Tradisi kudangan perkawinan Betawi dalam perspektif hukum Islam (studi kasus Kelurahan Benda Baru Kec. Pamulag)

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

MUHASIM

204044103048

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL ALSYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIFHIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

TRADISI KUDANGAN PERKAWINAN BETAWI

DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

(STUDI KASUS KELURAHAN BENDA BARU KEC. PAMULANG)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk memenuhi persyaratan memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh : MUHASIM 204044103048 Di bawah bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag 197 112 121 995 031 001

Kamarusdiana, S.Ag, M.H 197 202 241 998 031 003

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL ALSYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIFHIDAYATULLAH

J A K A R T A


(3)

telah diujikan dalam munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 10 Desember 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah (Peradilan Agama).

Jakarta, 10 Desember 2009 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syari'ah dan Hukum

Prof. DR. H.Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP 195 505 051 982 031 012

Panitia Ujian

1. Ketua : Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM (...)

NIP 195 505 051 982 031 012

2. Sekretaris : Drs H. Ahmad Yani, MAg (...)

NIP 196 404 121 994 031 004

3. Pembimbing I : Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag (...)

NIP 197 112 121 995 031 001

4. Pembimbing II : Kamarusdiana, S.Ag, MH (...)

NIP 197 202 241 998 031 003

5. Penguji I : Drs H. Ahmad Yani, MAg (...)

NIP 196 404 121 994 031 004

6. Penguji II : Dr. Alimin, M.Ag (...)


(4)

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beserta salam senantiasa melimpah kepada Nabi Muhammad SAW, pembawa syari’ah-Nya yang universal bagi semua manusia dalam setiap waktu dan tempat sampai akhir zaman.

Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis jumpai, namun syukur Alhamdulillah berkat Rahmat dan Hidayah-Nya, kesungguhan, kerja keras dan kerja cerdas disertai dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik yang langsung maupun tidak langsung, segala kesulitan dapat teratasi dengan sebaik-baiknya yang pada akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.

Oleh sebab itu, sudah sepantasnyalah pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak. Prof. Dr. H. Amin Suma. SH. MA. MM., sebagai Dekan Fakultas

Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak. Drs. H. A. Basiq Jalil. SH. MA, sebagai Ketua Program Studi

Ahwal al Syakhshiyyah Fakultas Syaria’ah dan Hukum.

3. Bapak Dr H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag dan Bapak Kamarusdiana,

S.Ag.M.A sebagai dosen pembimbing dengan kesabaran yang tulus


(5)

4. Bapak Drs. Djawahir Hejazziey. SH. MA., dan Bapak. Drs. Ahmad Yani, M. Ag., sebagai Ketua Kortek dan sekertaris Kortek program Non Reguler, penulis banyak mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya yang senantiasa sabar memberikan banyak masukan serta do’a yang tak kunjung henti, semoga Allah SWT membalas dengan ganjaran yang berlipat. (Amiiin)

5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen pada lingkungan Ahwalul Syakhshiyyah

Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku kuliah.

6. Segenap jajaran Staf dan Karyawan Akademik Perpustakaan Fakultas dan

Perpustakaan Pusat Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.

7. Ucapan terimakasih penulis haturkan secara khusus kepada kedua orang

tua ku Bapak Mitar dan Ibu Asenih, yang senantiasa memberikan dukungan penuh baik berupa materil maupun spirituil, dan selalu mengiringi setiap langkah ku dengan do’a yang tulus ikhlas, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang perguruan tinggi.

8. Ucapan terima kasih sedalam-dalamnya kepada Tiwi calon istriku yang

selalu memotifasi diriku dalam pembuatan skripsi ini.


(6)

  iii

9. Tidak terlupa kuucapkan terimakasih pada teman-teman ku; Achdi

Gufron, Mirzan, Jaenuddin, Agus Khaeroni, Ma’mun, Aldy, Benny, Sammy dan semua rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah membimbing dan membantu penulis mendapat balasan yang berlimpah ruah dari Allah SWT. Dan semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis dan

pembaca pada umumnya. Jazakumullah Khairon Katsiiron

Jakarta, 23 November 2009 M 06 Djulhijjah 1430 H


(7)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli

saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta , 30 November 2009


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Review Studi terdahulu ... 7

E. Metodelogi Penelitian ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM ISLAM A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan ... 13

B. Rukun dan Syarat Perkawinan ... 20

C. Tujuan dan Hikmah Perkawinaan ... 23

D. Segi-segi ta`abudi dalam pemberian mahar dan harta bawaan 25

BAB III KONDISI OBYEKTIF DESA BENDA BARU A. Keadaan Geografis Desa Benda Baru ... 32

B. Keadaan demografis Desa Benda Baru ... 34


(9)

v

BAB IV PERSPEKTIF HUKUM TENTANG TRADISI KUDANGAN DALAM PERKAWINAN ADAT BETAWI

A. Hakekat Perkawinan Adat Betawi ... 41

B. Tradisi Kudangan Perkawinan Adat Betawi ... 43

C. Dampak Negatif dan Positif dari Pemberian Kudangan ... 50

D. Perspektif Hukum Islam dalam Pemberian Kudangan ... 51

E. Analisis ... 55

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 60

B. Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 62


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam Undang-undang No.l Tahun 1974 tentang perkawinan Bab I pasal 1 ditegaskan bahwa, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa”1 dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) bab II Pasal 2 disebutkan bahwa" Perkawinan menurut hukum Islam, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqah gholidhah untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah.” Lebih lanjut dalam KHI pasal 3 dinyatakan bahwa, “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”.2 Dalam persepsi lain, Dr. Musa Subaiti mendefinisikan keluarga sebagaimana keluarga Nabi Muhammad SAW yang menanamkan ajaran-ajaran yang membimbing menuju kebahagian yang diimpikan oleh semua orang, lebih dari itu dapat mengambil faedah dari akhlak yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.3

1

Abdul Rahman, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan, (Jakarta; Akademika Preside, 1986) h. 12

2

Departemen Agama Rl, Kompilasi Hukum Islam Inpres RI No. 7, (Jakarta; Departemen AgamaRI2001)h.7

3

Mussa Subaiti, Akhlak Keluarga Nabi Muhammad SAW.(Jakarta Lentera, 1996)


(11)

Perkawinan merupakan suatu ketentuan yang menjadikan sunahtullah bagi manusia yang berlaku universal bagi seluruh mahluknya yang bernyawa. Islam memandang perkawinan tidak sekedar wahana bertemunya dua insan yang berbeda jenis dan tidak pula sekedar sarana pemuas nafsu yang membara dalam setiap manusia. Islam mempunyai pandangan yang lebih dalam, mendasar dan menuju kepada sarana yang terarah.4

Perkawinan adalah suatu perbuatan yang dilakukan sejak zaman nabi Adam AS, dan dilakukan manusia secara turun temurun. Hal itu dikarenakan perkawinan merupakan salah satu pokok kebutuhan manusia yang dituntut secara naluri, selain itu perkawinan merupakan jalan mencari kebutuhan dan ketentraman jiwa.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ar-Rum ayat 21 :

)

ﺮﻟا

و

م

:

21

(

Artinya: ''Dan diantara tanda-tanda kebesaran karunia-Nya (Allah) dikaruniakannya bagimu dari jenismu sendiri pasangan hidup (istri / suami) agar kamu merasa tentram dengannya.... " (Q.S. Ar-Rum: 21)

4


(12)

3

Dari ayat di atas dapat kita fahami bahwa perkawinan merupakan sunahtullah yang memang menjadi kebutuhan hidup untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat.5

Dalam masyarakat dan kebudayaan Betawi, perkawinan merupakan saat yang dianggap penting dalam lingkungan individu anggota masyarakatnya. Oleh karena itu perkawinan adalah salah satu peristiwa sangat penting dalam kehidupan masyarakat, terutama pada masyarakat Betawi. Itu dilihat dari persiapan mulai dari acara sebelum perkawinan ataupun setelah perkawinan diatur sedemikian rupa. Perkawinan menandai suatu saat peralihan dari usia remaja ketingkat hidup yang lebih dewasa dan bertanggunga jawab yaitu dengan membentuk keluarga.

Masyarakat Betawi adalah suatu masyarakat yang mendiami daerah Jakarta pada masa mulai berdirinya Jayakarta akibat takluknya Bangsa Portugis, wilayah Batavia pada mulanya hanya berkisar pada daerah yang menurut Ridwan Saidi hanya sekitar kali sentries.6

Namun kini Jakarta semakin di perluas dengan melalui beberapa

pemekaran wilayah, saat ini wilayah Jakarta meliputi Jakarta Pusat, Jakarta Utara sampai Kepulauan Seribu, Jakarta Timur sampai perbatasan Bekasi, Jakarta Barat sampai perbatasan Tangerang, dan Jakarta Selatan berbatasan dengan kotip Depok.

5

Departemen Agama, Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Jakarta; CV. Indah Press, 1996)

6


(13)

Dalam pemetaan budaya Betawi secara geografis, sangat berkaitan erat dengan penentuan batas wilayah pemakaian bahasa Betawi, pemetaan bahasa dilakukan berdasarkan anggapan bahwa wilayah biasanya identik dengan wilayah budaya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa seni Betawi tumbuh dan berkembang pula di wilayah bahasa/budaya melayu sekitar wilayah DKI Jakarta.

Kesamaan dalam bahasa tersebut juga merupakan kesamaan dalam tradisi masyarakat seperti dalam makanan tradisional, seni tari, seni pencak silat dan musik, bahkan adat budaya.7

Kebudayaan masyarakat Betawi yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan-kebudayaan asing seperti kebudayaan Arab, Cina, dan Belanda, ataupun kebudayaan - kebudayaan yang masuk dari wilayah Indonesia itu sendiri seperti Makasar, Sunda, Jawa hanya menjadi corak berorentasi kepada etika Islam.8

Tradisi perkawinan di kalangan masyarakat Betawi itu sudah ada sejak abad lampau adanya masyarakat Betawi, budaya dan tata tertib perkawinan dipertahankan oleh anggota masyarakat dan para pemuka terdahulu. Perkawinan dalam masyarakat Betawi dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu tahap sebelum perkawinan, saat perkawinan dan sesudah perkawinan. Acara sebelum perkawinan seperti peminangan, peminangan dalam masyarakat Betawi dianggap

7

Sarjomihardjo Abdul Rahman, Sejarah Perkembangan Kota Jakarta,(Jakarta: Dinas Musium dan Sejarah, 1997) h. 64

8

Poeponoto, Sebakti, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta, Pradya Paramita, 1983), h. 18


(14)

5

suatu hal yang sangat penting. Sedangkan yang dilakukan acara pelaksanaan terdiri dari seserahan, pesta perkawinan dan malam-malam hiburan. Tahapan yang terakhir acara setelah perkawinan seperti syukuran tiga hari perkawinan dengan mendatangi keluarga dari pihak laki-laki.

Namun ada yang berbeda dalam tradisi perkawinan adat Betawi, dimana ada tradisi kudangan yaitu salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pihak laki – laki yang akan menikahi seorang perempuan, permintaan pihak perempuan tersebut bersumber dari orang tua pihak perempuan ketika perempuan tersebut masih kecil meminta sesuatu kepada orang tuanya tetapi orangnya tidak dapat memenuhinya, maka timbullah suatu ucapan atau perkataan dari orang tua perempuan untuk memberikannya ketika ia akan nikah nanti, yang menjadi permasalahan yaitu apakah kudangan dapat dikategorikan sebagai mahar.9

Dalam istilah ahli fiqih mahar adalah pemberian wajib yang diberikan oleh calon suami kepada calon istrinya yang merupakan tanda persetujuan dan kerelaan dari mereka untuk hidup sebagai suami istri.

Dari permasalahan tersebut di atas dapat timbul suatu pertanyaan, Apakah status hukum yang terdapat dalam kudangan tersebut, oleh karena itu, dalam skripsi ini penulis memilih judul “TRADISI KUDANGAN PERKAWINAN

BETAWI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM”.(STUDI KASUS

KELURAHAN BENDA BARU KEC. PAMULANG)

9

Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1974), h. 81.


(15)

B. Pembatasaan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Dari uraian di atas, tergambar dengan jelas bahwa inti pembahasan skripsi ini adalah status hukum dari tradisi kudangan pekawinan adat Betawi dalam tinjauan hukum Islam.

Untuk memfokuskan pembahasan tersebut, penulis merasa perlu menegaskan batasan-batasan masalahnya, sehingga diharapkan tidak terjadi kesalahpahaman antara penulis dan pembaca pada umumnya.

Pertama, tentang hukum Islam, sebagaimana tertulis dalam judul skripsi ini. Hukum Islam yang dimaksud oleh penulis adalah setiap ketentuan agama yang datang dari Allah SWT, baik secara langsung ataupun tidak langsung, yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf dalam suatu bentuk keharusan, pilihan atau wadl’i, karena itu yang termasuk dalam pengertian hukum Islam disini adalah syari’at dan fiqh.10

Kedua, tentang kudangan. Pengertian kudangan pada skripsi ini adalah ucapan atau janji orang tua wanita terhadap anaknya ketika wanita tersebut masih kecil, untuk memberikan sesuatu yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki yang mau melamarnya.

2. Perumusan Masalah

10


(16)

7

Untuk mempertegas arah pembahasan dalam skripsi ini hingga sampai kepada suatu kesimpulan yang akurat, Maka pembahasannya dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimana tradisi kudangan menurut hukum Islam ? b. Apakah dapak positif dan negatif dari kudangan tersebut? c. Apakah kudangan dapat dikategorikan sebagai mahar?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian dalam karya tulis ini mempunyai tujuan;

1. Untuk mengetahui tentang tinjauan hukum Islam terhadap tradisi kudangan perkawinan Betawi.

2. Untuk mengetahui dampak positif dan negatif dari pemberian kudangan. 3. Untuk mengetahui sejauhmana kudangan dapat dikategorikan sebagai mahar.

Sedangkan kegunaan penulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dari sisi:

1) Akademis, sebagai referensi dalam mempelajari dan mengamati tradisi adat Betawi, khususnya dalam perihal perkawinan.

2) secara praktis, memberikan rangsangan kepada umat Islam, Alim ulama dan khususnya masyarakat Betawi untuk mengkaji lebih jauh lagi mengenai tradisi perkawinan adat Betawi, serta dapat dijadikan bahan acuan dan perbandingan dalam hukum nasional.


(17)

No Judul Skripsi Pengarang Pokok pembahasan Perbedaan 1 2 3

Pandangan hukum Islam terhadap resepsi

perkawinan adat

Betawi(studi kasus desa kenanga Kec.Cipondoh) Walimatul`urs perkawinan adat Betawi(Studi kasus daerah Bekasi Barat)

Tinjauan hukum Islam terhadap Khutbah nikah(Studi kasus disetu Babakan kelurahan Srengseng Sawah) Ahmad Fadilah Arpah Andy Pathoni Ruang lingkup adat Betawi dalam resepsi perkawinan Acara pelaksanaan resepsi pada perkawinan adat Betawi Membahas tradisi dua khutbah penyerahan dan penerimaan Masalah harta bawaan yang diberikan kepada pihak wanita Harta bawaan yang diminta oleh pihak wanita Permintaan pihak wanita kepada pihak laki-laki

Dari beberapa judul skripsi di atas, sudah jelas berbeda pembahasannya dengan skripsi yang akan dibahas oleh penulis. Pembahasan dari skripsi di atas hanya membahas pandangan hukum Islam terhadap acara resepsi pernikahan adat Betawi, sedangkan penulis akan membahas permintaan atau syarat pihak perempuan yang akan dinikahi oleh pihak laki-laki.

E. Metodelogi Penelitian

1. Jenis Pendekatan Penelitian

Mengingat kajian ini bersifat ilmiah dan dituangkan dalam bentuk skripsi, penulis berusaha mendapatkan data yang akurat dan bukti-bukti yang benar. Untuk itu penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan penelitian secara antropologi hukum yaitu dengan melihat secara


(18)

9

langsung kehidupan masyarakat Pamulang kelurahan Benda Baru, yang melakukan kudangan dalam perkawinan adat Betawi.

2. Sumber data

Lazimnya sebuah penelitian dapat dibedakan antara data yang diperoleh dari lapangan dan dari bahan perpustakaan, antara lain sebagai berikut:

a. Data primer atau data dasar adalah data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat baik yang dilakukan secara wawancara, observasi atau yang lainnya.11 Data yang langsung dari sumbernya yakni prilaku masyarakat melalui penelitian, kemudian diamati dan dicatat untuk pertama kalinya oleh peneliti yang berhubungan dengan obyek penelitian yang dihadapi. Contoh yang termasuk dalam data ini adalah sejarah dan letak geografls penelitian.

b. Data sekunder adalah data yang diperoleh atau berasal dari bahan perpustakaan.12 Data ini biasanya untuk melengkapi data primer, mengingat bahwa data primer dapat dikatakan sebagai data praktek yang ada secara langsung dalam praktek dilapangan karena penerapan secara teori.

3. Teknik Pengambilan Data

11

Soejono soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia(UI. Pers), Jakarta 1996, hal 12.

12

P.Joko Subagio, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta 1997, hal 87.


(19)

Teknik pengambilan data yang digunakan untuk penelitian ini meliputi:

a. Wawancara

Wawancara dalam hal ini adalah percakapan yang diarahkan kepada masalah tertentu atau pusat perhatian untuk mendapatkan informasi dengan bertanya langsung pada responden yaitu tokoh-tokoh masyarakat adat Betawi di kelurahan Benda Baru Pamulang tentang tardisi kudangan. b. Observasi

Obsevasi merupakan sebuah proses penelitian secara mendalam untuk mengetahui tradisi perkawinan yang terjadi di masyarakat Betawi setempat yang didalamnya terdapat tradisi kudangan. Untuk observasi penulis menggunakan pedoman observasi dengan tujuan agar penelitian lebih terarah.

c. Studi Dokumentasi

Penelitian dalam hal ini pengumpulan data melalui berkas-berkas, arsip, majalah dan serta dokumentasi penting lainnya yang berhubungan dengan skripsi ini.

4. Metode Analisis Data

Penulis dalam menganalisis data menggunakan metode deskriptif analisis yaitu suatu tehnik analisis data dimana penulis menjabarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara di lapangan. Kemudian menganalisisnya dengan pedoman pada sumber tertulis yang didapatkan dari perpustakaan.


(20)

11

5. Tehnik Penulisan Skripsi

Dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku pedoman skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Tahun 2007.

1. Untuk referensi dari al Qur’an, penulis letakan diawal pada daftar pustaka, urutan berikutnya disusun sesuai abjad.

2. Dalam penulisan kutipan ayat al Qur’an dan terjemahnya, ditulis dengan satu spasi tanpa footnote.

3. Kutipan dari hadits dan terjemahnya ditulis satu spasi dengan footnote hadistnya dan terjemahnya tanpa footnote.

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun berdasarkan buku “petunjuk penulisan skripsi, tesis dan Disertasi” UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulisan ini terdiri dari lima bab.

Adapun perinciannya sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan. Diantaranya meliputi: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Review Studi Terdahulu , Metodelogi Penelitian serta Sistematika Penulisan.


(21)

Bab II Perkawinan Dalam Hukum Islam diantaranya: Pengertian Perkawinan, Rukun dan Syarat Perkawinan, Tujuan dan Hikmah Perkawinaan, Segi-segi ta`abudi dalam pemberian mahar dan harta bawaan

Bab III Kondisi Obyektif Desa Benda Baru meliputi Keadaan Geografis Desa Benda Baru, Keadaan demografis Desa Benda Baru, Keadaan Sosiologis Desa Benda Baru.

Bab IV Perspektif Hukum Tentang Tradisi Kudangan dalam Perkawinan adat Betawi diantaranya, Hakekat Perkawinan Adat Betawi, Pengertian Kudangan Perkawinan Adat Betawi, Dampak Negatif dan Positif dari pemberian Kudangan, Perspektif Hukum Islam tentang Pemberian Kudangan,analisis.


(22)

BAB II

PERKAWINAN DALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan menurut bahasa al-jam’u/ad-Dhomu, mengawinkan atau menggabungkan, sedangkan menurut syara adalah suatu akad yang jelas dan telah mencakupi atas rukun dan syaratnya. Menurut bahasa, nikah berarti penggabungan dan percampuran. Sedangkan menurut istilah syari’at, nikah berarti akad antara pihak laki-laki dan wali perempuan yang karenanya hubungan badan menjadi halal. Nikah berarti akad dalam arti yang sebenarnya dan berarti hubungan badan dalam arti majazi (metafora). Demikian berdasarkan firman Allah SWT berikut ini:

... ...

)

ءﺎ ﻟا

:

25

(

Artinya: ...“Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka...”, (QS. An Nisa : 25)

Jadi, hubungan badan itu tidak boleh dilakukan hanya dengan seizin semata. Di pihak yang lain, Abu Hanifah berpendapat, nikah itu berarti hubungan badan dalam arti yang sebenarnya, dan berarti akad dalam arti majazi.1

1

Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hlm. 1 13


(23)

Dalil yang menjadi landasan pendapat pertama adalah ayat al-Qur’an, bahwa kata nikah itu tidak diartikan kecuali akad, sebagaimana yang ditegaskan az-Zamakhsyari dalam kitabnya, al-Kasysyaf, pada pembahasan awal surat an-Nuur. Namun hal itu bertolak belakang dengan firman Allah Ta'ala ini:

...

⌧ ⌧

)

ةﺮﻘ ﻟا

:

230

(

Artinya:... “Sehingga Ia menikah lagi dengan laki-laki yang lain...” (QS. A1-Baqarah:230)

Adapun tentang makna perkawinan itu secara definisi, masing-masing.2 Ulama Fiqih berbeda mengemukakan pendapatnya antara lain sebagai berikut: a. Ulama Hanafiah, mendefinisikan perkawinan sebagai suatu akad yang

berguna untuk memiliki mut’ah dengan sengaja. Artinya seorang laki-laki dapat menguasai perempuan dengan seluruh anggota badannya untuk mendapatkan kesenangan atau kepuasan;

b. Ulama Syafi’iyah, bahwa perkawinan adalah suatu akad dengan menggunakan lafal nikah atau zauj yang menyimpang arti memiliki wali, artinya dengan perkawinan seseorang dapat memiliki atau mendapatkan kesenangan dari pasangannya;

2

M. Abdul Ghofar E.M., dan Syihk Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Alkautsar, 2001), cet. Ke-1, h. 3-4


(24)

15

c. Ulama Malikiyah, bahwa perkawinan adalah suatu akad yang mengandung arti mut’ah untuk mencapai kepuasan, dengan tidak mewajibkan adanya harga;

d. Ulama Hanabilah, menyebutkan bahwa perkawinan adalah akad dengan menggunakan lafal nikah atau tazwij untuk mendapatkan kepuasan dari seorang perempuan dan sebaliknya.

Dari definisi-definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa hakekat dari pendapat diatas, penulis memahami tidak ada perbedaan arti diantara para ulama fiqh mengenai definisi tersebut. Karena yang menjadi pokok permasalahan adalah “akad” (perjanjian) yaitu serah terima antara calon mempelai wanita dengan calon mempelai pria dan ini terjadi hanya perbedaan redaksinya saja. Secara keseluruhan dapat didifinisikan nikah menurut ulama fiqh adalah akad yang ditetapkan oleh syara untuk diberikan kepada pria, hak penggunaan kehormatan wanita dan seluruh tubuhnya untuk kenikmatan sebagai tujuan primer.3

Perkawinan adalah suatu cara untuk menempuh kehidupan bersama antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang melibatkan berbagai pihak demi melangsungkan ketentraman dan kebahagiaan hidup yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang tercantum dalam pasal 1 sebagai berikut:

3

Ibrahim Husain, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, (Jakarta, Ihiya Ulumu al-Din, 1971), jilid I h. 66


(25)

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”4

Mencermati perkawinan menurut pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974, diatas dapat diambil kesimpulan bahwa unsur-unsur perkawinan itu adalah sebagai berikut:

1) Perkawinan dilakukan oleh dua jenis kelamin yang berbeda, artinya tidak boleh perkawinan di Indonesia satu jenis seperti: laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan. Perkawinan tersebut lebih dikenal dengan istilah gay, homosexual, atau lesbi.

2) Perkawinan berdasarkan agama-agama yang dianut di Indonesia atau dengan kata lain berdasarakan Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh sebab itu tidak ada perkawinan di Indonesia yang dilangsungkan diluar ajaran masing-masing agama pemeluknya.

3) Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.5 Artinya mencapai kebahagiaan untuk selama-lamanya dan tidak diakhiri dengan perceraian, oleh sebab itu haruslah antara pasangan suami istri ada kaitan lahir batin yang sangat dalam, sehingga hak dan kewajiban masing-masing suami istri berjalan sebagaimana mestinya.

4

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam), Jakarta PT. Bulan Bintang 1994, cet. Ke-2, h. 105

5

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tariqan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta ; Prenada Media, 2004), cet ke-2, h. 44


(26)

17

Dari unsur-unsur tadi bahwa pengertian yang terkandung dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974 ini, bersifat umum artinya untuk semua agama yang ada di Indonesia.

Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqah gholidhah untuk mentaati perintah Allah dan melaksankannya merupakan ibadah. Dan tujuannya untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, rahmah.

Jadi prinsipnya pergaulan suami istri itu hendaklah:

a. Pergaulan yang makruf (pergaulan yang baik) yaitu saling menjaga rahasia masing-masing;

b. Pergaulan yang sakinah (pergaulan yang aman tentram);

c. Pergaulan yang mengalami rasa mawaddah (saling mencintai) terutama dimasa muda (remaja);

d. Pergaulan yang disertai rahmah (rasa santun menyantuni) terutama setelah masa tua.6

2. Dasar Hukum Perkawinan

Hukum dasar perkawinan adalah mubah, sesuai dengan firman Allah:

6

Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Jakarta PT. Bumi Aksara 1996, cet. Ke-1, h.4


(27)

)

رﻮ ﻟا

:

(

Dan nikah (akad)-kanlah orang-orang yang tidak mempunyai jodoh di antara kamu (yang merdeka) dan orang-orang yang layak (bernikah) dan hamba-hamha sahayamu yang perempuan. Jika kamu adalah fakir niscaya Allah akan mencukupkanmu dengan sebagian karunianya, dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui. (QS. an-nuur/ 24: 32).

Dari pada itu hukum nikah mungkin akan menjadi wajib, atau sunnah, makruh, ataupun haram sesuai dengan keadaan orang yang akan kawin.7

a. Wajib

Orang yang diwajibkan kawin adalah orang yang mempunyai kesanggupan untuk kawin sedang ia khawatir terhadap dirinya akan melakukan perbuatan yang dilarang Allah. Dan pernikahan adalah jalan satu-satunya untuk mencegah dan menghindarkan dari melakukan hal tersebut. Berdasarkan hadits Nabi s.a.w:

ْ

ْﺪ

ﷲا

ْ

ْ

ْﻮ

د

ر

ﷲا

ْ

ﻰﻟﺎ

:

لﺎ

ر

ْﻮ

ل

ﷲا

ﷲا

ْ

و

ْ

ﻟا

بﺎ

،

ْ ا

عﺎ

ْﻜ

ْﻟا

ءﺎ

ة

ﻓْ

و

ْج

ﻓﺈ

أ

ﻟْ

وأ

ْ

ﻟْ

ْﺮ

ج

،

و

ْ

ﻟْ

ْﺘ

ْ

ْ

ﻟﺎ

ْﻮ

م

ﻓﺈ

و

ءﺎ

)

و

يرﺎﺨ ﻟا

اور

(

8

"Dari Abdullah bin Mas’ud berkata, telah berkata kepada kami rasulullah: Hai sekalian pemuda, barang siapa di antara kamu yang telah sanggup kawin, maka hendaklah la kawin. Maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan (terhadap yang dilarang oleh agama) dan

7

Kamal Muhtar, .Asas–Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Ibid, h. 15-17.

8

Maksud albaata dalam hadits ini para ulama berbeda pendapat, menurut pengarang buku ini pendapat yang paling kuat dalam al-Ijma’ (setubuh),….bahwa barang siapa yang tidak mampu menahan rasa persetubuhan ini maka hendaklah berpuasa. Assayyid Imam Ahad Ibn Ismail al-Kahlani, Subulussalam,Bandung, Dahan, Tt. Juz3, h. 109


(28)

19

Memelihara faraj. Dan barang siapa yang tidak sanggup maka hendaklah la berpuasa, karena puasa itu adalah perisai baginya. (HR. Bukhari dan Muslim).

b. Sunnah

Orang yang disunahkan kawin adalah orang yang mempunyai kesanggupan untuk kawin dan sanggup memelihara diri dari kemunungkinan melakukan perbuatan yang terlarang. Sekalipun demikian perkawinan adalah lebih baik baginya, karena Rasulullah S.A.W melarang hidup sendirian tanpa kawin. Sebagaimana sabdanya:

ﺎآ

ن

ر

ْﻮ

ل

ﷲا

ﷲا

ْ

و

ْﻟﺎ

ءﺎ

ة

و

ْﻬ

ﺘﻟا

ْﻬً

ﺪْ

ًﺪ

و

ا

ْﻮ

ل

و

ْﻮ

ْا

ا

ﻮﻟ

د

ْو

د

ْا

ﻮﻟ

ﻟْﻮ

د

ﻓﺈ

ْ

ﺛﺎ

ْا

ﺔ ﺎ ﻘْﻟا

مْﻮ

ءﺎ ْ

)

نﺎ ﻟا

او

يرﺎﺨ ﻟا

اور

(

9

"Adalah Rasullah s.a.w memerintahkan kita kawin, melarang dengan sangat hidup sendirian tanpa kawin, dan beliau bersabda: Kawinlah wanita-wanita yang menyayangi dan sabar, maka sesungguhnya aku berbangga hati dengan kamu di hari kiamat”. (H.R. Bukhari dan Ibnu Hiban).

c. Makruh

Orang yang makruh untuk melangsungkan perkawinan adalah orang yang tidak mempunyai kesanggupan untuk kawin. Pada, hakekatnya orang yang tidak mempunyai kesanggupan untuk kawin, dibolehkan untuk melangsungkan perkawinan, tetapi ia tidak dapat mencapai tujuan

9

Maksud attabatul dalam hadis ini adalah memalingkan diri dari wanita dan meninggalkan nikah, memalingkan dalam rangka beribadah kepada Allah, Ibid., h 111


(29)

...

)

رﻮ ﻟا

:

33

(

Artinya : “hendaklah menahan diri orang-orang yang tidak memperoleh (alat-alat) untuk nikah, hingga Allah

mencukupkan dengan sebagian karunianya..”(Q.S.

An-Nur/24:33)

d. Haram

Orang yang diharamkan untuk kawin itulah orang-orang yang mempunyai kesanggupan untuk kawin, tetapi kalau ia kawin dapat menimbulkan kemudlaratan terhadap pihak yang lain, seperti orang yang gila, orang yang suka membunuh, atau mempunyai sifat-sifat yang dapat membahayakan pihak yang lain dan sebagainya.

B. Rukun dan Syarat perkawinan

Rukun dan syarat-syarat perkawinan adalah seperti yang dikemukakan oleh Khalil Rahman sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Rofiq, M.A. dalam bukunya Hukum Islam di Indonesia yaitu:10

1. Adanya calon suami, syarat-syaratnya: a. Beragama Islam;

b. Laki-laki;

10

Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), cet ke-4, h. 71-72


(30)

21

c. Tertentu orangnya;

d. Dapat memberikan persetujuan; e. Tidak terdapat halangan perkawinan. 2. Adanya calon istri, syarat-syaratnya:

a. Beragama Islam; b. Perempuan; c. Jelas orangnya;

d. dapat dimintai persetujuannya; e. Tidak terdapat halangan perkawinan. 3. Adanya akad (ijab qabul), syarat-syaratnya:

a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali;

b. Adanya pernyataan penerimaan/calon mempelai pria;

c. Memakai kata-kata nikah/tazwij atau terjemahan dari kata nikah/ tanwij; d. Antara ijab dan qabul bersambungan;

e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya;

f. Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram haji/umrah;

g. Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu: calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi.

4. Adanya wali, syarat-syaratnya: a. Laki-laki;


(31)

b. Dewasa;

c. Mempunyai hak perwalian;

d. Tidak terdapat halangan perkawinan. 5. Adanya dua orang saksi, syarat-syaratnya:

a. Minimal dua orang laki-laki; b. Hadir dalam ijab qabul; c. Dapat mengerti maksud akad; d. Islam;

e. Dewasa.

Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa rukun nikah ada lima macam, yaitu:11

a. Wali dari pihak perempuan; b. Mahar (maskawin);

c. Calon pengantin laki-laki; d. Calon pengantin perempuan; e. Sighat akad nikah.

Adapun beberapa ketentuan untuk terlaksananya. akad nikah dengan baik yakni yang menentukan sah atau tidaknya perkawinan adalah:

1. Ijab qabul;

2. Wali pihak perempuan; 3. Persetujuan kedua mempelai;

11


(32)

23

4. Calon pengantin laki-laki harus hadir sendiri dalam melaksanakan akad nikah;

5. 2 (dua) orang saksi.

C. Tujuan dan Hikmah Perkawinan 1. Tujuan Perkawinan

Sebagaiman hukum-hukum yang lain ditetapkan dengan tujuan tertentu sesuai dengan tujuan terbentuknya, demikian pula halnya dengan syari`at Islam, mensyari`atkan perkawinan dengan tujuan – tujuan tertentu pula, diantaranya tujuan–tujuan itu ialah:12

a. Melanjutkan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan menyambung cita-cita, membentuk keluarga dan dari keluarga-keluarga dibentuk umat, ialah umat nabi Muhammad SAW umat Islam;

)

ﻟا

:

72

(

Artinya : “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah"

(Q.S : An-Nahl:72)

12


(33)

b. Untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah SWT mengerjakannya;

c. Untuk menimbulkan rasa cinta antar suami istri, menimbulkan rasa kasih sayang antar orang tua dengan anaknya dan antara seluruh anggota keluarga. Rasa cinta dan kasih sayang dalam keluarga ini akan dirasakan pula dalam masyarakat atau umat, sehingga terbentuklah umat yang diliputi cinta dan kasih sayang;

d. Untuk menghormati atau mengikuti sunah Rasulullah SAW, beliau mencela orang-orang yang berjanji akan puasa setiap hari, akan bangun beribadah setiap malam dan tidak akan kawin – kawin sebagaimana sabda beliau:

ْ ﻓ

ﻰﺘ

ْ

ﻏر

ْ ﻓ

)

و

يرﺎﺨ ﻟا

اور

(

Artinya : “Maka barang siapa yang benci kepada sunah-Ku bukanlah ia termasuk (umatku)” (H.R. Bukhari dan Muslim)

e. untuk membersihkan keturunan. Keturunan yang bersih, yang jelas ayah, kakek, dan sebagainya. Semua itu hanya dapat diperoleh dengan perkawinan. Dengan demikian akan jelas pula orang–orang yang bertanggung jawab terhadap anak–anak, yang akan memelihara dan mendidik sehingga menjadilah ia seorang muslim yang dicita-citakan.


(34)

25

Adapun hikmah perkawinan menurut Sayyid Sabiq dalam fiqh sunnahnya yaitu13:

a. Perkawinan sebagai sarana yang legal untuk pemenuhan kebutuhsan biologis manusia. Dengan demikian manusia berbeda dengan binatang dalam dalam menyalurkan seksnya. Perkawinan secara tidak langsung menciptakan manusia yang memiliki moralitas yang tinggi dan bisa menjaga mata serta kemaluannya dari hal-hal yang diharamkan agama. b. Perkawinan adalah cara terbaik untuk melestarikan keturunan, memiliki

keturunan merupakan keinginan fitrah manusia;

c. Perkawinan akan membantu proses pendewasaan, memupuk tabiat keibuan dan kebapakan dengan cara mengurus anak. Dengan menikah akan tumbuh rasa kasih sayang dan kelembutan yang berguna untuk berinteraksi sosial dalam komunitas sosial;

d. Perkawinan dapat memotifasi gairah hidup dan semangat kerja suami istri akan berkobar demi membesarkan anak sebagi titipan Allah SWT dan (khususnya bagi suami) untuk menafkahi istri dan anaknya;

e. Perkawinan dapat melahirkan pembagian kerja antara suami dan istri;

f. Perkawinan merupakan sarana untuk menciptakan ikatan-ikatan kekeluargaan dan persaudaraan yang sangat dianjurkan oleh Islam;

13


(35)

g. Perkawinan merupakan sarana untuk membentuk sebuah bangsa, karena dengan perkawinan akan terbentuk sebuah keluarga yang merupakan bagian terkecil dari sebuah bangsa.

D. Segi-segi Ta’abudi dalam Pemberian Mahar dan Harta Bawaan

Mahar atau Shadaq dalam hukum perkawinan Islam merupakan kewajiban yang harus dibayar oleh seorang pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan. Hukum pemberian mahar adalah wajib, sedangkan mahar secara etimologi berarti maskawin, pengertian mahar menurut istilah ilmu fiqh adalah pemberian yang wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.14

Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan memberi hak kepadanya, di antaranya adalah hak untuk menerima mahar. Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh mengambil apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan ridha dan kerelaan istri.15

Allah SWT. Berfirman: QS An-nisa Ayat 4

14

Slamet Abidin, Fiqh Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), cet Ke-1, h. 105

15


(36)

27

)

ءﺎ ﻟا

:

(

Artinya:

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itn dengan senang hati, maka makanlah (ambilah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (Q. S. 4: an- Nisa: 4)

Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Harta bendanya berharga;

b. Barang suci dan bisa diambil manfaat; c. Barangnya bukan barang gasab;

d. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya.

Pernikahan adalah perjanjian yang sangat kokoh di antara suami dan istri, di mana masing-masing dari keduanya mempunyai beberapa hak dan kewajiban terhadap yang lainnya.

Islam telah memberikan pedoman bahwa mahar adalah suatu lambang bukan harga dan menunjukan agar tidak berlebihan didalamnya, sebab mahar bukanlah tujuan. Rasulullah SAW adalah contoh keteladanan tertinggi dan memberikan sunatullah tertinggi bagi umatnya dalam hal ini agar menjadi tradisi yang baik ditengah masyarakat dan mereka tidak salah didalam memandang hakekat permasalahan serta mengambil cara-cara yang sederhana sesuai dengan tuntunan Islam.


(37)

Mahar menurut Islam bukanlah dilihat dari wujudnya, bukan pula sebagai pengukur harga wanita, melainkan yang disyari'atkan adalah menyederhanakan mahar dan tidak berlebihan didalamnya sebagaimana yang telah ditegaskan dalam sebuah hadis yang artinya: “mahar yang paling baik adalah mahar yang paling sederhana".16

Hikmah larangan berlebihan dalam hal mahar di antaranva adalah memberi kemudahan dalam perkawinan, dengan demikaian dapat mengurangi penyelewengan seksual, kerusakan moral dan sosial. Mahar hanyalah sebagai simbol bukanlah harga barang, dan kebahagiaan rumah tangga tidaklah terletak kepada kemewahan dan berlebihan dalam mahar.

Dampak negatif dari berlebihan dalam dalam mahar di antaranya adalah: a. Munculnya kelompok muda yang tidak mampu secara materi untuk

melaksanakan kewajibannya berumah tangga dan pada gilirannya juga kelompok pemudi yang hidup tanpa suami. Dengan demikian dapat menimbulkan dampak sosial yang berbahaya sebab kebutuhan biologis mereka tidak dapat terpenuhi.

b. Secara psikologis para pemuda dan pemudi yang tidak menikah akan mengalami depresi tekanan jiwa dan mental mereka menjadi labil.

c. Keretakan hubungan antara orang tua dan anak-anaknya dapat timbul akibat dari tekanan mental.

16

Wahbah Zuhaely. Al-fikh al-Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus, Sirya: Dar Fikr al-Ma’ashir,2004) Jilid 9, hlm. 23.


(38)

29

d. Wali pihak perempuan dapat mengeksploitasi anak perempuan untuk tujuan materi dan menolak mengawinkan putrinya dengan laki-laki yang lebih baik dan memenuhi syarat agama, tetapi tidak memenuhi harapan wali tersebut karena alasan yang bersifat materi. Sehingga karena mengacu kepada pertimbangan materi, lelaki bermoral rendah dengan tidak memenuhi persyaratan agama diterima karena semata-mata pertimbangan materi.

Adapun hikmah yang terkandung dalam pemberian mahar itu sebagai berikut:

a. Hendaknya menerima dengan senang hati kepemimpinan kaum pria atas dirinya, dan dengan adanya pemberian mahar dari pihak laki-laki itu merupakan suatu penghargaan atas martabat kaum wanita.

b. Untuk tanda putih hati dan kebulatan tekad.

c. Untuk mempersiapkan diri bagi istri dalam menghadapi perkawinan. d. Untuk menjadi kekayaan sendiri bagi istri sebagai tambahan dari kekayaan

yang diberi orang tuanya. Kelak dengan kekayaan itu sang istri mungkin dapat memelihara kemerdekaan dirinya terhadap hal-hal yang mungkin timbul dari suami.

Menurut Mahmud Yunus, hikmah adanya mas kawin adalah sebagai bukti cintanya calon suami mengorbankan hartanya untuk diberikan kepada istrinya sebagai tanda suci dan kebulatan tekad serta sebagai pendahuluan, bahwa suami


(39)

akan terus menerus memberikan nafkah kepada istrinya. Hal ini memang merupakan suatu kewajiban suami terhadap istri.17

Mahar merupakan suatu pemberian dari seorang pria kepada seorang wanita dalam suatu ikatan perkawinan menurut ajaran agama Islam. Mahar disebut pemberian dikarenakan mahar bukan merupakan syarat dan rukun perkawinan sebagai sesuatu yang dapat menyebabkan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Pada rukun dan syarat perkawinan dalam perkawinan yang dilakukan apabila dari salah satu syarat dan rukun perkawinan tersebut tidak terpenuhi maka tidak sahnya suatu perkawinan atau batalnya perkawinan.

Syarat dan rukun perkawinan pelaksanaannya tidak dapat ditangguhkan (hutang) contohnya tidak sahnya suatu perkawinan apabila perkawinan yang dilakukan sesama jenis, dikarenakan perkawinan harus berbeda jenis kelamin.

Sedangkan mahar yang merupakan suatu pemberian dari seorang pria kepada seorang wanita dalam suatu ikatan perkawinan yang merupakan suatu kewajiban suami kepada istrinya dapat ditangguhkan atau dapat berupa hutang, sesuai dengan kesepakatan bersama dan kerelaan calon istrinya tersebut disamping itu pula berat jenis suatu benda dalam mahar tidak ada suatu aturan yang membatasinya karena tergantung kesepakatan dan kerelaan calon istrinya tersebut itulah yang menyebabkan mahar tidak termasuk dalam syarat dan rukun perkawinan.

17


(40)

31

Barang bawaan yaitu segala perabot yang dipersiapkan oleh istri atau keluarganya sebagai peralatan rumah tangga nanti bersama suaminya. Menurut adat, yang menyediakan perabot seperti ini adalah istri dan keluarganya. Nasa'i meriwayatkan: dari Ali bahwa ia berkata Rasulullah memberi barang bawaan kepada fatimah berupa pakaian, kantong tempat air terbuat dari kulit, bantal yang beranda.18 Oleh karena itu sebaiknya pemberian harta bawaan sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan kedua belah pihak sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw.

Namun biaya yang dikeluarkan oleh pihak istri tersebut dari seorang laki-laki yang akan menikahinnya, uang bawaan yang diberikan pada waktu lamaran dilangsungkan.

18

Sayid Sabiq, Fiqih Sunah, Terjemah M.Galib dari al-Fiqh al-Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1994), Jilid VII, h. 75


(41)

A. Letak Geografis Desa Benda Baru

Desa Benda Baru, Kecamatan Pamulang, Kabupaten Tangerang adalah suatu wilayah desa yang berbatasan langsung dengan Desa Serua Indah Kecamatan ciputat, Kabupaten Tangerang. Berdasarkan data monografi desa, Desa Benda Baru memiliki luas wilayah (area) 288 Ha

Batas-batas wilayah

1. Sebelah Utara : Berbatasan dengan Desa Serua Indah, Kec. Ciputat

2. Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Desa Pondok Benda, Kec Pamulang

3. Sebelah Barat : Berbatasan dengan Desa Pondok Benda, Kec. Pamulang

4. Sebelah Timur : Berbatasan dengan Desa Bambu Apus dan Desa

Pamulang Barat, Kec. Pamulang

Sedangkan orbitasi (jarak dari pusat Pemerintahan Desa) terhadap pusat-pusat fasilitas kota.

a. Jarak dari pusat Pemerintahan Desa ke Kantor Kecamatan : 1,5 Km

b. Jarak dari pusat pemerintahan Desa ke Kantor Kabupaten : 11 Km

Berdasarkan uraian di atas semua fasilitas transportasi berjalan dengan lancar. Dengan letaknya yang memanjang dari utara ke selatan, searah jalan lintas raya, Desa Benda Baru merupakan suatu desa yang berpotensi, baik dalam ilmu pengetahuan (pendidikan) maupun keagamaan. Hal ini dikarenakan Desa Benda


(42)

33

Baru mempunyai SDM yang sangat mendukung untuk kemajuan masyarakat dan perkembangan desa.

Luas wilayah Desa menurut data kepemilikan tanah seperti dijelaskan dalam tabel di bawah ini:

TABEL 1

Data Kepemilikan Tanah Desa Benda Baru

No. Pemilikan Tanah Jumlah Keterangan

1 Sertifikat Hak Milik 63.390 Unit

2 Sertifikat Guna Bangunan 1.897 Unit

3 Tanah Waqaf 92 Unit Makam, Mesjid

Musholla, dan Majelis Ta’lim Sumber data monografi Desa Benda Baru tahun 2009

Luas wilayah Desa Benda Baru, menurut jenis tanah sebagian besar adalah tanah darat yang terdiri dari bangunan pcrumahan, fasilitas umum, pemakaman, tanah kosong dan lain-lain.

Untuk lebih jelasnya tabel berikut menjelaskan luas wilayah Desa Benda Baru menurut jenis tanah.

TABEL II

Jenis Tanah Desa Benda Baru

No. Jenis Tanah Jumlah / Luas (Ha)

1 Bangunan Umum 2.040 Unit

2 Pemukiman / Perumahan 6.078 Unit

3 Perkuburan 2.000 M


(43)

B. Keadaan Demografis Desa Benda Baru

Bahwa pada dasarnya bentuk Pemerintahan Kelurahan atau Desa telah diatur dalam bentuk Perundang-undangan yang tertuang dalam UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan sebagai penjabaran UU tcrsebut terutama dalam bidang tata kerja Pemerintahan Desa di daerah Kabupaten Tangerang telah diatur dalam bentuk Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2000.

Wilayah Desa Benda Baru sama halnya dengan wilayah desa lainnya di wilayah desa Kabupaten Tangerang. Khususnya Kecamatan Pamulang yang sebagian besar untuk pemukiman, sehingga tidak heran apabila tiap tahun jumlah penduduk Desa Benda Baru bertambah, dan pembangunan fisik pun terus berkembang mengikuti arus perkembangan.

Dalam pemerintahan Desa Benda Baru dipimpin oleh seorang Kepala Desa di bantu oleh beberapa stafnya dan di bantu pula oleh 24 Kepala Rukun Warga (RW) dan 150 Ketua Rukun Tetangga (RT).

Jumlah personil perangkat Desa Benda Baru sebanyak 19 orang ditambah perkembangan desa, jumlah anggota BPD 17 orang, jumlah anggota MUI 15 orang, jumlah pengurus PKK 23 orang, dan jumlah anggota P2KP 13 orang.

Sistem administrasi Desa Benda Baru cukup baik dan teratur, ini dapat dilihat dari lengkapnya para staf kelurahan yang ada. Hal ini terbukti dan ketertiban pelayanan kelurahan Desa Benda Baru kcpada masyarakat seperti dalam pengurusan surat KTP, Surat Kelakuan Baik, dan lain sebagainya.


(44)

35

Kuantitas penduduk Desa Benda Baru, termasuk wilayah desa yang populasi penduduknya cepat. Sehingga jumlah penduduknya meningkat. Menurut data yang ada jumlah penduduk Desa Benda Baru secara keseluruhan berjumlah 30.463 jiwa, yang terdiri 16.000 jiwa berjenis kelamin laki-laki hanya 14.463 jwa berjenis kelamin perempuan, dari 16.000 jiwa, yang berjenis kelamin laki-laki hanya 11.300 yang wajib KTP dan 14.463 jiwa, yang berjenis kelamin perempuan hanya l0.200 jiwa, yang wajib KTP, selebihnya belum wajib KTP, dan terdiri dari 8287 Kepala Keluarga (KK).

Dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga, Pemerintah Desa Benda Baru mengadakan kegiatan-kegiatan seperti :

1. Memanfaatkan pekarangan kosong atau halaman rumah dan untuk ditanami

pepohonan produktif sesuai dengan program pemerintah tentang penghijauan termasuk apotik hidup.

2. Memberikan penyuluhan melalui instansi yang berwenang tentang cara

membuka peternakan, pemeliharaan lele, dan cara menanam tanaman yang baik.

3. Pengumpulan dan penyaluran dana bantuan kepada pembangunan Masjid,

Mushola, dan Majlis Ta'lim.

4. Pelaksanaan pengumpulan dana Zakat, Inf'aq, dan hadiah yang didapat dari

warga masyarakat yang secara sukarela menyerahkan ZlS-nya kemudian dihimpun dan disalurkan ke BAZIS kecamatan pamulang untuk disalurkan kepada yang berhak menerimanya.


(45)

5. Mengadakan pelaksanaan pembinaan kegiatan wanita, pemuda seperti: organisasi PKK, majlis-majlis zikir dan lain-lain.

Adapun mata pencarian penduduk Desa Benda Baru pada umumnya sebagai PNS, Wiraswasta, pedagang, ada pula sebagai tukang ojek. Keberadaan ojek sangat dibutuhkan sebagai sarana angkutan unluk masyarakat setempat. Karena untuk menuju kejalan lalu lintas raya harus menempuh jarak + 1,5 Km, jadi ojek di Desa Benda Baru dijadikan sarana angkutan oleh masyarakat setempat. Untuk melihat berbagai macam mata pencarian penduduk Desa Benda Baru dapat dilihat melalui tabel berikut ini :

TABEL III

Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencarian

No. Mata Pencarian Jumlah

1 Pedagang/Pengusaha 973 Jiwa

2 Buruh 200 Jiwa

3 TNI/Polri 43 Jiwa

4 PNS 3600 Jiwa

5 Pensiunan 180 Jiwa


(46)

37

C. Keadaan Sosioiogis

Dilihat dari keadaan sosiologis Desa Benda baru ada beberapa bidang yarig perlu diketahui yaitu diantaranya :

1. Bidang Pendidikan

Warga Desa Benda Baru, untuk usia diatas 55 lahun pada umumnya berpendidikan SD, sedangkan bagi penduduk yang berusia dibawah 55 tahun mayoritas berpendidikan SLTP dan SLTA, bahkan lulusan-Iulusan dari Perguruan Tinggi semakin banyak.

Adapun sarana pendidikan yang ada diwilayah Desa Benda Baru yang bersifat pendidikan umum maupun pendidikan agama dan segi kualitas cukup memadai. Hal ini dilakukan oleh tokoh masyarakat, pemerintah maupun Swasta untuk memberikan pelayanan pendidikan di wilayah Desa Benda Baru dengari sebaik-baiknya, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :

TABEL IV

Jumlah Sarana Pendidikan di Desa Benda Baru

No. Sarana Pendidikan/Gedung Jumlah

1 TK 25 Unit

2 SD/MI 8 Umt

3 SLTP/Sederajat 1 Unit

4 SLTA 1 Unit

5 TPA 3 Unit


(47)

2. Bidang Keagamaan

Kehidupan beragama di Desa Benda Baru cukup baik, hal ini dapat dibuktikan bahwa sejak dahulu sampai sekarang ini tidak pernah terjadi benturan-benturan bersifat keagamaan. Hal ini terlihat dari adanya usaha-usaha Pemerintah Desa Benda Baru dalam bidang Keagamaan yaitu:

a. Pemantapan dalam kegiatan-kegiatan Majlis Ta'lim dan Zikir yang ada di

seluruh RT dan RW

b. Memberikan penyuluhan antar umat seagama dan kerukunan antar umat

beragama yang ada dilingkungan tempat tinggal atau keluarga, serta kerukunan umat beragama dengan pemerintah.

c. Memberikan pengarahan tentang pentingnya pembangunan spiritual dalam

rangka mensukseskan pembangunan.

d. Diadakannya kuliah subuh antar RT oleh ulama setempat di Desa Benda

Baru.

e. Diadakannya pengajian mingguan yang diakui oleh Ketua RT

masing-masing yang ada di Desa Benda Baru.

Keberadaan sarana ibadah mutlak dibutuhkan di tengah masyarakat yang mayoritas penduduknya muslim, termasuk didalamnya masyarakat Desa Benda Baru. Untuk menjelaskan banyaknya jumlah sarana peribadatan yang ada di Desa Benda Baru dapat dilihat pada tabel di bawah:


(48)

39

TABEL V

Jumlah Sarana Peribadatan di Kelurahan Desa Benda Baru.

No. Sarana Peribadatari Jumlah

1 Masjid 18

2 Mushola 32

3 Majlis Ta'litn 54

4 Gereja 1

5 Pura 0

Sumber Data :Laporan Tahunan Desa Benda Baru 2009

Bangunan fisik sarana peribadatan baik Masjid, Mushola, maupun Majlis Ta’lim sudah cukup memadai untuk menampung masyarakat yang akan menjalankan aktivitas keagamaannya seperti Shalat yang waktunya telah ditentukan, pengajian, dan bentuk peribadatan lainnya.

Melihat data sarana keagamaan tersebut, menunjukkan bahwa masyarakat penduduk Desa Benda Baru adalah beragama Islam dan sebaliknya penganut agama-agama lain lebih sedikit untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tebel berikut:

TABELVI

Jumlah Penduduk Penganut Agama di desa Benda Baru.

No. Jenis Agama Jumlah Presentase (%)


(49)

2 Kristen Protestan 633 2,11

3 Kristen Katolik 597 1,99

4 Hindu/Budha 301 1

Sumber Data: Laporan Tahunan Desa Benda Baru 2009

Dalam merayakan peringatan Hari Besar Islam, masyarakat Desa Benda Baru yang mayoritas beragama Islam selalu mengadakan kegiatan keagamaan yang dilakukan dengan berbagai cara, ada yang dilakukan cukup mengadakan pembacaan Do'a saja, ada pula yang melakukan dengan cara mengisi ceramah agama.

Dari penjelasan di atas, jelaslah pada umumnya masyarakat Desa Benda Baru tidak buta dalam memahami ajaran agamanya, terbukti dengan adanya kegiatan-kegiatan kerohanian yang dilakukan masyarakat Desa Benda Baru terutama orang masyarakat yang beragama Islam.


(50)

BAB IV

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TENTANG TRADISI KUDANGAN DALAM PERKAWINAN ADAT BETAWI

A. Hakekat Perkawinan Adat Betawi

Untuk memperluas pemahaman dan pengertian kita tentang perkawinan adat, maka penulis sajikan beberapa konsep pengertian perkawinan adat dari beberapa tokoh hukum adat, diantaranya

R. Wiryono Projodikoro mengatakan: Perkawinan yaitu suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat dalam peraturan perkawinan”.1

Soebakti poesponoto mengatakan “Perkawinan adalah suatu usaha yang menyebabkan terus berlangsungnya golongan dengan tertibnya, suatu syarat yang menyebabkan terlahirnya angkatan baru golongan itu”.2

Surojo wignjodipuro mengatakan “bahwa perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua pihak dan saudara-saudaranya.3

      

1

Wiryono Projodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung, 1984), h 7

2

Soebakti Poeponoto, Azas-Azas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradya Paramita, 1983), h. 187

3

Surojo Wignjodipuro, Pengertian & Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung, 1983), h. 122


(51)

Dari pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa perkawinan adat merupakan wujud idealnya kebudayaan sebagai tata kelakuan yang timbul dan berkembang dalam suatu masyarakat. Setiap suku bangsa mempunyai sikap hidup dan nilai budaya tertentu. Sikap dan nilai budaya itu mencerminkan kepribadian atau falsafah hidup suku bangsa yang bersangkutan.

Masyarakat Betawi dikenal sebagai masyarakat yang fanatik dengan agama Islam,dan adat istiadatnya banyak dipengaruhi oleh ajaran Islam termasuk dalam hal perkawinan. Namun kenyataannya saat ini, adat perkawinan Betawi sudah tidak lagi mengikuti adat masyarakat Betawi asli yang sudah mengalami perubahan- perubahan dari adat aslinya.

Dalam perkawinan Betawi diatur oleh adat yang dinamakan adat perkawinan Betawi, biasanya dimulai perjumpaan dan pendekatan, lamaran sampai dengan akad nikah yang merupakan peresmian seorang pemuda dan seorang gadis menjadi suami istri serta pesta yang melengkapinya.

Pada masyarakat dan budaya Betawi, perkawinan mempunyai tujuan mulia yang wajib dipenuhi oleh setiap warga masyarakat yang sudah dewasa dan memenuhi syarat untuk itu. masyarakat Betawi mayoritas beragama Islam, jadi pengertian perkawinan dalam masyarakat Betawi tidak jauh beda dengan pengertian dalam agama Islam, yakni bahwa perkawinan adalah salah satu sunnah (petunjuk lewat perbuatan dan perkataan) nabi Muhammad SAW bagi umat, sehingga dapat dipandang sebagai suatu perintah agama untuk melengkapi norma-norma kehidupan manusia sebagai mahluk sosial dan ciptaan Tuhan yang mulia.


(52)

43

Perkawinan merupakan suatu hal yang penting, karena dengan perkawinanlah seseorang baru akan dianggap sebagai warga penuh dari masyarakat dimana ia berada. Perkawinan yang dilakukan biasanya dilakaukan dengan suatu upacara. Karena melalui upacara itu akan nampak kesakralan suatu perkawinan. Pada dasarnya upacara dalam suatu perkawinan juga menunjukkan maksud dan tujuan dari kedua individu yang akan menjadi suami istri dalam kehidupan sehari-harinya.

Orang Betawi beranggapan bahwa proses perkawinan harus dilakukan sebaik mungkin menurut ketentuan-ketentuan adat perkawinan yang sudah menjadikan kewajiban adat, karena ketentuan tersebut menjadikan kesakralan dalam perkawinan adat Betawi, sehingga harus dipenuhi dengan sepenuh hati oleh masyarakat yang akan melakukan perkawinan.

B. Tradisi kudangan Perkawinan Adat Betawi 1. Pengertian kudangan

Kudangan merupakan tradisi yang tidak pernah terlupakan dalam pelaksanaan perkawinan. Kudangan adalah suatu ucapan atau janji orang tua mempelai wanita kepada anaknya ketika wanita tersebut masih kecil, untuk memberikan sesuatu (biasanya berbentuk benda atau makanan) kepadanya apabila ia untung jodohnya (nikah) nanti, suatu barang atau makanan yang


(53)

disenangi oleh pihak mempelai wanita. semuanya itu harus dipenuhi kepada pihak laki-laki yang akan meminangnya atau menikahinya.4

Maka hal itu merupakan kewajiban adat yang wajib dan harus dipenuhi oleh mempelai laki-laki. Latar belakang terjadinya pelaksanaan kudangan tersebut biasanya orang tua mempelai wanita tidak dapat memenuhi permintaan mempelai wanita ketika ia masih kecil dan menjadikan janji orang tua tersebut ketika ia mendapatkan jodoh atau akan dilangsungkannya suatu akad pernikahan. Adapun tujuan kudangan tersebut sebagai penghormatan kepada pihak mempelai wanita yang akan dinikahinya

2. Pelaksanaan pemberian kudangan

Kelangsungan perkawinan adat Betawi biasanya dilakukan dalam beberapa proses, yakni: upacara yang berlangsung sebelum acara perkawinan, uapacara yang berlangsung dalam pelaksanaan perkawinan dan uapacara sesedah perkawinan.

Proses yang dilakukan sebelum perkawinan pada dasarnya merupakan langkah- langkah untuk memasuki acara perkawinan, di mana dalam proses acara sebelum dan perkawinan dilaksanakan hal-hal seperti: ngelancong, ngelamar, pernikahan dan lain-lain sebagainya.

      

4


(54)

45

Langkah-langkah pertama yang dilakukan seorang laki-laki adalah ngelancong sifatnya melihat-lihat saja, apabila ada kecocokan maka dilanjutkan dengan melamar yang merupakan penyelidikan apakah siwanita sudah ada yang punya atau belum. Apabila hasil penyelidikan menyatakan bahwa si wanita belum ada yang punya, maka si laki-laki tersebut dapat meminangnya. Proses ini merupakan inti atau puncak upacara yang dilakukan pada upacara sebelum pernikahan. Acara perminangan ini merupakan masa menunggu dan menentukan kapan pernikahan itu dilangsungkan dan apakah syarat-syarat yang harus dipenuhi serta berbentuk apakah syarat-syarat tersebut.

Syarat-syarat yang berkaitan dengan permintaan dari pihak wanita biasanya hanya meliputi dua bentuk, syarat yang pertama adalah uang pelangkah, syarat pelangkah ini biasanya ditentukan oleh kakak perempuan yang mau menikah dan syarat tersebut harus dipenuhi oleh pihak laki-laki ketika akan dilangsungkan akad pernikahan. Adapun jenisnya biasanya berbentuk uang ataupun barang, hal ini tergantung permintaan kakak si wanita yang akan melangsungkan pernikahan. Kedua syarat yang berkaitan dengan kudangan yaitu suatu yang timbul dari ungkapan orang tua mempelai wanita pada masa yang lalu, biasanya mempelai wanita tersebut masih kecil. Uangkapan itu timbul dari peristiwa-peristiwa yang dianggap janggal atau kurang berkenan didalam hati orang tua atas tindakan mempelai wanita waktu masih kecil. Ini merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki,


(55)

mengingat hal itu diminta oleh pihak wanita, sehingga melaksanakannya merupakan kewajiban adat yang harus dilakukan menjelang dilangsungkannya pernikahan.5

Adapun upacara pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat Betawi meliputi beberapa hal antara lain:

a. Seserahan

Upacara seserahan ini telah ditentukan waktunya ketika dilangsungkannya upacara peminangan (ngelamar) pada waktu sebelumnya. Upacara seserahan ini dilakukan dirumah kediaman pihak wanita, dimana tempat tersebut laki-laki datang membawa barang-barang tertentu dan sejumlah uang. Barang-barang tersebut terdiri dari tempat tidur lengkap, lemari, perabot rumah tangga, kue-kue dan lain-lain.

Adapun uang yaitu untuk belanja keperluan mempelai wanita seperti untuk membeli pakaian, alat kosmetik, dan lain sebagainya. Selain daripada yang disebutkan diatas, pada waktu seserahan ini diserahkan juga uang belanja kawin, uang sembah dan terkadang juga uang pelangkah. Sebelum berangkat kerumah pengantin perempuan, terlebih dahulu mengadakan selametan atau jamuan makan dirumah pengantin laki-lakinya. Setelah selesai selametan maka kerabat dan undangan yang terdiri dari orang-orang tua dan anak-anak muda mulai bersiap-siap berangkat ke       

5


(56)

47

rumah pengantin perempuan. Ketika rombongan akan mulai berangkat ditandakan dengan berbunyinya sebuah petasan, pertanda bahwa rombongan siap berangkat. Dalam iringan rombongan ini, orang tua berjalan didepan sedangkan anak-anak muda berjalan di belakang.

Semua barang-barang seserahan yang berat-berat dibawa oleh anak-anak muda, sedangkan uang belanja, mas kawin dibawa oleh seseorang yang mewakili laki-laki dalam urusan ini.6

b. Pesta Perkawinan

Waktu pelaksanaan pesta perkawinan (keriaan) mungkin dilaksanakan setelah upacara akad nikah, tetapi juga jauh sesudah itu, misalnya dua atau tiga bulan kemudian, hal ini tergantung kepada perjanjian kedua belah pihak.

Dalam rangka pesta ini biasanya diundang semua kerabat, baik dekat atau yang jauh tempat tinggalnya. Pertama-tama pesta ini dilaksanakan di rumah pengantin perempuan yang berlangsung selama sehari semalam. Pengantin laki-laki yang memakai pakaian adat Betawi biasanya jas, peci hitam dan yang bersorban sarung. Pengantin perempuan memakai kembang gede, kerudung menutup kepala dan muka, tusuk konde (sanggul), kebaya dan lain sebagainya.

      

6

Rifa’i Abu, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, (Jakarta: Depdikbud, 1978), h. 78


(57)

c. Malam negor

Malam berikutnya sesudah malam pernikahan (sesudah malam pesta) seperti yang dilogiskan di atas, pengantin laki-laki diantar lagi ke rumah istrinya. Di rumah istrinya pengantin laki-laki dengan pengiringnya atau teman-temannya dipersilahkan duduk di ruang tamu, tidak lama kemudian pengantin perempuan datang menghampiri laki-laki, kemudian mengajak pengantin laki-laki masuk ke ruang dalam untuk dipertemukan dengan orang tuanya dan kerabat-kerabatnya pengantin perempuan. Di sini pengantin laki-laki mencium tangan semua orang yang diperkenalkanya, sementara itu pengiring pengantin laki-laki masih tetap di ruang tamu sambil menikmati kueh-kueh yang dihidangkan. Sampai waktunya karena hari sudah larut malam maka teman-teman pengiring pengantin laki-laki meminta untuk pulang, adapun mempelai laki-laki tersebut menginap di rumah mempelai wanita.

d. Ngambil Tiga Hari

Beberapa hari setelah malam pesta di rumah pihak perempuan selesai, maka ada upacara ngambil tiga hari. Adapun yang dimaksud disini adalah bahwa pengantin perempuan di bawa nginap beberapa hari di lingkungan kerabat pengantin laki-laki, dalam proses sebenarnya hanya satu malam saja, keesokan harinya pengantin ini diantar pulang kembali ke orang tuanya.


(58)

49

Setelah pengantin perempuan diantarkan kepada orang tuanya, maka kira-kira seminggu kemudian dijemput lagi untuk mengadakan pesta dirumah pengantin laki-laki. Upacara semacam itu pada zaman dahulu masih tetap dipegang teguh dan dilaksanakan tapi untuk saat ini sudah jarang sekali yang melangsungkannya.

e. Upacara Di rumah Pengantin Laki-Laki

Pesta di rumah pengantin laki-laki ini merupakan pesta penutup dari keseluruhan upacara perkawinan. Pada waktu pelaksanaan tersebut pengantin perempuan akan dibawa kerumah pengantin laki-laki, sebelum berangkan pengantin perempuan dihiasi dengan pakaian pengantinnya.

Waktu berangkat menuju rumah pengantin laki-laki, pengantin perempuan diiringi oleh kerabat-kerabatnya yang sebagian besar terdiri dari orang perempuan. Ketika sampai, rombongan ini disambut oleh mertua laki-laki. Kemudian pengantin perempuan langsung sujud dihadapan mertuanya dan mencium tangan kerabat pengantin laki-laki. Akhirnya pengantin perempuan ini didudukan di atas sebuah bangku tinggi yang dihiasi dengan kembang-kembang (taman pengantin). Setiap tamu perempuan yang datang disalaminya, jika pesta ini sudah selesai maka pengantin perempuan beserta pengiringnya diantar kembali kerumah orang tuanya.


(59)

C. Dampak Positif dan Negatif Dari Pemberian Kudangan

Dalam upacara perkawinan Betawi pemberian kudangan pada malam negor mempunyai dampak positif dan dampak negatif yang di timbulkan antara lain:

Adapun dampak positifnya adalah:

1. Adanya usaha untuk melestarikan kebudayaan hasil cipta leleuhurnya sehingga dengan upaya itu dapat mencerminkan rasa hormat dan menghargai budaya atau adat Betawi;

2. Dengan adanya kudangan dapat mempererat silaturahmi antara keluarga pihak laki-laki dengan pihak perempuan;

3. Dengan memberikan kudangan adanya niat keseriusan pihak laki-laki untuk menikahi pihak perempuan.

Adapun dampak negatif yang ditimbulkan dari pemberian kudangan antara lain:

1. Adanya tata cara yang memberatkan kepada calon pengantin laki-laki, sebab harus mengeluarkan biaya banyak untuk memenuhi kebutuhan adat, hal ini dapat menghambat perjalanan pernikahan;

2. Mendatangkan kehidupan yang bid`ah, dalam pengertian mengadakan penambahan dalam ibadah dengan tidak ada perintah dan dalil yang jelas;

3. Dapat menimbulkan pemandangan yang sempit dan tidak adanya kesepakatan untuk dapat berpandangan luas.


(60)

51

D. Perspektif Hukum Islam Tentang Pemberian Kudangan

Dalam upacara perkawinan adat terdapat acara-acara yang pokok dan acara-acara pelengkap yang bertalian dengan tradisi atau adat kebiasaan. Urf atau adat kebiasaan adalah apa-apa yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan telah dijalankan terus menerus baik berupa perkataan maupun perbuatan. Urf shahih(benar) ialah adat kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat yang tidak bertentangan dengan dalil masyarakat, tiada mengahalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib7

Syari’at Islam adalah syari’at yang sempurna, perbuatan yang timbul yang berkaitan dengan hukum adat biasanya dilandasi dengan kesadaran hati. Bahwa pelaksanaan pemberian kudangan pada malam negor tersebut adalah boleh dan tidak menyimpang dari syari’at Islam dengan pertimbangan sebagai berikut:

Dalam ushul fiqih ada suatu kaidah yang menyebutkan

ﺔ ﻜ

ةدﺎ ﻟا

(bahwa adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum).8 Jadi, apabila adat tersebut tidak melanggar dari syariat Islam dan juga tidak menjadikan mudharat bagi yang melaksanakanya maka sah untuk dilakukan.

Suatu Hukum yang dilakukan apabila tidak ada dalil yang mengharamkan maka boleh untuk dilakukan sebagaimana dalam kaidah fiqhiyah sebagai berikut:

      

7

Ahmad Hanafi, Pengantar Sejarah dan Hukum Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1986), cet ke 3, h. 89

8

Mukhtar Yahya, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, terjemah Zaini Dahlan,(Bandung: Al-Ma`arif, 1986), h.40


(61)

ا

ْﺻ

ْا

ﻹا

ءﺎ

ﻰﺘ

ل

ْﻟا

ﻟْ

ْا

ﺘﻟ

ْﺮ

ْ

9

Artinya : Hukum asal sesuatu boleh sebelum ada dalil yang mengharamkannya.

Dalam pembinaan hukum fiqh, para imam mazhab banyak sekali memperhatikan adat istiadat (urf setempat). Imam Malik misalnya dalam membina mazhabnya lebih menitik beratkan kepada amaliyah ulama fiqh Madinah,10 sebab syari`at Islam banyak yang dilandaskan menetapakan hukum atas urf atau adat masyarakat itu seperti mewajibkan diyat atas orang yang sudah berakal, mengitibarkan kafa’ah dalam masalah perkawinan dan lain sebagainya.11 Atas dasar itulah bahwa ada kebiasaan yang berlaku di masyarakat yang tidak melanggar kepada ketentuan syari’at Islam dapat dijadikan suatu pertimbangan sebagai sumber pengembalian hukum.

Dalam hal ini tidak sedikit masalah-masalah fiqhiyah yang bersumber dari adat kebiasaan yang berlaku pada masyarakat tertentu terlebih-lebih syari’at hanya menentukan suatu ketentuan secara mutlak tanpa pembatasan dari segi nash itu sendiri maupun dari segi bahasa:

آ

وﺎ

ر

د

ﻟا

ْﺮ

ع

ْﻄ

ًﻘ

و

ﻓْ

و

ﻟا

ْﺮ

ﻓْ

إﻟ

ْاﻟ

ْﺮ

ف

12        9

 Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh, Sejarah dan Kaidah Asasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm 161

10

Muktar Yahya dan Fatur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Figh Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), cet ke-1 h. 518

11

Hasbi assidhiqie, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang 1986), cet ke-1, h.45

12


(62)

53

Artinya:

Setiap ketentuan yang dikeluarkan oleh syara secara mutlak tidak ada pembatasan dalam syara ataupun dari segi bahasa maka dikembalikan kepada urf atau adat istiadat

kalau kita lihat dari segi pemecahannya bahwa adat istiadat (urf) itu dibagi dua: adat istiadat yang shahih dan adat istiadat yang fasid yaitu segala sesuatu yang sudah dikenal manusia, tetap berlawanan dengan hukum syara.13

Pemberian kudangan pada malam negor merupakan permintaan orang tua dari mempelai wanita yang merupakan ciri khas atau tradisi dalam perkawinan adat Betawi, jika dilihat dari berlangsungnya acara tersebut di dalamnya tidak ada tindakan atau unsur yang mengharamkan sesuatu yang halal ataupun menghalalkan sesuatu yang haram.

Sebagaimana kita maklumi bahwa akad pernikahan dimaksudkan untuk mencari kehidupan bersama dan mencari keturunan menurut cara yang di ridhai oleh Allah SWT, maka dari itu suatu akad perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita dibolehkan mengadakan syarat-syarat yang telah disepakati bersama dan menjadi keinginan masing-masing sepanjang syarat-syarat tersebut tidak menyalahi maksud perkawinan.14 Dalam kaitannya dengan pemberian kudangan pada malam negor pada perkawinan adat Betawi, sebagai penulis ungkapkan di atas bahwa kita harus melihat manfaat dan mudharatnya.       

13

Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jkarta: Majlis Al-a`la,1972), cet ke-3 h. 89

14

Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta: Bina Cipta, 1978), cet ke-2, h. 45


(63)

Kemaslahatannya bahwa pemberian kudangan, pada malam negor ini merupakan suatu acara yang dapat menghidupkan upacara perkawinan adat Betawi dan melaksanakan tradisi yang sudah ada di daerah Benda Baru, Pamulang, dengan adanya hal tersebut perkawinan di Benda Baru lebih meriah. Walaupun tidak ada pemberian kudangan pada malam negor tidak mengurangi sahnya suatu akad perkawinan yang dilaksanakan dan diperbolehkan oleh hukum Islam karena tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dalam hukum Islam kita dibolehkan untuk memeriahkan acara perkawinan yaitu dengan mengadakan acara walimah yakni acara makan-makan dalam suatu acara perkawinan sebagaimana hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim..

او

ﻟْ

وﻟ

ْﻮ

ةﺎ

)

و

ىرﺎﺨ ﻟا

اور

(

15

Artinya:

“Laksanakanlah walimah walaupun hanya menyembelih seekor

kambing”(H.R Bukhari dan Muslim)

Untuk memeriahkan acara tersebut, masyarakat mengumumkan melalui undangan tertulis ataupun tidak tertulis. Semua itu tergantung dari adat istiadat masyarakat itu sendiri.

Adapun segi mudharatnya apabila mempelai wanita mendapat jodoh laki-laki yang tidak mampu atau tidak dapat memenuhi permintaan orang tua mempelai wanita (kudangan) pada malam negor, dalam hal ini perbuatan itu       

15

Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Ihya, Al-Tirats al-Araby, t.t), Juz II, h. 31


(64)

55

bertentangan dengan hukum Islam, sebab syariat melarang pemberian yang berlebihan dalam perkawinan karena dapat menghambat perkawinan. Adapun apabila tidak ada pemberian kudangan pada malam negor tidak mengurangi sahnya dan meriahnya suatu perkawinan.

E. Analisis

Salah satu budaya dari sekian ragam yang ada di nusantara budaya Betawi merupakan salah satu kekayaan yang patut untuk dipelihara. Pasalnya, adat betawi khususnya dimasyarakat benda baru dalam melangsungkan perkawinan misalnya, merupakan tradisi yang sarat dan penuh dengan makna.

Kudangan salah satu budaya dalam pernikahan adat Betawi. Nisbat kudangan adalah kaul atau juga bisa dikatakan sebagai permintaan dari orang tua si pengantin perempuan yang ditunjukan bagi anak gadisnya. Perihal jenis kudangan yang menjadi permintaan biasanya sesuai dengan keinginan si anak gadis. Sementara, mengenai berat ringannya kudangan itu harus dipenuhi dan menjadi tanggungan pengantin laki-laki.

Adapun tradisi kudangan dalam perkawinan adat Betawi merupakan salah satu traadisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat Betawi khususnya masyarakat benda baru yang tidak lepas dari tradisi tersebut.

Kudangan merupakan pemberian yang diberikan dari mempelai laki-laki kepada pihak mempelai perempuan yang akan melangsungkan pernikahan, pemberian tersebut suatu keharusan pihak laki-laki kepada pihak perempuan


(65)

apabila seorang laki-laki ingin menikahi seorang perempuan, menurut tradisi perkawinan betawi, maka pemberian tersebut wajib diberikan oleh pihak laki-laki menurut hukum adat perkawinan Betawi, namun pemberian tersebut dapat digantikan dengan simbol-simbol apabila memberatkan pihak laki-laki.

Sedangkan dalam hukum Islam, pemberian wajib atas laki-laki kepada perempuan ketika akan menikah ialah adalah mahar, sebagaimana telah ditegaskan dalam Al-Quran sebagai berikut:

)

ءﺎ ﻟا

:

(

Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah Mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu Telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.


(66)

57

Pemberian mahar ini wajib atas laki-laki tetapi tidak menjadi rukun nikah, artinya apabila tidak disebutkan pada waktu akad, pernikahan tetap sah. Dasar hukum mahar secara otentik dan jelas diungkapkan dalam nash Al Quran dan Hadist Nabi.

Dengan adanya mahar, Islam telah mengangkat derajat kaum wanita karena mahar itu diberikan sebagai suatu tanda penghormatan kepada kaum wanita.16

Mahar tidak ditentukan jumlah atau ukurannya, semua itu berdasarkan kemampuan masing-masing orang atau kebiasaan keluarga, asal memiliki nilai dan manfaat serta sudah disepakati oleh kedua belah pihak yang akan melangsungkan akad.17

Dalam membina hukum fiqih, para imam mazhab banyak sekali memperhatikan adat (urf setempat), imam malik misalnya dalam membina mazhabnya lebih menitikberatkan pada amaliyah ulama fiqih madinah, sebab syariat Islam banyak dilandaskan penetapan hukumnya atas urf atau adat masyarakat, seperti mewajibkan diyat atas orang yang sudah berakal, mengikhtibarkan kafa’ah dalam masalah perkawinan dan sebagainya.18

Atas dasar itulah bahwa adat kebiasaan yang berlaku dimasyarakat tidak melanggar pada ketentuan syariat Islam dapat dijadikan suatu pertimbangan       

16

Abdurahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam. Jakarta: PT. Rimeka cipta,1992. Cet ke 1 h. 64

17

Sayyid sabiq. Fiqih sunnah, Terjemahan.jilid 6.Bandung: PT. Al-Ma`arif, 1987. Cet ke 5.h.54

18


(1)

59

Jadi suatu tradisi yang ada dalam masyarakat tersebut sebelum mengetahui dasar hukumnya, maka tidak boleh dinyatakan sah atau tidaknya sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an sebagai berikut:

)

ءاﺮ ﻻا

:

(

Artinya :

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Q.S. Al-Isra : 36)

Dari ayat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sesuatu perbuatan yang tidak kamu ketahui isinya sehingga nantinya akan menimbulkan opini yang buruk terhadap suatu hal, yang nantinya akan mengakibatkan terjadinya justifikasi yang tidak sesuai dengan kenyataan.


(2)

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam Bab-Bab sebelumnya dapat diambil beberapa kesimpulan sebagaimana diungkapkan dalam rumusan sebagai berikut:

1. Pemberian kudangan tidak menyimpang atau bertentangan dengan syariat Islam sebab adat kebiasaan di dalam acara tersebut tidak ada sesuatu yang berlawanan dengan hukum Islam karena itu sebagai kebiasaan adat dan untuk memeriahkan suatu acara.Oleh karena itu tradisi kudangan yang ada pada perkawinan masyarakat Betawi khususnya di daerah Benda Baru tidak menyimpang dari hukum Islam.

2. Dampak positif dari pemberian kudangan dalam perkawinan Betawi adalah untuk melestarikan kebudayaan hasil cipta leluhurnya sehingga itu dapat mencerminkan rasa hormat dan menghargai budaya Betawi, serta menjaga kerukunan masyarakat yang penuh rasa kekeluargaan. Adapun negatifnya dari pemberian kudangan tersebut antara lain dapat memberatkan pihak laki-laki yang tidak mampu apabila kudangan tersebut berlebihan.

3. Tradisi kudangan perkawinan Betawi hanyalah sebuah buah tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat Betawi Benda Baru khususnya, kudangan tidak dapat dikategorikan sebagai mahar karena dalam kudangan sesuatu yang


(3)

61

diberikan dapat berupa simbol-simbol, sedangkan dalam mahar harus yang bermanfaat yang dapat di pergunakan oleh pihak wanita.

B. Saran

Dengan melihat dari pembahasan bab-bab di atas, maka penulis memberikan saran kepada masyarakat Benda Baru antara lain:

1. Tradisi kudangan haruslah lestarikan karena tradisi tersebut yang masih terdapat pada masyarakat Benda Baru demi menunjang tradisi Betawi kepada kebudayaan nasional.

2. Dalam pemberian kudangan hendaklah yang berlebihan karena dapat menghambat berjalannya suatu perkawinan.

3. Kepada alim ulama Benda Baru hendaklah memberikan pemahaman dalam melaksanakan suatu tradisi agar dalam melaksanakan tradisi tidak


(4)

Al-Qur’an al karim

Abdurahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam. Jakarta: PT. Rimeka Cipta,1992. Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan, Jakarta;

Akademika Preside, 1986.

Abidin, Slamet, Fiqh Munakahat, Bandung: Pustaka Setia, 1999. assidhiqie, Hasbi, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang 1986. Bukhari, Imam Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Ihya, Al-Tirats al-Araby, t.t

Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam, (Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam), Jakarta PT. Bulan Bintang 1994.

Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam Impres RI No. 1, Jakarta; Departemen Agama RI 2001.

Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta; CV. Indah Press, 1996. Ghofar E.M., M. Abdul dan Ayyub, Syihk Hasan, Fiqih Keluarga, Jakarta: Pustaka

Al-kautsar, 2001.

Hakim, Abdul Hamid, Mabadi Awaliyah, Jakarta: Sa`adiyah Putera,tt

Hamid, Zahry Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978.

Hanafi, Ahmad, Pengantar Sejarah dan Hukum Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1986.

Husain, Ibrahim, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, Jakarta: Ihiya Ulumu al-Din, 1971.

Kahlani, al, Ahmad Ibn Ismail Assayyid Imam, Subul al-asalam, Bandung: Dahan, tt


(5)

63

Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta; PT. Bulan, 1997.

Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: Majlis Al-a`la,1972.

Mussa Subaiti, Akhlak Keluarga Nabi Muhammad SAW, Jakarta; Lentera, 1996. Nuruddin, Amir, dan Tariqan, Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia,

Jakarta ; Prenada Media, 2004.

Poeponoto, Sebakti, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: Pradya Paramita, 1983.

Poeponoto, Soebakti, Azas-Azas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: Pradya Paramita, 1983.

Projodikoro, Wiryono, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, 1984.

Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000. Ramulyo, Moh. Idris, SH., M.H, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis dari

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Jakarta: PT. Bumi Aksara 1996.

Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung ; Sumur Baru, 1988.

Sabiq, Sayid, Fiqih Sunah, dari Terjemah M.Galib, Bandung: Al-Ma’arif, 1994. Saidi Ridwan, Babad Tanah Betawi, Jakarta: PT.Gramedia, 2002.

Sarjomihardjo Abdul Rahman, Sejarah Perkembangan Kota Jakarta, Jakarta; Dinas Museum dan Sejarah, 1997.

Soejono soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI. Pers), Jakarta, 1996.

Subagio P.Joko, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1997.


(6)

Yahya, Mukhtar, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, terjemah Zaini Dahlan, Bandung: Al-Ma`arif, 1986.

Yahya, Muktar dan Rahman, Fatur, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986.