Sejarah Tari Guel Deskripsi Tari Guel Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Gayo di Kota Medan

BAB III DESKRIPSI TARI GUEL

3.1 Sejarah Tari Guel

Pada masa kepemimpinan Raja Linge XIII, beliau pernah menikah untuk yang kedua kalinya dengan seorang putri raja dari kerajaan Johor Malaysia. Dari perkawinan ini beliau memiliki dua orang putra yang bernama Bener Meriah dan Sengeda. Perkawinan ini berlangsung di Kerajaan Johor. Pada saat Raja Linge XIII kembali ke Kerajaan Linge beliau tidak membawa istri dan anaknya. Setelah beberapa tahun kemudian, Raja Linge sudah tua dan mulai sakit-sakitan. Kabar ini sampai ke Kerajaan Johor di Malaysia dan didengar oleh kedua putra beliau. Mendengar kabar tentang keadaan ayah kandung mereka, kedua putra Raja Linge yakni Bener Meriah dan Sengeda, berencana untuk menjenguk sekaligus bersilaturahmi mengobati kerinduan mereka terhadap kepada ayahnya. Karena perjalanan pada membutuhkan waktu yang lama, mereka tidak tahu bahwa Raja Linge XIII telah wafat, dan telah digantikan oleh putranya yaitu Raja Linge XIV. Kedatangan mereka di kerajaan Linge, dicurigai oleh Raja Linge XIV sebagai suatu gerakan untuk menuntut hak mereka sebagai putra dari Raja Linge Ke XIII. Raja Linge Ke XIV takut mereka berniat untuk merebut kekuasaannya sebagai Raja yang sah. Sehingga Raja Linge Ke XIV memerintahkan untuk membunuh keduanya. Keduanya ditangkap dan diserahkan kepada orang-orang kepercayaan Raja Linge XIV. Secara terpisah keduanya dibawa kehutan, Bener Meriah terbunuh. Universitas Sumatera Utara Sengeda diselamatkan oleh salah seorang kepercayaan Raja Linge XIV yaitu Cik Serule dan dipelihara oleh beliau. Beberapa tahun kemudian, Sengeda hidup bersama Cik Serule tanpa sepengetahuan Raja Linge XIV. Suatu malam Sengeda bermimpi bertemu dengan abangnya Bener Meriah. Dalam mimpi tersebut, Bener Meriah menceritakan suatu cara bagaimana menjinakkan Gajah Putih. Mimpi ini benar-benar di ingat oleh Sengeda. Pada masa itu Kerajaan Linge berada di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh dan beribukota di Kutaraja sekarang dikenal dengan Banda Aceh. Setiap tahun Sultan Aceh, selalu mengadakan sidang tahunan dan mengundang setiap raja-raja yang bernaung dibawah kekuasannya. Untuk memenuhi undangan dari Sultan Aceh, Raja Linge XIV meminta perdana menterinya untuk mendampinginya. Pada saat itu perdana menteri dari Kerajaan Linge adalah Cik Serule yang telah merawat dan membesarkan Sengeda. Cik Serule kemudian mengajak serta Sengeda dengan tujuan Sengeda bisa berjalan-jalan dan melihat Kutaraja. Pada saat sidang berlangsung, Sengeda ditinggal di halaman istana. Pada saat itu Sengeda teringat kembali akan mimpinya tentang gajah putih, dan dia melukiskan bentuk seekor gajah ditanah. Putri Sultan melintas dan melihat Sengeda melukis. Sengeda menceritakan bahwa yang dia lukis adalah gajah yang berwarna putih. Sengeda juga mengatakan bahwa gajah putih ini benar-benar ada. Putri Sultan merasa tertarik ingin melihat gajah yang berwarna putih karena sepengetahuannya gajah tidak ada yang berwarna putih. Setelah sidang Universitas Sumatera Utara tahunan selesai Putri Sultan menemui Sultan dan meminta supaya di Istana dihadirkan gajah putih tersebut. Karena rasa sayangnya terhadap putrinya Sultan memerintahkan kepada setiap Raja-raja untuk memenuhi permintaan putrinya. Pada saat itu semua rakyat ditugas untuk menangkap gajah putih, namun sampai beberapa lama belum ada satu orangpun yang pernah melihat adanya gajah putih. Akhirnya Permintaan itu dikatakan pada Sengeda. Sengeda menyanggupi menangkap Gajah Putih yang ada dirimba raya Gayo untuk dihadapkan pada tuan puteri dengan syarat Sultan memberi perintah kepada Cik Serule. Kemudian dalam prosesi pencarian itulah benih-benih dan paduan tari Guel berasal: Untuk menjinakkan sang Gajah Putih, diadakanlah kenduri dengan membakar kemenyan; diadakannya bunyi-bunyian dengan cara memukul-mukul batang kayu serta apa saja yang menghasilkan bunyi-bunyian. Sejumlah kerabat Sengeda pun melakukan gerak tari-tarian untuk memancing sang Gajah. Setelah itu, sang Gajah yang bertubuh putih nampak keluar dari persembunyiaannya. Ketika berpapasan dengan rombongan Sengeda, sang Gajah tidak mau beranjak dari tempatnya. Bermacam cara ditempuh, sang Gajah masih juga tidak beranjak. Sengeda yang menjadi pawang pada waktu itu menjadi kehilangan ide untuk menggiring sang Gajah. Lagi-lagi Sengeda teringat akan mimpi waktu silam tentang beberapa petunjuk yang harus dilakukan. Sengeda kemudian memerintahkan rombongan untuk kembali menari dengan niat tulus dan ikhlas sampai menggerakkan tangan seperti gerakan belalai gajah: indah dan santun. Disertai dengan gerakan salam sembahan kepada Gajah ternyata mampu meluluhkan hati sang Gajah. Gajah pun Universitas Sumatera Utara dapat dijinakkan sambil diiringi rombongan. Sepanjang perjalanan pawang dan rombongan, Gajah putih sesekali ditepung tawari dengan mungkur jeruk purut dan bedak hingga berhari-hari perjalanan sampailah rombongan ke hadapan Putri Sultan di Pusat Kerajaan Aceh Darussalam. Begitulah sejarah dari cerita rakyat di Gayo, walaupun kebenaran secara ilmiah tidak bisa dibuktikan, namun kemudian Tari Guel dalam perkembangannya tetap mereka ulang cerita unik Sengeda, Gajah Putih dan sang Putri Sultan. Inilah yang kemudian dikenal temali sejarah yang menghubungkan kerajaan Linge dengan Kerajaan Aceh Darussalam begitu dekat dan bersahaja.

3.2 Bentuk Penyajian dan Ragam Gerak Tari Guel