Sejarah Penangkaran Buaya Asam Kumbang Medan

BAB IV POTENSI PENANGKARAN BUAYA ASAM KUMBANG SEBAGAI SALAH SATU OBJEK WISATA DI KOTA MEDAN

4.1 Sejarah Penangkaran Buaya Asam Kumbang Medan

Sejarah berdirinya penangkaran buaya Asam Kumbang yang terletak di Jalan Bunga Raya, Desa Asam Kumbang, Kecamatan Medan Selayang tidak lepas dari seseorang yang bernama Lo Tham Muk. Lo Tham Muk adalah WNI keturunan Cina dan beliau memiliki ciri khas, sangat sayang binatang terutama buaya. Lho Than Muk lahir di Aceh Timur pada tanggal 11 Maret 1948. Tahun 1959 beliau masih bekerja sebagai supir truk di Aceh. Pada suatu hari Lho Tham Muk menemukan seekor buaya di sebuah sungai dan beliau memutuskan untuk memelihara dan merawat buaya itu hingga besar, karena pada saat itu orang-orang masih bebas menangkap dan memelihara buaya baik untuk tujuan komersil maupun untuk dipelihara. Suatu saat, Lho Than Muk memutuskan untuk pindah ke Medan dan beliau berencana untuk mengembangbiakkan buaya kesayangannya itu. Lho Than Muk membangun sebuah peternakan buaya pada tahun 1959 dengan biaya sendiri di daerah Medan Sunggal, tepatnya di Desa Asam Kumbang dengan luas area 2 hektar. Pada awalnya buaya itu berjumlah 12 dua belas ekor tetapi setelah sekian lama jumlah buaya itu semakin bertambah sampai sekarang berjumlah ± 2800 ekor. Setiap harinya buaya diberi makan hanya satu kali saja Universitas Sumatera Utara yaitu setiap jam 5 sore. Waktu makan buaya ini menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan yang berkunjung, karena pada saat buaya makan pengunjung dapat menyaksikan langsung antraksi buaya yang makan dengan buasnya, terutama buaya yang ada di kolam utama atau kolam rawa. Makanan yang diberikan setiap harinya habis sebanyak satu ton daging yang berkisar ± Rp. 500.000,-hari. Makanan buaya dewasa dan bayi buaya berbeda, untuk buaya dewasa diberi makan daging itik, ayam, ikan dan lain-lain, sedangkan bayi buaya diberi makan udang. Biasanya buaya yang sudah mendapat makanan atau kenyang tidak akan merebut makanan buaya lain. Sifat ini memudahkan pihak pengelola untuk mengetahui mana buaya yang sudah makan dan yang belum makan. Buaya hanya mengadakan musim kawin atau hubungan kelamin pada saat bulan purnama, baik di dalam air maupun di darat. Buaya berkembangbiak pada saat musim hujan yaitu bulan September hingga Februari. Setelah tiga bulan musim kawin, buaya naik ke darat dan membuat lubang sedalam 10-30 cm sebagai tempat penyimpanan telur. Setelah itu lubang-lubang tersebut ditutupi dengan jerami, rerumputan dan ranting sebagai alat pelindung dari mangsanya. Seekor buaya betina mampu menghasilkan 30-90 butir telur per tahun dan telur itu di simpan dalam tanah hingga menetas. Buaya mengerami telurnya selama 75-95 hari dan selama buaya betina mengerami telurnya, buaya jantan berjaga-jaga disekitar buaya betina sebagai perlindungan dari mangsa. Universitas Sumatera Utara Telur-telur yang berhasil menetas hanya 30 - 80 saja dari seluruh jumlah telur yang dihasilkan, sedangkan yang lainnya rusak atau busuk akibat faktor cuaca. Dari seluruh hasil buaya yang menetas, hanya beberapa ekor saja yang bertahan hidup, hal ini disebabkan pemangangsa buaya oleh binatang lain dan induknya sendiri. Seekor buaya mampu bertahan hidup hingga 100 tahu. Sedangkan masa produksi betina mulai dari umur 12-40 tahun dan berat buaya bisa mencapai 100 kilogram atau 1 ton. Sebagai objek wisata, peternakan buaya ini dibuka untuk umum dan dipungut biaya masuk Entrance Fee bagi para pengunjung sebesar Rp. 5.000,-orang untuk dewasa, sedangkan untuk anak-anak Rp. 3000,-orang. Dengan dibukanya peternakan buaya ini bagi masyarakat umum, maka dapat membantu dan menambah dana untuk biaya pemeliharaan dan perawatan buaya-buaya tersebut. Sampai saat ini belum ada pihak manapun yang turun tangan dalam menangani upaya pemeliharaan dan perawatan penangkaran buaya. Menurut informasi yang di dapat, penangkaran buaya membutuhkan dana yang sangat tinggi untuk memenuhi kebutuhan makanan buaya setiap hari. Setiap harinya buaya membutuhkan 1 ton ayam mati atau berkisar Rp. 500.000,- hari. Di penangkaran buaya Asam Kumbang, ada dua jenis buaya yang dilestarikan disini yaitu : 1. Buaya Ikan False Gavial Tumistuna Schlegelli Jenis buaya ini biasanya hidup di rawa-rawa dan sungai, bentuk mulutnya kecil dan panjang, warna kulitnya kecoklat-coklatan. Jenis buaya ikan ini tidak terlalu ganas dan tidak berbahaya. Universitas Sumatera Utara 2. Buaya Muara Crocodillus Forossus Jenis buaya ini hidup di muara sungai, warna kulitnya kehitam-hitaman, dan berbintik-bintik putih dengan bentuk mulut yang pendek dan lebar. Jenis buaya ini adalah buaya yang buas dan sangat berbahaya. Di penangkaran buaya ini selain dapat menemukan buaya, pengunjung juga dapat melihat beberapa ekor binatang yang lain seperti ular sanca, anjing, monyet, burung, dan banyak burung bangau putih yang secara alami hinggap dan bebas beterbangan di sekitar penangkaran buaya ini dan hal ini menjadi daya tarik tersendiri yang dapat menanmbah keindahan kolam buaya bagi setiap pengunjung. Menurut informasi yang penulis dapatkan dari pengelola penangkaran buaya Asam Kumbang, suasana sore hingga malam hari penangkaran buaya ini lebih indah, adanya suara kicauan burung dan cahaya warna burung bangau yang putih menghiasi kolam buaya. Tetapi peamandangan ini tentunya tidak dapat dinikmati oleh pengunjung karena waktu kunjungan wisatawan hanya dimulai jam 09.00 WIB sd 18.00 WIB.

4.2 Potensi Penangkaran Buaya Asam Kumbang Medan