Etiologi Stomatitis Aftosa Rekuren

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stomatitis Aftosa Rekuren

Stomatitis aftosa rekuren SAR adalah suatu peradangan yang terjadi pada mukosa mulut dengan tanda khas berupa adanya ulser oval rekuren tanpa adanya penyakit lain. 15 SAR mempunyai nama lain ulser aftosa dan canker sores. 1,6,8

2.1.1 Etiologi

Sampai saat ini, etiologi SAR masih belum diketahui secara pasti. SAR terjadi bukan disebabkan oleh satu faktor saja tetapi multifaktorial. Faktor-faktor yang diduga dapat memicu terjadinya SAR antara lain defisiensi nutrisi, trauma, alergi, merokok, faktor herediter dan imunologi. 1,7-10 1. Defisiensi Nutrisi Pasien yang mengalami defisiensi nutrisi memiliki hubungan dengan terjadinya SAR. Sebagian penderita SAR diperkirakan mengalami defisiensi vitamin B 1 , B 2 , B 6 dan B 12 . 9-10 Laporan kasus oleh Volkov 2005 terhadap tiga pasien SAR dengan defisiensi vitamin B 12 menyatakan bahwa terjadinya SAR bisa disebabkan karena kurangnya asupan nutrisi dari produk hewani seperti daging yang menyebabkan rendahnya kadar serum vitamin B 12 , tetapi hal ini masih diragukan karena mekanisme terjadinya SAR dengan defisiensi vitamin B 12 masih belum jelas, para ahli memperkirakan bahwa ada hubungannya dengan adanya penekanan imunitas seluler cell-mediated immunity pada sel mukosa. 16 2. Trauma Ulser dapat terbentuk pada daerah-daerah bekas luka. Hal tersebut biasanya dapat menyebabkan terjadinya ulser pada permukaan rongga mulut. Umumnya ulser terjadi karena tergigit saat berbicara, kebiasaan buruk seperti bruksism, mengunyah, akibat perawatan gigi, dan memakan makanan atau minuman yang terlalu panas. 17 Universitas Sumatera Utara 3. Alergi Alergi adalah perubahan respon imun tubuh terhadap bahan yang ada dalam lingkungan hidup sehari-hari. 18 SAR dapat terjadi karena sensitivitas jaringan mulut terhadap beberapa bahan pokok yang ada dalam pasta gigi, obat kumur, lipstik, permen karet, bahan gigi tiruan atau bahan tambalan, serta bahan makanan. Setelah kontak dengan beberapa bahan yang menyebabkan sensitifitas terhadap mukosa, maka mukosa akan meradang. Gejala ini disertai rasa panas, kadang timbul gatal, dapat juga didahului dengan bentukan vesikel yang sifatnya sementara kemudian akan pecah membentuk daerah erosi kecil dan ulser yang kemudian berkembang menjadi SAR. 19 Teori membuktikan terdapat hubungan antara SAR dengan reaksi autoimun hipersensitivitas tipe IV salah satunya adalah terlihat adanya kerusakan jaringan pada pemeriksaan histologi jaringan SAR yang menunjukkan bahwa adanya ulserasi nonspesifik yang didahului oleh infiltrasi limfosit dan terdapat respon imun yang diperantarai sel cell-mediated. 1 4. Genetik Faktor genetik cenderung mempengaruhi pasien SAR. Lebih dari 40 dari individu yang mengalami SAR memiliki orangtua yang pernah mengalami SAR. Stomatitis aftosa rekuren mungkin berhubungan dengan human leukocyte antigen HLA haplotipe B51 juga umum pada sindrom Behçet, Cn7, A2, B12, dan DR5. 6 Hubungan antara haplotipe HLA spesifik dan SAR telah diselidiki, tetapi tidak ada hubungan yang konsisten yang bisa dibuktikan oleh para ahli, kemungkinan besar karena tidak adanya dasar immunogenetik pada SAR. 20 Menurut penelitian Safadi 2009, dari 684 pasien yang diteliti terdapat 408 66,4 penderita SAR yang mempunyai riwayat keluarga yang pernah mengalami SAR. 21 Pasien dengan riwayat keluarga SAR akan menderita SAR sejak usia muda dan lebih berat dibandingkan pasien tanpa riwayat keluarga SAR. 19 SAR juga sering terjadi pada kembar identik. 9 Universitas Sumatera Utara 5. Stres Stres dinyatakan merupakan salah satu faktor yang berperan secara tidak langsung terhadap SAR. 19 Stres dapat menyebabkan trauma pada jaringan lunak rongga mulut dikaitkan dengan kebiasaan parafungsional seperti menggigit bibir atau mukosa pipi dan trauma ini dapat menyebabkan mukosa rongga mulut rentan terhadap terjadinya ulserasi. 22 Penelitian yang dilakukan oleh Farmaki et al 2008 menyimpulkan bahwa kecemasan bisa menjadi faktor penyebab terjadinya SAR. Pasien yang sering merasa cemas memiliki tingkat serum kortisol yang tinggi pada saat menderita SAR. 23 6. Hormonal Keadaan hormonal wanita yang sedang menstruasi dapat dihubungkan dengan terjadinya SAR. 24 Hormon yang dianggap berperan penting adalah estrogen dan progesteron. 19 Pada sebagian wanita SAR dilaporkan bisa lebih parah terjadi selama fase luteal dari siklus menstruasi, yang terkait dengan peningkatan tingkat progestogen dan menurunnya estrogen. 9 Penurunan estrogen mengakibatkan terjadinya penurunan aliran darah sehingga suplai darah utama ke perifer menurun yang menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan sel-sel termasuk rongga mulut, memperlambat proses keratinisasi sehingga menimbulkan reaksi yang berlebihan terhadap jaringan mulut dan rentan terhadap iritasi lokal sehingga mudah terjadi SAR. Progesteron dianggap berperan dalam mengatur pergantian epitel mukosa mulut. 19 7. Infeksi Mikroba Beberapa teori menyatakan bahwa ada hubungan antara SAR dan beberapa agen mikrobial seperti bakteri Streptococcus, Helicobacter pylori, varicella zoster virus VZV, cytomegalovirus CMV, human herpes virus HHV-6 dan HHV-7, tetapi tidak terdapat teori dan penjelasan yang cukup kuat mengenai data yang berhubungan dengan SAR dan mikroba yang lebih spesifik. 15 8. Defisiensi Hematologi Penelitian menyebutkan bahwa 20-30 pasien yang mengalami SAR disebabkan karena defisiensi hematologi terutama zat besi, vitamin B 12 dan asam Universitas Sumatera Utara folat. 6,9,24 Oleh karena itu, pertimbangan adanya defisiensi hematologi mengharuskan pasien menjalani pemeriksaan hitung darah lengkap serta perkiraan kadar vitamin B 12 , dan memperbaiki seluruh folat darah dan ferritin seperti Totally Iron Binding Capacity TIBC atau kapasitas pengikatan zat besi secara total dari zat besi serum. 10 9. Penyakit Sistemik Pasien yang mengalami SAR terus-menerus harus dipertimbangkan adanya penyakit sistemik yang diderita dan perlu dilakukan evaluasi serta pengujian lebih lanjut oleh dokter spesialis. Beberapa kondisi medis yang dikaitkan dengan keberadaan ulser di rongga mulut adalah Behcet’s disease, penyakit disfungsi neutrofil, penyakit gastrointestinal Chron’s disease, Celiac disease, dan kolitis ulseratif, HIV-AIDS, dan Sweet’s syndrome. 19

2.1.2 Gambaran Klinis dan Klasifikasi