Selanjutnya mengenai kelembaban udara di wilayah Kota Medan rata-rata 76-83 dan kecepatan angin rata-rata sebesar 1,73 msec sedangkan rata-rata total
laju penguapan tiap bulannya 115,48 mm. Hari hujan di Kota Medan pada tahun 2010 per bulan 45 hari dengan rata-rata curah hujan menurut Stasiun Sampali per
bulannya 182 mm dan pada Stasiun Polonia per bulannya 228,6 mm.
3.3 Kependudukan
Penduduk Kota Medan terdiri dari berbagai suku bangsa, agama dan sebagian besar penduduknya menganut agama Islam. Pembangunan
kependudukan dilaksanakan dengan mengindahkan kelestarian sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup sehingga mobilitas dan persebaran penduduk
tercapai optimal. Mobilitas dan persebaran penduduk yang optimal, berdasarkan pada
adanya keseimbangan antara jumlah penduduk dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Persebaran penduduk yang tidak didukung oleh lingkungan
dan pembangunan akan menimbulkan masalah sosial yang kompleks, di mana penduduk menjadi beban bagi lingkungan maupun sebaliknya.
Pada tahun 2010, diproyeksikan penduduk Kota Medan mencapai 2.121.053 jiwa. Dengan luas wilayah mencapai 265,10 km², kepadatan penduduk
mencapai 8.001 jiwakm². Mayoritas penduduk Kota Medan sekarang ialah Suku Jawa, Suku Karo
dan suku-suku dari Tapanuli Batak, Mandailing. Di Kota Medan banyak pula orang keturunan India dan Tionghoa. Kota Medan salah satu kota di Indonesia
Universitas Sumatera Utara
yang memiliki populasi orang Tionghoa cukup banyak. Keanekaragaman etnis di Kota Medan terlihat dari jumlah masjid, gereja dan vihara Tionghoa yang banyak
tersebar di seluruh Kota Medan.
3.4 Sejarah Kota Medan
Pada zaman dahulu Kota Medan ini dikenal dengan nama Tanah Deli dan keadaan tanahnya berawa-rawa kurang lebih seluas 4000 Ha. Beberapa sungai
melintasi Kota Medan ini dan semuanya bermuara ke Selat Malaka. Sungai-sungai itu adalah Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badra,
Sei Belawan dan Sei Sulang SalingSei Kera. Pada mulanya yang membuka perkampungan Kota Medan adalah Guru
Patimpus lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan orang selalu merangkaikan Medan dengan Deli Medan-Deli. Setelah zaman
kemerdekaan lama kelamaan istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap sehingga akhirnya kurang populer.
Dahulu orang menamakan Tanah Deli mulai dari Sungai Ular Deli Serdang sampai ke Sungai Wampu di Langkat sedangkan Kesultanan Deli yang
berkuasa pada waktu itu wilayah kekuasaanya tidak mencakup daerah di antara kedua sungai tersebut. Secara keseluruhan jenis tanah di wilayah Deli terdiri dari
tanah liat, tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat dan tanah merah. Kota Medan didirikan oleh Guru Patimpus Sembiring Pelawi pada tahun
1590. John Anderson, orang Eropa pertama yang mengunjungi Deli pada tahun 1833 menemukan sebuah kampung yang bernama Kota Medan. Kampung ini
Universitas Sumatera Utara
berpenduduk 200 orang dan seorang pemimpin bernama Tuanku Pulau Berayan sudah sejak beberapa tahun bermukim disana untuk menarik pajak dari sampan-
sampan pengangkut lada yang menuruni sungai. Menurut Volker pada tahun 1860 Kota Medan masih merupakan hutan
rimba dan di sana sini terutama di muara-muara sungai diselingi pemukiman- pemukiman penduduk yang berasal dari Karo dan semenanjung Malaya. Pada
tahun 1863 orang-orang Belanda mulai membuka kebun Tembakau di Deli yang sempat menjadi primadona Tanah Deli. Sejak itu perekonomian terus berkembang
sehingga Kota Medan menjadi kota pusat pemerintahan dan perekonomian di Provinsi Sumatera Utara.
Pada tahun 1886 Kota Medan secara resmi memperoleh status sebagai kota, dan tahun berikutnya residen Pesisir Timur serta Sultan Deli pindah ke Kota
Medan. Tahun 1909 Kota Medan menjadi kota yang penting di luar Jawa, terutama setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan secara
besar-besaran. Dewan kota yang pertama terdiri dari 12 anggota orang Eropa, dua orang bumiputra, dan seorang Tionghoa.
Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua gelombang migrasi besar ke Kota Medan. Gelombang pertama berupa kedatangan orang Tionghoa
dan Jawa sebagai kuli kontrak perkebunan. Tetapi setelah tahun 1880 perusahaan perkebunan berhenti mendatangkan orang Tionghoa karena sebagian besar dari
mereka lari meninggalkan kebun dan sering melakukan kerusuhan. Perusahaan kemudian sepenuhnya mendatangkan orang Jawa sebagai kuli perkebunan. Orang-
orang Tionghoa bekas buruh perkebunan kemudian didorong untuk
Universitas Sumatera Utara
mengembangkan sektor perdagangan. Gelombang kedua ialah kedatangan orang Minangkabau, Mandailing dan Aceh. Mereka datang ke Kota Medan bukan untuk
bekerja sebagai buruh perkebunan, tetapi untuk berdagang menjadi guru dan ulama.
Sejak tahun 1950, Kota Medan telah beberapa kali melakukan perluasan areal, dari 1.853 ha menjadi 26.510 ha di tahun 1974. Dengan demikian dalam
tempo 25 tahun setelah penyerahan kedaulatan, Kota Medan telah bertambah luas hampir delapan belas kali lipat.
3.5 Hubungan Kepariwisataan dengan Kebudayaan