c. Secara psikologis, tindak pidana perkosaan lebih banyak mengandung
masalah kontrol dan kebencian dibandingkan dengan hawa nafsu. d.
Tindak pidana perkosaan dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk yaitu;
anger rape
,
power rape
, dan
sadistis rape
. Dan ini direduksi dari
anger and violation,
control and domination
, erotis. e.
Ciri pelaku perkosaan: mispersepsi pelaku atas korban, mengalami pengalaman buruk khusunya dalam hubungan personal cinta, terasing
dalam pergaulan sosial, rendah diri, ada ketidakseimbangan emosional. f.
Korban perkosaan adalah partisipasif, terjadi karena kelalaian partisipasi korban.
2.2.5 Modus Operandi Perkosaan
Korban perkosaan merupakan korban praktik kekerasan yang dilakukan pelaku. Pihak pemerkosa telah menggunakan ancaman dan
kekerasan paksaan untuk mendudukan korban. Korban dibuat takut sehingga tidak berani melawan, atau dibuat tidak berdaya sehingga mau
mengikuti kehendak pelaku. Kejahatan perkosaan dapat dilakukan secara individual maupun kelompok, terutama yang direncanakan, didahului oleh
suatu modus operandi. Modus operandi kejahatan perkosaan yaitu 1 Diancam dan dipaksa, 2 Dirayu, 3 Dibunuh, 4 Diberi Obat Bius, 5 Diberi
obat perangsang, 6 Dibohongi atau diperdaya dan lainnya. Modus operandi perkosaan sangat mungkin kemudian hari dapat
berkembang dan dapat bermodus operandi lain lagi. Karena, modus operandi kejahatan itu, selain terkait dengan posisi korban atau objek yang menjadi
sasarannya, juga terkait dengan perkembangan sosial, budaya, ekonomi dan politik yang terjadi dan bergolak ditengah masyarakat. Artinya, ada saja jenis
dan modus operandi baru di dunia kejahatan, karena beradaptasi dengan perkembangan yang ada.
Menurut Muhammad Irfan 2001: 50 mengatakan bahwa, “Diberbagai kasus perkosaan sering terjadi pelaku selain melakukan
penganiayaan seksual, juga dibumbui dengan berbagai tindak kejahatan lain, seperti perampokan harta benda dan bahkan kadang pembunuhan.
” 2.2.6
Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Perkosaan Menurut Muhammad Irfan 2001: 72 faktor penyebab perkosaan
setidak-tidaknya adalah sebagai berikut:
a. Pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai etika
berpakaian yang menutupi aurat, yang dapat merangsang pihak lain untuk berbuat tidak senonoh dan jahat.
b. Gaya hidup atau mode pergaulan di antara laki-laki dengan perempuan
yang semakin bebas, tidak atau kurang bisa lagi membedakan antara yang seharusnya boleh dikerjakan dengan yang dilarang dalam hubungannya
dengan kaedah dan ahklak mengenai hubungan laki-laki dengan perempuan.
c. Rendahnya pengalaman dan penghayatan terhadap norma-norma
keagaman yang terjadi di tengah masyarakat. Nilai-nilai keagaman semakin
terkikis dengan
meniadakan peran
agama.
d. Tingkat kontrol masyarakat
social control
yang rendah, artinya berbagai perilaku yang diduga sebagai penyimpangan, melanggar hukum dan norma
keagamaan kurang mendapatkan respon dam pengawasan dari unsur-unsur masyarakat.
e. Putusan hakim yang terasa tidak adil, seperti putusan yang cukup ringan
dijatuhkan pada pelaku. Hal ini dimungkinkan dapat mendorong anggota- anggota masyarakat lainnya untuk berbuat keji dan jahat. Artinya, saat
hendak berbuat jahat tidak merasa takut lagi dengan sanksi hukum yang akan diterimanya.
f. Ketidakmampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu
seksualnya. Nafsu seksualnya dibiarkan dan menuntut untuk dicarikan kompensasi pemuasnya
g. Keinginan pelaku untuk melakukan melampiaskan balas dendam
terhadap sikap, ucapan keputusan dan perilaku korban yang dianggap menyakiti dan merugikan.
2.3 Tinjauan Tentang Pembuktian