.2. Hubungan Rata-rata Waktu Terbentuknya Kalus dengan Perlakuan Zat Pengatur Tumbuh (2,4-D).

Eksplan yang ditumbuhkan pada media tanpa ZPT (0 mg/L) hanya mengalami pembengkakan. Hal ini diduga karena komponen yang terdapat dalam media belum mampu menginduksi pembentukan kalus serta kurangnya suplai hormon endogen yang ada dalam eksplan. Eksplan dalam pertumbuhannya hanya dipacu oleh sukrosa, makronutrien, mikronutrien, dan vitamin yang terlarut dalam media dan hormon endogen. Semakin tinggi konsentrasi 2,4-D yang digunakan maka semakin cepat menginduksi kalus. Konsentrasi 2,4-D 130 mg/l merupakan perlakuan yang paling cepat menginduksi kalus yaitu pada 74 HST dan perlakuan


(35)

21

2,4-D 120 mg/l menginduksi kalus pada 81 HST, sedangkan perlakuan 2,4-D 110 mg/l menginduksi kalus pada 91 HST. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Thuzar et al. (2012) yang menyatakan induksi kalus primer dari eksplan daun kelapa sawit pada media N6 muncul setelah 60 sampai 120 hari setelah tanam.Yelnitis & Komar (2010) dalam penelitiannya menyatakan induksi kalus dipengaruhi oleh konsentrasi 2,4-D yang digunakan. Semakin tinggi konsentrasi 2,4-D yang digunakan, induksi kalus semakin cepat terjadi. Pada perlakuan tanpa 2,4-D eksplan hanya memperlihatkan penebalan dan tidak berkembang menjadi kalus walaupun dikulturkan dalam jangka waktu yang lama.

Menurut George & Sherrington (1984), hormon 2,4-D adalah golongan auksin yang sangat baik untuk memacu pertumbuhan kalus. Rice et al. (1992), mengatakan bahwa peran auksin yang pertama dalam propagasi in vitro adalah merangsang pembelahan dan pembesaran sel yang terdapat pada pucuk tanaman, dan menyebabkan terbentuknya pucuk baru. Menurut Poonsapaya et al. (1989), penambahan auksin ke dalam media kultur dapat meningkatkan konsentrasi ZPT endogen di dalam sel menjadi faktor pemicu dalam proses pertumbuhan dan perkembangan jaringan.

4.2. Warna Kalus

Pengamatan warna kalus dilakukan pada subkultur ke-5 yaitu diakhir penelitian. Pengamatan visual warna kalus diamati dengan bantuan mikroskop stereo. Persentase warna kalus dapat dilihat pada Tabel 4.2. Data pengamatan warna kalus dapat dilihat pada Lampiran 4.

Tabel 4.2. Presentase Warna Kalus.

Konsentrasi 2,4-D

Warna Kalus (%) Putih

kekuningan

Putih kecokelatan Kuning kecokelatan

0 mg/L - - -

110 mg/L 100 - -

120 mg/L 130 mg/L

89 56

11 11

- 33


(36)

22

22

Penggunaan zat pengatur tumbuh 2,4-D secara tunggal menghasilkan kalus dengan warna yang berbeda-beda. Indikator pertumbuhan eksplan pada in vitro berupa warna kalus menggambarkan penampilan visual kalus sehingga dapat diketahui apakah suatu kalus masih memiliki sel-sel yang aktif membelah atau telah mati.

Warna kalus yang terbentuk yaitu putih kekuningan, putih kecokelatan dan kuning kecokelatan (Gambar 4.3). Persentase kalus berwarna putih kekuningan tertinggi pada konsentrasi 2,4-D 110 mg/l sebesar 100%, sedangkan persentase kalus berwarna kuning kecokelatan tertinggi pada konsentrasi 2,4-D 130 mg/l sebesar 33%. Warna kalus didominasi oleh warna putih kekuningan. Hal ini disebabkan karena kalus yang terbentuk adalah kalus embriogenik. Peterson & Smith (1991), Pereira et al. (2013) dan Thuzar et al. (2012) mengatakan bahwa kalus yang embriogenik yang berasal dari eksplan apical meristem kelapa sawit menghasilkan warna putih kekuningan dan mengkilat. Kasi & Sumaryono (2006) menambahkan bahwa warna kalus embriogenik dari family Arecaceae pada umumnya berwarna kekuningan.

Beberapa perlakuan menunjukkan kalus berwarna kecokelatan, hal ini disebabkan karena teroksidasinya senyawa fenol. Menurut Yusnita (2004), warna kalus yang semakin gelap (menjadi cokelat) mengindikasikan pertumbuhan kalus yang semakin menurun. Warna kecokelatan pada kalus akibat adanya metabolisme senyawa fenol yang bersifat toksik dan dapat menghambat pertumbuhan atau bahkan menyebabkan kematian jaringan, selain itu juga menandakan terjadinya sintesis senyawa fenol.

Gambar 4.3. Warna Kalus Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.), a. Putih Kekuningan; b. Putih Kecokelatan; c. Kuning Kecokelatan.


(37)

23

4.3. Berat Basah Kalus

Parameter pertumbuhan dapat diamati dari peningkatan berat basah (Lampiran 5). Pertumbuhan kalus pada media kultur biasanya ditentukan dengan mengukur berat basah kalus. Rata-rata peningkatan berat basah kalus disajikan pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Hasil Uji Rata-rata Berat Basah Kalus Apical Bud Kelapa Sawit. Konsentrasi

2,4-D

Berat Basah (g)

Rata-Rata Subkultur

3 Bulan 4 Bulan 5 Bulan

0 mg/l 0 0 0 0a

110 mg/l 0,55 0,71 0,80 0,68c

120 mg/l 0,69 0,79 1 0,82d

130 mg/l 0,42 0,54 0,74 0,56b

Rata-Rata 0,55a 0,68b 0,84c

F (A: 2,4-D) 5,572*

1,561* 0,996ns F (B: Subkultur)

F (AxB)

Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji Duncan. *p < 0,05; ns: tidak signifikan.

Hasil uji rata- rata berat basah kalus apikal bud kelapa sawit menunjukkan perlakuan 2,4-D yang berbeda memberikan pengaruh terhadap peningkatan berat basah kalus. Perlakuan 2,4-D 120 mg/l merupakan perlakuan yang menghasilkan berat basah paling tinggi sebesar 0,82 gram dan perlakuan 2,4-D 110 mg/l menghasilkan berat basah sebesar 0,68 gram. Namun pada perlakuan 2,4-D 130 mg/l menghasilkan berat basah terendah sebesar 0,56 gram. Berat basah kalus disebabkan karena kandungan air yang tinggi. Penurunan berat basah pada perlakuan D 130 mg/l mungkin disebabkan karena tingginya konsentrasi 2,4-D yang digunakan yang ditandai dengan warna kalus, yaitu kuning kecokelatan sebesar 33% yang menandakan bahwa kalus tersebut memiliki daya tumbuh yang rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pierik (1987), 2,4-D merupakan auksin yang sering dipakai untuk menginduksi kalus tetapi pada konsentrasi yang tinggi merupakan herbisida dan menyebabkan mutasi. Selain itu pada konsentrasi tinggi juga mampu menghambat pertumbuhan kalus bahkan dapat menyebabkan kematian sel. Menurut Bhojwani & Razdan (1983), bahwa senyawa 2,4-D pada konsentrasi tinggi berfungsi sebagai herbisida yang dapat mematikan sel tanaman,


(38)

24

24

namun pada konsentrasi rendah berfungsi sebagai auksin yang dapat mendorong pembelahan sel tanaman.

Menurut Ruswaningsih (2007), berat segar secara fisiologis terdiri dari dua kandungan yaitu air dan biomassa. Berat basah yang besar ini disebabkan karena kandungan airnya yang tinggi. Menurut Rahayu et al. (2003), berat basah yang dihasilkan sangat tergantung pada kecepatan sel-sel tersebut membelah diri, memperbanyak diri, dan dilanjutkan dengan pembesaran kalus. Menurut Salisbury & Ross (1995) zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam jumlah yang tepat memberikan pengaruh terhadap berat kultur. Auksin berperan pada perbesaran sel. Harjoko (1999) menambahkan bahwa pengaruh auksin terhadap pertumbuhan jaringan diduga menginduksi sekresi ion H+ keluar melalui dinding sel. Sekresi ion H+ tersebut menyebabkan K+ diambil, pengambilan ini mengurangi potensial air dalam sel, akibatnya air mudah masuk ke dalam sel dan sel akan membesar.

Perlakuan subkultur 4 minggu menunjukkan peningkatan terhadap berat basah kalus. Hal ini disebabkan karena ketersediaan nutrisi bagi pertumbuhan kalus masih memadai. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan Ginting

et al. (2007), yang melaporkan bahwa subkultur 4 minggu memiliki berat basah paling tinggi.

4.4. Analisis RAPD

4.4.1. Kualitas dan Kuantitas DNA

Kualitas DNA dianalisis menggunakan gel elektroforesis 0,8%. Kualitas DNA yang diperoleh menunjukkan hasil yang baik yaitu DNA utuh (Gambar 4.4). DNA yang utuh ditandai dengan posisi pita terletak diatas (1 pita) dan tidak adanya

smear (tidak tercacah). Hal ini penting untuk analisis selanjutnya untuk memberikan hasil yang lebih akurat.


(39)

25

Gambar 4.4. Hasil Kualitas DNA Menggunakan Gel Elektroforesis 0,8%. M (Marker DNA), I (tanaman induk), A1B0 (2,4-D 110 mg/l subkultur 3 bulan), A2B0 (2,4-D 120 mg/l subkultur 3 bulan), A3B0, (2,4-D 130 mg/l subkultur 3 bulan), A1B1 (2,4-D 110 mg/l subkultur 4 bulan), A2B1 (2,4-D 120 mg/l subkultur 4 bulan), A3B1 (2,4-D 130 mg/l subkultur 4 bulan), A1B2 (2,4-D 110 mg/l subkultur 5 bulan), A2B2 (2,4-D 120 mg/l subkultur 5 bulan), A3B2 (2,4-D 130 mg/l subkultur 5 bulan).

Kemurnian DNA dari masing-masing sampel mempunyai kisaran antara 1,6-2,0 (Tabel 4.4.) Hal ini menunjukkan proses pemurnian yang dilakukan sudah bisa menghilangkan kontaminan protein. Menurut Sambrook & Russel (1989), batas kemurnian yang biasa dipakai dalam analisis molekuler pada rasio A260/A280 1,8-2,0. Namun hasil analisis RAPD yang telah dilakukan menunjukkan bahwa analisis DNA dengan kemurnian 1,6 pada perlakuan A1B0 (2,4-D 110 mg/l subkultur 3 bulan) menunjukkan hasil yang baik, tidak berbeda dengan perlakuan lainnya (Gambar 4.5).

Tabel 4.4. Hasil Kualitas dan Kuantitas DNA

Perlakuan Konsentrasi

(ng/µ L)

Kemurnian (A260/280) Subkultur Konsentrasi 2,4-D

Tanaman Induk (Kontrol) 522 1,8

3 Bulan

110 mg/L 1024 1,6

120 mg/L 2968 1,8

130 mg/L 2745 2,0

4 Bulan

110 mg/L 150 1,6

120 mg/L 1648 1,9

130 mg/L 1757 1,8

5 Bulan

110 mg/L 2027 1,8

120 mg/L 1255 1,9

130 mg/L 2417 1,8

M I A1B0 A2B0 A3B0 A1B1 A2B1 A3B1 A1B2 A2B2 A3B2

Subkultur 3 bulan Subkultur 4 bulan Subkultur 5 bulan

250 bp 500 bp 10.000 bp


(40)

26

26 4.4.2. Amplifikasi DNA dengan PCR

DNA yang didapat dari sampel memiliki kualitas yang baik, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan 2 primer RAPD W-15 dan OPC-08 (Hetharie, 2010) untuk mengetahui apakah terjadi perubahan genetik dari induk terhadap hasil kultur jaringan. Profil pola pita DNA kelapa sawit hasil RAPD dengan primer W-15 dan OPC-08 dapat dilihat pada Gambar 4.5.

Gambar 4.5. Profil Pola Pita DNA Kalus Apical Bud Kelapa Sawit Hasil RAPD dengan A) primer W-15 dan B) primer OPC-08. M (Marker DNA), I (tanaman induk), A1B0 (2,4-D 110 mg/l subkultur 3 bulan), A2B0 (2,4-D 120 mg/l subkultur 3 bulan), A3B0, (2,4-D 130 mg/l subkultur 3 bulan), A1B1 (2,4-D 110 mg/l subkultur 4 bulan), A2B1 (2,4-D 120 mg/l subkultur 4 bulan), A3B1 (2,4-D 130 mg/l subkultur

a 500 bp

750 bp 1000 bp 1500 bp 2000 bp

M I A1B0 A2B0 A3B0 A1B1 A2B1 A3B1 A1B2 A2B2 A3B2

Subkultur 3 bulan Subkultur 4 bulan Subkultur 5 bulan A

M I A1B0 A2B0 A3B0 A1B1 A2B1 A3B1 A1B2 A2B2 A3B2

B Subkultur 3 bulan Subkultur 4 bulan Subkultur 5 bulan

250 bp 500 bp 1000 bp


(41)

27

4 bulan), A1B2 (2,4-D 110 mg/l subkultur 5 bulan), A2B2 (2,4-D 120 mg/l subkultur 5 bulan), A3B2 (2,4-D 130 mg/l subkultur 5 bulan), (Pengurangan atau penambahan jumlah pita dengan pita tanaman induk).

Gambar 4.5 A). menunjukkan bahwa amplifikasi DNA dengan primer W-15 menghasilkan 9 pita, ada 2 pita yang berukuran sekitar 500 bp dan 600 bp yang muncul pada tanaman kontrol (induk) namun tidak ada pada perlakuan A3B0 (2,4-D 130 mg/l subkultur 3 bulan), A1B2 (2,4-D 110 mg/l subkultur 5 bulan) dan A3B2 (2,4-D 130 mg/l subkultur 5 bulan). Ada penambahan 2 pita yang berukuran sekitar 1500 bp dan 1750 bp yang muncul pada perlakuan A2B0 (2,4-D 120 mg/l subkultur 3 bulan) namun tidak ada pada tanaman induk. Ada penambahan 1 pita yang berukuran sekitar 400 bp yang muncul pada perlakuan A2B2 (2,4-D 120 mg/l subkultur 5 bulan) namun tidak terdapat pada tanaman induk (tanda panah pada Gambar 4.5. A). Hasil yang sama ditunjukkan oleh amplifikasi DNA dengan primer OPC-08 yang menghasilkan 6 pita, ada 2 pita yang berukuran sekitar 400 bp dan 500 bp yang ada pada tanaman induk (kontrol) tetapi tidak terdapat pada semua perlakuan. Namun ada penambahan 2 pita yang berukuran sekitar 1000 bp dan 1250 bp yang muncul pada perlakuan A1B1 (2,4-D 110 mg/l subkultur 4 bulan) dan A1B2 (2,4-D 110 mg/l subkultur 5 bulan) yang tidak dimiliki oleh tanaman induk. (tanda panah pada Gambar 4.5 B). Perbedaan pola pita DNA tersebut menunjukkan telah terjadi perbedaan penempelan primer RAPD yang mengindikasikan telah terjadi perubahan sekuens DNA. Perubahan sekuens DNA tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan genetik. Perubahan genetik tersebut mungkin disebabkan karena penambahan 2,4-D dengan konsentrasi yang tinggi dan subkultur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Jones (1991) yang menyatakan komposisi zat pengatur tumbuh serta medium dan lamanya interval subkultur sangat mempengaruhi perubahan genetik. Pada kelapa sawit, kemungkinan pemberian auksin khususnya 2,4-D dalam konsentrasi sangat tinggi 80-100 ppm menyebabkan aberasi kromosom karena 2,4-D dalam konsentrasi tinggi aktivitasnya seperti herbisida (Hetharie, 2010).

Menurut Euwens et al. (2002), lamanya subkultur yang dilakukan selama masa pengkulturan kalus kelapa sawit mempunyai kecendrungan meningkatkan


(42)

28

28

abnormalitas pembungaan kelapa sawit. Karp (1995), menyatakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi perubahan genetik, yaitu sumber eksplan, pemilihan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan dan banyaknya dilakukan subkultur selama masa penggandaan sel-sel embriosomatik dan fase pemeliharaan kalus. Jones (1991) dan Paranjothy et al. (1993) menyatakan bahwa abnormalitas yang terjadi pada klon kelapa sawit disebabkan ekspresi gen yang mengalami perubahan. Abnormalitas yang ditemukan pada pembungaan klon kelapa sawit diduga kuat disebabkan oleh pemakaian 2,4-D sebagai ZPT yang ditambahkan pada media untuk menginduksi pembentukan kalus embrioid.

4.5. Kemiripan Genetik Kalus Apical Bud Kelapa Sawit

Perubahan genetik yang terjadi pada kalus apical bud kelapa sawit hasil amplifikasi dengan menggunakan primer W-15 dan OPC-08 dapat dilihat pada dendogram kemiripan genetik (Gambar 4.6).

Gambar 4.6. Dendrogram Kemiripan Genetik Kalus Apical Bud Kelapa Sawit Berdasarkan Primer W-15 dan OPC-08.

Gambar 4.6 memperlihatkan bahwa tidak ada perlakuan yang memiliki kemiripan genetik dengan kontrol (induk) sebesar 100%. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan genetik dari induk terhadap hasil kultur jaringan. Perlakuan A1B0, A3B1, A1B1 dan A2B2 memiliki koefisien kemiripan dengan kontrol sebesar 81%. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan genetik sebesar 19%. Perlakuan A2B0 memeiliki koefisien kemiripan dengan kontrol sebesar 71%. Hal

0,61 0,71 0,81 0,90 1,00

Koefisien Kemiripan

Kontrol

A1B0

A3B1

A1B1

A2B2

A2B0

A3B0

A3B2

A1B2

A2B1 A2B0 A3B0 A3B2

A1B2


(43)

29

ini menunjukkan adanya perbedaan genetik sebesar 29%. Perlakuan A3B0, A3B2, A1B2 dan A2B1 memiliki koefisien kemiripan dengan kontrol sebesar 61%. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan genetik sebesar 39%. Berdasarkan pola dendogram tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi 2,4-D yang tinggi dan lamanya subkultur berpengaruh terhadap perubahan genetik kalus apical bud

kelapa sawit.

Penelitian yang dilakukan Toruan-Mathius et al. (2001), melaporkan bahwa dengan analisis RAPD mampu menunjukkan perubahan genetik dalam klon yang sama untuk seluruh klon yang diuji.


(44)

30 BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah:

1. Konsentrasi 2,4-D terbaik untuk induksi kalus kelapa sawit yaitu A3 (130 mg/l) 74 hari setelah tanam dan perlakuan yang optimum untuk berat basah kultur adalah A2B2 (120 mg/l + subkultur 5 bulan) sebesar 1 g.

2. Perbedaan pola pita DNA yang diamplifikasi oleh 2 primer (W-15 dan OPC-08) menunjukkan perubahan genetik pada kultur apical bud kelapa sawit yang disebabkan oleh perlakuan konsentrasi 2,4-D dan subkultur 3,4,5 bulan.

5.2 Saran

Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat keragaman genetik hasil kultur kelapa sawit pada tingkat embriogenesis.


(45)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 1995. Dasar-Dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Angkasa. Bandung

Asmono,D. 2006. Development of Oil Palm Seeds Industry by Private Sector in Indonesia di dalam: International Oil Palm Conference 2006. Nusa Dua-Bali, Indonesia.

Bangun, D. 2005. Indonesia Palm Oil Price Outlook 2005/2006 Paper Presented on “Seminar Nasional Kelapa Sawit”. Nusa Dua Bali.

Basiron, Y. 2004. Sawit Penyumbang Utama Bekalan Minyak Dunia. Berita Harian (Berita Sawit) 1 September.

Bhojwani, S.S. and Razdan, M. K. 1983. Plant Tissue Culture Theory and Practice. Elsevier Scientific Publishing. Amsterdam.

Chairul, H.M. dan Daryanti, Y. 1992. Pengaruh Ekstrak Kencur (Kaempferia galangal L.) Terhadap Kehamilan Mencit Putih (Mus musculus L.). Di Dalam: Seminar Nasional Indonesia V. Pokjanas. Bandung: Universitas Padjajaran dan Laboratorium Treub Puslitbang Biologi LIPI Bogor.

Cheng Hai, T. 2002. The Palm Oil Industry in Malaysia: From Seed to Fraying pan. WWF Switzerland.

Corley, R.H.V, Lee, C.H, and Wong C.Y. 1986. Abnormal Flower Development in Oil Palm Clones. Planter(Kuala Lumpur). 62: 233-240.

Doyle, J.J. and Doyle, J.L.1990. A Rapid DNA Isolation Procedure for Fresh Plant Tissue. Focus. 12: 13-15.

Eeuwens, C.J., Lord, S.C.R., Donough, V.R., Vallejo, G. and Nelson, S. 2002. Effects of Tissue Culture Conditions During Embryoid Multiplication on the Incidence of “Mantled” Flowering in Clonally Propagated Oil Palm.

Plant Cell Tissue Org. Culture. 70: 311-323.

Fauzi, Y. 2004. Budidaya Pemanfaatan Hasil dan Limbah Analisis Usaha Pemasaran. Penebar Swadaya. Depok.

Federer, W.Y. 1963. Experimental Design, Theory and Application. Mac Millan. New York.


(46)

32

32

George, E.F. and Sherrington, P.D. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture handbook and Directory of Comercial Laboratories. England. Exegetic Ltd. Easterm Press. England.

Ginting, D.L., Sumaryono, Riyadi, I. dan Kasi, P.D. 2007. Pertumbuhan dan Perkembangan Kalus Embriogenik dan Embrio Somatik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada Sistem Perendaman Sesaat. Jurnal Menara Perkebunan. 75: 32-42.

Gunawan. 1992. Teknik Kultur Jaringan. InstitutPertanian Bogor. Bogor.

Gunawan, L.W. 1995. Teknik Kultur In Vitro dalam Holtikultura. Penebar Swadaya. Jakarta.

Harjoko, D. 1999. Pengaruh Macam-macam Auksin terhadap Poliploidisasi Kalus Tanaman Semangka pada Kultur in Vitro. Surakarta. Fakultas Pertanian UNS. Surakarta.

Hartley, C.W.S. 1977. The Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.). Second Edition. Longmans. London.

Hartmann, H.T, Kester, D.E. and Davies, F.T. 1990. Plant Propagation. Principle and Practices. Fifth Edition. Prentice Hall Inc. London.

Herawan, T. 2004. Kultur Jaringan. Protokol Kultur Jaringan Tanaman Hutan. Biotifordo. or.id.

Hetharie, H. 2010. Deteksi Perubahan Genetik pada Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Abnormal dengan Teknik RAPD. Jurnal Budidaya Pertanian.6: 45.

Hopkins, W. 1995. Introduction to Plant Physiology. Canada. John Wiley & Sons, Inc. Canada.

Indrianto, A. 2002. Kultur Jaringan Tumbuhan. Fak. Biologi UGM. Yogyakarta. Jones, L.H. 1991. Endogenous Cytokinin in Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.)

Callus, Embryoids and Regenerant plants Measured by Radioimmunoassay. Plant Cell Tissue. Org. Culture.20: 201-209.

Kasi, P.D. dan Sumaryono, 2006. Perkembangan Kalus Embriogenik Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) pada Tiga Sistem Kultur in vitro. Menara Perkebunan. 76: 4-6.

Karp, A. 1995. Somaclonal Variation as a Tool For Crop Improvement.


(47)

33

Kutschera, A. 1994. The current Status of the Acid-Growth Hypothesis. New Phytol. 126: 549-569.

Larkin, P.J. and Scowcroft, W.R. 1991. Somaclonal Variation a Novel Source of Variability from Cell Cultures for Plant Improvement. Theory and Application Genetics. 60: 167-214.

Lubis, A. U. 1992. Kelapa Sawit di Indonesia. Pusat Penelitian Perkebunan Marihat, Bandar Kuala, Sumatera Utara.

Mangoensokarjo, S. 2003. Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit. Yogyakarta. UGM-Press. Yogyakarta.

Mc Clelland, N., Nelson, M. and Raschke E. 1994. Effect of Site-Spesicific Modification on Restriction Endonukleases and DNA Modification Methyltransferase. Nucleid Acid Res. 22: 3640-3659.

Meagher, M.G and Green, J. 2002. Somatic Embryogenesis and Plant Regeneration from Immature Embryos of Saw Palmetto, an Important Landscape and Medicinal plant.Plant Cell Tissues and Organ Culture. 66 : 253.

Nasir, M. 2002. Bioteknologi. Potensi dan Keberhasilannya dalam Bidang Pertanian. Rajawali Press. Jakarta.

Pahan, I. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta.

Paranjothy, K.R. Othman, C.C., Tan, G., Wang and Soh, A.C. 1993. Incidence of Abnormalities in Relation to in Vitro Protocols. In Proc the 1993 ISOPB Int. Symp. Recent Development in Oil Palm Tissue Culture and Biotechnology. Kuala Lumpur.

Pereira, E.S., Zanderluce, G.L. and Talita, A.B. 2013. New Approaches to Improve the Efficiency of Somatic Embryogenesis in oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) from Mature Zygotic Embryo. In vitro Cell. Dev-Biol Plant. 49: 41-50.

Peterson, G. and Smith, R. l991. Effect of Abscicic Acid and Callus Size on Regeneration of American and International Rice Varieties. Plant Cell Rep. 10:35-38.

Philips, R.I and Kaeppler, S.M. 1994. Tissue Culture-Induced DNA Methylation Variation in Maize. Agri Sci.90: 8773-8776.

Pierik, R.L.M. 1987. In Vitro Culture of Higher Plant. Nederland: Martinus Nij. hoff Publisher.


(48)

34

34

Poonsapaya, P. M. W., Nabors, W. Kersi and Vajrabhaya, M. l989. A Comparison of Methods for Callus Culture and Plant Regeneration of RD-25 Rice (Oryza sativaL.) In Vitro Laboratoris. Plant Cell Tiss. Org. Cult. 16(3): 175-186.

Purwanto, A.W. 2008. Sansievera Flora Cantik Penyerap Racun. Yogyakarta. Kanisius. Yogyakarta.

Rahayu, B., Solichatun dan Anggarwulan, E. 2003. Pengaruh Asam 2,4 Dichlorophenoxyacetic Acid (2,4-D) Terhadap Pertumbuhan Kalus Serta Kandungan Flavanoid Kultur Kalus Acalypha indica L Biofarmasi. 1: 1-6 Rice, R. D., Anderson, P.G., Hall J.f and Ranchod, A. 1992. Micropropagation:

Principles and Commercial Practice. Di dalam: M. Mooyong, editor. Plant biotechnology: Comprehensive biotechnology (Second Supplement). England: Pergamon Press.

Rohlf, F. J. 2000. NTSYS-pc, Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis system, Version 2.1. Exeter Publications. New York.

Ruswaningsih, F. 2007. Pengaruh Konsentrasi Ammonium Nitrat dan BAP terhadap Pertumbuhan Eksplan Pucuk Artemisia annua L. pada Kultur In Vitro. Skripsi Fakultas Pertanian UNS. Surakarta.

Salisbury, F. B. dan Ross, C.W. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid ke-3. Edisi ke-4. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Sambrook, J. and Russel, D.W. 1989. Molecular Cloning: A Laboratory Manual. Cold-Spring Harbor Laboratory Press. 2nd edition. New York.

Skirvin, R.M., Pheeters, K.D and Norton, M. 1994. Sources and Frequency of Somaclonal Variation. Hort Sci 29: 1232-1237.

Soeryowinoto, M. 1996. Pemuliaan Tanaman Secara In Vitro. Yogyakarta : Kanisius.

Tahardi, J.S. 1988. Improvement of Oil Palm Somatic Embryogenesis by Periodic Immersion in Liquid Medium. In A. Jatmika et al. (eds.) Proc. Internat. Oil Palm Conf., Bali, Indonesia.

Thuzar, M., Vanavichit, A., Tragonrung, S. and Jantasuriyarat, C. 2012. Recloning of Regenerated Plantlets from Elite Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) cv. Tenera. African. Journal of Biotechnology. 11: 82.

Tondok, A.R. 1998. Production and Marketing of Indonesia Palm Oil. Past, Present and Future. Int. Oil Palm Conf. Nusa Dua. Bali September. 23-25.


(49)

35

Toruan-Mathius, N., Bangun, S.I. dan Bintang. 2001. Analisis Abnormalitas Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) Hasil Kultur Jaringan dengan Teknik Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). Menara Perkebunan. 69: 7.

Wattimena, G.A 1991. Bioteknologi Tanaman, Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. Pusat Antar Universitas IPB. Bogor.

Wattimena, G.A. dan N.A. Mattjik. 1992. Pemuliaan Tanaman Secara In Vitro. IPB. Bogor.

William, J.G.K., Kebelik, A.E., Livak, K.J., Rafalski, J.A. and Tingey, V. 1990. DNA Polymorphism Amplified by Arbitrary Primer are Usefful as Genetic Marker. Nucleid Acid. Res. 18: 6531-6535.

Williams, E.G. and Maheswara. 1986. Somatic Embryogenesis Factors Influencing Coordinated Behaviour of Cells as on Embryogenic Group.

Ann. Bot. 57: 443-462.

Wong, G.S.P. Chong, C.C., Tan and Soh, A.C. 1999. Liquid Suspension Culture. A Potential Technique For Mas Production of Oil Palm Clone Palm Oil Research Institute of Malaysia.

Van Harten, A.M., Wong, G., S.P. Chong, C.C, tan, and Soh, A.C. 1998. Mutation Breeding. Theory and Parctikal Applications. Cambridge Univ. Press. 1999. Liquid Suspension culture-A potential technique for mass production of oil palm clones. Palm oil Res. Ins. Of Malaysia. 3-10

Yelnitis dan Komar, T.E. 2010. Upaya Induksi Kalus Embriogenik dari Potongan Daun Ramin. Indonesia’s Work Programme for 2008 ITTO CITES

Project.Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. BadanLitbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Indonesia.

Yusnita. 2004. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Jakarta. Agromedia Pustaka.

Zimmerman, J.L. 1993. Somatic embryogenesis: A model for early development in higher plants. Plant Cell. 5:1411-1423.

Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman. Edisi 1. Cetakan ke-1. Bumi Aksara. Jakart


(50)

36

Lampiran 1. Klon kelapa sawit umur 8 bulan

5 cm

20 cm

b


(51)

37

Lampiran 2. Komposisi Media MS (Murashige & Skoog) 1962

Bahan Kimia Konsentrasi Dalam Media (mg/l) Makro Nutrien

NH4NO3 1650,000

KNO3 1900,000

CaCl2 . H2O 440,000

MgSO4 . 7H2O 370,000

KH2PO4 170,000

Iron

Na2EDTA 37,000

FeSO4 . 7H2O 27,000

Mikro Nutrien

MnSO4 . 4H2O 22,300

ZnSO4 . 7H2O 8,600

H3BO3 6,200

KI 0,830

NaMoO4 . 2H2O 0,250

CuSO4 . 5H2O 0,025


(52)

38

38

Lampiran 3. Data Pengamatan Waktu Terbentuknya Kalus (HST)

Perlakuan Ulangan Rataan Sd

1 2 3 4 5 6 7 8 9

0 mg/L 2,4-D 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

110 mg/L 2,4-D 93 98 95 95 91 95 93 95 91 94 2,23

120 mg/L 2,4-D 84 88 81 81 87 84 88 81 81 83,88 3,10

130 mg/L 2,4-D 75 78 78 74 75 74 78 76 78 76,22 1,78

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig Between groups 49860,528 3 16620,176 3733,706 ,000

Within groups 142,444 32 4,451

Total 50002,972 35

Uji Duncan pada Taraf 5% Aukin 2,4-D

Perlakuan N Subset

1 2 3 4

0 mg/l 9 ,0000

130 mg/l 9 76,2222

120 mg/l 9 83,8889

110 mg/l 9 94,0000


(53)

39

Lampiran 4. Data Pengamatan Warna Kalus

Perlakuan

Warna Ulangan

I II III

A0B0 - - -

A0B1 - - -

A0B2 - - -

A1B0 Putih kekuningan Putih kekuningan Putih kekuningan A1B1 Putih kekuningan Putih kekuningan Putih kekuningan A1B2 Putih kekuningan Putih kekuningan Putih kekuningan A2B0 Putih kecokelatan Putih kekuningan Putih kekuningan A2B1 Putih kekuningan Putih kekuningan Putih kekuningan A2B2 Putih kekuningan Putih kekuningan Putih kekuningan A3B0 Kuning kecokelatan Kuning kecokelatan Putih kekuningan A3B1 Kuning kecokelatan Putih kekuningan Putih kekuningan A3B2 Putih kecokelatan Putih Kekuningan Putih kekuningan


(54)

40

40 Lampiran 5. Berat Basah Kalus

Perlakuan

Ulangan Rata- rata Sd

I II III

A0B0 0 0 0 0 0

A0B1 0 0 0 0 0

A0B2 0 0 0 0 0

A1B0 0,51 0,55 0,61 0,55 0,50

A1B1 0,76 0,68 0,71 0,71 0,04

A1B2 0,91 0,71 0,78 0,80 0,10

A2B0 0,78 0,61 0,69 0,69 0,08

A2B1 0,98 0,67 0,73 0,79 0,16

A2B2 1,32 0,83 0,85 1 0,27

A3B0 0,34 0,48 0,45 0,42 0,07

A3B1 0,52 0,55 0,56 0,54 0,02

A3B2 0,83 0,67 0,74 0,74 0,08

Uji Duncan pada Taraf 5% Aukin 2,4-D

Perlakuan N Subset

1 2 3 4

0 mg/l 9 ,0000

130 mg/l 9 ,57111

120 mg/l 9 ,69111

110 mg/l 9 ,82889

Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000

Uji Duncan pada Taraf 5% Subkultur

Perlakuan N Subset

1 2 3

0 mg/l 9 ,0000

130 mg/l 9 ,57111

120 mg/l 9 ,69111

110 mg/l 9


(55)

41

Test of Between-Subjects Effects Dependent Variable Berat_Basah

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig

Corrected Model 3,978a 11 ,362 31,461 ,000

Intercept 9,839 1 9,839 855,951 ,000

Auksin 3,579 3 1,193 103,791 ,000

Subkultur ,288 2 ,144 12,511 ,000

Auksin*Subkultur ,111 6 ,019 1,612 ,187

Error ,276 24 ,011

Total 14,092 36


(56)

42

42

Lampiran 6. Data Biner Berdasarkan Primer W-15 dan OPC-08

No Ciri. Perlakuan

I A1B0 A2B0 A3B0 A1B1 A2B1 A3B1 A1B2 A2B2 A3B2

1. 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0

2. 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0

3. 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0

4. 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0

5. 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1

6. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

7. 1 1 1 0 1 1 1 0 1 0

8. 1 1 1 0 1 1 1 0 1 0

9. 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0

10. 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0

11. 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0

12. 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1

13. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

14. 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0


(1)

Lampiran 2. Komposisi Media MS (Murashige & Skoog) 1962

Bahan Kimia Konsentrasi Dalam Media (mg/l)

Makro Nutrien

NH4NO3 1650,000

KNO3 1900,000

CaCl2 . H2O 440,000

MgSO4 . 7H2O 370,000

KH2PO4 170,000

Iron

Na2EDTA 37,000

FeSO4 . 7H2O 27,000

Mikro Nutrien

MnSO4 . 4H2O 22,300

ZnSO4 . 7H2O 8,600

H3BO3 6,200

KI 0,830

NaMoO4 . 2H2O 0,250

CuSO4 . 5H2O 0,025


(2)

Lampiran 3. Data Pengamatan Waktu Terbentuknya Kalus (HST)

Perlakuan Ulangan Rataan Sd

1 2 3 4 5 6 7 8 9

0 mg/L 2,4-D 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

110 mg/L 2,4-D 93 98 95 95 91 95 93 95 91 94 2,23

120 mg/L 2,4-D 84 88 81 81 87 84 88 81 81 83,88 3,10

130 mg/L 2,4-D 75 78 78 74 75 74 78 76 78 76,22 1,78

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig Between groups 49860,528 3 16620,176 3733,706 ,000

Within groups 142,444 32 4,451

Total 50002,972 35

Uji Duncan pada Taraf 5% Aukin 2,4-D

Perlakuan N Subset

1 2 3 4

0 mg/l 9 ,0000

130 mg/l 9 76,2222

120 mg/l 9 83,8889

110 mg/l 9 94,0000


(3)

Lampiran 4. Data Pengamatan Warna Kalus

Perlakuan

Warna Ulangan

I II III

A0B0 - - -

A0B1 - - -

A0B2 - - -

A1B0 Putih kekuningan Putih kekuningan Putih kekuningan A1B1 Putih kekuningan Putih kekuningan Putih kekuningan A1B2 Putih kekuningan Putih kekuningan Putih kekuningan A2B0 Putih kecokelatan Putih kekuningan Putih kekuningan A2B1 Putih kekuningan Putih kekuningan Putih kekuningan A2B2 Putih kekuningan Putih kekuningan Putih kekuningan A3B0 Kuning kecokelatan Kuning kecokelatan Putih kekuningan A3B1 Kuning kecokelatan Putih kekuningan Putih kekuningan A3B2 Putih kecokelatan Putih Kekuningan Putih kekuningan


(4)

Lampiran 5. Berat Basah Kalus

Perlakuan

Ulangan Rata- rata Sd

I II III

A0B0 0 0 0 0 0

A0B1 0 0 0 0 0

A0B2 0 0 0 0 0

A1B0 0,51 0,55 0,61 0,55 0,50

A1B1 0,76 0,68 0,71 0,71 0,04

A1B2 0,91 0,71 0,78 0,80 0,10

A2B0 0,78 0,61 0,69 0,69 0,08

A2B1 0,98 0,67 0,73 0,79 0,16

A2B2 1,32 0,83 0,85 1 0,27

A3B0 0,34 0,48 0,45 0,42 0,07

A3B1 0,52 0,55 0,56 0,54 0,02

A3B2 0,83 0,67 0,74 0,74 0,08

Uji Duncan pada Taraf 5% Aukin 2,4-D

Perlakuan N Subset

1 2 3 4

0 mg/l 9 ,0000

130 mg/l 9 ,57111

120 mg/l 9 ,69111

110 mg/l 9 ,82889

Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000

Uji Duncan pada Taraf 5% Subkultur

Perlakuan N Subset

1 2 3

0 mg/l 9 ,0000

130 mg/l 9 ,57111

120 mg/l 9 ,69111

110 mg/l 9


(5)

Test of Between-Subjects Effects Dependent Variable Berat_Basah

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig

Corrected Model 3,978a 11 ,362 31,461 ,000

Intercept 9,839 1 9,839 855,951 ,000

Auksin 3,579 3 1,193 103,791 ,000

Subkultur ,288 2 ,144 12,511 ,000

Auksin*Subkultur ,111 6 ,019 1,612 ,187

Error ,276 24 ,011

Total 14,092 36


(6)

Lampiran 6. Data Biner Berdasarkan Primer W-15 dan OPC-08

No Ciri. Perlakuan

I A1B0 A2B0 A3B0 A1B1 A2B1 A3B1 A1B2 A2B2 A3B2

1. 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0

2. 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0

3. 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0

4. 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0

5. 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1

6. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

7. 1 1 1 0 1 1 1 0 1 0

8. 1 1 1 0 1 1 1 0 1 0

9. 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0

10. 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0

11. 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0

12. 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1

13. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

14. 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0