Syarat syahnya suatu perjanjian

3 Perjanjian Pembuktian Perjanjian pembuktian adalah perjanjian diantara pihak yang menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka. 4 Perjanjian Untung-untungan Perjanjian untung-untungan adalah perjanjian asuransi sebagai contohnya.

3. Syarat syahnya suatu perjanjian

Setelah membicarakan pengertian dan jenis-jenis perjanjian, setidaknya kita mempunyai suatu batasan yang jelas tentang perjanjian. Hal-hal yang pokok agar perjanjian mempunyai kekuatan yang mengikat maka perjanjian itu harus mempunyai syarat-syarat kontrak atau perjanjian. Untuk syahnya suatu persetujuan diperlukan empat syarat, yaitu: 29 Syarat ini disebut dengan persetujuan kehendak, yakni “kesepakatan” seia sekata antara pihak-pihak mengenai poko-pokok perjanjian yang dibuat itu. a. Sepakat untuk mengikatkan dirinya 30 Dengan demikian para pembuat perjanjian haruslah benar-benar rela, jadi para pihak harus ada kemauan bebas. Kemauan bebas dianggap tidak ada jika kesepakatan itu lahir atau dibuat berdasarkan karena adanya kehilafan, penipuan atau paksaan. Apabila dalam perjanjian terdapat kesalahan pengertian, penipuan atau paksaan maka ini disebut kesepakatan yang cacat. Hal ini didasarkan pada Pasal 1321 KUH Perdata yang memuat ketentua “Tiada kesepakatan yang syah 29 Pada Pasal 1320 KUH Perdata. 30 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal.89 Universitas Sumatera Utara apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Jika terjadi kesepakatan yang lahir karena suatu kehilafan dwaling, paksaan dwang atau karena penipuan bedrog maka para pihak dapat membatalkan atau meminta pembatalan perjanjian tersebut. Namun tidak semua perjanjian yang lahir dari kehilafan dapat diminta pembatalannya, yang dapat hanya jika mengenai inti yang dikehendaki. Apabila kehilafan itu pada subjeknya, berarti perjanjian yang dibuat tidak batal. Kekeliruan yang menyebabkan batalnya perjanjian haruslah yang menyangkut ; 1 Prestasi yang dikehendaki objek perjanjian 2 Hak para pihak yang bersangkutan 3 Kedudukan para pihak yang membuat perjanjian Paksaan yang dapat menyebabkan perjanjian dalam persetujuan adalah paksaan fisik yang bersifat vis absolita sedemikian rupanya paksaan kekerasan yang diancamkan sehingga orang yang bersangkutan tidak mempunyai pilihan lain selain melakukan pilihan yang dipaksakan. 31 Menurut Pasal 1325 KUH Perdata persetujuan juga batal jika paksaan atau ancaman itu ditujukan terhadap istri atau sanak keluarga garis keturunan keatas Dalam hal ini maka perjanjian yang dibuat dianggap tidak pernah ada. Paksaan yang membuat cacatnya perjanjian adalah paksaan kekerasan jasmani atau ancaman, misalnya akan disiksa atau dibongkar rahasianya sehingga menimbulkan rasa takut bagi pihak yang dipaksa ancaman. 31 M. Yahya Harahap, Op.cit, hal.26 Universitas Sumatera Utara atau kebawah. Penipuan juga terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar disertai dengan kelicikan- kelicikan, sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberikan persetujuan. 32 Dari syarat inilah disimpulkan asas konsensualisme hukum perjanjian yang artinya hukum perjanjian cukup dengan sepakat saja bahwa perjanjian itu dengan demikian perikatan yang ditimbulkan karenanya sudah dilahirkan pada atau saat detik tercapainya konsensus sebagaimana yang dimaksud di atas. Penipuan yang telah direncanakan dan tersusun rapi juga memperhatikan tingkat pengetahuan atau pendidikan pihak yang tertipu. 33 b. Kecakapan untuk membuat perikatan Orang yang dapat menjadi subjek dalam perjanjian ialah orang yang cakap bertindak dalam hukum. Menurut Pasal 1330 KUH perdata, orang-orang yang tidak cakap membuat persetujuan adalah : 1 Orang-orang yang belum dewasa 2 Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan 3 Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang- undang dan pada umumnya semua orang pada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu. Kriteria orang yang belum dewasa menurut Pasal 330 KUH Perdata adalah belum genap berumur 21 tahun dan belum kawin. Apabila umur belum genap 21 32 Subekti, Op.cit, hal.24 33 Ibid, hal.15 Universitas Sumatera Utara tahun tetapi sudah kawin tetap dianggap cakap, demikian juga pada orang yang telah bercerai walaupun belum genap 21 tahun. Menurut Pasal 433 KUH Perdata orang yang ditaruh dibawah pengampuan adalah orang yang dari segi umur sudah dewasa berumur 21 tahun, namun orang tersebut selalu dalam keadaan dungu, gelap mata atau boros. Pembuat Undang-undang memandang mereka menyadari tanggung jawabnya, karenanya tetap dianggap tidak cakap. Dan ini merupakan antisipasi dini jika terjadi wanprestasi, maka orang itu haruslah dapat dimintai pertanggung jawabannya secara hukum. c. Suatu hal tertentu Artinya perjanjian itu dibuat harus mengenai pokok atau objek tertentu. Pasal 1332 dan Pasal 1333 KUH Perdata, menentukan ; 1 Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat dijadikan pokok-pokok persetujuan. 2 Suatu barang yang menjadi pokok perjanjian haruslah ditentukan jenisnya. Tidak menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Dalam Pasal 1334 KUH Perdata, diisyaratkan bahwa yang menjadi pokok perjanjian bukan harus sudah ada pada saat perjanjian itu dibuat, karena boleh saja barang-barang itu baru akan ada, misalnya padi yang belum dipanen, pengecualian adalah warisan yang belum terbuka, barang yang digunakan untuk umum, jembatan umum, pelabuhan, jalan umum dan sebagainya. Universitas Sumatera Utara Syarat ini penting karena menyangkut penetapan kewajiban debitur dan hak kreditur, ini gunanya bagi pihak-pihak jika terjadi perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perjanjian harus jelas jenis dan bentuknya. Dalam perjanjian yang dibuat para pihak dimana apa yang menjadi pokok perjanjian yang dibuat tidak ada atau sesuatu yang tidak mungkin ada konsekwensinya, perjanjian tersebut batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada. 34 Menurut Pasal 1335 KUH Perdata, bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal ataupun jika ada suatu sebab yang lain daripada yang dinyatakan persetujuannya, namun demikian adalah tetap sah, sebab atau causa tidaklah sama artinya dengan motif. Motif adalah factor-faktor atau alasan yang mendorong manusia untuk berbuat. Dalam hal perbuatan perjanjian, motif tidak dipersoalkan oleh hukum. d. Suatu sebab yang halal Kata sebab pada syarat ini tidaklah sama pengertiannya dalam ilmu alam dan pada teori causalitas. Dalam ajaran causalitas sebab diartikan sebagai suatu yang menimbulkan akibat, tanpa adanya suatu sebab tidak mungkin timbul akibat. Berbeda halnya dengan pengertian sebab disini diartikan sebagai isi atau tujuan dari perjanjian. 34 Wan Sadjaruddin Baros, Beberapa Studi Hukum Perikatan, FH USU, Medan, 1994, hal. 15 Universitas Sumatera Utara Causa yang halal dimaksudkan adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, misalnya perjanjian untuk kejahatan. Pasal 1320 KUH Perdata inilah yang dijadikan syarat sahnya perjanjian. Kontrak sah dan mengikat secara hukum manakala sudah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh UU sehingga diakui oleh hukum.

4. Akibat hukum dari suatu perjanjian