IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pangan fungsional adalah pangan yang secara alamiah maupun yang telah melalui proses pengolahan mengandung satu atau lebih komponen yang
berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap memiliki fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan, disajikan dan dikonsumsi sebagaimana layaknya
makanan dan minuman dan memiliki karakteristik sensori seperti penampakan, warna, tekstur, penampakan dan citarasa yang dapat diterima konsumen. Melihat
definisi tersebut maka syarat yang paling penting untuk pangan fungsional adalah memiliki karakteristik sensori seperti penampakan, warna, tekstur, penampakan
dan citarasa yang dapat diterima konsumen. Oleh karena itu, pada penelitian ini pertama-tama dilakukan optimasi pembuatan produk nasi sorghum dengan
berbagai sifat yang paling diterima konsumen. Setelah didapat produk yang paling optimal, baru produk tersebut dianalisis untuk mengkaji sifat fungsional produk.
Analisis yang paling penting disini adalah analisis indeks glisemik dalam hubungannya dengan penderita penyakit diabetes melitus. Komponen dalam nasi
sorghum yang bisa memberikan sifat fungsional adalah polifenol tanin dan serat.
A. PEMBUATAN NASI SORGHUM
Penelitian ini menggunakan bahan baku utama sorghum varietas B 100 segar yang diperoleh dari BATAN. Varietas ini merupakan hasil pemuliaan
tanaman yang dilakukan BATAN dengan teknik mutasi induksi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh BATAN, varietas ini memiliki sifat unggul
antara lain genjah, semi pendek, malai besar dan kompak, biji berwarna putih bersih dan produksi indeks panen tinggi. Sorghum varietas ini diharapkan
dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi varietas sorghum unggul untuk membantu menanggulangi masalah kekurangan pangan di Indonesia.
Biji sorghum yang diperoleh oleh peneliti berupa biji sorghum yang masih utuh, terbungkus oleh kulit luarnya, tapi yang sudah terlepas dari
malainya. Biji sorghum utuh berbentuk bulat agak gepeng dengan warna kulit luar coklat muda. Gambar biji sorghum utuh dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Biji sorghum yang belum disosoh Biji sorghum utuh yang diperoleh harus disosoh untuk menghilangkan
sekamnya. Tujuan penyosohan sorghum ini adalah untuk memisahkan endosperm, kulit luar dan lembaga sebaik-baiknya. Penyosohan sorghum sulit
untuk dilakukan karena sorghum memiliki kulit luar yang keras. Sekam dapat mengganggu proses penanakan sorghum karena sekam akan menghalangi air
masuk ke dalam sorghum sehingga gelatinisasi berjalan kurang sempurna. Selain itu, sekam yang tertinggal akan meninggalkan suatu tekstur berserat pada
nasi sorghum yang dihasilkan. Penyosohan dilakukan menggunakan alat penyosoh sorghum hasil desain
Purwanegara 1983. Keunggulan dari alat ini yaitu kapasitasnya yang besar sekitar 10 kg dan proses penyosohan yang kontinyu. Alat tersebut terdiri dari
unit penggiling dengan bagian-bagiannya seperti bagian penggiling, silinder saringan dan rumah penggiling. Unit penggiling ditopang oleh suatu susunan
kerangka penunjang dan dihubungkan oleh suatu sistem penyalur tenaga dengan sumber tenaga penggerak. Fungsi unit penggiling yaitu untuk mengupas
kulit biji sorghum dengan gaya gesekan yang terjadi antara batu gerinda penggiling sorghum dengan biji sorghum, dan gesekan antar biji sorghum itu
sendiri. Tidak seperti pada alat penyosoh beras, huller dan polisher pada mesin
penyosoh sorghum tergabung dalam satu mesin yang akan langsung menghasilkan biji sorghum sosoh, sehingga tidak menghasilkan sorghum pecah
kulit. Biji sorghum yang telah disosoh berwarna putih sedikit kekuningan
dengan sedikit bintik kemerahan yang diakibatkan sebagian tanin yang tidak bisa tersosoh dengan bersih Gambar 8. Hal ini bisa terjadi karena bentuk biji
sorghum yang tidak bulat utuh. Penyosohan dilakukan selama kurang lebih 1 jam untuk 1 kilogram biji. Pada proses penyosohan, sebagian besar lembaga
terbuang mengakibatkan hilangnya sebagian besar lemak sorghum.
Gambar 8. Biji sorghum sosoh Peneliti mengharapkan lapisan testa, tempat tanin berada, tersisa cukup
banyak, tapi karena letak testa yang berada di bawah endokarp dan di atas aleuron, sedangkan aleuron itu sendiri ikut terbuang pada saat penyosohan,
mengakibatkan sebagian besar lapisan testa terbuang. Semakin lama penyosohan, makin banyak testa yang terbuang. Rendemen hasil penyosohan
juga cukup sedikit, hanya ± 40,32 . Banyak biji yang tercecer di lantai juga makin mengurangi rendemen. Jika waktu penyosohan makin sebentar, maka
rendemennya makin banyak tapi kulit luar tidak terbuang dengan sempurna,
dan sebaliknya. Selain itu, apabila penyosohan makin lama, makin banyak biji sorghum patah yang dihasilkan. Perbandingan karakteristik biji sorghum
sebelum dan sesudah disosoh dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Perbandingan karakteristik biji sorghum sebelum dan sesudah disosoh
Karakteristik Biji sorghum utuh
Biji sorghum sosoh
Bentuk Bulat agak
gepeng Bulat agak gepeng dengan
lekukan di salah satu ujungnya
Warna Coklat muda
Putih sedikit kekuningan dengan sedikit bintik merah
Bobot biji ± 30,5 mg
± 12,3 mg Ukuran
Diameter ± 4,5 mm Tebal ± 2,8 mm
Diameter ± 3,6 mm Tebal ± 2,2 mm
Pembuatan nasi sorghum dilakukan dengan metode aron kukus. Metode pemasakan yang dipilih adalah aron kukus karena metode inilah yang paling
umum digunakan di rumah tangga selain menggunakan rice cooker. Penggunaan rice cooker tidak dilakukan karena keterbatasan bahan baku dan
alat. Metode aron kukus untuk biji sorghum diadaptasi dari metode aron kukus untuk beras, sehingga tidak terlalu berbeda dari metode aron kukus beras. Yang
berbeda hanyalah jumlah air untuk mengaron dan lama pengukusan. Metode ini terdiri dari dua tahap yaitu pengaronan dan pengukusan. Metode aron kukus
untuk beras dapat dilihat pada Gambar 9. Sebelum dimasak, biji sorghum yang telah disosoh dicuci dahulu untuk
menghilangkan kotoran-kotoran yang ada, misalnya daun, kerikil, kutu, maupun aleuron yang masih tersisa pada sorghum. Pada saat pencucian, biji
sorghum yang telah ditimbang sebanyak 50 g, ditampung terlebih dahulu di dalam wadah. Wadah tersebut diisi dengan air, kemudian diaduk-aduk dengan
arah perputaran searah jarum jam. Kotoran, biji sorghum patah, kutu serta sekam yang tertinggal akan mengambang, karena berat jenisnya yang lebih
rendah daripada air, sehingga mudah dipisahkan. Proses ini diulangi kurang
lebih dua sampai tiga kali sampai biji sorghum benar-benar bersih. Berat biji sorghum yang dimasak dipilih 50 g karena jumlah ini tidak terlalu sedikit,
namun juga tidak terlalu banyak sehingga biji sorghumnya tidak mubazir terbuang.
↓ Pencucian 2-3 kali
↓ Pengaronan dalam air 1:1 atau 1:1,2
↓ Pengukusan selama 35-45 menit
↓
Gambar 9. Diagram alir pemasakan beras metode aron kukus Hubeis, 1985
Pada proses pengaronan, terjadi gelatinisasi parsial pati sorghum. Pengukusan baru akan menggelatinisasi sebagian pati yang belum
tergelatinisasi sempurna pada proses pengaronan. Pengaronan dilakukan dengan volume air pada perbandingan 2:3, 1:2, 2:5, 1:3 terhadap berat biji
sorghum. Digunakan perbandingan air, bukan suatu volume spesifik karena pati pada saat tergelatinisasi akan menyerap air dengan jumlah tertentu, sehingga
jika jumlah sorghum makin banyak, makin banyak pula air yang dibutuhkan. Pada proses pengaronan, pertama sejumlah air dididihkan dahulu, baru
kemudian sorghum dimasukkan. Api yang digunakan sedang. Api yang digunakan tidak boleh terlalu besar karena akan memberi kemungkinan
sebagian air untuk menguap, bukan terserap oleh pati sorghum. Selain itu, api yang terlalu besar akan menyebabkan biji sorghum gosong dan lengketnya biji
sorghum di panci. Proses ini akan menghasilkan nasi sorghum aron Gambar 10.
Nasi Beras
Gambar 10. Nasi sorghum aron Nasi sorghum aron kemudian dikukus. Nasi sorghum aron baru
dimasukkan ke dandang tempat pengukusan setelah air mendidih dan mengeluarkan uap. Uap panas inilah yang akan menyebabkan pati sorghum
yang belum tergelatinisasi sempurna menjadi tergelatinisasi. Air yang dimasukkan untuk mengukus haruslah cukup agar sorghum yang dikukus tidak
gosong. Hasil dari proses ini adalah nasi sorghum Gambar 11.
Gambar 11. Nasi sorghum matang
Nasi sorghum yang dihasilkan terlihat mengkilap dan lengket. Menurut Mudjisihono dan Suprapto 1987, kadar amilosa rata-rata sorghum adalah 23-
28 , dan tidak ada sorghum yang memiliki kadar amilosa lebih dari 28 . Sorghum dapat digolongkan menurut kadar amilosanya yaitu sorghum jenis
beras dan jenis ketan. Pada sorghum jenis beras non-waxy kadar amilosanya berkisar antara 21-28 , dan pada sorghum jenis ketan waxy kadar
amilosanya berkisar 1-2 . Sekarang, bahkan sudah ditemui sorghum dengan kadar amilopektin 100 . Dapat disimpulkan bahwa varietas B 100 termasuk
sorghum jenis ketan. Hal ini menunjukkan kadar amilosanya rendah, sedangkan amilopektinnya tinggi.
Warna nasi sorghum yang dihasilkan agak kemerahan. Warna ini tidaklah umum dan wajar sebagai warna nasi. Warna kemerahan pada nasi
hanya terdapat pada beras merah, dan beras jenis ini sekarang sulit ditemui. Warnanya yang aneh ini dikhawatirkan akan mempengaruhi preferensi
konsumen akan produk ini. Hal tersebut akan dibahas kemudian. Dari ke-12 formula yang dibuat, ternyata ada delapan formula yang
menghasilkan nasi sorghum yang tidak melewati screening berdasarkan tingkat kematangannya. Formula tersebut tiga di antaranya adalah formula
yang menggunakan volume air untuk mengaron 2:3, dimana nasi sorghum yang dihasilkan belum matang, ditandakan dengan teksturnya yang masih
keras, terutama di bagian tengahnya dan agak berasa seperti tepung. Ketidakmatangan ini diakibatkan kurangnya volume air untuk
menggelatinisasi seluruh pati yang ada di sorghum. Tiga formula lainnya adalah formula yang menggunakan volume air untuk mengaron 1:3, dimana
nasi sorghum yang dihasilkan terlalu lembek dan hancur, hampir seperti bubur. Hal ini diakibatkan terlalu banyak air yang digunakan.
Kekurangmatangan juga terjadi pada formula volume air untuk mengaron 1:2 dan waktu pengukusan 20 menit. Formula yang menggunakan volume air
untuk mengaron 2:5 dan waktu pengukusan 40 menit juga terlalu matang. Kedelapan formula tersebut tidak akan diikutsertakan dalam uji organoleptik.
Keempat formula yang akan diorganoleptik adalah formula dengan air untuk mengaron 2:5 dan waktu pengukusan 20 menit Formula A, air untuk
mengaron 2:5 dan waktu pengukusan 30 menit Formula B, air untuk mengaron 1:2 dan waktu pengukusan 30 menit Formula C, dan air untuk
mengaron 1:2 dan waktu pengukusan 40 menit Formula D.
B. UJI ORGANOLEPTIK