79
BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MELAKSANAKAN HAK
IMUNITAS ADVOKAT DI INDONESIA
A. Kebijakan Penal
Kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Prof. Sudarto, “Politik Hukum” adalah:
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai
dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. b.
Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan
peraturan-peraturan yang
dikehendaki yang
diperkirakan bisa digunakan untuk mengespresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-
citakan.
118
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.
Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik
hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”
Usaha penanggulangan kejahatan pada hukum pidana juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum khususnya penegakan hukum pidana oleh
karena itu sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum.
119
Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan saran penal hukum pidana ialah masalah penentuan:
118
Barda Nawawi, op.cit., hlm. 22.
119
Barda Nawawi Arif, op.cit., hlm. 29.
80
1 Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana.
2 Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada
sipelanggar.
Penganalisisan terhadap dua masalah ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau
kebijakan pembangunan nasionl. Ini berarti pemecahan masalah-masalah diatas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial-
politik yang telah ditetapkan. Dengan demikian kebijakan hukm pidana, termasuk pula kebijakan dalam menangani masalah sentral diatas, harus pula dilakukan
dengan pendekatan yang beriorentasi pada kebijakan policy oriented approach. Sudah barang tentu pendekatan kebijakan yang integral ini tidak hanya dalam
bidang hukum pidana, tetapi juga pada pembangunan hukum pada umumnya.
120
Advokat adalah salah satu penegak hukum, dan dalam melakukan tugas dan pekerjaannya advokat diberikan hak imunitas kekebalan yakni hak untuk
bebas menjalankan tugas dan tanggungjawabnnya dalam melindungi kepentingan klien di dalam dan diluar pengadilan dengan berpegang teguh pada ketentuan
perundang-undangan. Pengaturan pelaksanaan dan perlindungan tentang hak imunitas advokat
tidak hanya ditemukan dalam Undang-Undang Advokat, namun juga dapat ditemukan di dalam peraturan hukum lainnya seperti dalam Undang-Undang No.1
Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dan Undang-undang No.8 Tahun
120
Ibid., hlm. 32-33.
81
1981 tentang Hukum Acara Pidana seperti yang telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya.
Sistem penegakan hukum merupakan salah satu tongkat utama dalam negara, oleh sebab itu ada asumsi umum mengatakan, bahwa guna mencapai
kepastian hukum setiap elemen dari penegak hukum harus diatur oleh negara. Advokaat adalah salah satu elemen dari penegak hukum tersebut pasal 5 Undang-
Undang Advokat, alasan bahwa adanya hak negara untuk mengatur profesi advokat guna menjamin berjalannya sistem penegakan hukum yang telah
ditetapkan atau secara lebih pragmatis, negara juga memiliki kepentingan untuk membatasi peran advokat guna mempertahankan stabilitas politik- mengingat
potensi advokat yang dapat memainkan peran signifikan dalam penegakan demokrasi serta hak asasi manusia, yang sering berseberangan dengan kebijakan
dan kepentingan negara.
121
Untuk itu pemerintah perlu membuat kebijakan hukum guna untuk memberikan sanksi hukum kepada Advokat yang tidak berjalan sesuai peraturan
dan kode etik yang berlaku. Merujuk KUHAP tentang pemberian bantuan hukum, yang kini telah
berarti menjadi advokat. Salah satu hak advokat dalam melindungi kepentingan kliennya adalah berhak menghubungi atau berbicara dengan tersangka pada setiap
tingkat pemeriksaan dan tiap waktu untuk kepentingan pembelaannya pasal 71 ayat 1
122
. Namun pemerintah membuat kebijakan hukum sebagai konsekuensi dari kualitas profesionalnya, agar jangan sampai menghalangi dan mengabaikan
121
Daniel S.Lev, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2001, hlm. 54.
122
Martiman Prodjohamidjojo, op.cit., hlm. 10.
82
kelancaran pejabatan yang sedang bertugas. Maka, pasal 70 ayat 2 yang berbunyi:
“Jika terdapat bukti bahwa penasehat hukum tersebut menyalahgunakan haknya dalam pembicaraan dengan tersangka maka sesuai dengan tingkat
pemeriksaan, penyidik, penuntut umum atau petugas lembaga pemasyarakatan memberi peringatan kepada penasehat hukum”
Pasal ini menjelaskan tentang memberi peringatan kepada advokat jika menyalahgunakan haknya dalam pembicaraan dengan tersangka pada saat
pemeriksaan penyidikan, penuntutan dan dilembaga kemasyarakatan. Aturan ini harus disadari oleh setiap advokat sebagai konsekuensi dari kualitas
profesionalnya, karena setiap advokat harus membantu untuk saling memperlancar tugas pejabat itu sejauh memang dilakukan patut, wajar, dan sah.
Akibat hukum dari peringatan dalam pasal ini, bisa jadi ditingkatkan menjadi “diawasi” dan selanjutnya “dilarang” mendampingi tersangka. Sanksi terhadap
perilaku tak profesional dalam pasal ini, selain untuk kelancaran bertugas dalam penegakan hukum, tetapi juga perlindungan klien yang didampingi, karena jika
sudah dilarang mendampingi, berarti akan lebih merugikan klien itu sendiri.
123
Sebenarnya jika diteliti lebih jauh, ketentuan KUHAP yang sepintas memenuhi prinsip jaminan hak asasi manusia, ternyata masih mengandung
persoalan yang imbasnya sering dirasakan dalam praktek pendamping klien dikemudian hari. Sesuai bunyi Pasal 54 KUHAP, sebenarnya hak pendampingan
bagi seseorang yang terlibat perkara pidana baru ada setelah yang bersangkutan menjadi tersangka. Padahal dalam sistem peradilan pidana Indonesia, sebelum
dinyatakan sebagai tersangka suatu perkara pidana seseorang harus menempuh
123
Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana dan Sirkus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009, hlm. 130-131.
83
lebih dulu beberapa tahap pemeriksaan permulaan. Akibatnya jika pasal 54 KUHAP diterap secara kaku, penyidik dapat saja menolak kehadiran advokat
pada tahap pemeriksaan permulaan tersebut. Dan penolakan menjadi sah karena didukung ketentuan undang-undang.
124
Dalam kedudukannya sebagai advokat ketika berhubungan dengan masyarakat umum mengenai hal-hal yang disampaikan kepadanya, advokat
mempunyai kewajiban hukum untuk menyimpan dan merahasiakannya. Di pihak lain advokat berhak untuk merahasiakan hubungan dengan kliennya. Pasal 19 ayat
1 Undang-Undang no.18 Tahun 2003 menentukan: ”Advokat wajib merahasiakan segala hubungannya dengan klien, karena
hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh undang- undang”
Selanjutnya pasal 19 ayat 2 menetukan: “advokat berhak merahasiakan hubungannya dengan klien, termasuk
perlindungan atas berkas perkara dokumen terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elekronik advokat”
125
Selain dalam Undang-Undang No.18 Tahun 2003, dalam KEAI diatur bahwa advokat wajib memegang rahasia jabatan atas hal-hal yang didapatkan dari
kliennya. Dalam pasal 4 hurf h KEAI ditentukan : “Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang deberikan
oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara advokat dengan klien”
126
Maka untuk lebih menjamin bahwa mereka tidak akan membuka rahasia yang mereka ketahui, undang-undang mengadakan sanksi pidana terhadap mereka
yang membuka rahasia itu dan memberikan hak tolak kepada mereka. Dengan
124
Daniel S.Lev, op.cit., hlm. 85.
125
V.Harlen, op.cit., hlm. 128.
126
Ibid.
84
jalan itu undang-undang hendak menjamin masyarakat, bahwa rahasia mereka tidak akan diberitahukan kepada orang lain.
127
Konsekuensi hukum atau sanksi atas pelanggaran kewajiban memegang kerah
asiaan akan dikenakan pasal 322 KUHPidana dikatakan:” Barangsiapa dengan membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau mata
pencahariannya, baik sekarang maupun dahulu diancam dengan pidana penjara....” dan dalam penjelasan BAB XVII pasal 322 mengatakan bahwa agar dapat dituntut
menurut pasal ini, maka harus dapat dibuktikan unsur-unsur seperti dibawah ini: 1.
Yang diberitahukan dibuka itu harus suatu rahasia; 2.
Orang itu benar-benar mengetahui bahwa ia wajib dan diwajibkan menyimpan rahasia tersebut;
3. Bahwa kewajiban untuk menyimpan rahasia itu adalah karena
jabatan atau pekerjaan yang sekarang maupun yang dahulu yang pernah ia pegang;
4. Tindakan membuka rahasia itu dilakukan dengan sengaja.
Yang dimaksud dengan “rahasia” ialah suatu yang hanya boleh diketahui oleh yang berkepentingan. Siapa yang siwajibkan menyimpan rahasia, tiap-tiap
peristiwa harus ditinjau sendiri oleh hakim.
128
Berdasarkan pengaturan diatas dengan jelas bahwa akibat pelanggaran atas kewajiban kerahasiaan ketentuan tersebut akan dihukum, karena dalam kewajiban
pada dasarnya adalah keharusan untuk berbuat sesuatau yang apabila tidak dipenuhi akan menimbulkan akibat hukum bagi pengemban hak tersebut.
129
Selain itu, membuka rahasia itu melanggar asas kepercayaan seperti yang disebutkan
diatas.
127
Ko Tjay Sing, op.cit., hlm. 21.
128
R.Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha nasional, 1980, hlm. 342..
129
V.Harlen Sinaga, op.cit., hlm. 129.
85
Karena itu, membuka rahasia klien kepada pihak ketiga tidak hanya dapat dihukum berdasarkan KUHPidana tetapi juga dihukum karena pelanggaran
terhadap KEAI. Keberlakuan hak imunitas yang telah diatur akan melekat pada advokat
dengan persyaratan utama bahwa advokat melakukan tugas-tugas pekerjaannya dengan itika baik. Dalam penjelasan pasal 16 Undang-Undang Advokat, yang
dimaksud dengan etikad baik adalah bahwa advokat menjalankan profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya.
130
Advokat dalam melaksanakan hak imunitasnya harus dilakukan sesuai dengan kode etiknya, dimana setiap advokat harus mempunyai etika dan moral
yang baik di dalam melaksanakan haknya. Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri dan dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-
undangan. Wilayah kerja advokat meliputi seluruh wilayah negeri Republik Indonesia. Yang dimaksud advokat sebagai pengak hukum adalah advokat sebagai
salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Yang
dimaksud dengan bebas adalah sebagai mana dirumuskan dalam penjelasan pasal 14. Dalam hal advokat membuka atau pindah kantor dalam suatu wilayah negara
Republik Indonesia, advokat wajib memberitahukan kepada Pengadilan Negeri, Organisasi Advokat, dan Pemerintah Daerah setempat.
131
Advokat dapat dikenakan tindakan dengan alasan: 1.
Mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;
130
V. Harlen, op.cit., hlm. 126.
131
H.R. Abdussalam, Prospek Hukum Pidana Indonesia Jakarta: Restu Agung, 2005, hlm. 846.
86
2. Berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau
rekan seprofesinya; 3.
Bersikap, bertingkah laku, bertutr kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum,
peraturan perundang-undangan, atau pengadilan; 4.
Berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya;
5. Melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan
atau perbuatan tercela; 6.
Melanggar sumpah atau janji advokat danatau kode etik profesi advokat.
Ketentuan dalam huruf c ini, berlaku bagi advokat baik di dalam maupun diluar pengadilan. Hal ini, sebagai konsekuensi status advokat sebagai penegak
hukum, dimanapun berada harus menunjukkan sikap hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan atau pengadilan.
132
Jenis tindakan yang dapat dikenakan kepada Advokat dapat berupa:
a. Peringatan
b. Peringatan keras
c. Pemberhentian sementara
d. Pemberhentian selamanya Pemecatan dari keanggotaan organisasi
profesi.
Dengan pertimbangan atas berat dan ringannya sifat pelanggaran kode etik dapat dikenakan sanksi dengan hukuman:
1. Berupa
teguran atau
berupa peringatan
bilamana sifat
pelanggarannya tidak berat;
132
Ibid., hlm. 847.
87
2. Berupa peringatan keras bilamana sifat pelanggarannya berat atau
karena mengulangi berbuat melanggar kode etik dan atau tidak mengindahkan sanksi teguran peringatan yang diberikan;
3. Berupa pemberhentian sementara untuk waktu tertentu bilamana
sifat pelanggarannya berat, tidak mengindahkan dan tidak menghormati ketentuan kode etik profesi atau bilamana setelah
mendapat sanksi berupa peringatan keras masih mengulangi melakukan pelanggaran kode etik profesi;
4. Advokat Penasehat Hukum yang melakukan pelanggaran kode etik
profesi dengan maksud dan tujuan merusak citra serta martabat kehormatan profesi AdvokatPenasehat Hukum yang wajib dijunjung
tinggi sebagai profesi yang mulia dan terhormat, dapat dikenakan sanksi dengan hukuman pemberhentian selamanya.
5. Sanksi putusan dengan hukuman pemberhentian untuk sementara
waktu tertentu dengan hukuman pemberhentian selamanya, dalam keputusannya dinyatakan bahwa yang bersangkutan dilarang dan
tidak boleh menjalankan profesi Advokat Penasehat Hukum baik diluar maupun dimuka pengadilan. Terhadap mereka yang dijatuhi
hukuman pemberhentian selamanya, dilaporkan dan diusulkan kepada pemerintah cq. Menteri Kehakiman R.I. untuk membatalkan
serta mencabut kembali izin praktek surat pengangkatannya.
133
133
Ropaum Rambe, op.cit., hlm. 121.
88
Penindakan terhadap Advokat dengan jenis diatas dilakukan oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat sesuai dengan kode etik profesi advokat.
Advokat berhenti, atau diberhentikan dari profesinya secara tetap karena alasan: a.
Permohonan sendiri b.
Dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindakl pidana yang diancam dengan hukuman 4
tahun atau lebih c.
Berdasarkan putusan organisasi advokat Dalam hal advokat dijatuhi hukuman pidana yang telah mempunyai
hukum tetap, Panitera Pengadilan Negeri menyampaikan salinan putusan tersebut kepada organisasi advokat. Pengawasan terhadap advokat dilakukan oleh
Organisasi Advokat. Pengawasan tersebut bertujuan agar advokat dalam menjalankan profesinya selalumenjunjung tinggi kode etik profesi advokat dan
peraturan perundang-undangan.
134
B. Kebijakan Non Penal