2.5. Protes Tiongkok atas Okinawa Reversion Agreement bertentangan
dengan kaidah pacta tertiis nec nocent nec prosunt
Bersamaan dengan disahkannya Okinawa Reversion Agreement, Tiongkok mulai bereaksi dengan memprotes keabsahan dari traktat tersebut. Dalam hal ini,
maka Tiongkok sendiri hendaknya perlu memperhatikan pula mengenai Konvensi Wina 1969. Dalam Treaty of Peace with Japan 1951 dan Okinawa Reversion
Agreement, yang menjadi pihak dalam kedua perjanjian itu adalah Jepang dan Amerika Serikat beserta negara-negara Sekutu Treaty of Peace with Japan
1951. Tiongkok sendiri tidak termasuk dalam kedua perjanjian tersebut, dan pula tidak memiliki hak maupun kewajiban yang melekat pada Tiongkok. Ketentuan
tersebut tertuang dalam Article 34 Konvensi Wina 1969: [a] treaty does not create either obligations or rights for a third State without its consent
43
; atau dalam istilah Latin disebut pacta tertiis nec nocent nec prosunt
44
Ketentuan ini mensyaratkan bahwa pihak ketiga diluar perjanjian memperoleh hak dan
kewajiban jika menyetujui isi dalam perjanjian tersebut. Atas dasar ini, maka Tiongkok tidak dapat mengklaim bahwa perjanjian tersebut illegal dan tidak sah.
2.6. Pembelian Kepulauan Senkaku oleh Jepang mencerminkan tindakan
Yurisdiksi Teritorial
43
Lihat juga dalam Thomas Buergenthal dan Harold G. Maier, Op.Cit., h. 107.
44
Ibid., h. 206.
Traktat Shimonoseki
Perang Dunia Kedua
San Fransisco
Peace Treaty Okinawa
Reversion Agreement
Dalam kasus pembelian Kepulauan Senkaku oleh Pemerintah Jepang, dalam hal ini Gubernur Tokyo, maka perlu juga diperhatikan prinsip jurisdiksi teritorial
yang mana jurisdiksi teritorial ini juga mencakup dari pelaksanaan kedaulatan teritorial, karena Jepang sendiri telah memiliki kedaulatan penuh atas Kepulauan
tersebut. Kaitannya dengan pelaksanaan kontrol terhadap Kepulauan Senkaku, sesuai dengan definisi dari kedaulatan yurisdiksional, yaitu pelaksanaan
kedaulatan yang meliputi kegiatan administrasi, yudisial, eksekutif, dan legislatif yang dilakukan negara.
45
Dalam hal administrasi, terlihat dengan adanya pengadaan pajak di Pulau Kuba dan pengelolaan oleh negara tanah milik negara
di Pulau
Taisho dan
Pulau Uotsuri.
Mengenai kegiatan
yudisial, diimplementasikan dengan adanya patroli dan penegakan hukum, semisal
terhadap illegal fishing disekitar wilayah Kepulauan Senkaku. Hal ini juga membuktikan bahwa Jepang sendiri telah melaksanakan kewajibannya dalam
rangka menjaga hak-hak wilayahnya dari negara lain
46
dan adanya pelaksanaan kekuasaan publik atas Kepulauan Senkaku. Maka dengan kedaulatan yang
diperoleh Jepang atas Kepulauan Senkaku ini, mengandung makna bahwa Jepang memiliki hak eksklusif kompetensi atas Kepulauan Senkaku aspek positif dari
kedaulatan teritorial dan seharusnya pula Jepang memiliki kewajiban untuk tidak mengganggu hak negara-negara lain aspek negatif kedaulatan teritorial.
Atas pelaksanaan yurisdiksi teritorial yang dilakukan oleh Jepang ini, maka terdapat pula kesetaraan antar negara atau disebut juga dengan persamaan derajat,
yang mana hal ini merupakan basis dalam jurisdiksi, sehingga Tiongkok
45
Martin Dixon dan Robert McCorquodale, Op.Cit., h. 281.
46
Dalam putusan Island of Palmas Case, Arbitrator Max Huber menyatakan bahwa “Territorial sovereignty, as already been said, involves the exclusive right to display the activities
os a State. This right has a corollary a duty: the obligation to protect within the territory the rights of other State...”, lebih lanjut Lihat D.J. Harris, Op.Cit., h. 191.
hendaknya memperhatikan prinsip “par in parem non habat imperium”. Tiongkok tidak dapat melaksanakan yurisdiksinya semisal tindakan pemerintah Tiongkok
atas Kepulauan Senkaku, terkecuali atas izin dari pemerintah Jepang.
2.7. Suksesi melalui traktat