1954 – 1959 Hidup Berdampingan Secara Damai

untuk kebijakan-kebijakan anti Inggris oleh Mesir pada tahun 1951, serta mengadakan Konferensi Perdamaian Asia Pasifik yang juga diikuti beberapa negara Amerika Latin pada tahun 1952. Perang Korea sendiri mengalami kejenuhan, selain masing-masing menderita korban dalam jumlah yang besar, mereka juga bersepakat mengakui kembali garis bujur 38 derajat sebagai garis perbatasan, sehingga pada tanggal 27 Juli 1957 tercapai gencatan senjata. 6

2. 1954 – 1959 Hidup Berdampingan Secara Damai

Keterlibatan RRC pada perang Korea, serangan terhadap Tibet, dan gerakan pembebasan Taiwan membuat RRC dicap sebagai negara agresor yang berbahaya oleh dunia. Untuk menghilangkan cap itu, meningkatkan pengaruh RRC terhadap negara-negara netral, dan tercapainya kemantapan politik dan keamanan dalam negeri RRC yang memungkinkan dilancarkannya Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama, RRC mulai menganut kebijakan politik luar negeri Hidup Berdampingan Secara Damai. Yang pertama kali terdengar dalam laporan politik Menteri Luar Negeri Zhou En Lai kepada Komite Nasional pada Konferensi Badan Penasihat Politik Rakyat di bulan Februari 1953. Diawali hubungan RRC dengan India menyangkut masalah Tibet. Yang kemudian Perdana Menteri kedua negara, Pandit Jawaharlal Nehru dan Zhou En Lai menandatangani Perjanjian pada bulan April 1954 mengenai hubungan dagang RRC-India di Daerah Tibet yang pada intinya pengakuan dan penarikan pasukan India dari Tibet. Kemudian Kebijakan Politik Luar Negeri Hidup Berdampingan Secara Damai ini mendapat kesempatan untuk diaplikasikan pada bulan April 1955 6 Ibid, Hal. 54 Universitas Sumatera Utara dalam Konferensi negara-negara Asia di New Delhi yang kemudian diikuti dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung, Indonesia pada bulan yang sama. Pada Konferensi Asia Afrika inilah perinsip hidup berdampingan secara damai yang dibawa oleh RRC di kembangkan menjadi Dhasa Sila Bandung. Mulai bulan November 1956 sampai Januari 1957, Zhou En Lai mengunjungi delapan negara Asia, dan mulai menjalin hubungan dengan berbagai negara Timur Tengah dan Afrika sambil mengkampanyekan lima perinsip hidup berdampingan secara damai Dhasa Sila Bandung sebagai perilaku hubungan luar negeri yang bertanggung jawab. Ditengah dijalankannya perinsip hidup berdampingan secara damai - mulai Juni 1954 sampai 1958 - RRC justru menghadapi masalah di Selat Taiwan pada bulan Juli 1954. Yang diawali oleh dikerahkannya armada ke-7 Angkatan Laut Amerika ke Selat Taiwan untuk mencegah RRC menggunakan kekuatan bersenjata untuk merebut Taiwan yang menyebabkan terjadinya ketegangan di Selat Taiwan. Untuk menyelesaikan masalah ini maka diadakanlah perundingan tingkat Duta Besar antar RRC dan Amerika Serikat di Warsawa, Polandia. Dalam perundingan tersebut Amerika Serikat mendesak RRC untuk tidak menggunakan kekerasan senjata terhadap Taiwan. Sebaliknya RRC menuntut dihapusnya kehadiran tentara Amerika Serikat di Taiwan dan sekitarnya. Nyatanya Amerika Serikat justru memberi bantuan besar-besaran kepada tentara Taiwan, bahkan Pulau Quey Moy dan Matsu di lepas pantai timur RRC yang semula telah dijadikan suatu pertahanan militer biasa, kemudian dibangun menjadi pos komando untuk batu loncatan bagi serangan pihak Taiwan terhadap RRC dikemudian hari, sementara itu RRC juga mengerahkan pasukannya ke pantai timur yang berbatasan dengan Taiwan. Sehingga terjadilah tembak-menembak Universitas Sumatera Utara dengan meriam antara pasukan di daratan Cina dengan pasukan Taiwan di Pulau Que Moy dan Matsu. 7 Dalam konfrontasi RRC – Amerika Serikat ini, Amerika menjalankan politik membendung RRC sepanjang pantai lautnya mulai dari timur sampai selatan, dimana selain dengan Korea Selatan dan Taiwan, Amerika Serikat juga mengadakan hubungan militer bilateral dengan Jepang, dan Filipnina, sedangkan untuk membendung RRC dari Selatan, Amerika Serikat membentuk SEATO 1954 dimana juga ikut serta Thailand, dan Filiphina selain Inggris, Perancis, Australia, Selandia Baru dan Pakistan. 8 Pada saat ketegangan yang semakin meningkat di Selat Taiwan, pada September 1954 berlangsung kunjungan Perdana Menteri Nikita Khrushchev dan Menteri Pertahanan Rodion Maliovski ke Beijing. Perundingan antara Uni Soviet dan RRC yang sebelumnya sempat mengalami keretakan pada masa Perang Korea serta penundaan pengembalian dua daerah RRC yang dikuasai Uni Soviet, menghasilkan suatu pernyataan bersama yang pada pokoknya, kedua negara akan bertukar pikiran mengenai masalah-masalah yang sama-sama dihadapinya di Asia dan Eropa. Sebulan setelah kunjungan tersebut, Khrushchev menyatakan bahwa: “Serangan terhadap RRC dianggap pula sebagai serangan terhadap Uni Soviet”. 9 Namun kembali terciptanya hubungan yang baik dengan Uni Soviet ini tidak berlangsung lama. Perpecahan kembali terjadi dan menjadi lebih buruk pada Februari 1956, setelah Khruschev menganjurkan politik destalinisasi pada Kongres Setelah pernyataan itu RRC dan Amerika Serikat bersepakat untuk menghentikan tembak-menembak. 7 Ibid, Hal. 63 8 Umar, S. Bakri, Cina Quo Vadis? Pasca Deng Xiaopeng, Putaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997, hal. 131 9 Sukisman, op. cit, Hal. 63 Universitas Sumatera Utara Partai Komunis Soviet ke dua puluh, dan kembali diulangi ketika Mao berkunjung ke Moscow pada November 1957, ditambah dengan kecurigaan RRC terhadap peningkatan aktivitas militer Uni Soviet di perbatasan kedua negara. Pada saat itu kedua pemimpin negara komunis terbesar di dunia itu saling melemparkan kecaman satu sama lain, dimana Khruschev menuduh Mao Tse Tung sebagai fanatik dan terlalu kekiri-kirian, yang dijawab Mao dengan mengatakan Khruschev seorang revisionis. Perbedaan politik kedua negara tersebut juga tercermin dari tindakan masing-masing, misalnya pada saat Mao Tse Tung sedang hangat- hangatnya melancarkan “Gerakan Loncatan Jauh ke Depan” pada tahun 1959 untuk merealisasikan kebijakan “Berdiri di Atas Kaki Sendiri” maka Khruschev justru mengadakan pertemuan dengan Presiden Amerika Serikat, Dwight Eisenhower, di Camp David. Sejak saat itu sengketa ideologi kedua negara semakin menjadi-jadi. Sebenarnya, antara RRC dan Uni Soviet terdapat pula sengketa teritorial karena faktor sejarah, walaupun masalah perbatasan ini telah diseleaikan lewat Perjanjian Persahabatan pada tanggal 14 Februari 1950, tetapi hal-hal yang disebutkan di dalam perjanjian tidak dilaksanakan oleh Uni Soviet. 10 Bukan itu saja, RRC juga terlibat perselisihan yang sangat serius dengan tetangganya India -mengenai garis perbatasan kedua negara pada tahun 1959 yang kemudian pada tahun 1962 berkembang sampai mengakibatkan bentrokan bersenjata di daerah perbatasan - dan juga dengan Indonesia mengenai kewarganegaraan warga keturunan Cina di Indonesia pada tahun 1959. Politik dalam negeri RRC juga mengalami dinamika, dimana kampanye anti-kanan 10 Poltak Partogi, Reformasi Ekonomi RRC Era Deng Xiaoping, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995, hal. 131 Universitas Sumatera Utara meningkatkan posisi dari elemen-elemen yang lebih militan di dalam hirearkis politik RRC. Berbagai peristiwa diatas berangsur-angsur mulai memberi tekanan kembali kepada aspek perjuangan bersenjata pada politik luar negeri RRC. Seperti yang digambarkan dalam pidato oleh pemimpin RRC mengenai krisis Timur Tengah yang memperlihatkan sikap anti terhadap PBB. Jadi, akhir tahun 1950-an menandakan suatu titik balik dalam politik luar negeri RRC, dimana RRC dengan cepat menjauhkan diri dari semangat Bandung dan menjadi jauh lebih militan, dan menyimpulkan bahwa hidup berdampingan secara damai yang sebenarnya tidaklah mungkin sehingga dukungan aktif RRC kepada perjuangan revolusioner itu penting. 11

3. 1960 – 1965 Anti-revisionisme dan Anti-imprealisme