Dampak Positif dan Negatif Dari Pemberian Kudangan Perspektif Hukum Islam Tentang Pemberian Kudangan

50

C. Dampak Positif dan Negatif Dari Pemberian Kudangan

Dalam upacara perkawinan Betawi pemberian kudangan pada malam negor mempunyai dampak positif dan dampak negatif yang di timbulkan antara lain: Adapun dampak positifnya adalah: 1. Adanya usaha untuk melestarikan kebudayaan hasil cipta leleuhurnya sehingga dengan upaya itu dapat mencerminkan rasa hormat dan menghargai budaya atau adat Betawi; 2. Dengan adanya kudangan dapat mempererat silaturahmi antara keluarga pihak laki-laki dengan pihak perempuan; 3. Dengan memberikan kudangan adanya niat keseriusan pihak laki-laki untuk menikahi pihak perempuan. Adapun dampak negatif yang ditimbulkan dari pemberian kudangan antara lain: 1. Adanya tata cara yang memberatkan kepada calon pengantin laki-laki, sebab harus mengeluarkan biaya banyak untuk memenuhi kebutuhan adat, hal ini dapat menghambat perjalanan pernikahan; 2. Mendatangkan kehidupan yang bid`ah, dalam pengertian mengadakan penambahan dalam ibadah dengan tidak ada perintah dan dalil yang jelas; 3. Dapat menimbulkan pemandangan yang sempit dan tidak adanya kesepakatan untuk dapat berpandangan luas. 51

D. Perspektif Hukum Islam Tentang Pemberian Kudangan

Dalam upacara perkawinan adat terdapat acara-acara yang pokok dan acara-acara pelengkap yang bertalian dengan tradisi atau adat kebiasaan. Urf atau adat kebiasaan adalah apa-apa yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan telah dijalankan terus menerus baik berupa perkataan maupun perbuatan. Urf shahihbenar ialah adat kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat yang tidak bertentangan dengan dalil masyarakat, tiada mengahalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib 7 Syari’at Islam adalah syari’at yang sempurna, perbuatan yang timbul yang berkaitan dengan hukum adat biasanya dilandasi dengan kesadaran hati. Bahwa pelaksanaan pemberian kudangan pada malam negor tersebut adalah boleh dan tidak menyimpang dari syari’at Islam dengan pertimbangan sebagai berikut: Dalam ushul fiqih ada suatu kaidah yang menyebutkan ﺔ ﻜ ةدﺎ ﻟا bahwa adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum. 8 Jadi, apabila adat tersebut tidak melanggar dari syariat Islam dan juga tidak menjadikan mudharat bagi yang melaksanakanya maka sah untuk dilakukan. Suatu Hukum yang dilakukan apabila tidak ada dalil yang mengharamkan maka boleh untuk dilakukan sebagaimana dalam kaidah fiqhiyah sebagai berikut: 7 Ahmad Hanafi, Pengantar Sejarah dan Hukum Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1986, cet ke 3, h. 89 8 Mukhtar Yahya, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, terjemah Zaini Dahlan,Bandung: Al-Ma`arif, 1986, h.40 52 ا ﻻ ْﺻ ﻓ ْا ﻰ ﻻ ﻹا ءﺎ ﺎ ﺔ ﻰﺘ ﺪ ل ْﻟا ﺪ ﻟْ ْا ﻰ ﺘﻟ ْﺮ ْ 9 Artinya : Hukum asal sesuatu boleh sebelum ada dalil yang mengharamkannya. Dalam pembinaan hukum fiqh, para imam mazhab banyak sekali memperhatikan adat istiadat urf setempat. Imam Malik misalnya dalam membina mazhabnya lebih menitik beratkan kepada amaliyah ulama fiqh Madinah, 10 sebab syari`at Islam banyak yang dilandaskan menetapakan hukum atas urf atau adat masyarakat itu seperti mewajibkan diyat atas orang yang sudah berakal, mengitibarkan kafa’ah dalam masalah perkawinan dan lain sebagainya. 11 Atas dasar itulah bahwa ada kebiasaan yang berlaku di masyarakat yang tidak melanggar kepada ketentuan syari’at Islam dapat dijadikan suatu pertimbangan sebagai sumber pengembalian hukum. Dalam hal ini tidak sedikit masalah-masalah fiqhiyah yang bersumber dari adat kebiasaan yang berlaku pada masyarakat tertentu terlebih-lebih syari’at hanya menentukan suatu ketentuan secara mutlak tanpa pembatasan dari segi nash itu sendiri maupun dari segi bahasa: آ وﺎ ر د ﻟا ْﺮ ع ْﻄ ًﻘ و ﺎ ﻻ ﺎ ﻂ ﻟ ﻓْ و ﻻ ﻟا ﻐ ﺔ ْﺮ ﺟ ﻓْ إﻟ ﻰ ْاﻟ ْﺮ ف 12 9 Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh, Sejarah dan Kaidah Asasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm 161 10 Muktar Yahya dan Fatur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Figh Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986, cet ke-1 h. 518 11 Hasbi assidhiqie, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang 1986, cet ke-1, h.45 12 Abdul Hamid Hakim, mabadi awaliyah, Jakarta: Sa`adiyah Putera,tt, cet ke-1 h. 37 53 Artinya: Setiap ketentuan yang dikeluarkan oleh syara secara mutlak tidak ada pembatasan dalam syara ataupun dari segi bahasa maka dikembalikan kepada urf atau adat istiadat kalau kita lihat dari segi pemecahannya bahwa adat istiadat urf itu dibagi dua: adat istiadat yang shahih dan adat istiadat yang fasid yaitu segala sesuatu yang sudah dikenal manusia, tetap berlawanan dengan hukum syara. 13 Pemberian kudangan pada malam negor merupakan permintaan orang tua dari mempelai wanita yang merupakan ciri khas atau tradisi dalam perkawinan adat Betawi, jika dilihat dari berlangsungnya acara tersebut di dalamnya tidak ada tindakan atau unsur yang mengharamkan sesuatu yang halal ataupun menghalalkan sesuatu yang haram. Sebagaimana kita maklumi bahwa akad pernikahan dimaksudkan untuk mencari kehidupan bersama dan mencari keturunan menurut cara yang di ridhai oleh Allah SWT, maka dari itu suatu akad perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita dibolehkan mengadakan syarat-syarat yang telah disepakati bersama dan menjadi keinginan masing-masing sepanjang syarat-syarat tersebut tidak menyalahi maksud perkawinan. 14 Dalam kaitannya dengan pemberian kudangan pada malam negor pada perkawinan adat Betawi, sebagai penulis ungkapkan di atas bahwa kita harus melihat manfaat dan mudharatnya. 13 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Jkarta: Majlis Al-a`la,1972, cet ke-3 h. 89 14 Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978, cet ke-2, h. 45 54 Kemaslahatannya bahwa pemberian kudangan, pada malam negor ini merupakan suatu acara yang dapat menghidupkan upacara perkawinan adat Betawi dan melaksanakan tradisi yang sudah ada di daerah Benda Baru, Pamulang, dengan adanya hal tersebut perkawinan di Benda Baru lebih meriah. Walaupun tidak ada pemberian kudangan pada malam negor tidak mengurangi sahnya suatu akad perkawinan yang dilaksanakan dan diperbolehkan oleh hukum Islam karena tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dalam hukum Islam kita dibolehkan untuk memeriahkan acara perkawinan yaitu dengan mengadakan acara walimah yakni acara makan-makan dalam suatu acara perkawinan sebagaimana hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.. او ﻟْ وﻟ ْﻮ ةﺎ و ىرﺎﺨ ﻟا اور 15 Artinya: “Laksanakanlah walimah walaupun hanya menyembelih seekor kambing” H.R Bukhari dan Muslim Untuk memeriahkan acara tersebut, masyarakat mengumumkan melalui undangan tertulis ataupun tidak tertulis. Semua itu tergantung dari adat istiadat masyarakat itu sendiri. Adapun segi mudharatnya apabila mempelai wanita mendapat jodoh laki- laki yang tidak mampu atau tidak dapat memenuhi permintaan orang tua mempelai wanita kudangan pada malam negor, dalam hal ini perbuatan itu 15 Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Ihya, Al-Tirats al-Araby, t.t, Juz II, h. 31 55 bertentangan dengan hukum Islam, sebab syariat melarang pemberian yang berlebihan dalam perkawinan karena dapat menghambat perkawinan. Adapun apabila tidak ada pemberian kudangan pada malam negor tidak mengurangi sahnya dan meriahnya suatu perkawinan.

E. Analisis