6
dengan dedikasi yang tinggi dan mengambil seluruh langkah apapun yang tersedi yang menguntungan kepeentingan kliennya. Ketika kepentingan kliennya
bertentangan dengan kepentingan pihak lain, termasuk kepentingan advokat pribadi, kepentingan klien lah yang harus dimnangkan tentunya sepanjang tidak
bertentangan dengan aturan hukum yang lebih didahulukan berlakunya
6
. Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka penulis tertarik
menulis skripsi dengan judul
“Analisis hukum pidana hak imunitas advokat dalam melaksanakan profesinya sebagai penegak hukum di Indonesia
”
B. Perumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, maka dirumuskanlah masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana pengaturan hukum tentang pelaksanaan hak imunitas advokat
di Indonesia? b.
Bagaimana hambatan dalam melaksanakan hak imunitas advokat di Indonesia?
c. Bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap pengaturan hak imunitas
advokat di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:
6
Ibid., hlm.156.
7
1. Untuk mengetahui pengaturan dan perlindungan mengenai hak imunitas
profesi advokat di Indonesia. 2.
Untuk mengetahui kedudukan dan kekuatan seorang advokat dalam menggunakan hak imunitas profesinya.
3. Untuk mengetahui batasan-batasan profesi advokat dalam menggunakan
hak imunitasnya. 4.
Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana terhadap pengaturan hak imunitas advokat di Indonesia.
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini terbagi atas dua yaitu secara teoritis dan secara praktis, yaitu:
1. Secara Teoritis
Penulisan ini bermanfaat untuk memeberikan informasi, kontribusi pemikiran dan menambah pengetahuan pembaca dalam bidang pengetahuan ilmu
hukum profesi advokat pada umumnya dan tentang hak imunitas advokat dalam melindungi kepentingan klien dalam lingkup hukum pidana. Sehingga skripsi ini
dapat memperkaya perbendaharaan dan menjadi kajian ilmiah bagi para mahasiswa hukum maupun praktisi hukum di Indonesia.
2. Secara praktis
Secara praktis penulisan ini ditujukan kepada semua kalangan penegak hukum lainnya, baik polisi, jaksa, dan hakim supaya mengerti kedudukan serta
hak imunitas advokat dalam memberikan perlidungan terhadap klien, sehingga advokat dapat memberikan bantuan hukum yang maksimal kepada setiap
masyarakat pencari keadilan, dan juga dapat memberikan jasa hukum serta pembelaan terhadap semua kepentingan kliennya tanpa ragu-ragu.
8
D. Keaslian Penulisan
Skripsi ini berjudul “Analisis hukum pidana hak imunitas advokat dalam melaksanakan profesinya sebagai penegak hukum di Indonesia
”
adalah hasil buah pikir penulis sendiri juga ditambah literatur-literatur lain baik buku milik penulis sendiri maupun buku- buku dari perpustakaan serta sumber-
sumber lain yang menunjang penulisan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini murni penulis sendiri yang mengerjakannya dimana topik yang penulis bahas dalam skripsi ini belum pernah dibahas oleh orang lain
yang dapat dibuktikan berdasarkan data yang ada di perpustakaan fakultas hukum USU. Bila ternyata terdapat judul yang sama sebelum skripsi ini dibuat maka
penulis bertanggungjawab sepenuhmya.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengaturan Bantuan Hukum dan Hak Imunitas Advokat
a. Pengaturan Bantuan Hukum
Berdasarkan Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, advokat memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan hukum untuk kaum
miskin dan buta huruf. Secara ideal dapat dijelaskan bahwa bantuan hukum merupakan tanggung jawab sosial dari Advokat, oleh sebab itu Advokat dituntut
agar dapat mengalokasikan waktu dan juga sumber daya yang dimilikinya untuk membantu orang miskin yang membutuhkan bantuan hukum secara Cuma-Cuma
atau probono. Pemberian bantuan hukum oleh Advokat tidak hanya dipandang sebagai suatu kewajiban saja namun harus dipandang pula sebagai bagian dari
9
kontribusi dan tanggung jawab sosial social kontribution and social liability dalam kaitannya dengan peran dan fungsi sosial dari profesi advokat, undang-
undang No.18 tahun 2003 tentang advokat telah mengatur secara tegas mengenai kewajiban suatu advokat untuk memberikan bantuan hukum secara Cuma-Cuma
sebagai bagai dari kewajiban profesi. Dalam hal advokat tidak melakukan kewajiban profesi sehingga dapat diberlakukan sanksi. Untuk mendukung
pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum secara Cuma-Cuma oleh advokat maka dibutuhkan peran yang optimal dari organisasi profesi.
Bantuan hukum merupakan salah satu upaya mengisi hak asasi manusia HAM terutama pada lapisan termiskin rakyat kita. Orang kaya sering tidak
butuh bantuan hukum sebetulnya pada dasarnya hukum itu dekat dengan orang kaya. Kekayaan memberikan perlindungan hukum yang lebih aman, malah sering
juga tidak melestarikan ketidak adilan hukum antara sikaya dan simiskin. Kesalahan gerakan bantuan hukum di Indonesia selama ini adalah karena gerakan
bantuan hukum kita terlalu individual dan urban. pelanggaran HAM adalah masyarakat miskin dari struktural bawah yang hidup di rural. Pada bagian lain
sudah diungkapkan banyakanya insiden perlakuan yang tidak manusiawi, penyiksaan dan perlakuan yang yang merendahkan martabat manusia terutama
orang miskin yang tidak mampu membayar jasa hukum dan pembelaan seorang advokat penasehaet hukum profesional. Dalam keadaan seperti inilah bantuan
hukum diperlukan untuk membela orang miskin agar tidak menjadi korban penyiksaan, perlakuan manusiawi dan merendahkan derajat manusia yang
dilakukan oleh penegak hukum. Lembaga bantuan hukum sebagai salah satu sub sistem dari sistem peradilan pidana dapat memegang peranan penting dalam
10
membela dan melindungi hak-hak tersangka. Untuk itu diperlukan suatu proses hukum yang adil due process of law melalui suatu acara hukum nasional yang
lebih manusiawi dan lebih memperhatikan hak-hak tersangka.
7
Sama halnya bentuk kebijakan bantuan hukum gratis yang diberikan oleh pemerintah Provinsi Sumatera Selatan diatur dalam keputusan Gubernur Provinsi
Sumatera Selatan Nomor 10KPTSIII2009 tentang pedoman Penyelenggaraan Pemberian Bantuan Hukum gratis kepada masyarakat miskin Sumatera selatan.
Bantuan hukum gratis hanya diberikan kepadapemerintah setempat serta masyarakat miskin tersebut betul-betul mempertahankan hak atau kepentingan
hukumnya.
8
Ada beberapa aturan hukum yang mengatur tentang bantuan hukum di Indonesia, diantaranya:
1. Pengaturan bantuan hukum berdasarkan UUD 1945
Dalam UUD 1945 pasal 28 D ayat 1 telah memberikan pengakuan, jaminan, perlidungan dan kepastian hukum yang adil bagi setiap orang tanpa
membedakan suku, agama atau kedudukan derajat hidupnya. Pengakuan dan jaminan ini dipertegas lagi dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan
bahwa Indonesia adalah Negara hukum rechtstaat. Hal itu dapat diartikan bahwa hak untuk mendapatkan bantuan hukum sebagai bagian dari hak asasi
manusia harus dianggap sebgai hak konstitusional warga negara. Kendatipun tidak secara eksplisit diatur dan dinyatakan dalam UUD 1945, namun negara wajib
untuk memenuhinya karena akses terhadap keadilan dalam rangka pemenuhan hak
7
Frans Hendra Winarta, Suatu Hak Asasi Manusia Belas Kasihan Manusia, Jakarta: gramedia, hlm.63-64
8
YLBHI, Bantuan Hukum Bukan Hak Yang di Beri, Jakarta:Yayasan lembaga bantuan Hukum Indonesia,2013, hlm. 20.
11
untuk diadili secara adil merupakan salah satu ciri Negara hukum. Artinya Negara berkewajiban menjamin segala hak masyarakat yang berhubungan dengan
hukum, termasuk jaminan untuk mendapatkan bantuan hukum ini bukan tanpa dasar.
Selain itu dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945 disebutkan segala warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Artinya, setiap warga Negara mempunyai hak untuk dibela access to legal counsel, hak
diperlakukan sama dimuka hukum equality before of the law dan hak untuk mendapatkan keadilan access to justice
2. Pengaturan bantuan hukum berdasarkan UU No.18 Tahun 2003 dan
PP No.83 Tahun 2008 Pada tanggal 31 Desember 2008, pemerintah telah mensahkan peraturan
pemerintah PP No. 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum secara Cuma-Cuma. Peraturan pemerintah ini
merupakan pelaksanaan pasal 22 UU No.18 tahun 2003 tentang Advokat yang isinya sebagai berikut:
Ayat 1”Advokat wajib memberikan bantun hukum secar Cuma-Cuma kepada para pencari keadilan yang tidak mampu”, ayat 2 “ketentuan persyaratan
dan tata cara pemberian bantuan hukum secara Cuma-Cuma sebagaimana disebut pada ayat 1, diatur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah yang menginsyaratkan
Advokat wajib membemberikan bntuan hukum secara Cuma-Cuma kepada
pencari keadilan yang tidak mampu.”
9
Kewajiban bagi para Advokat untuk memberikan bantuan hukum secara Cuma-Cuma kepada pencari keadilan di dalam Peraturan Pemerintah No.83
Tahun 2008 terdapat dalam pasal- pasal yang isinya adalah “Advokat wajib
9
Frans Hendra Winarta, op.cit.
12
memberikan bantuan hukum secara Cuma-Cuma kepada pecari keadilan”. Serta
mengenai pelarangan bagi advokat untuk menolak permohonan bantuan secara Cuma-Cuma bagi pencari keadilan terdapat pada pasal 12 ayat 1 yang isinya:
“advokat dilarang menolak permohonan bantuan hukum secara Cuma- Cuma”, ayat 2 dalam hal terjadi penolakan permohonan pemberian bantuan
hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 permohonan dapat mengajukan keberatan organisasi advokat atau lrmbaga bantuan hukum yang bersangkutan.
a. Pengertian hak imunitas
Istilah imunitas berasal dari bahasa latin yaitu immuniteit yang memiliki arti kekebalan atau hal atau keadaan yang tidak dapat diganggu gugat. Istilah
imunitas tersebut apabila dikaitkan dengan hak imunitas advokat maka dapat diartikan sebagai hak atas kekebalan yang dimiliki oleh advokat dalam melakukan
profesinya dalam rangka membela kepentingan kliennya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Advokat yang pada pokoknya menjelaskan
bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan
Klien. Dengan demikian yang dimaksud dengan hak imunitas adalah kebebasan
dari advokat untuk melakukan atau tidak melakukan setiap tindakan dan mengeluarkan atau tidak mengeluarkan pendapat, keterangan atau dokumen
kepada siapapun dalam menjalankan tugas profesinya, sehingga dia tidak dapat di hukum sebagai konsekuensi dari pelaksanaan tugas profesinya.
10
Hak kekebalan immuniteit untuk tidak dapat dituntun baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya untuk kepentingan
10
V.Harlen Sinaga, Dasar-Dasar Profesi Advokat, Jakarta:Erlangga, ,2011 hlm.120.
13
pembelaan kilen dalam sidang pengadilan. Dengan penyandang status sebagai penegak hukum, peran advokat memiliki kebebasan dan kemandirian yang
dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Artinya, eksistensi advokat bukan lagi hanya sekedar profesi memberikan
jasa hukum, tanpa jaminan kemandirian yang dilindungi undang-undang, tetapi sudah menjadi salah satu perangkat keadilan dalam proses peradilan yang
mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan, bebas dari tekanan, ancaman, hambatan, dan rasa takut atau
perlakuan yang merendahkan harkat martabat profesinya.
11
Dalam menjalankan profesinya, hak imunitas juga telah dijamin oleh Undang-undang, yaitu dalam Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang
Advokat, yang secara tegas menyatakan, bahwa Advokat bebas untuk mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi
tanggung jawabnya di dalam Sidang Pengadilan. Maksud dari kata bebas dalam hal ini adalah tanpa adanya tekanan, ancaman, hambatan, tanpa adanya rasa takut,
atau perlakuan yang merendahkan harkat dan martabat profesi advokat. Selain itu pula Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara
yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada Kode Etik Profesi dan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu seorang Advokat tidak dapat dituntut baik secara Perdata maupun Pidana dalam menjalankan tugas profesinya yang didasarkan pada itikad
baik untuk kepentingan pembelaan Kliennya. Maksud Itikad baik disini adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk
11
H.zulkifli,Eksistensi Pasal 19 UU Advokat dan Kaitannya dengan Upaya Paksa Penyitaan yang Dimiliki oleh Penyidik, Medan: Kantor Hukum Zulkifli Nasution Rekan,
2006, hlm.1-2.
14
membela kepentingan Kliennya dalam setiap tingkat peradilan di semua lingkungan peradilan. Selain itu berdasarkan Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang
Advokat, bahwa Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang atau oleh masyarakat.
Advokat sebagai profesi mulia atau officium nobile memiliki kebebasan dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini diartikan bahwa advokat tidak terikat pada
hierarki birokrasi. Selain itu, advokat juga bukan merupakan aparat negara sehingga advokat diharapkan mampu berpihak kepada kepentingan masyarakat
atau kepentingan publik. Dalam kaitannya dengan hal tersebut maka kedudukan sosial dari advokat
yang demikian itu telah menimbulkan pula tanggung jawab moral bagi advokat yang bukan hanya bertindak sebagai pembela konstitusi namun juga bertindak
sebagai pembela hak asasi manusia, khusunya yang berkaitan dengan hak-hak publik.Akibat dari adanya tanggung jawab moral yang melekat pada pada status
profesinya maka advokat memiliki lima dimensi perjuangan ideal yaitu dimensi kemanusiaan, dimensi pertanggungjawaban sosial, dimensi kebebasan, dimensi
pembangunan negara hukum dan dimensi pembangunan demokrasi.
12
3. Pengertian Advokat dan Etika Profesi Advokat Indonesia
a. Pengertian Advokat
Akar kata advokat, apabila didasarkan pada kamus latin-Indonesia, dapat ditelusuri dari bahasa Latin, yaitu advocatus, yang berarti orang yang membantu
12
http:www.m2s-consulting.comindex.phppublikasiartikel-hukum22-kajian, di kases pada tanggal 29 November 2014.
15
seseorang dalam perkara, saksi yang meringankan. Sedangkan, menurut Black’s
Law Dictionary, kata advokat juga berasal dari kata Latin, yaitu advocare suatu kata kerja berarti
to defend,to call one’s aid, to vouch to warrant. Kata tersebut berarti:
“one who assits, defends, or pleads for another.one who renders legal advice and aid and pleads the cause of another before a court or a tribunal. A
person learned in the law and duly admitted to practice, who assits his client with advice, and pleads for him in open court. An assistant, advicer, plead for
causes.”
13
Artinya seorang yang membantu, mempertahankan, membela orang lain. Seseorang yang memberikan nasihat dan bantuan hukum dan berbicara untuk
orang lain di hadapan pengadilan. Seseorang yang mempelajari hukum dan telah diakui untuk berpraktek, yang memberikan nasihat kepada klien dan berbicara
untuk yang bersangkutan dihadapan pengadilan. Seseorang asisten, penasihat, atau pembicara untuk kasus-kasus.
14
Sedangkan menurut Assosiasi Advokat Indonesia “AAI”, pada Bab I, pasal 11 Anggaran Dasar AAI yang berbunyi:
“Advokat adalah termasuk penasehat hukum, pengacara, pengacara praktek, dan para konsultan hukum”.
Tapi jika kita coba menganalisis pragraf berikutnya, yaitu ayat 2 pragraf kedua
yang berbunyi: “Profesi advokat, penasehat hukum, pengacara, pengacara praktek adalah
profesi yang dijalankan para sarjana hukum lulusan Universitas negeri atau yang dipersamakan, bukan pegawai negeri Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
ABRI berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman R.I. atau oleh Ketua Pengadilan Tinggi setempat yang menjalankan praktek profesinya diluar dan
dimuka pengadilan.”
15
13
V.Harlen Sinaga, op.cit., hlm. 2.
14
Ibid.,
15
Yudha Pandu, Klien dan Penasehat Hukum, Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2001, hlm. 13.
16
Dalam kamus hukum, pengertian advokat diartikan sebagai pembela, seorang ahli hukum yang pekerjaannya mengajukan dan membela perkara di
dalam atau di luar sidang pengadilan. Sedangkan menurut UU Advokat Indonesia pasal 1 ayat 1 menerangkan bahwa advokat adalah orang yang berprofesi memberi
jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang ini.
Pengertian advokat secara istilah, adalah seorang yang melaksanakan kegiatan advokasi yaitu suatu kegiatan atau upaya yang dilakukan seseorang atau
kelompok orang untuk memfasilitasi dan memperjuangkan hak-hak, maupun kewajiban klien seseorang atau kelompok berdasarkan aturan yang berlaku.
Menurut undang-undang No.18 Tahun 2003 tentang advokat, dalam pasal 1 angka 1 dikatakan:
“advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum baik di dalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan
ketentuan Undang- Undang ini.”
16
Berdasarkan uraian diatas, pengertian advokat memberikan penekanan pada pekerjaan yang berkaitan dengan pengadilan. Sedangkan dalam undang-
undang No.82003, sudah ditegaskan bahwa advokat adalah orang yang melakukan pekerjaan baik di dalam maupun diluar pengadilan. Sehingga cakupan
advokat meliputi mereka yang melakukan pekerjaan baik di pengadilan maupun diluar pengadilan, sebagaimana diatur undang-undang advokat. Pendapat Purnadi
purbacaraka dan Soerjono Soekanto, dari sudut ilmu hukum, cakupan advokat tersebut sebagai politik hukumlegal policy. Poitik hukum yang dimaksud disini
adalah mencari kegiatan untuk memilih nilai- nilai dan menerapkan nilai-nilai.
17
16
Undang-undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat.
17
V.Harlen Sinaga, op.cit., hlm. 3.
17
Pengertian-pengertian yang diberikan terhadap istilah advokat ini di Indonesia terus berkembang secara cepat seiring dengan tuntutan demokrasi dan hak asasi
manusia. Akan tetapi penting untuk dipahami dengan baik bahwa pengertian profesi profession advokat tersebut berbeda dari pengertian pekerjaan
joboccupation. Menurut Milerson, yang membedakan kaum professional dari pekerjaan yang lain adalah:
1. Keterampilan yang didasarkan pada pengetahuan teoritis;
2. Penyediaan latihan dan pendidikan;
3. Pengujian kemampuan anggota;
4. Organisasi;
5. Kepatuhan kepada suatu aturan main professional; dan
6. Jasapelayanan yang sifatnya altruistik.
Advokat adalah penegak hukum yang memiliki kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya hakim, jaksa, dan polisi. Namun demikian, meskipun
sama-sama sebagai penegak hukum, peran dan fungsi para penegak hukum ini berbeda satu sama lain. Nilai-nilai value di atas merupakan pencerminan dari
nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Masyarakat yang dimaksud disini adalah pembentukan undang-undang pemerintah dan dewan perwakilan rakyat
yang mewujudkan aspirasi masyarakat, yang dalam hal ini antara sehukum yang dulu terkotak-kotak advokatpengacara dan konsultan hukum kiranya dapat
bersatu dan dihimpun dalam wadah organisasi yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas advokat dan menjadi profesional yang disegani pada masa
mendatang. Mengikuti konsep trias politica tentang pemisahan kekuasaan negara,
maka hakim sebagai penegak hukum menjalankan kekuasaan yudikatif, jaksa dan polisi menjalankan kekuasaan eksekutif. Disini diperoleh gambaran hakim
18
mewakili kepentingan negara, jaksa dan polisi mewakili kepentingan pemerintah. Sedangkan advokat tidak termasuk dalam lingkup kekuasaan negara eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Advokat sebagai penegak hukum menjalankan peran dan fungsinya secara mandiri untuk mewakili kepentingan masyarakat klien dan
tidak terpengaruh kekuasaan negara yudikatif dan eksekutif.
b. Pengertian Etika Profesi Advokat
Pengertian Etika Etimologi , berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”,
yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan. Etika berkaitan erat dengan perkataan mo
ral yang merupakan istilah dari bahasa latin yaitu”Mos” Dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup
seseorang dengan melakukan perbuatn yang baik kesusilaan dan menghindari dari hal-hal tindakan yang buruk.
18
Etika adalah suatu nilai-nilai positif yang menuntun perilaku atau tindak tanduk manusia. Etika dapat diciptakan dan diberlakukan menurut luas dan
sempitnya. Etika diciptakan dan diberlakukan dalam arti luas adalah etika yang nilai-nilainya terkandung dalam moral dan susila. Sedangkan etika yang
diciptakan dan diberlakukan dalam arti sempit adalah etika yang ditujukan untuk suatu golongan atau kelompok manusia dalam masyarakat. Dengan demikian
etika yang diciptakan dan diberlakukan dalam arti sempit inilah yang disebut dengan etika profesi.
19
Menurut William Lilie, dalam bukunya An Intoduction to Ethics, Barnes Noble, 1957, New York, USA yaitu
18
Rosady Ruslan, Etika kehumasan “Konsep dan Aplikasi”, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2001, hlm. 29.
19
Yudha Pandu, op.cit.,hlm.23.
19
“The normative science of conduct of human beings living in societis is a science which judge this conduct tobe right or wrong, tobe good or bad, or in
some similiar way. This definition says, first of all, that ethics is a science may be defined as a systematic and more or less complete body of knomledge about a
particular set of related event or object”. Pengertian dan defenisi etika daripada filsuf atau ahli tersebut di atas, yaitu
saling berbeda dalam pokok perhatiannya; antara lain: a.
Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan dan sifat dari hak.
b. Pedoman perilaku yang diakui berkaitan dengan memperhatikan bagian
utama dari kegiatan manusia. c.
Ilmu watak yang ideal, dan prinsip-prinsip moral sebagai individual. d.
Merupakan ilmu suatu kewajiban.
20
Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi oleh keahlian keterampilan tertentu. Suatu profesi tidak akan mempunyai citra, wibawa, serta
harkat dan martabat jika tidak diletakkan dengan nillai-nilai etika. Etika profesi adalah peraturan yang ditujukan kepada perseorangan yang menyandang
pekerjaan yang dilandasi oleh keahlian atau keterampilan tertentu.
21
Mengenai pengaturannya hanya ada satu kode etik profesi advokat yang diberlakukan untuk seluruh advokat. Dalam pasal 33 Undang-undang No.18
Tahun 2003 diatur kode etik advokat sebagai berikut: “kode etik dan ketentuan dewan kehormatan profesi advokat yang telah
ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia Ikadin, Asosiasi Advokat IndonesiaAAI, Ikatan Penasehat Hukum Indonesia IPHI, Himpunan Advokat
dan Pengacara Indonesia HAPI, Serikat Pengacara Indonesia SPI, Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia AKHI, Himpunan Konsultan PasarModal HKPM,
pada tanggal 25 Mei 2002 dinyatakan mempunyai kekuatan hukum secara mutatis mutandis menurut Undanng
–Undang ini sampai ada ketentuan yang baru yang dibuat advokat.”
20
Rusady Ruslan, op.cit., hlm. 31.
21
Ropaun Rambe, Teknik Praktek Advokat, Jakarta: Grasindo, 2001, hlm.41.
20
Selain itu, pengaturan dalam pasal tersebut tampak sejalan dengan pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Advokat yang menginginkan agar hanya ada suatu
organisasi advokat. Oleh karena itu apabila seorang advokat telah dinyatakan bersalah, lalu dia melakukan banding diluar organisasi diluar Peradi, tindakan
tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum yang tidak memahami Undang-undang Advokat.
22
Jika ingin mempertajam pembahasan tentang etika profesi khususnya etika profesi advokat maka kita akan menjumpai defenisinya menurut Mohamad
Sanusi, yaitu: “Kode etik profesi advokat adalah ketentuan atau norma yang mengatur
sikap, perilaku dan perbuatan yang boleh atau tidak boleh dilakukan seseorang advokat dalam menjalankan kegiatan profesinya, baik sewaktu berbicara di muka
pengadilan maupun diluar pengadilan”.
23
Dari defenisi diatas, maka fungsi dari kode etika profesi advokat dapat dikelompokkan :
1. Kode etik dalam hubungan dengan kepribadian advokat umumnya.
2. Kode etik dalam hubungan advokat dengan klien.
3. Kode etik dalam hubungan dengan sejawat.
4. Kode etik dalam bertindak menangani perkara.
5. Kode etik dalam hubungan advokat terhadap hukum atau undang-undang
kekuasaan umum, dan para pejabat pegadilan.
24
Khusus pengembangan profesi advokat, sang advokat harus selalu berpegang teguh kepada usaha untuk merealisasikan keterlibatan dan kepastian
hukum yang berkeadilan. Khusus bahan renungan bagi para advokat, yang
22
Vharlen Sinaga.op.cit.,hlm.78
23
Yudha Pandu, op.cit.,hlm.25.
24
Ropaun Rambe., op.cit.,hlm.45.
21
dikutipkan dari tulisan Samuel S.Leibowitz, Quentin Reynolds seorang advokat yang kemudian menjadi hakim dalam kata pengantar bukunya Court Romm
sebagai berikut: dalam cerita sandiwara ini, Kingsley menciptakan tokoh Endicott Sims, seorang advokat yang mengkhususkan diri dalam bidang-bidang perkara
pidana. Seorang detektif yang sadis Letnan Kames McLeod yang telah menganiaya seorang tersangka yang menjadi klien Sims. Tersangka yang dianiaya
itu hampir mati. Sims mengatakan kepada detektif itu bahwa dia beruntung karena ia tidak menghadapi tuduhan pembunuhan berat.
McLeod : Saya selalu dapat meminta anda untuk membela saya.
Sims : Dan saya mungkin akan melakukannya. Itu adalah pekerjaan saya.
McLeod : Selama anda memperoleh hononarium anda?
Sims : Saya telah sering membela orang atas biaya saya sendiri. Setiap
orang memiliki hak untuk didampingi advokat memperoleh bantuan hukum, betapapun ia tampak bersalah bagi anda atau bagi
saya. Setiap orang berhak untuk tidak dihakimi secara sewenang- wenang, khususnya oleh orang-orang yang memiliki wewenang;
tidak oleh anda, tidak oleh kongres, bahkan tidak oleh presiden Amerika Serikat.
McLeod : Ia bersalah Anda pun mengetahui sama seperti saya.
Sims : Saya tidak mengetahui hal itu, saya bahkan tidak akan
mengijinkan saya
sendiri berspekulasi
tentang ketidak
bersalahannya atau kebersalahannya. Pada saat saya melakukan hai itu saya melakukan tindakan menghakimi, dan bukan tugas saya
22
untuk menghakimi. Tugas saya adalah untuk membela klien saya, bukan untuk menghakiminya. Hal itu tugas dari pengadilan.
Dari sinopsis Detective story tersebut, terlihat bahwa advokat Smis memiliki komitmen yang kokoh terhadap etika profesi, sebab dia tidak mau
berspekulasi tentang
ketidak bersalahan
dan kebersalahan
seseorang menghakimi kalaupun si terdakwa tersebut nyata bersalah. Sikap seperti ini
tentunya adalah merupakan gambaran seorang penasehat hukum yang memiliki sikap etis dalam mengemban profesinya secara bermartabat.
25
Oleh karena itu demi menjunjung kebenaran, keadilan, dan hati nurani penasehat hukum dapat menjaga citra, wibawa, harkat serta martabat dalam menjalankan
profesinya.
4. Kebijakan Hukum Pidana
a. Kebijakan Penal
Istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “policy”. Istilah dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kata “politik”, oleh karena itu
kebijakan hukum pidana biasa disebut juga politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai
politik hukum secara keseluruhan karena hukum pidana adalah salah satu bagian dari ilmu hukum. Oleh karena itu sangat penting untuk dibicarakan tentang politik
hukum.
26
25
Suhrawardi K.Lubis, Etika Profesi Hukum, Medan: Sinar grafika, 1993, hlm.28-29.
26
Mahmud Mulyadi, Crimal Policy, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008, hlm. 65.
23
Marc Ancel pernah menyatakan, bahwa “penal Policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga
kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.
27
Selanjutnya dinyatakan olehnya:
“diantara studi mengenai faktor-faktor kriminologis, di satu pihak dan studi mengenai teknik perundang-undangan dilain pihak, ada tempat bagi suatu
ilmu pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki fenomena legislatif dan bagi suatu seni yang rasional, dimana para sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi
dan sarjana hukum dapat bekerja sama tidak sebagai pihak yang saling berlawanan atau saling berselisih, tetapi sebagai kawan sekerjaya yang terikat
dalam tugas bersama, yaitu terutama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, humanis dan berpikiran maju progresif lagi seha
t”. Dengan kata pengantar diatas, ingin ditegaskan bahwa pada hakikatnya
masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif, kebijakan
hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif, bahkan memerlukan pula
pendekatan komprehensip dari berbagai disiplin sosisal lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.
28
Selanjutnya Marc Ancel, Penal Policy Politik Hukum Pidana adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara baik dan untuk memberi pedoman, tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga
27
Barda Nawawi, Kebijakan Hukum Pidana “Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP
Baru”, Jakarta:Fajar Interpratama Offset,2008, hlm. 19.
28
Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996, hlm. 23.
24
kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.
29
Ada suatu pertanyaan yang krusial yang dapat muncul yaitu, mungkinkah pemidanaan dapat dijadikan sebagai instrumen pencegahan kejahatan? Persoalan
ini muncul karena selama ini banyak anggapan bahwa pemidanaan bukan mengurangi terjadinya kejahatan, tetapi jutru menambah dan membuat kejahatan
semakin marak terjadi. Upaya mencari jawaban atas persoalan diatas, maka pembahasan harus
diarahkan untuk mengungkap secara philosopis apa tujuan sesungguhnya pemidanaan. Alasan philosopis pemidanaan sangat penting untuk mencari arah
kemana nantinya kebijakan hukum pidana diarahkan. Tanpa itu semua, maka substansi hukum pidana dan penerapannya akan tercerabut dari akar nilai-nilai
philosopis dan akan menjadi hukum pidana yang kering serta tidak menyentuh nilai rasa kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat.
Usaha menemukan alas philosopis tujuan hukum pidana ini, maka akan membawa kita pada pengembaraan secara imaginer dalam alur sejarah pidana dan
pemidanaan dari sejak zaman pidana klasik sampai pada perkembangan hukum pidana saat ini. Pembabakan pada tujuan pemidanaan ini dapat diuraikan
berdasarkan tujuan retributif, detterence, gabungan, treatment, social defence.
30
A. Teori Retributif
Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri. Karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai
imbalannya vergelding si pelaku harus diberi penderitaan.
29
M.Hamdan, Politik Hukum Pidana, Medan:Grafindo Persada, 1996, hlm. 20.
30
Mahmud Mulyadi, op.cit., hlm. 67-68.
25
Para pakar penganut teori ini, antara lain: a.
Immanuel Kant Immanuel Kant selaku ahli filsafat berpendapat bahwa dasar hukum
pemidanaan harus dicari dari kejahatan itu sendiri , yang telah menimbulkan pederitaan pada orang lain, sedang hukuman merupakan
tuntutan yang mutlak dari hukum kesusilaan. Disini hukum itu merupakan suatu pembalasan yang etis.
b. Hegel
Ahli filsafat ini mengajarkan bahwa hukum adalah suatu kenyataan kemerdekaan. Oleh karena itu, kejahatan merupakan tantangan terhadap
hukum dan hak. Hukuman dipandang dari sisi imbalan sehingga hukuman merupakan dialectische vrgelding.
31
Teori retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa pemidanaan m
erupakan “morally Justifed” pembenaran secara moral karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya.
Asumsi yang penting terhadap pembenaran untuk menghukum sebagai respon terhadap pembenaran suatu kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan
pelanggaran terhadap norma moral teretntu yang mendasari aturan hukum yang dilakukannya secara sengaja dan sadar dan hal ini merupakan bentuk dari
tanggung jawab moral dan kesalahan hukum sipelaku.
32
Ciri khas teori retributif ini terutama dari pandangan Immanuel Kant 1724-1804 dan Hegel 1770-1831 adalah keyakinan mutlak akan keniscahayaan
pidana, sekalipun sebenarnya pidana tidak berguna. Pandangan di arahkan pada
31
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 105.
32
Mahmud Mulyadi, op.cit., hlm. 68.
26
masa lalu dan bukan ke masa depan dan kesalahan hanya bisa ditebus dengan menjalani penderitaan.
Kant melihat dalam pemidanaan terdapat suatu “imperatif kategoris”, yang merupakan tuntutan mutlak dipidananya seseorang karena telah melakukan
kejahatan. Sedangkan hegel memandang bahwa pemidanaan adalah hak dari pelaku kejahatan atas perbuatan yang dilakukannya berdasarkan kemauannya
sendiri.
33
B. Teori Detterence
Tujuan yang kedua dari pemidanaan adalah “deterrence”. Terminologi “deterrence” menurut Zimring dan Hawkins, digunakan lebih terbatas pada
penerapan hukuman pada suatu kasus, dimana ancaman pemidanaan tersebut membuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan kejahatan.
34
Hukuman dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukum itu, yakni memperbaiki ketidak puasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu.
Selain itu tujuan hukuman adalah untuk mencegah prevensi kejahatan.
35
Nigel Walker menamakan aliran ini sebagai paham reduktif reductivism karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah untuk
mengurangi frekuensi kejahatan ... the justification for penalazing offences is that this reduces their frequency. Penganut reductivism meyakini bahwa pemidanaan
dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara berikut ini: 1.
Pencegahan terhadap pelaku kejahatan deterring the offender, yaitu membujuk sipelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan
33
Ibid., hlm. 70.
34
Ibid., hlm.72.
35
Leden Marpaung, op.cit., hlm. 106.
27
pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan;
2. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial deterring potential
imitators dalam hal ini memnerikan rasa takut orang lain yang potensial untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana
yang telah dijatuhkan kepada si pelaku sehingga mendatangkan rasa takut akan kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya.
3. Perbaikan sipelaku reforming the offender, yaitu memperbaiki
tingkah laku sipelaku sehingga muncul kesadaran sipelaku untuk cenderung tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya
rasa ketakutan dari ancaman pidana. 4.
Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan, sehingga dengan cara ini, secara tidak langsung dapat
mengurangi frekuensi kejahatan; 5.
Melindungi masyarakat protecting the public, melalui pidana penjara yang cukup lama.
36
C. Teori Gabungan Teleoligical retributivist
Menurut teori teleological retributivist, tujuan pemidanaan adalah bersifat plural, karena menghubungkan prinsip-prinsip teleologis. Teori teological
retributivist ini dikenal dengan teori gabungan, teori gabungan ini lahir karena adanya kelemahan yang terdapat baik pada teori absolut maupun teori relatif.
37
36
Mahmud Mulyadi, op.cit., hlm.72.
37
Abdul Khair, op.cit., hlm. 46.
28
Vos dalam Bambang Poernomo menyebutkan, bahwa dalam teori gabungan terdapat tiga aliran, yaitu:
1. Teori gabungan yang menitik beratkan pembalasan tetapi dengan
maksud sifat pembalasan itu untuk melindungi ketertiban umum. Grotius di dalam Andi Hamza disebutkan telah mengembangkan
teori gabungan yang menitik beratkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi
masyarakat.
2. Teori gabungan yang menitik beratkan kepada perlindungan
ketertiban masyarakat. Teori ini dianut oleh Simons yang mempergunakan jalan pikiran, bahwa secara prevensi umum terletak
pada ancaman pidananya, dan secara prevensi khusus terletak pada sifat pidana menakutkan, memperbaiki dan membinasakan, serta
selanjutnya secara absolut pidana itu harus diseseuaikan dengan kesadaran hukum anggota masyarakat.
3. Teori gabungan yang menitik beratkan sama antara pembalasan dan
perlindungan kepentingan masyarakat, penganutnya adalah De Pinto. Vos juga menerangkan, karena pada umumya suatu pidana harus
memuaskan masyarakat maka hukum pidana harus disusun sedemikian rupa.
38
D. Teori Treatment
Treatmen sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan,
bukan pada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksud oleh aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan treatment dan perbaikan
rehabilitation kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen alasan ini dilandasi pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang
yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan dan perbaikan.
39
Dalam kajian yang dibuat oleh Yong Ohoitimur, kejahatan dianggap sebagai Simptom disharmony mental atau ketidak seimbangan personal yang
membutuhkan terapi psikiatris, conseling, latihan-latihan spritual dan sebagainya. Lagi pula karena pemidanaan lebih dipandang sebagai proses terapai atas penyakit
38
Ibid., hlm. 48-49.
39
Mahmud Mulyadi, op.cit., hlm. 79.
29
yang ada, bukan lagi sebagai penjeraan atau penangkalan dalam proses detterence. Dalam pandangan detterence pelaku adalah orang yang bersalah yang harus
dijerakan supaya tidak mngulangi lagi tindak pidananya, sementara rehabilitasi memandang seorang pelaku tindak pidana justru merupakan orang yang perlu
ditolong.
40
Hart berpendapat bahwa seseorang dapat dapat dikenakan pemidanaan jika seseorang tersebut telah melakukan perbuatan yang secara moral bersalah.
Pemidanaan yang dijatuhkan harus sesuai dengan tingkat kejahatan dari perbuatan tersebut. Pembenaran pemidanaan disandarkan pada argumen bahwa pembalasan
penderitaan kepada moral seseorang yang jahat dilakukan secara sukarela, yang pada dasarnya pelaku tersebut mempunyai moral yang baik.
41
Herbert L.Packer tidak seperti Hart yang mengusulkan pentingnya kembali paham retributif dalam hal pemidanaan, Packer lebih cenderung untuk kembali
mengkaji aliran klasik dengan tujuan detterence karena menurutnya lebuh berguna sebagai starting pointi untuk mengkaji secara kejahatan dan pemidanaan secara
rasional serta lebih integral.
42
E. Teori Sosial Defence perlindungan sosial
Social Defence adalah aliran pemidanaan yang berkembang setelah PD II dengan tokoh terkenalnya adalah Filipo Gramatica. Pandangan social defence ini
terpecah menjadi dua aliran, aliran yang rdikal ekstrim dan aliran yang moderat reformis.
40
Eva Achjani Zulfa., op.cit., hlm. 57.
41
Mahmud Mulyadi, op.cit., hlm. 86.
42
Ibid
30
Pandangan yang radikal dipelopori dan dipertahankan oleh F.Gramatdica, yang berpendapat bahwa: hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum
pidana yang ada sekarang. Tujuan utama dari hukum perlidungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap
perbuatannya. Pandangan Moderat dipertahankan oleh Marc Ancle yang menamakan alirannya
sebgai defence social nouvelle. Menurut Marc Ancle tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang
tidak hanya sesuai dengan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum.
43
Velinka dan Ute menyatakan bahwa resosialisasi adalah proses yang mengakomodasikan dan memenuhi kebutuhan pelaku tindak pidana akan
kebutuhan sosialnya. Kebutuhan sosial yang dmaksud pada dasarnya adalah kebutuhan untuk bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan masyarakat.
44
Dalam dekade 30 tahun terakhir, teori telah mengusung pelaku masuk dalam bentuk pemidanaan yang manusiawi dan lebih menghargai hak asasi manusia,
teori ini banyak memperoleh kritik karena teori ini hanya dapat dipakai dan jelas terlihat sebagai sarana diakhir masa hukuman untuk mempersiapkan diri
memasuki masa kebebasan.
45
b. Kebijakan Non Penal
Kebijakan penanggulangan kejahatan atau biasa dikenal dengan istilah “politik Kriminal” dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Menurut G.P.
Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :
43
Ibid., hlm.88.
44
Eva Achjani Zulfa, op.cit., hlm. 58.
45
Ibid, hli. 59.
31
a. Penerapan hukum pidana criminal law application
b. Pencegahan tanpa pidana prevention without punishment
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat mass media influencing views of society on crime and punishment mass media.
46
Kongres PBB ke-6 tahun 1980 yang berlangsung di Caracas, Venezuela menyatakan dalam pertimbangan resolusinya mengenai crime Trends and Crime
Prevention Strategis, antara lain: 1.
Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas kehidupan yang layak bagi semua orang
2. Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada
penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan
3. Bahwa penyebab utama banyaknya terjadi kejatahatan diberbagai
negara adalah disebabkan oleh ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional, standard hidup yang rendah,
pengangguran dan kebodohan diantara sebagian besar penduduk. Berdasarkan pertimbangan diatas, dihimbau kepada semua kongres ke-6
PBB untuk mengambil tindakan dalam kekuasaan mereka untuk menghapus kondisi-kondisi kehidupan yang menurunkan martabat kemanusiaan dan
menyebabkan kejahatan yang meliputi masalah pengangguran, kemiskinan, kebutahurufan, deskriminasi rasial dan nasional serta berbagai macam bentuk
ketimpangan sosial.
47
Kondisi sosial yang diterangi sebagai faktor penyebab timbulnya kejahatan, seperti yang dikemukakan diatas adalah masalah-masalah yang sulit
46
Barda Nawawi Arif, op.cit., hlm. 39-40.
47
Mahmud Mulyadi, op.cit., hlm. 56.
32
dipecahkan bila hanya mengandalkan pendekatan penal semata. Oleh karena itulah pemecahan masalah diatas harus didukung oleh pendekatan non penal
berupa kebijakan sosial dan pencegahan kejahatan berbasiskan masyarakat. Pendekatan non penal menurut Hoefnagels adalah pendekatan pencegahan
kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan prevention without punishment, yaitu antara lain perencanaan kesehatan mental masyarakat
community plaining mental healthy, social worker and child welfare kesejahteraan anak dan pekerjaan sosial, serta penggunaan hukum civil dan
hukum administrasi.
48
Upaya penanggulangan non-penal dapat dilakukan dengan cara: 1.
Upaya yang bersifat preventif Upaya preventif adalah suatu usaha untuk mencegah terjadinya kejahatan
jauh sebelum terjadinya kejahatan itu. Karena mencegah kejahatan jauh lebih baik daripada mendidik. Usaha melenyapkan seluruh kejahatan agaknya tidak mungkin
dilakukan, namun bukan berarti kita mendiamkan kejahatan itu terjadi, kita dituntut untuk berupaya mengurangi kejahatan, baik dari kuantitas maupun
kualitas. Uapaya preventif dalam arti luas adalah pencegahan yang mungkin timbul jauh sebelum kejahatan itu terjadi.
49
2. Upaya bersifat Represif
Upaya represif merupakan tindakan yang dilakukan dalam menanggulangi kejahatan. Uapaya ini diambil sesudah atau pada saat terjadinya kejahatan . usaha
ini dilakukan dengan tujuan agar kejahatan tidak terulang lagi atau paling tidak dapat memperkecil angka kejahatan tersebut. Usaha menindak pelanggaran
48
Ibid., hlm. 57.
49
Daud Rianto Purba, Perilaku Seks Bebas Pada Anak Jalanan dalam Perspektif Kriminologi, Medan: USU, 2012, hlm. 54.
33
norma-norma sosial dan moral dapat dilakukan dengan mengadakan hukuman bagi setiap perbuatan pelanggarannya. Kejahatan akan selalu ada selama manusia
itu ada. Akan tetapi walaupun demikian kita harus berusaha untuk mencegah tindak pidana tersebut dan menanggulanginya.
50
Bahkan untuk mencapai tujuan pemidanaan yang berupa prevensi-umum dan prevensi-khusus saja, efektivitas sarana penal masih diragukan atau setidak-
tidaknya tidak diketahui seberapa jauh pengaruhnya. Serentetan pendapat dan hasil penelitian berikut ini kiranya mendapat perhatian:
a. Rubin menyatakan, bahwa pemidanaan apapun hakikatnya, apakah
dimaksudkan untuk menghukum atau untuk memperbaiki sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan.
b. Schultz menyatakan, bahwa naik turunnya kejahatan disuatu negara
tidaklah berhubungan dengan perubahan-perubahan didalam hukumnya atau kecenderungan-kecenderungan dalam putusan-
putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan-perubahan kultural yang besar dalam
kehidupan masyarakat. c.
Johannes Andenaes menyatakan, bahwa bekerjanya hukum pidana selamanya harus dilihat dari keseluruhan konteks kulturalnya. Ada
saling pengaruh antara hukum dengan faktor-faktor lain yang membentuk sikap dan tindakan-tindakan kita.
50
Ibid., hlm.61.
34
d. Wolf Middendorft menyatakan, bahwa sangat sulit lah untuk
melakukan evaluasi terhadap efektifitas da ri “general detterence”
karena mekanisme pencegahan itu tidak diketahui. e.
Donald R. Taft dan Ralph W.England menyatakan, bahwa efektifitas hukum pidana tidak dapat diukur secara akurat. Hukum hanya
merupakan salah satu sarana kontrol sosial. f.
R. Hood dan R. Sparks menytakan, beberapa aspek lain dari “general prevention”, seperti “reinforcing social value”,
“strenghening the common conscience”, “alleviating fear” dan “providing a sense of communal security” sulit untuk diteliti.
Dari beberapa pendapat dan hasil penelitian diatas, cukup beralasan kiranya untuk terus menerus menggali, memanfatkan dan mengembangkan upaya-
upaya non penal untuk mengimbangi kekurangan dan keterbatasan sarana penal.
51
F. Metode Penelitian