HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN TINGKAT KECEMASAN PADA REMAJA KELAS 3 MU’ALLIMIN PONDOK PESANTREN AL MUKMIN SUKOHARJO

(1)

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata 1 Psikologi

Oleh :

Firman Ridlo Mursyidi G 0104023

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010


(2)

ii

Tingkat Kecemasan Pada Remaja Kelas 3 Mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo

Nama Peneliti : Firman Ridlo Mursyidi

NIM : G0104023

Tahun : 2004

Telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada Hari : ...

Pembimbing Utama

Drs. Makmuroh, MS NIP 195306181980032002

Pembimbing Pendamping

Nugraha Arif Karyanta, S.Psi NIP 197603232005011002

Koordinator Skripsi

Rin Widya Agustin, M.Psi. NIP 197608172005012002


(3)

iii

Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Tingkat Kecemasan Pada Remaja Kelas 3 Mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo

Firman Ridlo Mursyidi, G0104023, Tahun 2004

Telah diuji dan disahkan oleh Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Hari : Tanggal :

1. Pembimbing Utama

Dra. Makmuroch, MS. . ( __________________ ) 2. Pembimbing Pendamping

Nugraha Arif Karyanta, S.Psi.. ( __________________ ) 3. Penguji I

Dra. Emi Dasiemi, MS. ( __________________ ) 4. Penguji II

H. Arista Adi Nugroho, S.Psi., MM. ( __________________ )

Surakarta, __________________

Koordinator Skripsi

Rin Widya Agustin, M.Psi. NIP 197608172005012002

Ketua Program Studi Psikologi

Drs. Hardjono, M.Si. NIP 195901191989031002


(4)

iv

Perguruan Tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya bersedia derajat kesarjanaan saya dicabut.

Surakarta, Mei 2010


(5)

v ! " #$

% & ' ( &

) * (

% ' ( (

+ % , ( &


(6)

-vi .%

/0 1

1 .

2 % 3

, , + 1 , 1 1 4

5 , / ! / / ( 6


(7)

vii

tidak lupa penulis panjatkan, hanya dengan rahmat dan hidayahNya-lah penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam senantiasa penulis sampaikan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya yang setia.

Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat guna memperoleh derajat sarjana S-1 pada Bidang Studi Psikologi Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tanpa bantuan berbagai pihak, kiranya penyusunan skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya, penghargaan yang setinggi-tingginya dan permohonan maaf atas segala kesalahan yang pernah penulis lakukan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terutama kepada:

1. Drs. Hardjono, M.Si. Selalu Ketua Program Studi Psikologi yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk dapat menuntut ilmu di Prodi Psikologi serta memberi bimbingan dan arahan kepada penulis.

2. Dra. Makmuroch, MS. selaku dosen pembimbing utama, atas bimbingan, waktu dan masukan yang berarti bagi penulis.

3. Nugraha Arif Karyanta, S.Psi. selaku dosen pembimbing pendamping, atas bimbingan, waktu dan masukan yang sangat berarti bagi penulis.

4. Dra. Emi Dasiemi, MS. dan H. Arista Adi Nugroho, S.Psi., MM. selaku dosen penguji yang memberikan bantuan dan saran yang berarti bagi penulis.

5. KH Wahyuddin selaku Direktur Pondok Pesantren Islam Al Mukmin Sukoharjo, Jawa Tengah yang telah memberi ijin penelitian dan memberikan bantuan dalam pengambilan data pada penelitian ini.

6. Prof. DR. Dr. H Mohammad Fanani, SpKj (K) selaku ustad pengajar Pondok Pesantren Al Mukmin yang telah memberi kesempatan dan meluangkan waktu


(8)

viii

8. Seluruh Staf Psikologi, Mas Dimas, Mas Rian, dan Mbak Ana yang penuh kesabaran, dan segala bantuan serta kemudahan dalam pelayanananya yang telah diberikan.

9. Papa dan Mama tercinta atas semua pengorbanannya, kasih sayang, doa, perhatian dan dukungannya selama ini tanpa mengenal lelah yang terus membimbingku menjadi orang yang dewasa, bermanfaat, dan berguna.

10.Kakak-kakakku Mbak Selly, Mbak Atik dan Mas Oki, atas cinta, doa, bantuan, perhatian, kasih sayang, pengertian, dan kebersamaanya selama ini, semoga kita semua selalu kompak dan dapat menjadi anak-anak yang baik dan berguna bagi kedua orangtua kita.

11.Adikku Bibie dan Devan yang selalu memberikan semangat serta Keponakanku yang pertama Zia yang sangat lucu yang selalu menghiburku tatkala suka maupun duka.

12.Mbak Lilis yang memberikan semangat dalam menyelesaikan studi serta dukunganya dalam pencapaian cita-cita kedepan.

13.Lina dan keluarga yang telah banyak memberi inspirasi, semangat terus maju dan telah memberi arti dalam hidupku.

14.Seluruh rekan mahasiswa Program studi Psikologi khususnya angkatan 2004, yang senantiasa saling mendukung penulis, serta semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Semoga Allah membalas jasa-jasa dan kebaikan dengan pahala yang berlimpah amien.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

Surakarta, Mei 2010


(9)

ix

HALAMAN PERSETUJUAN... ...ii

HALAMAN PENGESAHAN... ..iii

PERNYATAAN... ..iv

HALAMAN MOTTO ... ...v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... ..vi

KATA PENGANTAR ... .vii

DAFTAR ISI ... ..ix

DAFTAR GAMBAR ... .xii

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

ABSTRAK ... .xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah... 6

C. Tujuan Penelitian... 6

D. Manfaat Penelitian... 6

BAB II LANDASAN TEORI A. Kecemasan ... 8

1. Pengertian kecemasan ... 8

2. Gejala-gejala kecemasan ... 10


(10)

x

7. Respon kecemasan ... 21

B. Kecerdasan Emosi. ... 23

1. Pengertian kecerdasan emosi ... 23

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi 28 3. Aspek-aspek kecerdasan emosi... 31

C. Remaja ... 37

D. Hubungan antara kecerdasan emosi dengan tingkat kecemasan pada remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo ... 40

E. Kerangka pikir ... .... 44

F. Hipotesis ... 44

BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian... 46

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian... 46

C. Populasi dan Sampel ... 48

D. Metode dan Alat Pengumpul Data ... 49

E. Validitas dan Reliabilitas ... 51


(11)

xi

2. Persiapan alat ukur ...………... 60

3. Pelaksanaan uji coba ...………... 62

4. Uji validitas dan reliabilitas ……… 62

5. Penyusunan alat ukur untuk penelitian……… 64

B. Pelaksanaan Penelitian ... 64

1. Penentuan sampel penelitian ... 64

2. Pengumpulan data penelitian ... 65

3. Pelaksanaan skoring ... 65

C. Analisis data penelitian ... 66

1. Uji normalitas ...……….... 66

2. Uji linieritas ...……….... ... 68

3. Analisis deskriptif ………... 68

4. Uji hipotesis ……….. ………... 71

D. Pembahasan ……… 73

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 78

B. Saran... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 81


(12)

xii

1. Diagram kognitif perilaku ... 21 2. Kerangka pikir... 44


(13)

xiii

1. Analisis gangguan fungsional kecemasan dari Blackburn dan Davidson . 23

2. Susunan aitem skala kecerdasan emosi ... 61

3. Distribusi aitem shahih dan aitem gugur skala kecerdasan emosi ... 63

4. Distribusi aitem skala kecerdasan emosi untuk penelitian... 64

5. Hasil uji normalitas skala kecerdasan emosi dengan skor kecemasan... 67

6. Hasil uji linieritas skala kecerdasan emosi dengan skor kecemasan... 68

7. Analisis deskriptif kecerdasan emosi dan kecemasan... 69

8. Norma kategori skor subyek ... 69

9. Kategori subyek berdasar skor skala penelitian kecerdasan emosi ... 70

10. Kategori subyek berdasar skor kecemasan ... 71

11. Hasil teknik analisis korelasi Product Moment Pearson... 72


(14)

xiv

B. Sebaran nilai uji coba alat ukur skala kecerdasan emosi ... 92

C. Validitas dan reliabilitas alat ukur skala kecerdasan emosi ... 97

D. Alat ukur untuk penelitian skala kecerdasan emosi dan TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale)... 100

E. Sebaran nilai data penelitian kecerdasan emosi dan kecemasan... 108

F. Analisis data penelitian ... 115

G. Dokumentasi denelitian... 118


(15)

xv

Firman Ridlo Mursyidi

Pendidikan merupakan salah satu hal penting yang dapat mendukung majunya suatu bangsa. Pendidikan tidak lepas dari proses pembelajaran dimana tidak hanya bergantung pada aspek intelegensi atau kemampuan yang didasari oleh fungsi kognitif saja, tetapi juga dipengaruhi oleh aspek lain seperti emosi dan sosial. Kecemasan merupakan gangguan emosi yang menjadi salah satu permasalahan paling sering dialami remaja. Kecemasan sangat berpengaruh pada kepribadian dan prestasi belajar. Remaja yang berada pada masa menuju kematangan mempunyai kemungkinan yang besar untuk mengalami kecemasan, orang yang mengalami kecemasan ini biasanya mempunyai penilaian kurang baik terhadap dirinya yaitu mempunyai kecerdasan emosi yang rendah. Kecemasan dapat diatasi bila seseorang mampu mengelola kecerdasan emosinya dengan baik.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosi dengan tingkat kecemasan pada remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo.

Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional analitik deskriptif, dengan variabel bebas kecerdasan emosi dan variabel tergantung tingkat kecemasan. Penelitian ini menggunakan populasi seluruh remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo. Sampel berjumlah 95 remaja. Karena sedikitnya populasi maka penelitian ini menggunakan semua populasi untuk penelitian atau studi populasi. Teknik pengambilan data pada variabel kecerdasan emosi menggunakan skala kecerdasan emosi sedangkan variabel kecemasan menggunakan Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS). Metode analisis data yang digunakan adalah korelasi Product Moment Pearson dengan bantuan komputer program SPSS for MS windows versi 16.

Berdasarkan perhitungan analisis data diperoleh hasil nilai koefisien korelasi antara variabel kecerdasan emosi dengan variabel tingkat kecemasan (rxy) sebesar -0,329, nilai p-value 0,001<0,05, arah hubungan antara dua variabel adalah negatif artinya semakin tinggi kecerdasan emosi maka semakin rendah kecemasan begitu pula sebaliknya, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat diterima yaitu terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dengan tingkat kecemasan pada remaja mu’alimin kelas 3 Pondok Pesantren Al Mukmin Sukoharjo. Adapun sumbangan efektif kecerdasan emosi dengan tingkat kecemasan sebesar 10,8%.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan salah satu hal penting yang dapat mendukung majunya suatu bangsa. Dunia pendidikan diperlukan untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang saling berkompetisi dalam lingkup pekerjaan atau studi. Salah satu usaha yang paling umum dan paling sering ditempuh oleh seseorang dalam mengembangkan dirinya adalah dengan menempuh sistem pendidikan formal. Hal ini disebabkan karena cukup banyak orang yang beranggapan bahwa untuk menjadi seseorang yang berhasil dalam hidupnya, orang itu harus berpendidikan, khususnya pendidikan formal (Tjundjing, 2001).

Pendidikan formal tidak lepas dari proses pembelajaran. Proses pembelajaran tidak hanya bergantung pada aspek intelegensi atau kemampuan yang didasari oleh fungsi kognitif saja, tetapi juga dipengaruhi oleh aspek lain seperti emosi dan sosial. Seringkali tujuan proses pembelajaran tidak tercapai bukan karena ketidakmampuan pelajar dalam berpikir, namun karena ia mengalami masalah dalam aspek emosi atau aspek sosial yang mengakibatkan terhambatnya proses pembelajaran tersebut (Rostiana, 1997).

Setiap orang pernah mengalami kecemasan yang normal oleh karena suatu sebab, misalnya menghadapi ujian, sidang di pengadilan, promosi, atau penurunan jabatan. Kecemasan dirasakan sebagai akibat dari sesuatu yang jelas penyebabnya dan akan kembali normal setelah objek yang menjadi kecemasan berlalu.


(17)

Kecemasan dapat merupakan manifestasi gangguan kepribadian menghindar atau gangguan fobik. Sebagai gangguan yang berdiri sendiri, kecemasan dapat berupa gangguan cemas umum (menyeluruh), disini cemas dirasakan mengambang (free floating), tidak menentu dan tidak jelas penyebabnya (Kaplan dan Sadock, 1994).

Kecemasan merupakan gangguan emosi yang menjadi salah satu permasalahan paling sering dialami remaja. Kecemasan sangat berpengaruh pada kepribadian dan prestasi belajar. Mahasiswa yang mempunyai kecemasan yang tinggi lebih berhasil dalam kondisi ujian yang kurang menekan, sedangkan mahasiswa yang mempunyai kecemasan yang rendah lebih berhasil dalam kondisi yang menekan (Martaniah dalam Kusningsih, 1994).

Siswa berinisial AA meraih juara IV olimpiade fisika Jawa Tengah tetapi tidak lulus ujian nasional. Di kalangan teman-temannya, AA dikenal sebagai anak pintar. Hampir tiap tahun ia meraih ranking I atau setidaknya ranking II di kelas. Setelah menjuarai olimpiade fisika se-Jawa Tengah, Universitas Semarang siap menerima AA menjadi mahasiswa di jurusan fisika melalui jalur penerimaan siswa berprestasi. Kesempatan ini pupus karena ia tidak lulus ujian nasional (Kompas, 2006). Melihat dari kasus tersebut, menurut analisa penulis sesuai yang diutarakan oleh Toepra (dalam Nasution, 2007) bahwa remaja SMA yang akan menghadapi ujian akhir dan UMPTN sering mengalami ketegangan dan kecemasan, Selanjutnya menurut Davidof (dalam Syahraini dan Rohmatun, 2007) orang yang mengalami kecemasan biasanya mempunyai penilaian yang kurang baik terhadap dirinya, mempunyai kecerdasan emosi yang rendah dan kurang percaya diri. Sedangkan Collins (dalam Syahraini dan Rohmatun, 2007)


(18)

berpendapat bahwa kecemasan dapat diatasi bila seseorang mempunyai kecerdasan emosional yang baik dengan cara berfikir realistis dan bersikap secara tepat. Tetapi dalam kasus diatas, AA tidak dapat mengelola emosi, berpikir realistis sehingga ia gagal dalam ujian.

Stroufe (dalam Amir, 2004) mengemukakan bahwa remaja yang berada pada masa menuju kematangan mempunyai kemungkinan yang besar untuk mengalami kecemasan. Pada masa ini, remaja digambarkan aktif menjelajahi berbagai pilihan untuk menentukan identitas diri. Mereka masih bingung untuk menentukan identitas yang sesuai dengan dirinya sehingga emosi mereka sangat labil. Usia remaja merupakan masa stress dan storm dimana remaja mengalami guncangan yang dapat menyebabkan timbulnys stress dan kecemasan. Arnett (dalam Leonni dan Hadi, 2007) mengemukakan bahwa remaja juga mempunyai reputasi berani mengambil resiko paling tinggi dibandingkan periode lainnya. Hal ini pula yang mendorong remaja berpotensi mudah meningkat kecemasanya karena kenekatannya sering mengiring pada suatu perilaku atau tindakan dengan hasil yang tidak pasti. Keinginan yang besar untuk mencoba banyak hal menjadi salah satu pemicu utama timbulnya perilaku nekat dan hasil yang tidak selalu jelas yang dapat menyebabkan meningkatnya kecemasan pada remaja. Menurut Danusio (dalam Syahraini dan Rohmatun, 2007) emosi berperan besar dalam suatu tindakan bahkan dalam pengambilan keputusan yang paling rasional. Kecerdasan emosional yang tinggi akan membantu remaja dalam mengatasi konflik secara tepat dan menciptakan kondisi lingkungan yang menyenangkan.


(19)

Steinberg (dalam Nasution, 2007) mengungkapkan bahwa remaja pada usia 15-18 tahun mengalami banyak perubahan secara kognitif, emosional dan sosial, mereka berpikir lebih kompleks, secara emosional lebih sensitif dan lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Menurut Lestari dan Purwanto (2003) kecerdasan emosi mencakup kemampuan untuk memotivasi diri dan bertahan terhadap frustasi, kemampuan untuk mengontrol impuls dan menunda pemuasannya, kemampuan untuk mengatur mood dan mencegah keadaan yang berbahaya yang mempengaruhi kemampuan berpikir, serta kemampuan untuk empati dan menolong.

Penelitian dari Hill (dalam Hasan, 2009) yang melibatkan 10.000 siswa Sekolah Dasar dan Menengah di Amerika menunjukkan bahwa sebagian besar siswa yang mengikuti tes, gagal menunjukkan kemampuan mereka yang sebenarnya disebabkan oleh situasi dan suasana tes yang membuat mereka cemas. Sebaliknya, para siswa ini memperlihatkan hasil yang lebih baik jika berada pada kondisi yang lebih optimal, dalam arti unsur-unsur yang membuat siswa berada dibawah tekanan dikurangi atau dihilangkan sama sekali. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya para siswa tersebut menguasai materi yang diujikan tapi gagal memperlihatkan kemampuan mereka yang sebenarnya karena kecemasan yang melanda mereka saat menghadapi tes.

Goleman (2007) melakukan sebuah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui tingkat kesuksesan mahasiswa di masa yang akan datang. Hasil penelitianya membuktikan bahwa para mahasiswa di Harvard University yang berprestasi tinggi, ternyata banyak yang tidak mempunyai keberhasilan yang lebih


(20)

tinggi daripada mahasiswa yang berprestasi biasa-biasa saja. Sebaliknya mahasiswa yang mempunyai prestasi yang biasa-biasa saja justru mempunyai tingkat keberhasilan yang tinggi dibandingkan dengan yang berprestasi akademik tinggi di kemudian hari. Hal itu dikarenakan mahasiswa yang berprestasi tinggi kebanyakan memiliki emosi yang terlampau ditekan, terlampau ekstrim dan bila berlangsung secara terus menerus akan menjadi sumber penyakit. Selain itu, emosi dengan intensitas yang tinggi akan melampaui titik wajar akan beralih menjadi kecemasan kronis, amarah yang tidak terkendali dan depresi, begitu pula dengan remaja santri yang belajar, menuntut ilmu di pondok pesantren dan terbiasa hidup jauh dari keluarga. Kalangan remaja santri di domunasi oleh remaja yang memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi di masa remaja. Menurut uraian hasil penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi yang tinggi akan berpengaruh terhadap keberhasilan seseorang karena seseorang yang mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi tidak akan mudah cemas.

Ohman dan Soares (dalam Adrian, 2009) melakukan penelitian yang menghasilkan kesimpulan bahwa sistem emosi mempercepat sistem kognitif untuk mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi. Stimuli yang relevan dengan rasa takut menimbulkan reaksi bahwa hal buruk akan terjadi. Terlihat bahwa rasa takut mempersiapkan individu untuk antisipasi datangnya hal tidak menyenangkan yang mungkin akan terjadi. Secara otomatis individu akan bersiap menghadapi hal-hal buruk yang mungkin terjadi bila muncul kecemasan dan rasa takut.


(21)

Berdasarkan latar belakang masalah, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Tingkat Kecemasan Pada Remaja Kelas 3 Mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dirumuskan masalah penelitian ini adalah: Apakah terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dengan tingkat kecemasan pada remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara kecerdasan emosi dengan tingkat kecemasan pada remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Bagi orang tua, dapat memberikan wawasan tentang kecerdasan emosi dan

kecemasan sehingga dapat memberikan perlakuan yang sesuai pada anaknya yang menempuh pendidikan di Pondok Pesantren.

2) Bagi pendidik, dapat memberikan masukan dalam rangka menerapkan pendidikan yang sesuai pada remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren


(22)

Al-Mukmin Sukoharjo, dimana kondisi emosional pada remaja di lingkungan pondok berbeda dengan kondisi emosional remaja diluar lingkungan pondok. 3) Bagi peneliti lain, dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk peneliti

selanjutnya, khususnya mengenai tingkat kecemasan pada santri pondok pesantren, dan dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam penelitian selanjutnya.


(23)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tingkat Kecemasan 1. Pengertian Kecemasan

Iskandar (1992) menjelaskan istilah anxietas atau kecemasan sudah ada sejak zaman Yunani dan Romawi. Orang Romawi menyebutnya anxietas yang berarti troubled in mind. Dalam bahasa inggris perkataan itu menjadi anxiety. Istilah ini dipakai mulai dari keadaan takut yang normal, ketegangan jiwa yang normal, gejala dari berbagai gangguan psikiatri, atau dari penyakit. Menurut Abidin (1992) istilah kecemasan berasal dari kata anxietas yang secara linguistik adalah dari bahasa latin “anxietas” berasal dari kata “ango” (sempit), yang mengingatkan pada sesak nafas. Kecemasan merupakan gejala penting serangan cemas atau perasaan tercekik.

Kecemasan adalah keadaan khawatir, gelisah, takut, tidak tentram dan sebagainya disertai berbagai keluhan fisik. Keadaan ini dapat terjadi atau menyertai berbagai kondisi atau situasi kehidupan, berbagai gangguan fisik ataupun mental (Wibisono dalam Kusningsih, 1994).

Sitanggang (1994) mengartikan kecemasan sebagai ketakutan yang samar-samar dan yang tidak jelas terarah pada suatu realisasi obyektif yang didapat karena pengalaman atau melalui generalisasi rangsangan, seringkali terjadi sebagai akibat frustasi/kekecewaan. Hal ini merupakan ciri dari berbagai gangguan syaraf dan mental. Sedangkan Daradjat (dalam Nugraheni, 2005)


(24)

mengungkapkan kecemasan merupakan adanya perasaan tidak menentu, rasa panik, adanya perasaan takut dan ketidakmampuan individu untuk memahami sumber ketakutannya.

Menurut Speilberger (dalam Purboningsih, 2004), kecemasan adalah suatu reaksi emosional yang tidak menyenangkan terhadap bahaya yang tidak nyata atau imaginer dimana reaksi ini muncul bersama pengalaman otonom dan subyektif yang dirasakan sebagai ketegangan, ketakutan dan kegelisahan.

Nuhriawangsa (2004) menjelaskan kecemasan merupakan perasaan cemas atau takut yang disebabkan oleh dugaan adanya bahaya yang akan mengancam yang datangnya bisa dari dalam maupun luar dirinya. Selanjutnya Wibisono (dalam Kusningsih dkk, 1994) mendefinisikan kecemasan sebagai keadaan khawatir, gelisah, takut, tidak tentram dan sebagainya disertai berbagai keluhan fisik. Keadaan ini dapat terjadi atau menyertai berbagai kondisi atau situasi kehidupan, berbgai gangguan fisik ataupun mental.

Prawirohusodo mengidentifikasikan kecemasan sebagai pengalaman emosi yang tidak menyenangkan dalam kadar yang bervariasi mulai perasaan cemas yang ringan sampai ketakutan yang intensif, yang berhubungan dengan ancaman bahaya, yang umumnya tidak atau kecil sekali kaitanya dengan kausa eksternal. Hal ini biasanya diiringi oleh perubahan-perubahan somatik, fisiologik, autonomik, biokimiawi, hormonal dan perilaku yang spesifik. (Kusningsih dkk, 1994).

Kecemasan menurut Syamsulhadi (1996) adalah perasaan cemas yang sangat kurang menyenangkan yang bersifat difus, kadang-kadang samar-samar


(25)

yang disertai satu atau lebih perasaan-perasaan di tubuh misalnya perasaan kosong di ulu hati, tertekan dada, jantung berdebar keras, berkeringat banyak, sakit kepala dan tiba-tiba terasa ingin buang air kecil, rasa tidak bisa istirahat dan keinginan untuk berpindah-pindah.

Dari pengertian diatas kecemasan merupakan pengalaman emosi yang tidak menyenangkan dalam kadar bervariasi, mulai perasaan cemas ringan sampai hebat, berhubungan dengan ancaman bahaya. Keadaan ini biasanya diiringi oleh perubahan somatik, fisiologik, autonomik, biokimiawi, hormonal dan berilaku spesifik.

2. Gejala-Gejala Kecemasan

Simtom-simtom somatis yang dapat menunjukkan ciri-ciri kecemasan menurut Stern (dalam Trismiati, 2004) adalah muntah-muntah, diare, denyut jantung yang bertambah keras, seringkali buang air, nafas sesak disertai tremor pada otot. Kartono (dalam Trismiati, 2004) menyebutkan bahwa kecemasan ditandai dengan emosi yang tidak stabil, sangat mudah tersinggung dan marah, sering dalam keadaan excited atau gelisah.

Daradjat (dalam Nugraheni, 2005) mengklasifikasikan gejala kecemasan sebagai berikut:

a. Gejala fisik (fisiologis)

Kecemasan yang sudah mempengaruhi atau terwujud pada gejala-gejala fisik, terutama pada fungsi sistem syaraf. Ciri-cirinya: ujung jari terasa dingin, pencernaan tidak teratur, detak jantung cepat, keringat bercucuran,


(26)

tekanan darah meningkat, tidur tidak nyenyak, nafsu makan menghilang, kepala pusing, nafas sesak.

b. Gejala mental (psikologis)

Kecemasan sebagai gejala-gejala kejiwaan. Ciri-cirinya: takut, tegang, bingung, khawatir, tidak dapat memusatkan perhatian, tidak berdaya, rendah diri, tidak tentram, ingin lari dari kenyataan hidup, perubahan emosi, turunya kepercayaan diri, tidak ada motivasi.

Dari uraian diatas gejala kecemasan merupakan hal-hal yang nampak sebagai tanda-tanda orang yang mengalami kecemasan baik dari dalam maupun dari luar, baik gejala fisik maupun gejala psikis.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan

Menurut Ancok (dalam Nugraheni, 2005), kecemasan timbul karena adanya pikiran yang keliru tentang suatu hal dan bereaksi yang berlebihan terhadap hal-hal tersebut. Kecemasan muncul karena terdapat beberapa situasi yang mengancam manusia sebagai makhluk sosial. Ancaman ini berasal dari adanya konflik, ancaman terhadap harga diri dan adanya tekanan untuk melaksanakan sesuatu diluar kemampuanya.

Page (dalam Nugraheni, 2005) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan adalah sebagai berikut:

a. Faktor fisik,

b. Trauma dan konflik, pengalaman emosional atau konflik mental yang terjadi pada individu akan memudahkan timbulnya gejala-gejala kecemasan,


(27)

c. Conditioning, emosi-emosi, impuls-impuls yang dialami dalam suatu kondisi tertentu dapat menjadi kuat apabila berhubungan dengan kejadian-kejadian yang hampir sama yang pernah dialami individu sebelumnya, d. Konstitusi, hereditas, lingkungan awal dan latihan adalah faktor-faktor

utama yang dapat mempengaruhi kecemasan individu,

Berbagai faktor predisposisi yang dapat menimbulkan kecemasan menurut Roan (dalam Sudiyanto, 2005) yaitu faktor genetik, faktor organik dan faktor psikologi. Pada pasien yang akan menjalani operasi, faktor predisposisi kecemasan yang sangat berpengaruh adalah faktor psikologis, terutama ketidakpastian tentang prosedur dan operasi yang akan dijalani.

Sebab-sebab munculnya kecemasan, menurut Freud (dalam Trismiati, 2004) mengemukakan bahwa lemahnya ego akan menyebabkan ancaman yang memicu munculnya kecemasan. Freud berpendapat bahwa sumber ancaman terhadap ego tersebut berasal dari dorongan yang bersifat insting dari id dan tuntutan-tuntutan dari superego. Ego disebut sebagai eksekutif kepribadian, karena ego mengontrol pintu-pintu ke arah tindakan, memilih segi-segi lingkungan kemana ia akan memberikan respon, dan memutuskan insting-insting manakah yang akan dipuaskan dan bagaimana caranya. Dalam melaksanakan fungsi-fungsi eksekutif ini, ego harus berusaha mengintegrasikan tuntutan id, superego, dan dunia luar yang sering bertentangan. Hal ini sering menimbulkan tegangan berat pada ego dan menyebabkan timbulnya kecemasan

Faktor penyebab timbulnya kecemasan menurut Carnegie (2007) dapat digolongkan menjadi 3, yaitu:


(28)

a. Faktor Kognitif.

Kecemasan dapat timbul sebagai akibat dari antisipasi harapan akan situasi yang menakutkan dan pernah menimbulkan situasi yang menimbulkan rasa sakit, maka apabila ia dihadapkan pada peristiwa yang sama ia akan merasakan kecemasan sebagai reaksi atas adanya bahaya.

b. Faktor Lingkungan.

Salah satu penyebab munculnya kecemasan adalah dari hubungan-hubungan dan ditentukan langsung oleh kondisi-kondisi, adat-istiadat, dan nilai-nilai dalam masyarakat. Kecemasan dalam kadar terberat dirasakan sebagai akibat dari perubahan sosial yang amat cepat, dimana tanpa persiapan yang cukup, seseorang tiba-tiba saja sudah dilanda perubahan dan terbenam dalam situasi-situasi baru yang terus menerus berubah, dimana perubahan ini merupakan peristiwa yang mengenai seluruh lingkungan kehidupan, sehingga seseorang akan sulit membebaskan dirinya dari pengalaman yang mencemaskan ini.

c. Faktor Proses Belajar

Kecemasan timbul sebagai akibat dari proses belajar. Manusia mempelajari respon terhadap stimulus yang memperingatkan adanya peristiwa berbahaya dan menyakitkan yang akan segera terjadi.

Speilberger (dalam Purboningsih, 2004) mengemukakan bahwa kecemasan dasar terbentuk dari pengalaman-pengalama di masa lalu dan dari hasil pemikiran individu tentang kecemasan tersebut. Setiap orang akan memiliki pengalaman dan pemikiran akan kecemasan yang berbeda-beda tergantung


(29)

bagaimana kecenderungan persepsinya mengenai situasi disekitarnya, apakah situasi di sekitar dipersepsi sebagai situasi mengancazm atau tidak. Pengalaman-pengalaman tersebut berisi stimulus-stimulus yang dapat mengancam bagi dirinya dan menempatkan individu pada kecenderungan untuk bereaksi cemas, sehingga setiap orang memiliki rentang kecemasan yang berbeda-beda.

Dari uraian diatas kecemasan timbul dikarenakan beberapa hal yang mempengaruhinya, baik dari dalam maupun dari luar. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan membentuk perilaku terhadap tingkat kecemasan yang berbdea-beda

4. Aspek-Aspek Kecemasan

Kecemasan selalu melibatkan komponen psikis (afektif, kognitif, perilaku) dan biologis (somatik dan neurofisiologik). Gejala somatik sangat bervariasi pada masing-masing individu, tetapi pada dasarnya merupakan manifestasi keterlibatan saraf otonom dan sistem viseral, sistem kardiovaskular, sistem gastrointestinal, sistem respiratorik, sistem muskuloskeletal. Selain komponen motorik dan visera, kecemasan juga menimbulkan gangguan pada proses pikir, konsentrasi belajar, persepsi sehingga dapat menimbulkan hendaya dalam kehidupan seseorang yang masih belajar (Kusningsih, 1994).

Greenberger & Padesky (dalam Carnegie, 2007) menyatakan bahwa kecemasan berasal dari dua aspek, yakni aspek kognitif dan aspek kepanikan yang terjadi pada seseorang. diantaranya adalah :


(30)

a. Aspek kognitif

1) Kecemasan disertai dengan persepsi bahwa seseorang sedang berada dalam bahaya atau terancam atau rentan dalam hal tertentu, sehingga gejala fisik kecemasan membuat seseorang siap merespon bahaya atau ancaman yang menurutnya akan terjadi,

2) Ancaman tersebut bersifat fisik, mental atau sosial, diantaranya adalah: a) Ancaman fisik terjadi ketika seseorang percaya bahwa ia akan

terluka secara fisik,

b) Ancaman mental terjadi ketika sesuatu membuat khawatir bahwa dia akan menjadi gila atau hilang ingatan,

c) Ancaman sosial terjadi ketika seseorang percaya bahwa ia akan ditolak, dipermalukan, merasa malu atau dikecewakan.

3) Persepsi ancaman berbeda-beda untuk setiap orang,

4) Sebagian orang, karena pengalaman mereka bisa terancam dengan begitu mudahnya dan akan lebih sering cemas. Orang lain mungkin akan memiliki rasa aman dan keselamatan yang lebih besar. Tumbuh di lingkungan yang kacau dan tidak sabil bisa membuat seseorang menyimpulkan bahwa dunia dan orang lain selalu berbahaya,

5) Pemikiran tentang kecemasan berorientasi pada masa depan dan sering kali memprediksi malapetaka. Pemikiran tentang kecemasan sering dimulai dengan keragu-raguan dan berakhir dengan hal yang kacau. Pemikiran tentang kecemasan juga sering meliputi citra tentang bahaya.


(31)

Pemikiran-pemikiran ini semua adalah masa depan dan semuanya memprediksi hasil yang buruk,

b. Aspek kepanikan

Panik merupakan perasaan cemas atau takut yang ekstrem. Rasa panik terdiri atas kombinasi emosi dan gejala fisik yang berbeda. Seringkali rasa panik ditandai dengan adanya perubahan sensasi fisik atau mental, dalam diri seseorang yang menderita gangguan panik, terjadi lingkaran setan saat gejala-gejala fisik, emosi, dan pemikiran saling berinteraksi dan meningkat dengan cepat. Pemikiran ini menimbulkan ketakutan dan kecemasan serta merangsang keluarnya adrenalin. Pemikiran yang katastrofik dan reaksi fisik serta emosional yang lebih intens yang terjadi bisa menimbulkan dihindarinya aktivitas atau situasi saat kepanikan telah terjadi sebelumnya.

Menurut Haber dan Runyon (dalam Halim dan Atmoko, 2005) kecemasan termanifestasi melalui 4 dimensi, yaitu kogitif, motorik, somatis dan afektif.

Dari uraian diatas kecemasan timbul dikarenakan atas hal-hal dasar yang membentuk perilaku kecemasan, aspek-aspek yang membentuk kecemasan beberapa diantaranya adalah aspek fisik dan psikis.

5. Klasifikasi Tingkat Kecemasan

Menurut Setyonegoro dan Iskandar (dalam Sudiyanto, 2005) kecemasan dapat bersifat positif dan negatif.

a. Kecemasan bersifat positif terjadi apabila disalurkan secara sehat melalui mekanisme koping (coping mechanism), yaitu usaha mengatasi perasaan cemas yang tidak menyenangkan tersebut dengan melakukan secara sadar


(32)

hal-hal konstruktif, misalnya giat belajar agar lulus ujian, latihan intensif agar menang pertandingan dan sebagainya.

b. Kecemasan yang bersifat negatif terjadi apabila perasaan cemas yang ada sampai menganggu keseimbangan emosi, konsentrasi, dan aktifitas harian yang bersangkutan. Dalam hal ini kecemasan dapat berderajat ringan, sedang, sampai berat yang selanjutnya disebut gangguan kecemasan. Townsend (dalam Sudiyanto, 2005) mengemukakan ada empat tingkat kecemasan yaitu kecemasan ringan, kecemasan sedang, kecemasan berat dan panik.

a. Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan ringan dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, iritabel, lapang persepsi meningkat, kesadaran tinggi, mampu untuk belajar, motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai situasi,

b. Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada masalah yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang terarah. Manifestasi yang terjadi pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, kecepatan denyut jantung dan pernapasan meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, lahan persepsi menyempit, mampu untuk belajar namun tidak optimal,


(33)

kemampuan konsentrasi menurun, perhatian selektif dan terfokus pada rangsangan yang tidak menambah ansietas, mudah tersinggung, tidak sabar, mudah lupa, marah dan menangis,

c. Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang dengan kecemasan berat cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berpikir tentang hal lain. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area yang lain. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit kepala, nausea, tidak dapat tidur (insomnia), sering kencing, diare, palpitasi, lahan persepsi menyempit, tidak mau belajar secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri dan keinginan untuk menghilangkan kecemasan tinggi, perasaan tidak berdaya, bingung, disorientasi,

d. Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror karena mengalami kehilangan kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Tanda dan gejala yang terjadi pada keadaan ini adalah susah bernapas, dilatasi pupil, palpitasi, pucat, diaphoresis, pembicaraan inkoheren, tidak dapat berespon terhadap perintah yang sederhana, berteriak, menjerit, mengalami halusinasi dan delusi.

Menurut Atwater (dalam Halim dan atmoko, 2005), bahwa kecemasan pada tingkat rendah sampai menengah akan membuat individu waspada dan


(34)

responsif terhadap situasi, tetapi pada tingkat tinggi akan menyita kesadaran dan menganggu kemampuannya.

Dari uraian klasifikasi tingkat kecemasan diatas kecemasan bisa bersifat positif ataupun negatif yang dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu rendah, sedang, dan tinggi, dimana di setiap tingkatan mengidentifikasikan perilaku yang berbeda-beda.

6. Manajemen Kecemasan

a. Manajemen kecemasan dengan penggunaan obat

Papp melakukan percobaan pengontrolan terhadap placebo yang mengalami gangguan kecemasan meninggalkan beberapa keraguan, bahwa anti-depressan yang paling baru efektif untuk gangguan kecemasan. Karena bekerja lebih cepat dan memiliki efek samping yang lebih kecil daripada obat-obatan tricyclic dan inhibitors monoamine oxidase, sebagai permulaan, penulisan resep obat kepada pasien-pasien kecemasan harus terus dilanjutkan. Akan tetapi, kebanyakan ahli klinis percaya bahwa hasil terbaik untuk gangguan kecemasan berasal dari kombinasi obat-obatan dengan satu atau lebih tipe psikoterapi.

b. Manajemen kecemasan melalui psikoterapi

Salah satu metode yang efektif untuk mengatasi gangguan kecemasan adalah pemberian psikoterapi untuk kognitif dan tingkah laku. Walaupun terdapat banyak klaim yang menyatakan bahwa sulit untuk mengganti perawatan psikologis dengan percobaan penyelidikan, ilmuwan telah mengembangkan kapasitas untuk menerapkan rancangan penelitian


(35)

yang tepat termasuk randomisasi dan penilaian buta untuk terapi tingkah laku-kognitif. Sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Lawrence welkowitz, hasilnya telah didokumentasikan bahwa terapi tingkah laku-kognitif itu efektif untuk mayoritas gangguan kecemasan (Kaplan dan Sadock, 1994).

Psikoterapi yang paling efektif untuk mengatasi kecemasan adalah terapi kognitif perilaku (Cognitive Behavior Therapy), yaitu mengembangkan cara berpikir yang lebih adaptif. Asumsi dasar Terapi Kognitif Perilaku (TKP) adalah adanya hubungan timbal balik antara proses berpikir (apa yang dipikirkan) dengan afeksi (pengalaman emosional), fisik dan perilaku. TKP menekankan pentingnya perubahan kognitif dan perilaku untuk mengurangi simtom dan meningkatkan fungsi afek seseorang. TKP tidak hanya memperbaiki kognitif, namun juga mengubah perilaku, karena perubahan perilaku dapat berpengaruh kuat pada pola pikir. Tujuan TKP adalah memperbaiki pikiran yang salah, dimana pikiran tersebut sering berubah dan hal tersebut akan berpengaruh pada suasana hati, fisik dan perilaku. Proses tersebut berpengaruh terhadap pembelajaran untuk mengevaluasi pemikiran serta mengubah seseorang menjadi rasional dan adaptif dengan cara mengubah pola pikir yang berpengaruh pada perasaan dan perilakunya. Stallard berpendapat bahwa TKP menghubungkan antara apa yang dipikirka, apa yang dirasakan, dan apa yang akan dilakukan (Mawandha dan Ekowarni, 2009). Hal tersebut dapat digambarkan pada diagram berikut ini :


(36)

Gambar 1.

Diagram Kognitif Perilaku (Mawandha dan Ekowarni, 2009)

7. Respon Kecemasan

Menurut Carnegie (2007) ada 2 respon kecemasan yaitu respon fisiologis dan respon psikologis terhadap kecemasan :

a. Respon fisiologis terhadap kecemasan 1) Kardio vaskuler

Peningkatan tekanan darah, palpitasi, jantung berdebar, denyut nadi meningkat, tekanan nadi menurun, syock dan lain-lain,

2) Respirasi

Napas cepat dan dangkal, rasa tertekan pada dada, rasa tercekik, 3) Kulit

perasaan panas atau dingin pada kulit, muka pucat, berkeringat seluruh tubuh, rasa terbakar pada muka, telapak tangan berkeringat, gatal-gatal,

Pemikiran

Perasaan tidak menyenangkan Apa yang akan

dilakukan

Perasaan tidak menyenangkan


(37)

4) Gastro intestinal

Anoreksia, rasa tidak nyaman pada perut, rasa terbakar di epigastrium, nausea, diare,

5) Neuromuskuler

Reflek meningkat, reaksi kejutan, mata berkedip-kedip, insomnia, tremor, kejang, wajah tegang, gerakan lambat.

b. Respon psikologis terhadap kecemasan 1) Perilaku

Gelisah, tremor, gugup, bicara cepat dan tidak ada koordinasi, menarik diri, menghindar,

2) Kognitif

Gangguan perhatian, konsentrasi hilang, mudah lupa, salah tafsir, bloking, bingung, lapangan persepsi menurun, kesadaran diri yang berlebihan, kawatir yang berlebihan, obyektifitas menurun, takut kecelakaan, takut mati dan lain-lain,

3) Afektif

Tidak sabar, tegang, neurosis, tremor, gugup yang luar biasa, sangat gelisah dan lain-lain.

Blackburn dan Davidson (dalam Dwita dan Natalia, 2002) membuat analisis fungsional gangguan kecemasan yang menjelaskan reaksi terhadap kecemasan. Analisis tersebut digambarkan dalam Tabel 1 berikut ini:


(38)

Tabel 1.

Analisis Gangguan Fungsional Kecemasan dari Blackburn dan Davidson Simtom-simtom psikologis Keterangan

Suasana hati Kecemasan, mudah marah, perasaan sangat tegang Motivasi Khawatir, sukar berkonsentrasi, pikiran kosong,

membesar-besarkan ancaman, memandang diri sebagai sangat sensitif, tidak berdaya

Perilaku Gelisah, gugup, kewaspadaan berlebihan

Gejala biologis Gerakan otomatis meningkat: berkeringat, gemetar, pusing, berdebar-debar, mual, mulut kering

B. Kecerdasan Emosi 1. Pengertian Kecerdasan Emosi

Dari segi etimologi, emosi berasal dari akar bahasa latin “movere” yang berarti “menggerakkan, bergerak”. Kemudian awalan “e-“ untuk memberi arti “bergerak menjauh”. Makna ini menyiratkan kesan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Emosi dalam makna paling harfiah menurut Oxford, English Dictionary yang mendefinisikan sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu dan setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap. Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak (Goleman, 2007).

Kata emosi bisa secara sederhana didefinisikan sebagai “gerakan” baik secara metafora maupun harfiah untuk mengeluarkan perasaan. Sedangkan dalam bahasa latin emosi dapat dijelaskan sebagai motus anima yang arti harfiahnya “jiwa yang menggerakkan kita” (Cooper dan Sowaf, 2002). Selanjutnya menurut Suryabrata (2004), emosi didefinisikan sebagai gejala psikis yang bersifat


(39)

subjektif yang umumnya berhubungan dengan gejala-gejala mengenal, dan dialami dalam kualitas senang atau tidak senang dalam berbagai taraf.

Goleman dan Steiner (dalam Suryanti dkk, 2002), mendefinisikan emosi sebagai kekuatan pribadi (personal power) yang memungkinkan manusia untuk berpikir secara keseluruhan, mampu mengenali emosi diri sendiri dan orang lain serta tahu bagaimana mengekspresikannya secara tepat.

Menurut Albin (dalam Fauziah dan Hery, 2006), emosi adalah perasaan yang kita alami. Kemampuan untuk memikirkan emosi kita juga membantu meningkatkan kemampuan untuk menguasainya. Mengetahui latar belakang mengapa terjadi emosi hingga pada cara untuk menanggapi emosi tersebut. Emosi-emosi dapat merangsang pikiran baru, khayalan baru, dan tingkah laku baru.

Albin (dalam Rostiana, 1997) mengartikan emosi sebagai perasaan yang kita alami, misalnya: rasa senang, sedih, marah, cemas, cinta dan sebagainya. Goleman (2007) mengelompokkan emosi dalam golongan-golongan besar, yaitu: a. Amarah : beringas, mengamuk, benci, marah, jengkel, kesal hati, terganggu,

rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, dan barangkali yang paling hebat, tindak kekerasan dan kebencian patologis,

b. Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri sendiri, kesepian, ditolak, putus asa, dan kalau menjadi patologis, depresi berat,

c. Rasa takut : cemas, takut, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, kecut; sebagai patologi, fobia dan panik,


(40)

d. Kenikmatan : bahagia, gembira, ringan, puas, riang, senang, terhibur, bangga, kenikmatan inderawi, takjub, rasa terpesona, rasa puas, rasa terpenuhi, kegirangan luar biasa, senang, senang sekali dan, batas ujungnya manja, e. Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat,

bakti, hormat, kasmaran, kasih,

f. Terkejut : terkejut, terkesiap, takjub, terpana,

g. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, mau muntah,

h. Malu rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib dan hati hancur lebur. Menurut Ahmadi dan Umar (1982), ada beberapa faktor yang mempengaruhi emosi, yaitu:

a. Keadaan jasmani, misalnya badan kita dalam keadaan sakit, perasaan kita lebih mudah tersinggung daripada kalau badan kita dalam keadaan sehat dan segar,

b. Pembawaan, ada orang yang mempunyai pembawaan berperasaan halus, sebaliknya ada pula yang kebal perasaanya,

c. Perasaan seseorang berkembang sejak ia mengalami sesuatu, karena itu mudah dimengerti bahwa keadaan yang pernah mempengaruhinya dapat memberikan corak dalam perkembangan perasaanya. Selain itu ada faktor lain misalnya keadaan keluarga, suasana rumah tangga, lingkungan sosial, pendidikan, jabatan, pergaulan sehari-hari, cita-cita hidup dan sebagainya.

Berdasar uraian di atas dapat disimpulkan bahwa emosi adalah perasaan yang muncul baik dari dalam maupun dari luar, senang ataupun tidak senang pada


(41)

diri individu yang mendorong individu tersebut untuk meresepon atau bertingkah laku karena dipengaruhi oleh suatu stimulus.

Akar kecerdasan emosional berawal dari bidang psikologi ketika pada tahun 1928, E. L Thorndike mengidentifikasi aspek kecerdasan emosional yang disebutnya dengan kecerdasan sosial (sosial intelligence). Pada tahun 1952 Weschler meneruskan penelitian yang dilakukan oleh E. L Thorndike dan menyatakan bahwa kemampuan non-kognitif, yang disebutnya sebagai hal yang bersifat nonintelektual, juga merupakan hal yang esensial dalam memprediksi kemampuan individu untuk sukses dalam organisasi. Penelitian selanjutnya tentang peran emosi dalam kesuksesan individu pada tahun 1983 ketika Gardner menyebutkan faktor yang disebutnya sebagai intelegensi ganda (multiple intelligence) sebagai kunci sukses individu dalam organisasi. Gardner berargumen bahwa kemampuan intrapribadi (intrapersonal) dan antarpribadi (interpersonal) juga diklasifikasikan sebagai kecerdasan yang sama pentingnya dalam intelegensi yang diukur dengan tes IQ. Secara khusus penelitian tentang faktor non-kognitif dalam kesuksesan individu dalam dunia kerja baru berkembang sejak awal 1990-an setelah Bar-On mampu mengemb1990-angk1990-an tes baku untuk mengukur kemampu1990-an non kognitif individu. Kemudian tahun 1990, Salovey dan Mayer menerbitkan artikel dan menggunakan kata ”kecerdasan emosional” yang kemudian dipakai sebagai istilah yang baku dalam bidang psikologi dan perilaku. (Susilawati, 2002)

Kecerdasan emosi diciptakan dan secara resmi didefinisikan oleh Jack Mayer dari Universitas New Hampshire dan Peter Salovey dari Universitas Yale pada tahun 1990. Mereka mengembangkan konsep Profesor Gardner yang


(42)

menetapkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual (Stein dan Book, 2002).

Cooper dan Sawaf (2002) menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosional menuntut pemilikan perasaan untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu Steiner (dalam Riani dan Farida, 2006) memberikan pengertian bahwa kecerdasan emosional sebagai suatu kemampuan untuk mengerti emosi diri sendiri dan orang lain serta mengetahui bagaimana emosi diri sendiri terekspresikan untuk peningkatan maksimal secara etis sebagai kekuatan pribadi.

Menurut Goleman (2007) kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan hubungan dengan orang lain.

Wang dan Ahmed (dalam Riani dan Farida, 2006) menyatakan bahwa untuk mengatur kondisi emosi manusia dibutuhkan kecerdasan emosional. Salovey dan Mayer (dalam Yen dan Atmadji, 2003) mengartikan kecerdasan


(43)

emosi sebagai himpunan dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milahnya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. Sedangkan kecerdasan emosi menurut Mayer (dalam Goleman, 2007) adalah kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan.

Dari pengertian diatas kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, tempramen, motivasi dan hasrat orang lain, yang merupakan kunci pengetahuan diri dan akan menuntun pada tingkah laku yang tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Tiga unsur penting kecerdasan emosional terdiri dari : kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri), kecakapan sosial (menangani suatu hubungan) dan keterampilan sosial (kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain).

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi

Menurut Solovey dan Meyer (dalam Goleman, 2007) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang antara lain :

a. Fisik

Secara fisik menurut Le Doux bagian yang paling menentukan atau berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi syaraf emosinya atau bagian otaknya. Bagian otak yang berpikir adalah korteksnya.


(44)

1. Korteks.

Secara harfiah berarti tudung berpikir otak yang membuat seseorang berada di puncak tangga evolusi. Memahami korteks dan perkembangan membantu individu menghayati mengapa sebagian individu sangat cerdas sedangkan yang lain sulit belajar. Korteks berperan penting dalam memahami kecerdasan emosi, korteks berperan penting dalam memahami sesuatu secara mendalam, menganalisis mengapa seseorang mengalami perasaan tertentu, selanjutnya berbuat sesuatu untuk mengatasinya. Korteks khususnya lobus prefrontalis dapat bertindak sebagai saklar peredam yang memberi arti terhadap situasi emosi sebelum berbuat sesuatu.

2. Sistem Limbik.

Bagian ini sering disebut sebagai bagian emosi yang letaknya jauh dalam hemisfer otak besar terutama bertanggung jawab atas peraturan emosi dan impuls. Sistem limbik meliputi hippocampus, tempat berlangsungnya proses pembelajaran emosi, selain itu ada amigdala yang dipandang sebagai pusat pengendalian emosi pada otak.

b. Psikis

Faktor psikis kecerdasan emosi berupa pengalaman, perasaan, kemampuan berfikir dan motivasi. Kecerdasan emosi selalu berpengaruh pada kepribadian individu dan dapat diperkuat dalam diri individu baik dalam lingkungan keluarga maupun non-keluarga.


(45)

1. Lingkungan Keluarga.

Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari emosi. Disini peran orang tua sangatlah dibutuhkan. Orang tua adalah subjek pertama yang perilakunya diidentifikasi oleh anak kemudian diinternalisasi akhirnya akan menjadi bagian dari kepribadian yang sangat menguntungkan bagi anak. Orang tua yang mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi akan sangat menguntungkan bagi anak, orangtua yang demikian dapat menyesuaikan dan mengerti perasaan anak yang baik. Kehidupan emosi yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak di kemudian hari. Sebagai contoh : kebiasaan dan mendapatkan disiplin dan bertanggung jawab, kemampuan berempati, kepedulian dan kehangatan sikap dan sebagainya. Anak yang secara emosi cakap akan mempunyai pergaulan yang lebih baik, lebih hangat, dan mempunyai sedikit kontra dengan orang lain, mempunyai kadar stres yang rendah, dan tidak mempunyai banyak masalah.

2. Lingkungan Non-keluarga.

Hal ini berkaitan dengan lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah. Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan mental anak. Pembelajaran ini ditunjukkan dalam aktivitas bermain anak misalnya dengan bermain peran sebagai orang lain di luar dirinya dengan emosi yang menyertai, dengan anak akan belajar mengerti keadaan orang lain. Selain itu juga dapat meningkatkan sikap asertivitas, empati, dan lain-lain.


(46)

Dari uraian faktor diatas kecerdasan emosi timbul dikarenakan beberapa hal yang mempengaruhinya, baik faktor fisik maupun psikis. Faktor-faktor tersebut membentuk perilaku yang timbul akibat kecerdasan emosi yang berbdea-beda.

3. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi

Menurut Bar-On (dalam Stein dan Book, 2002) kecerdasan emosi merupakan sekumpulan kecakapan dan sikap yang jelas perbedaanya namun saling tumpang tindih. Kumpulan tersebut dikelompokkan ke dalam lima ranah, yaitu:

a. Intra pribadi

Terkait dengan kemampuan untuk mengenal dan mengendalikan diri sendiri yaitu melingkupi:

1) Kesadaran diri

Kemampuan untuk mengenali perasaan dan mengapa individu merasakanya seperti itu dan pengaruh individu tersebut terhadap orang lain,

2) Sikap asertif

Kemampuan menyampaikan secara jelas pikiran dan perasaan individu, membela diri dan mempertahankan pendapat,

3) Kemandirian

Kemampuan untuk mengarahkan dan mengendalikan diri, berdiri dengan kaki sendiri,


(47)

4) Aktualisasi diri

Kemampuan mewujudkan potensi yang individu miliki dan merasa senang dengan prestasi yang di raih di tempat kerja maupun dalam kehidupan pribadi,

b. Antar pribadi

Ranah antar pribadi berkaitan dengan ketrampilan bergaul yang dimiliki individu yaitu kemampuan untuk berinteraksi dan bergaul baik dengan orang lain. Wilayah ini dibagi menjadi tiga skala, yaitu:

1) Empati

Kemampuan untuk memahami perasaan dan pikiran orang lain, kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain,

2) Tanggung jawab

Kemampuan untuk menjadi anggota masyarakat yang dapat bekerja sama dan bermanfaat bagi kelompok masyarakatnya,

3) Hubungan antar pribadi

Kemampuan untuk menciptakan dan mempertahankan hubungan yang saling menguntungkan, dan ditandai oleh saling memberi dan menerima serta rasa kedekatan emosional,

c. Penyesuaian diri

Kemampuan untuk bersikap lentur dan realistis, dan untuk memecahkan aneka masalah yang muncul. Wilayah ini dibagi menjadi tiga skala, yaitu:


(48)

1) Uji realitas

Kemampuan untuk melihat sesuatu sesuai dengan kenyataanya, bukan seperti yang individu inginkan atau takuti,

2) Sikap fleksibel

Kemampuan untuk menyesuaikan perasaan, pikiran dan tindakan individu dengan keadaan yang berubah-ubah,

3) Pemecahan masalah

Kemampuan untuk mendefinisikan permasalahan, kemudian bertindak untuk mencari dan menerapkan permasalahan yang jitu dan tepat,

d. Pengendalian stres

Ranah pengendalian stres berkaitan dengan kemampuan individu untuk menghadapi stress dan mengendalikan impuls. Wilayah ini dibagi menjadi dua skala, yaitu:

1) Ketahanan menanggung stres

Kemampuan untuk tetap tenang dan berkonsentrasi, dan secara konstruktif bertahan menghadapi kejadian yang gawat dan tetap tegar menghadapi konflik emosi,

2) Pengendalian impuls

Kemampuan untuk menahan atau menunda keinginan untuk bertindak, e. Suasana hati

Ranah suasana hati memiliki dua skala, yaitu: 1) Optimisme

Kemampuan untuk mempertahankan sikap positif yang realistis, terutama dalam menghadapi masa-masa sulit,


(49)

2) Kebahagiaan

Kemampuan untuk mensyukuri kehidupan, menyukai diri sendiri dan orang lain, dan untuk bersemangat serta bergairah dalam melakukan setiap kegiatan.

Goleman (2007) mengemukakan aspek-aspek kecerdasan emosional sebagai berikut:

a. Mengenali emosi sendiri

Kemampuan individu untuk mengenali perasaan sesuai dengan apa yang terjadi, mampu memantau perasaan dari waktu ke waktu dan merasa selaras terhadap apa yang dirasakan,

b. Mengelola emosi

Kemampuan untuk menangani perasaan sehingga perasaan dapat diungkap dengan tepat, kemampuan untuk menenangkan diri, melepaskan diri dari kemarahan yang menjadi-jadi,

c. Memotivasi diri sendiri

Kemampuan untuk mengatur emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan, menunda kepuasan dan merenggangkan dorongan hati, mampu berada dalam tahap flow,

d. Mengenali emosi orang lain

Kemampuan mengetahui perasaan orang lain (kesadaran empatik), menyesuaikan diri terhadap apa yang diinginkan orang lain,


(50)

e. Membina hubungan

Kemampuan mengelola emosi orang lain dan berinteraksi secara mulus dengan orang lain.

Menurut Mayer dan Salovey (2000), kecerdasan emosional dibagi menjadi empat cabang, yaitu: (1) penerimaan emosi, (2) penggunaan emosi untuk memfasilitasi pemikiran/gagasan, (3) pemahaman emosi dan (4) pengaturan emosi di dalam mempertinggi perkembangan pribadi dan hubungan sosial. Bentuk keempat cabang tersebut dengan mengidentifikasi emosi dalam diri dan orang lain sebagai sesuatu yang sangat fundamental dan memanage emosi; kemampuan untuk meregulasi emosi dalam diri dan orang lain. Cabang-cabang tersebut lebih jelasnya, yaitu:

a. Kemampuan menerima emosi

1) Kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi emosi secara fisik dan psikologis,

2) Kemampuan untuk mengidentifikasi emosi orang lain,

3) Kemampuan untuk mengekspresikan emosi secara akurat untuk mengekspresikan kebutuhan mereka,

4) Kemampuan untuk mendeskriminasikan kejujuran dan ketidakjujuran perasaan,

b. Kemampuan menggunakan emosi untuk memfasilitasi pemikiran

1) Kemampuan mengarahkan pemikiran prioritas pada bagian dasar perasaan yang diasosiasikan,


(51)

2) Kemampuan menggeneralisasikan emosi untuk membenarkan dan memori,

3) Kemampuan memberikan pemilihan mood yang baik untuk mengapresiasikan berbagai sudut pandang,

4) Kemampuan menggunakan emosi untuk problem solving dan berfikir kreatif,

c. Kemampuan untuk memahami emosi

1) Kemampuan memahami hubungan macam-macam emosi, 2) Kemampuan menerima konsekuensi emosi,

3) Kemampuan memahami perasaan kompleks, dan status yang berlawanan,

4) Kemampuan untuk memahami perpindahan emosi, d. Kemampuan untuk mengatur emosi

1) Kemampuan untuk membuka perasaan, yakni antara senang dan tidak senang,

2) Kemampuan untuk memonitor dan merefleksikan emosi, 3) Kemampauan menggunakan emosi,

4) Kemampuan mengatur emosi seseorang dan mengatur emosi orang lain,

Bradberrry dan Graves (2009) mengemukakan bahwa terdapat empat komponen yang secara bersama-sama membentuk kecerdasan emosi, yaitu kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, dan manajemen hubungan sosial. Kesadaran diri dan manajemen diri lebih mengenai diri seseorang, dua skill


(52)

ini membentuk kompetensi seseorang dalam menyadari keberadaan emosi serta mengelola perilaku kecenderungan dirinya. Sedangkan kesadaran sosial dan manajemen hubungan sosial adalah lebih mengenai bagaimana seseorang berinteraksi dengan orang lain dalam memahami perilaku dan alasan orang lain, keduanya akan membentuk kompetensi seseorang dalam memahami perilaku dan alasan orang lain serta kemampuanya dalam mengelola konflik antarpersonal.

Jack Block menemukan bahwa tanda-tanda kecerdasan emosi adalah keyakinan diri, optimisme, dan keseimbangan sosial. Kecerdasan emosi memiliki kontrol diri yang lebih unggul dan kemampuan untuk memotivasi diri sendiri. Mereka mengatur dan mengekspresikan emosi dengan wajar, bersikap terbuka tapi simpatik dan peduli dalam suatu hubungan. Kehidupan emosional menjadi kaya tetapi seimbang; nyaman terhadap diri sendiri, orang lain, dan kehidupan sosial. Dapat mengatur stress tidak ada perasaan khawatir yang berlebihan, cenderung mudah berteman, spontan, suka bermain, dan terbuka dengan pengalaman sensual (Kaplan dan Sadock, 1994).

Dari uraian aspek-aspek diatas kecerdasan emosi timbul dikarenakan atas hal-hal dasar yang membentuknya, aspek-aspek yang membentuk kecerdasan emosi beberapa diantaranya adalah aspek dari dalam maupun dari luar.

C. Remaja

Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata belanda, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolescence, seperti yang dipergunakan saat ini


(53)

mempunyai arti yang luas mencakup kematangan mental, emosional, spasial dan fisik (Hurlock, 1990).

Piaget (dalam Hurlock, 1990) mengatakan bahwa secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintregrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang kebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.

Hurlock (1990) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimulai saat anak secara seksual matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum.

Monks (dalam Nasution, 2007) mengungkapkan bahwa remaja adalah individu yang berusia antara 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun untuk remaja awal, 15-18 tahun untuk remaja pertengahan dan 18-21 tahun untuk remaja akhir.

Masa remaja mempunyai ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelumnya. Ciri-ciri remaja menurut Hurlock (1990), antara lain:

a. Masa remaja sebagai periode yang penting yaitu perubahan-perubahan yang dialami masa remaja akan memberikan dampak langsung pada individu yang bersangkutan dan akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya,

b. Masa remaja sebagai periode pelatihan. Disini berarti perkembangan masa kanak-kanak lagi dan belum dapat dianggap sebagai orang dewasa. Status remaja tidak jelas, keadaan ini memberi waktu padanya untuk mencoba gaya


(54)

hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai dengan dirinya,

c. Masa remaja sebagai periode perubahan, yaitu perubahan pada emosi perubahan tubuh, minat dan peran (menjadi dewasa yang mandiri), perubahan pada nilai-nilai yang dianut, serta keinginan akan kebebasan,

d. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat, e. Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan. Dikatakan demikian

karena sulit diatur, cenderung berperilaku yang kurang baik. Hal ini yang membuat banyak orang tua menjadi takut,

f. Masa remaja adalah masa yang tidak realistik. Remaja cenderung memandang kehidupan dari kacamata berwarna merah jambu, melihat dirinya sendiridan orang lain sebagaimana yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam cita-cita,

g. Masa remaja sebagai masa dewasa. Remaja mengalami kebingungan atau kesulitan didalam usaha meninggalkan kebiasaan pada usia sebelumnya dan didalam memberikan kesan bahwa mereka hampir atau sudah dewasa, yaitu dengan merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perilaku seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan.

Dari pengertian diatas remaja adalah individu yang berusia 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari kanak-kanak ke masa dewasa. Santri adalah sebutan bagi murid yang mengikuti pendidikan di pondok pesantren.


(55)

Pondok Pesantren adalah sekolah pendidikan umum yang persentasi ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam. Kebanyakan muridnya tinggal di asrama yang disediakan di sekolah itu. Pondok Pesantren banyak berkembang di pulau Jawa. Remaja santri kelas 3 mu’allimin di pondok pesantren Al-Mukmin Sukoharjo rata-rata berusia antara 17 sampai 19 tahun.

D. Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Tingkat Kecemasan Pada Remaja Kelas 3 Mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo.

Goleman (2007), mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya.

Menurut Goleman (dalam Bastian, 2005) kecerdasan emosi mencakup susunan kualitas yang sangat banyak, seperti: kontrol diri, semangat, ketekunan, keterbukaan, motivasi, pengaturan mood, empati, optimisme, harapan, kepercayaan diri, kontrol impuls, menunda kepuasan, mengatasi kecemasan dan stress untuk membangun hubungan interpersonal yang sukses.

Salovey (dalam Bastian, 2005) menyatakan bahwa kecerdasan emosi terhubung dengan coping melalui gabungan 3 proses (ruminasi, dukungan sosial dan penyikapan trauma) yang terhubung dengan kemampuan koping. Ruminasi adalah pemikiran berulang-ulang yang fokus terhadap pemikiran negatif seseorang tentang gejala-gejala penderitaan yang dirincikan dengan kecemasan


(56)

dan depresi. Individu yang mengalami ruminasi cenderung memiliki fokus yang berlebihan terhadap persepsi dan penilaian mood mereka tanpa benar-benar berusaha untuk mengaturnya supaya dapat meringankan konflik.

Menurut penelitian LeDoux (dalam Goleman, 2007) disebutkan bahwa di dalam otak manusia terdapat amigadala yang berfungsi sebagai penjaga emosi, penjaga yang mampu mengambil alih kendali apa yang kita kerjakan bahkan sewaktu otak berpikir, neokorteks, masih menyusun keputusan. Fungsi-fungsi amigadala dan pengaruhnya pada neokorteks merupakan inti kecerdasan emosional.

Kecemasan adalah keadaan fisiologis yang memiliki komponen kecerdasan, emosi, dan sikap. Komponen-komponen tadi berkombinasi membentuk perasaan yang dikenal dengan ketakutan atau khawatir. Kecemasan selalu disertai oleh sensasi fisik seperti jantung berdebar-debar, perasaan ingin mnuntah, sakit dada, nafas pendek, sakit perut dan sakit kepala. Jaras syaraf melibatkan amigadala dan hippocampus yang diduga terlibat dapat memicu kecemasan. Ketika berhadapan dengan keadaan tidak menyenangkan dan stimulus berbahaya seperti salah membau, akan terjadi kenaikan aliran darah pada amigadala. Hal ini menunjukkan ada hubungan antara kecerdasan emosi, dimana sedikit banyak emosi dikontrol oleh amigadala, dengan terjadinya kecemasan pada seseorang (Kaplan dan Sadock, 1994).

Kecemasan menyebabkan seseorang merasa bingung dan tidak tahu apa yang akan diperbuatnya, mereka yang mengalami kecemasan ini biasanya mempunyai penilaian yang kurang baik terhadap dirinya, mempunyai kecerdasan


(57)

emosi yang rendah dan kurang percaya diri. Kecemasan itu terasa menyakitkan karena sifatnya menyerang, mengancam dan menghancurkan keadaan dirinya, namun kecemasan dapat diatasi bila seseorang mempunyai kecerdasan emosional yang baik dengan cara berfikir realistis dan bersikap secara tepat (Davidoff dan Collings, dalam Syahraini dan Rohmatun, 2007).

Ohman dan Soares (dalam Adrian, 2009) melakukan penelitian yang menghasilkan kesimpulan bahwa sistem emosi mempercepat sistem kognitif untuk mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi. Stimuli yang relevan dengan rasa takut menimbulkan reaksi bahwa hal buruk akan terjadi. Terlihat bahwa rasa takut mempersiapkan individu untuk antisipasi datangnya hal tidak menyenangkan yang mungkin akan terjadi. Secara otomatis individu akan bersiap menghadapi hal-hal buruk yang mungkin terjadi bila muncul kecemasan dan rasa takut.

Goleman (2007) menyatakan bahwa emosi yang terlampau ditekan, terlampau ekstrim dan terus menerus akan menjadi sumber penyakit. Selain itu, emosi dengan intensitas yang tinggi akan melampaui titik wajar akan beralih menjadi kecemasan kronis, amarah yang tidak terkendali dan depresi.

Menurut Rooprai (2009) kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mencegah timbulnya perasaan negatif seperti marah, kurang percaya diri, kecemasan dan sebaliknya fokus pada perasaan positif salah satunya percaya diri, empati dan keserasian. Pengembangan kecerdasan emosi harus lebih ditekankan untuk mengatasi stress dan kecemasan.


(58)

Salovey (dalam Berrocal, 2006) berpendapat bahwa hasil penelitian kaitan antara kecerdasan emosi dengan depresi, kecemasan dan keseluruhan psikis serta kesehatan mental telah menunjukkan hasil pada subyek orang dewasa. Sebagai contoh seseorang yang lebih banyak memperhatikan emosinya, seseorang yang memiliki nilai lebih rendah kejernihan emosinya dan seseorang yang menunjukkan ketidakmampuan untuk mengatur keadaan emosi menunjukkan rendahnya penyesuaian emosi.

Penelitian Gottman dan De Claire (dalam Syahraini dan Rohmatun, 2007) menemukan bahwa individu yang belajar mengenali dan menguasai emosinya menjadi lebih percaya diri, sekaligus lebih sehat secara fisik. Mereka juga lebih baik prestasinya atau di dunia kerja dan cenderung akan menjadi orang dewasa yang sehat secara emosional. Individu yang memiliki kecerdasan emosi akan lebih terampil dalam menenangkan diri mereka sendiri bila mereka marah, dibandingkan dengan individu yang tidak dilatih emosinya.

Menurut Spielberger dan Rickman kecemasan adalah reaksi normal pada situasi sosial yang merupakan sikap mengancam harga diri atau mental yang sehat. Kecerdasan emosi menurut Bar-On, merupakan pengukuran mental yang sehat pada seseorang dimana kecemasan yang tidak dapat di kontrol tidak akan memiliki mental yang sehat. Pengukuran kecerdasan emosi menurut Emmerling dan Goleman bahwa kecerdasan emosional bisa di kembangkan begitu juga dengan mental yang sehat dan kontrol kecemasan (Rensburg, 2005).

Mereka yang gagal menguasai kompetensi kecerdasan emosi menghadapi bermacam-macam resiko gangguan jiwa yang semakin tinggi, seperti gangguan


(59)

mood dan kecemasan, gangguan makan, dan penyalahgunaan zat kimia. Karena kemampuan kecerdasan emosi ini dapat diajarkan, menawarkan anak-anak dan orang dewasa kesempatan untuk memperkuat kompetensi-kompetensi ini dapat bertindak sebagai suntikan melawan aspek-aspek resiko sosial dan resiko kejiwaan (Kaplan dan Sadock. 1994).

Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa terdapat kaitan negatif antara kecemasan dengan kecerdasan emosi dimana individu dengan kecerdasan emosional yang rendah menunjukkan tingkat kecemasan yang tinggi dan sebaliknya individu dengan kecerdasan emosional yang tinggi mempunyai tingkat kecemasan yang rendah.

E. Kerangka Pikir

Gambar 2. Kerangka Pikir

Dari gambar diatas dapat diketahui kecemasan merupakan gangguan emosi yang menjadi salah satu permasalahan paling sering dialami remaja. Kecemasan dapat diatasi bila seseorang mempunyai kecerdasan emosional yang baik dengan cara berfikir realistis dan bersikap secara tepat.

Kecerdasan


(60)

F. Hipotesis

Berdasarkan teori diatas, maka hipotesis yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah “Terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dengan tingkat kecemasan pada remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo”.


(61)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan pendekatan cross sectional analitik deskriptif yaitu jenis penelitian yang pengukuran variabel-variabelnya dilakukan hanya satu kali, pada satu saat (Sastroasmoro, dan Ismael, 1995).

A. Identifikasi Variabel

Adapun variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut : 1. Variabel tergantung : Kecemasan

2. Variabel bebas : Kecerdasan Emosi

B. Definisi Operasional

Pada penelitian ini variabel penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Kecemasan

Kecemasan selalu melibatkan komponen psikis (afektif, kognitif, perilaku) dan biologis (somatik, neurofisiologik) yang nantinya menimbulkan gangguan pada proses pikir, konsentrasi, belajar, persepsi sehingga menimbulkan hendaya dalam kehidupan mereka yang masih belajar (Kusningsih, 1994).

Spielberger (dalam Nugraheni, 2005) mengutarakan bahwa ada dua komponen utama dari tes kecemasan adalah kecemasan, yaitu efek kognitif


(62)

tentang konsekuensi dari kegagalan dan emosional, yaitu reaksi dari kegugupan yang muncul secara otomatis dan menimbulkan stress tertentu.

Pengukuran tingkat kecemasan dengan menggunakan instrumen TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale) yang disusun dan dikembangkan oleh Taylor (1951, 1953). Dalam penelitian sebelumnya oleh Sudiyanto (dalam Osman, 2008) mempunyai validitas dan reliabilitas yang tinggi dengan nilai batas pemisah skor 22/23, sensitivitas TMAS cukup tinggi yaitu 90%, spesivitasnya 95%, nilai ramal positif 94,7%, nilai ramal negatif 90,4%, dengan reliabilitas r=0,86.

Pengukuran ini terdiri dari jawaban “ya” dan “tidak”, dimana penilaian untuk setiap jawaban “ya” dinilai dengan skor 1 dan untuk jawaban tidak dinilai dengan skor 0. Penilaian kecemasan dinilai dengan menjumlahkan jawaban “ya”. Skor total adalah 50.

2. Kecerdasan Emosi

Kecerdasan emosi adalah kemampuan yang mencakup memantau perasaan diri sendiri atau orang lain, pengendalian diri, mampu membaca dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif, menguasai kebiasaan pikiran yang dapat mendorong produktifitas dan mampu mengelola emosi yang dapat digunakan untuk membimbing pikiran dan tindakan yang terarah. Kecerdasan emosi dalam penelitian ini diungkap menggunakan skala kecerdasan emosi yang disusun berdasarkan aspek-aspek menurut Goleman (2007) yang meliputi: mengenali emosi diri (sadar diri), mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati), membina hubungan dengan orang lain.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, N. dan Siregar, I. M. 2002. Anxietas-GAD konsep diagnosis dan penatalaksanaan mutakhir. Jakarta: Yayasan penerbitan IDI

Adrian, D. 2009. Penyesuaian Diri Terhadap Ambang Masa Pensiun. http://www.psikomedia.com/art/artikel.php?id=2

Ahmadi, A dan Umar, M. 1982. Psikologi Umum (edisi revisi). Surabaya: PT Bina Ilmu

Amir, N. 2004. Pengembangan Instrumen Kecemasan Olah Raga. Anima, Indonesian Psychological Journal 2004, Vol. 20, No. 1, 55-69

Kompas. 2006. Juara IV Olimpiade Fisika Jateng Tidak Lulus UN http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=CwYFAAACBVJR Azwar, S. 1998. Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.

________. 2008. Pengukuran Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.

Bastian, V. A. 2005. Are The Claim Of Emotional Intelligence Justified? Emotional Intelligence Predicts Life Skills, But Not As Well As Personality And Cognitive Abilities. http:// digital.library .adelaide. edu.au/dspace/handle/2440/37831

Berrocal, P. dkk. 2006. The Role of Emotional Intelligence in Anxiety and Depression among Adolescents. Individual Differences Research, 2006, 4(1). University of Malaga and University of California, Irvine: IDR Publishing Ltd. Co. www.idr-journal.com

Bradberry dan Graves, 2009. The Way of Emotional Quotient for Your Better Life. Yogyakarta: Penerbit Garailmu

Carnegie, D. 2007. Mengatasi Rasa Cemas dan Depresi Guna Meraih Motivasi Kuat Dalam Memulai Hidup. Yogyakarta: Think

Cooper, R. dan Sawaf, A. 2000. Kecerdasan Emosi dalam Kepemimpinan dan Organisasi. Jakarta : Gramedia Putra.

Dwita, A dan Natalia, J. 2002. Pengaruh Musik Terhadap Kecemasan Penderita Katarak Menjelang Operasi. Anima, Indonesian Psychological Jurnal 002. Vol. 17. No 2. 179-195


(2)

Fauziah, N dan Hery. 2006. Dinamika Kecerdasan Emosi Pada Siswa Akeselerasi di SDN Kendangsari Surabaya. Yogyakarta. Jurnal Psikologi UGM Goleman, D. 2007. Kecerdasan Emosional Mengapa EI lebih Penting daripada IQ.

Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Ilmu

Hadi, S. 1995. Metodologi Research jilid III. Yogyakarta: Andi Offset. ______. 2004. Statistik 2. Yogyakarta: Andi Offset

Hasan, D. C. 2009. Sisi Lain dari Ujian Nasional. http:// 202.146.4.119 / read / artikel / 29839

Halim, M. S. dan Atmoko, W. D. 2005. Hubungan Antara Kecemasan Akan HIV/AIDS dan Psychological Well-Being Pada Waria yang Menjadi Pekerja Seks Komersial. Jurnal Psikologi. Vol. 15, No. 1. Maret 2005: Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta

Hurlock, E. B. 1990. Perkembangan Anak (terjemahan Meitasari Tjandrasa dan Muslichan Zarkasi). Jakarta : PT. Gramedia.

Iskandar, H. Y. 1992. Anti Stress And Generalized Anxiety Disorder. Jakarta: PT. Gagas Medicapharma Communications (GMC)

Kaplan dan Sadock. 1994. Kaplan&Sadock Comprehensive Textbook of Psychiatry Seventh Edition. Cooperate Technology Ventures

Kusningsih, dkk. 1994. Hubungan Stressor Psikososial dan Bantuan Sosial dengan Ansietas Pada Remaja Pelajar 2 SLTA di Yogyakarta. Jiwa Majalah Psikiatri, Indon. Psychiat. Quart. XXVII:1:1994.Jakarta. Yayasan Kesehatan Jiwa Dharmawangsa.

Leonni, R dan, Hadi, C. 2007. Bagaimana lebih memahami seorang diri remaja?. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.

Lestari, S dan Purwanto, Y. 2003. Kecerdasan Emosional: Tinjauan Psikoprofetik. Jurnal Kognisi.

Mawandha, H. G. dan Ekowarni, E. 2009. Terapi Kognitif Perilaku dan Kecemasan Menghadapi Prosedur Medis Pada Anak Penderita Leukemia. Jurnal Intervensi Psikologi, Vol. 1, No. 1. Juni 2009. Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Maslim, R. 1991. Diagnosis dan Terapi Sindrom Cemas. Jakarta: PT. Heochst Pharmaceuticals of Indonesia


(3)

Mayer, J. D dan Salovey, P. 2000. Emotional Intelligence. Imagination, Cognition, and Personality. (9) 185-211. http://www.er.uqam.ca

Melianawati dkk. 2001. Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Kinerja Karyawan. Anima, Indonesian Psychological Journal 2001, Vol .17. No. 1, 57-62

Mumtahani, Z. 2008. Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan Remaja. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Skripsi. Tidak diterbitkan.

Nasution, I. K. 2007. Stress Pada Remaja. http:// library.usu.ac.id/ download/ fk/132316815(1).pdf

Nugraheni, S. D, 2005. Hubungan Antara Kecerdasan Ruhaniah Dengan Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Usia Lanjut. Indigenous, Jurnal Berkala Ilmiah Berkala Psikologi Vol. 7, No. 1, Mei 2005: 18-38.

Nugroho, B. A. 2005. Strategi Jitu Memilih Metode Statistik Penelitian dengan SPSS. Yogyakarta: Andi Offset

Nuhriawangsa, I. 2004. Symptomatologi Psikiatri. Surakarta. KPS PPDSI PSIKIATRI, KPS S2 MKK Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Osman, A. Z. Keefektifan Cognitive Behavior Theraphy (CBT) Untuk Menurunkan Tingkat Kecemasan dan Meningkatkan Kualitas Hidup Para Tahanan/Narapidana Penyalahguna NAPZA di Rumah Tahanan Kelas I Surakarta. Tesis, (tidak dipublikasikan). Universitas Sebelas Maret Surakarta

Purboningsih, E.R. 2004. Hubungan Antara Orientasi Locus Of Control Dengan Tingkat Kecemasan. Jurnal Psikologi. Vol. 14. No. 2. September 2004: Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, Jakarta.

Rensburg, M. 2005. The Role of Emotional Intelligence in Music Performance Anxiety. http://etd.uovs.ac.za : University of the Free State

Riani, A. L dan Farida, H, 2006. Pengaruh Kompetensi Utama Kecerdasan Emosional dan Efikasi Diri Terhadap Kenyamanan Supervisor dalam Melakukan Penilaian Kinerja. Jurnal Bisnis dan Manajemen Vol 6 : 43-60


(4)

Rooprai, K. 2009. Role of Emotional Intelligence in Managing Stress and Anxiety at workplace. Proceedings of ASBBS Volume 16 number 1: Gautam Buddha University, Greater Noida (U.P) India

Rostiana. 1997. Peranan Kecerdasan Emosional Dalam Proses Pembelajaran. Jurnal Ilmiah Psikologi “ARKHE” th.2/No.3/1997

Sastroasmoro, S dan Ismael, S. 1995. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Binapura Aksara

Setyonegoro, K. 1993. Anxietas-GAD dan Keluhan Somatik. Jakarta: Yayasan penerbitan IDI

Sitanggang, H. 1994. Kamus Psikologi. Bandung: CV. Armico Bandung

Stein, S. J. dan Book. H. E. 2002. Ledakan EQ, 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses. Bandung: Kaifa

Sudiyanto, A. 2005. Keefektifan Psikoterapi Untuk Menurunkan Skor Kecemasan Pasian Gangguan Anxietas. Indigeous, Jurnal Berkala Ilmiah Berkala Psikologi. Vol. 7. No. 2. Nopember 2005.: 158-170

Sulistyana, Y. S. 2009. Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Tingkat Kecemasan Pada Mahasiswa Angkatan 2006 Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta. Skripsi. Tidak diterbitkan.

Suryabrata, S. 2003. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali Perss __________ . 2004. Psikologi Pendidikan. Jakarta. Rajawali Perss

Suryanti, V dkk. 2002. Pengaruh Pelatihan Emotional Literacy Terhadap Kecerdasan Emosional Remaja. Surabaya. Anima, Indonesian Psychological Journal 2002, Vol. 17, No. 3, 243-256

Susilawati. 2004. Kecerdasan Emosional dan Keefektifan Kepemimpinan Dalam Membentuk Iklim Kerja. Majalah Ekonomi Tahun XII No. 2, Agustus 2002.

Syahraini, K dan Rohmatun. 2007. Kecerdasan Emosional dan Kecemasan Pramenopause pada Wanita di RW IV dan XI Kelurahan Gebang Sari Semarang. Jurnal Psikologi Proyeksi, Volume 2, Nomor 1, Februari 2007

Syamsulhadi, M. 1996. Ilmu Penyakit, Jiwa Gangguan Kecemasan. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Surakarta


(5)

Tjundjing, S. 2001. Hubungan antara IQ, EQ, dan AQ dengan Prestasi Studi Pada Siswa SMU. Surabaya. Anima Indonesian Psychological Journal 2001, Vol 17. No. 1, 69-92

Trismiati. 2004. Perbedaan Tingkat Kecemasan Antara Pria dan Wanita Akseptor Kontrasepsi Mantap Di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Jurnal PSYCHE22 Vol. 1 No. 1, Juli 2004

Uyanto, S. 2006. Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Yogyakarta: Graha Ilmu Yen, L dan Atmadji, G. 2003. Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan

Prestasi Kerja Distributor Multi Level Marketing (MLM). Indonesian Psychological Journal. Vol 19, No. 2. 187-194

Yusof, Y dan Pelajar, J. H. 2005. Kecerdasan Emosi. Jurnal Akademik MPTAR tahun 2005. http:// www.iptar.edu.my / iptarrd / pdf / JA2005.pdf.


(6)