BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Upaya kesehatan merupakan kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi
masyarakat dan tempat yang digunakan untuk menyelenggarakannya disebut sarana kesehatan. Sarana kesehatan berfungsi melakukan upaya kesehatan dasar, kesehatan
rujukan dan upaya kesehatan penunjang. Konsep upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan promotif, pencegahan penyakit preventif,
penyembuhan penyakit kuratif serta pemulihan kesehatan rehabilitatif ini menjadi pedoman dan pegangan bagi semua fasilitas kesehatan di Indonesia termasuk rumah
sakit. Rumah sakit adalah salah satu sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk tenaga pendidikan
kesehatan. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 tahun 2009 tentang rumah
sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karateristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan
kesehatan, kemajuan teknologi dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh
masyarakat agar terwujudnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Pedoman organisasi rumah sakit menyatakan bahwa rumah sakit harus melaksanakan beberapa
fungsi, satu diantaranya adalah fungsi menyelenggarakan pelayanan penunjang medis yaitu pelayanan kefarmasian.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 1197 tahun 2004 tentang standar pelayanan farmasi di rumah sakit, menyatakan bahwa pelayanan kefarmasian sebagai
bagian integral dari pelayanan kesehatan mempunyai peran penting dalam mewujudkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada
pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu dan termasuk pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi semua
lapisan masyarakat. Apoteker sebagai bagian dari
tenaga kesehatan mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam mewujudkan pelayanan kefarmasian yang berkualitas. Suatu pelayanan kefarmasian yang baik
harus menyelenggarakan suatu sistem jaminan mutu sehingga obat yang didistribusikan terjamin mutu, khasiat, keamanan dan keabsahannya sampai ke tangan
konsumen. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 1197 tahun 2004 tentang standar
pelayanan farmasi di rumah sakit, menyatakan bahwa tujuan pelayanan kefarmasian adalah
melangsungkan pelayanan kefarmasian yang optimal baik dalam keadaan
biasa maupun dalam keadaan gawat darurat yang sesuai dengan keadaan pasien maupun fasilitas yang
tersedia, menyelenggarakan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan prosedur kefarmasian dan etik profesi, melaksanakan KIE Komunikasi
Informasi dan Edukasi mengenai obat, menjalankan pengawasan obat berdasarkan
aturan-aturan yang berlaku, melakukan dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa,
telaah dan evaluasi pelayanan, mengawasi dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa,
telaah dan evaluasi pelayanan serta mengadakan penelitian di bidang farmasi dan peningkatan
metoda.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2005 tentang kebijakan obat nasional, obat merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap
untuk digunakan untuk memengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan kesehatan dan kontrasepsi. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia
No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, obat adalah bahan atau paduan bahan,
termasuk produk biologi yang digunakan untuk peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia.
Menurut Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia 2008, menyatakan bahwa instalasi farmasi rumah sakit adalah bagian di rumah sakit yang bertanggung jawab penuh dibidang pengelolaan perbekalan farmasi
di rumah sakit yang di kepalai oleh apoteker yang memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kompeten secara profesional serta dibantu
oleh beberapa tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan. Kegiatan pekerjaan kefarmasian di rumah sakit tidak lepas dari kegiatan
manajemen obat. Manajemen obat merupakan komponen yang penting dalam pengobatan paliatif, simptomatik, preventif dan kuratif terhadap penyakit serta
berbagai kondisi. Manajemen obat mencakup sistem dan proses yang digunakan rumah sakit dalam memberikan farmakoterapi kepada pasien. Adapun unsur tahapan
dalam manajemen obat adalah perencanaan obat, pengadaan obat, penyimpanan obat dan pendistribusian obat serta menjamin kualitas pelayanan yang berhubungan
dengan penggunaan obat Aditama, 2003.
Universitas Sumatera Utara
Manajemen obat di instalasi farmasi rumah sakit merupakan salah satu aspek yang menentukan untuk suksesnya program pengobatan secara rasional di rumah
sakit, serta
merupakan aspek
penting karena
ketidakefektifannya dan
ketidakefisiennya akan memberi dampak negatif terhadap rumah sakit, seperti biaya operasional rumah sakit dan keberhasilan manajemen obat di suatu rumah sakit secara
keseluruhan Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2010. Berdasarkan
penjelasan di
atas mengenai
ketidakefektifannya dan
ketidakefisiennya suatu manajemen obat di rumah sakit akan memberi dampak yang negatif terhadap salah satunya biaya operasional rumah sakit karena biaya untuk
penyediaan obat merupakan komponen terbesar dari pengeluaran rumah sakit, hal ini mengingat dana kebutuhan obat di rumah sakit tidak selalu sesuai dengan kebutuhan.
Kondisi ini tentunya harus disikapi dengan sebaik-baiknya karena di banyak negara berkembang belanja obat di rumah sakit dapat menyerap sekitar 40-50 biaya
keseluruhan rumah sakit Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2008. Maka saat ini pada tataran global telah dirintis program tata kelola obat yang
baik di sektor farmasi. Indonesia termasuk salah satu negara yang berpartisipasi dalam program ini bersama 19 negara lainnya. Pemikiran tentang perlunya tata kelola
obat yang baik di sektor farmasi berkembang mengingat banyaknya praktek ilegal di lingkungan kefarmasian mulai dari percobaan klinis, riset dan pengembangan,
Universitas Sumatera Utara
registrasi, pendaftaran, paten, produksi, penetapan harga, pengadaan, seleksi, distribusi, pemalsuan data, keamanan dan transportasi. Maka dari itu pelaksanaan
manajemen obat yang efektif dan efesien merupakan salah satu cara untuk meningkatkan efesisensi dan efektifitas anggaran yang tersedia, mengurangi beban
biaya bagi rumah sakit maupun pasien dan meningkatkan cakupan serta mutu pelayanan kefarmasian yang akan bermanfaat bagi peningkatan mutu pelayanan
rumah sakit Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2008. Rumah Sakit Haji merupakan salah satu rumah sakit yang ada di Kota Medan.
Sejak bulan Desember tahun 2011 Rumah Sakit Haji dikelola oleh pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Rumah Sakit Haji memiliki beberapa unit-unit dalam
pemberian pelayanan kesehatan. Instalasi farmasi merupakan salah satu unit yang memberikan pelayanan kesehatan, berupa pemberian obat bebas atau pemberian obat
dengan resep dari dokter, pengolahan obat racikancampuran, penyimpanan perbekalan berupa obat jadi dan bahan habis pakai serta bahan obat dan alat
kesehatan yang dibutuhkan oleh rumah sakit termasuk pasien rawat inap yang ada di rumah sakit atau pasien yang melakukan rawat jalan. Karyawan di Instalasi Farmasi
Rumah Sakit Haji Medan berjumlah 17 orang, yaitu 12 orang di bagian instalasi farmasi, 2 orang di bagian administrasi dan 3 orang di bagian gudang obat.
Penelitian tentang gambaran pelaksanaan manajemen obat di instalasi farmasi rumah sakit telah banyak dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Pamungkas 2011,
tentang pengendalian intern persediaan obat untuk pasien dinas di Rumah Sakit
Universitas Sumatera Utara
Tingkat II Dr. Soedjono Magelang. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa struktur organisasi Rumah Sakit Tingkat II Dr. Soedjono Magelang khususnya bagian
instalasi farmasi berbentuk fungsional yang terdiri atas fungsi gudang, fungsi pembelian, fungsi akuntasi dan fungsi bendahara. Penetapan wewenang dan tanggung
jawab kepada anggota sudah sesuai dengan kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya.
Penelitian yang dilakukan oleh Astuti 2011, tentang evaluasi proses operasional manajemen obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Banyumanik
Semarang. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa perencanaan dibuat sendiri oleh kepala instalasi farmasi rumah sakit dengan menggunakan metode konsumsi,
belum ada Panitia Farmasi dan Terapi PFT, belum ada pedoman khusus untuk perencanaan, pengadaan obat dengan cara pembelian langsung dari Pedagang Besar
Farmasi PBF, pengadaan tidak terencana, sistem penyimpanan First Expired date
First Out FEFO dan First In First Out FIFO dan disusun alphabetis, ditemukan
Turn Over Ratio TOR obat rendah, adanya stok mati 5,6, obat kadaluarsa 5 dan1, nilai stok akhir obat masih tinggi 45,52-54,94, distribusi menggunakan
metode kombinasi, persentase obat yang tidak bisa dilayani tinggi dan penggunaan obat cenderung tidak rasional.
Berdasarkan studi pendahuluan dalam bentuk wawancara dengan kepala instalasi farmasi dan kepala gudang farmasi di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Haji
Medan didapat bahwa pelaksanaan manajemen obat yang belum optimal, seperti: 1 instalasi farmasi tidak melaksanakan perencanaan obat, tim perencanaan obat tidak
terpadu dan tidak memiliki jadwal kegiatan penyusunan rencana kerja operasional
Universitas Sumatera Utara
sehingga ketika melakukan perencanaan obat berdasarkan perintah dari kepala instalasi farmasi; 2 instalasi farmasi dari segi pengadaan obat sering terjadi
kekosongan obat, yaitu obat yang dipesan untuk pasien rawat inap dan rawat jalan tidak tersedia sehingga pasien rawat inap dan rawat jalan harus membeli obat ke
apotek luar; 3 gudang penyimpanan obat belum sesuai dengan persyaratan kefarmasian rumah sakit seperti ruangan sempit, ventilasi yang belum memadai,
jendela yang tidak ada, rak yang masih kurang untuk penyimpanan dan penyusunan obat serta sarana penyimpanan yang belum lengkap; 4 pendistribusian obat yang
tidak teratur karena kekosongan obat sering terjadi pada pasien rawat inap dan rawat jalan ; 5 tidak ada tupoksi kerja karyawan, sehingga ketika karyawan melaksanakan
kerja tidak sesuai dengan bidang yang dimilikinya; 6 struktur organisasi yang dimiliki oleh instalasi farmasi belum memenuhi standar dan; 7 pengaturan kerja
karyawan belum sesuai dengan beban kerja yang ada, terlihat pada jumlah resep yang harus dilayanani rata-rata 250 resep setiap harinya dengan jumlah karyawan 3
–5 orangshiftnya. Dampak dari pelaksanaan manajemen obat yang belum optimal yaitu
banyak pasien atau keluarga pasien yang mengeluh terhadap pelayanan di instalasi farmasi seperti, lamanya dalam waktu pelayanan resep sehingga banyak pasien rawat
jalan yang mengantri lebih dari setengah jam, pengantaran obat untuk pasien rawat inap lama dan keluhan yang berkaitan dengan instalasi farmasi terhadap
ketidaktersediaannya obat-obat yang diresepkan oleh dokter. Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul ”Gambaran pelaksanaan manajemen obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Haji Medan
”.
Universitas Sumatera Utara
1.2 Perumusan Masalah