BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Udang merupakan sumber protein hewani yang bermutu tinggi dan produksinya mampu menambah devisa bagi negara dari sektor perikanan. Secara komersial
budidaya udang di Indonesia telah dilakukan sekitar tahun 1980 kemudian pada tahun 1984 mulai dibudidayakan secara intensif yang diawali di Jawa Timur. Produksi
udang terus bertambah seiring dengan meningkatnya permintaan konsumen dunia terutama dari negara-negara Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa Barat.
Meningkatnya jumlah produksi udang Indonesia telah membawa nama negara ini sebagai salah satu negara terbesar pengekspor udang di dunia setelah Thailand,
Equador, India, dan RRC. Adapun jenis udang yang dikembangkan hampir 80 berasal dari famili Penaeidae yaitu Pacific White Shrimp dan Giant Tiger Prawn
Wickins Lee 2002.
Pada tahun 1992 produksi udang di Indonesia mengalami penurunan secara
dramatis yaitu dari 140.000 mt tahun 1991 menjadi 80.000 mt tahun 1993. Hal ini
mungkin disebabkan manajemen air yang tidak baik Supriyadi Rukhyani 1992 sehingga dapat meningkatkan terjadinya serangan penyakit. Salah satu penyakit yang
menyerang udang adalah penyakit vibriosis yang disebabkan oleh beberapa bakteri Vibrio sp.
Penyakit vibriosis tahun 1991 telah menyerang larva udang di Indonesia dan mengakibatkan penurunan produksi larva hingga 70 yang menyebabkan kerugian
mencapai US 85 juta. Berbagai metode dilakukan untuk pencegahan dan penanggulangan penyakit vibriosis. Salah satu cara dengan menggunakan antibiotik
dan makanan yang berkualitas. Namun residu antibiotik serta makanan yang
Universitas Sumatera Utara
digunakan mampu bertahan dalam lingkungan perairan setelah digunakan beberapa bulan dan berpotensi sebagai pencemar Le et al. 2005, dapat mempengaruhi
komunitas mikroba di lingkungan sekitarnya, kualitas produk udang, dan mengawali terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik sehingga menyebabkan penurunan
efisiensi antibiotik dalam mengatasi infeksi pada hewan maupun manusia Hektoen et al. 1995; Tendencia et al. 2001. Individu-individu yang bersifat resisten terhadap
antibiotik diasosiasikan dengan penggunaan antibiotik McPhearson et al. 1991.
Hasil riset menyatakan bahwa bakteri resisten terhadap trimetropim dan sulfametoksazol sering ditemukan antara lain pada area tambak udang di Vietnam
Le et al. 2005, India Manjuhsa et al. 2005, dan beberapa tambak udang di Philipina Tendencia et al. 2001. Baticados 1990 melaporkan bahwa strain
luminous dari Vibrio harveyi dan V. splendidus yang diisolasi dari larva udang memiliki resistensi terhadap eritromisin, kanamisin, penisillin G, dan streptomisin.
Kehadiran antibiotik di lingkungan aquatik dapat menyebabkan resistensi pada bakteri patogen maupun non patogen dan bakteri yang telah resisten juga
mampu mentransfer gen-gen resisten terhadap mikroba yang berada disekitarnya. Sebagai contoh ketika terjadi wabah penyakit kolera di Equador tahun 1991. Penyakit
ini mulai mewabah dari para pekerja di tambak udang, dimana multi-drug resisten hadir dalam vibrio non-kolera yang patogen terhadap udang. Strain V. cholera 01
yang semula peka terhadap 12 agens antimikrobial di Equador menjadi resisten terhadap berbagai antibiotik. Gen resisten ini telah ditransfer terhadap V. cholera 01
dari vibrio lain yang resisten Defoirt et al. 2007; Angulo 1999; Weber et al. 1994.
Sumatera Utara merupakan salah satu propinsi pengekspor udang dengan luas area tambak seluas 20.000 ha namun sekitar tahun 2005-2006 pernah mengalami
kegagalan ekspor ke Eropa. Hal ini disebabkan produk udang yang mengandung residu antibiotik nitrofurans, kloramfenikol, malachite green, dan bakteri V.
Universitas Sumatera Utara
parahaemolyticus Kusman 2007
1.2 Perumusan Masalah