Sistematika Penulisan Analisishukum Pidana Hak Imunitas Advokat Dalam Melaksanakan Profesinya Sebagai Penegak Hukum Di Indonesia

37

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan yang terdapat dari skrpsi ini adalah sebagai berikut: BAB I: PENDAHULUAN Dalam bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah, perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian serta Sistematika Penulisan. BAB II: PENGATURAN HUKUM TENTANG PELAKSANAAN HAK IMUNITAS ADVOKAT DI INDONESIA Bab ini akan membahas tentang pengaturan pelaksanaan hak imunitas seorang advokat sebagai penegak hukum di Indonesia yang ditinjau dari UU No.18 tahun 2003 tentang Advokat, UU No.4 tahun 1964 tentang Peraturan Hukum pidana, dan UU No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. BAB III: HAMBATAN DALAM MELAKSANAKAN HAK IMUNITAS ADVOKAT DI INDONESIA Bab ini akan membahas tentang hambatan-hambatan seorang advokat dalam menjalankan hak imunitasnya sebagai penegak hukum, mulai dari akibat ketidaktaatan advokat itu sendiri terhadap sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi gabungan, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalis. 38 pengaturan tentang advokat, Kode Etik Advokat, arogansi para penegak hukumnya, dan juga karena ketidakharmonisan antara klien dengan Advokat yang telah dipercayakan. BABIV : KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA DALAM MELAKASANAKAN HAK IMUNITAS DI INDONESIA Bab ini akan membahas tentang kebijakan-kebijakan hukum pidana dalam penaggulangan kejahatan, yakni kebijakan hukum pidana, kebijakan non penal pidana. BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN Bab terakhir ini berisi kesimpulan mengenai bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan bab ini memberikan saran-saran dari penulis berkaitan dengan masalah yang dibahas. 39 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PELAKSANAAN HAK IMUNITAS ADVOKAT DI INDONESIA A. Undang-Undang No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Pekerjaan advokat tidak hanya terdiri atas pemberian nasehat, advokat untuk kepentingan kliennya mengatur berbagai urusan dengan instansi-instansi pemerintah atau pihak ketiga lain, berusaha mendamaikan perselisihan- perselisihan diluar pengadilan, dan dalam perkara pidana membela tertuduh. 54 Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat yang mengatur hak- hak advokat diantaranya hak kekebalan hukum imunitas, kitab undang-undang hukum pidana KUHP juga mengatur tentang hal itu, yakni terdapat di dalam pasal 50 KUHP salah satu pasal yang memuat tentang alasan pengecualian hukuman. Pasal 50 KUHP berbunyi: “barangsiapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang- undang, tidak dipidana .” Pasal ini menetukan pada prinsipnya orang yang melakukan suatu perbuatan meskipun itu merupakan tindak pidana, akan tetapi karna dilakukan berdasarkan perintah undang-undang maka si pelaku tidak boleh dihukum. Asalkan perbuatannya itu memang dilakukan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan pribadi pelaku. 55 54 Ko Tjay Sing, Rahasia Pekerjaan Dokter dan Advokat, Jakarta: Gramedia,1978, hlm. 36. 55 H.M.Hamdan,Hukum dan Pengecualian Hukum Menurut KUHP dan KUHAP ,Medan: USU Press, 2010.hlm.71 40 Pasal ini sangat berkaitan erat dengan pasal 15 UU Advokat, yang berbunyi: “Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggungjawabnya dengan tetap berpegang pada profesi dan peraturan perundang-undangan ”. 56 Artinya bahwa selama advokat menjalankan tugas profesinya dalam hal membela kepentingan klien maka advokat diberikan kebebasan oleh undang- undang. Arti bebas adalah tanpa tekanan, ancaman, hambatan, rasa takut atau perlakuan yang merendahkan martabat, dan kebebasan itu harus tetap dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kode etik profesi. Dari pengaturan tersebut terlihat bahwa asas kebebasan diberikan kepada advokat, yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaannya, sehingga avokat tidak dapat dituntut dan dihukum dalam melaksankan tugasnya. Dalam kedudukannya sebagai advokat ketika berhubungan dengan masyarakat umum mengenai hal-hal yang disampaikan kepadanya, advokat mempunyai kewajiban hukum untuk menyimpan atau merahasiakannya. Sama seperti perintah Undang-undang No.18 Tahun 2003 pasal 19 ayat 2 menentukan:”Advokat berhak merahasiakan hubungannya dengan klien, termasuk perlindungan akan berkas perkara dan dokumen terhadap penyitaan dan pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektonik advokat”. Perintah KEAI diatur bahwa advokat wajib memegang rahasia jabatan atas hal-hal yang didapatkan dari kliennya. Dalam pasal 4 huruf h KEAI ditentukan:”Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberikan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu 56 UUA 41 setelah berak hirnya hubungan antara advokat dan klien itu”. 57 Dimana seorang advokat dalam merahasiakan segala sesuatu yang diperoleh dari kliennya, termasuk perlindungan atas berkas perkara dan dokumen terhadap penyitaan dan perlindungan terhadap penyadapan komunikasi elektronik advokat, yang mana di dalam melakukan penyitaan, penyidik berwenang memerintahkan pada orang yang menguasai benda yang dapat disita itu untuk kepentingan pemeriksaan, demikian pula surat atau tulisan lain supaya diserahkan kepada penyidik jika surat atau tulisan itu berasal dari tersangka atau terdakwa atau ditujukan padanya atau diperuntukkan baginya atau jika benda tersebut merupakan alat untuk melakukan tindak pidana pasal 42 KUHAP. Dalam hal advokat tidak mau memeberikan persetujuan atas penyitaan dari tangannya, boleh saja penyidik meminta izin khusus kepada ketua pengadilan Negeri setempat, hal ini menujukkan bahwa izin yang dimintakan penyidik memerlukan proses pemeriksaan tersendiri dengan menyampaikan alasannya, yakni apa relevansi dan urgensinya penyitaan itu perlu tidaknya dilakukan. Dengan mengingat pasal 43 KUHAP penyitaan surat atau tulisan dari mereka yang berkewajiban merahasiakan menurut undang-undang, hanya dapat dilakukan: 1. Tidak menyangkut rahasia Negara 2. Atas persetujuan mereka yang berhak. 3. Dengan izin khusus Ketua Pengadilan Negeri setempat. 4. Undang-undang menentukan lain. 57 V.Harlen sinaga, op.cit., hlm. 128. 42 dan penyidik juga tidak dapat menuntut advokat dengan tuduhan mencegah atau menghalang-halangi proses penyidikan sesuai dengan pasal 216 KUHP, karena advokat didalam menjalankan fungsinya berkewajiban untuk mengupayakan peradilan yang adil bagi kliennya, termasuk sejak tahap penyidikan, maka dengan pertimbangannya bisa saja tetap akan berpegang teguh pada haknya yang dilindungi hukum untuk tidak menyerahkan berkas dan dokumen kliennya sebagai barang sitaan penyidik, sampai hal itu diperlukan untuk dibuka dalam persidangan dipengadilan. Tindakan advokat ini dapat dibenarkan mengingat bahwa kedudukan undang-undang lebih tinggi dari penetapan izin Ketua Pengadilan, selain itu perlu dicatat bahwa tinadakan advokat itu dilindungi hukum sesuai pasal 50 KUHP yang menyebutkan “barangsiapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang- undang, tidak dipidana.” Yang dimaksud “melaksanakan ketentuan undang- undang” terdapat yurisprudensi yang dikeluarkan oleh Hoge Raad 26 Juni 1899 menyebutkan”ketentuan undang-undang adalah setiap peraturan, yang dikeluarkan oleh setiap penguasa yang berwenang menurut undang-undang, bukan saja peraturan yang dikeluarkan oleh atau berdasarkan undang-undang negara. Dengan diundangkannya Undang-undang No 18 Tahun 2003 tentang Advokat sebagai lex specialis yang mengatur fungsi dan peran advokat dan sekaligus menjamin hak dan kewajiban advokat, maka “kecualai undang-undang menentukan lain ” yang disebutkan dalam pasal 43 KUHAP saat ini sudah tidak relevan lagi, sebaliknya kalaupun terdapat ketentuan-ketentuan lain yang bertentangan dengan ketentuan undang-undang No.18 Thaun 2003, yang harus 43 diikuti adalah ketentuan undang-undan g terakhir sesuai dengan prinsip “hukum yang kemudian membatalkan hukum yang terdahulu “lex posterior derogat legi prior” 58 Tidak dipidananya pelaku dalam hal ini yakni seorang advokat dalam melaksanakan tugas profesinya juga harus memperhatikan karakterwatak kepribadian dari pelaku. Apakah advokat memang mempunyai kepribadian dalam hal menjalankan tugas-tugasnya selalu dalam etikad baik atau tanpa mempunyai rasa tanggungjawab sama sekali. Jika karakter advokat memang orang yang selalu menjalankan tugas-tugasnya dengan baik, maka alasan penghapusan pidana dapat berlaku baginya. Berdasarkan pasal ini dapat dilihat hubungannya dalam Undang- undang tentang Advokat, bahwa advokat mempunyai kekebalan karena menjalankan profesinya sesuai yang diatur undang-undang.

B. Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana