commit to user 153
2. Aspek Sosial dan Budaya dalam SBO
Karya sastra tulis seperti halnya novel selalu menampilkan latar belakang sosial budaya masyarakat. Latar belakang sosial budaya yang ditampilkan dapat
berupa pendidikan, pekerjaan, bahasa, tempat tinggal, adat kebiasaan, suku dan agama. Sehingga pada hakikatnya sosial budaya itu tidak bisa dilepaskan dari
kehidupan masyarakatnya. Berikut ini akan peneliti kaji tentang aspek sosial budaya yang terdapat pada novel SBO.
a. Novel
Astirin Mbalela
Berbicara mengenai sosial dan budaya maka kita tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakatnya. Masyakat adalah budaya itu sendiri sehingga
apabila kita mengkaji tentang aspek sosial dan budaya suatu masyarakat otomatis kita juga harus mempelajari kehidupan masyarakatnya. Begitu juga
aspek sosial budaya dalam novel
Astirin Mbalela.
Dilukiskan tentang kehidupan masyarakatnya pada waktu itu dengan tingkat ekonomi yang masih
belum merata dan berjalan lamban. Jaman di mana teknologi informatika seperti
handphone
dan seperti komputer belum dikenal luas di kalangan masyarakat. Sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai
petani, pedagang dan penjual jasa seperti bengkel. Orang yang berprofesi sebagai seorang petani dan pegawai serabutan contohnya adalah Pakdhe Mar.
Kemudian Mbokde Nik yang berprofesi sebagai pedagang nasi pecel, kemudian juga ada Buamin yang berprofesi sebagai penjual jasa servis motor
atau bengkel. Beberapa dibuktikan pada kutipan berikut.
Pakde Mar kuwi sing marahi Wong lanang ga weane mung ma en thok. Rekake biyen ya macul tegal, lan kanggo namba h butuh golek makla ran
sepedhah lan kendaraan liyane. Nanging senenge tombokan ora jamak, nganti tegale saiki wis diiris-iris entek. Tujune anake loro wis padha
commit to user 154
mentas. Siji Marwin wis dadi tukang jaga sekolah ing Kras, sijine wadon, Pinah, dika win pega we ing Blitar. Saiki sing da di bau suku ngrewangi
Mbokdhe ya Astirin kuwi. Ngono arep dika winake karo Buamin, sing bukak bengkel sepedhah montor ing kulon pasar cedhak enggok-
enggokan.
H10, P4, K1-K8 Terjemahan:
Paman Mar itu yang memulai Laki-laki kerjaannya hanya berjudi saja. Usahanya dahulu ya mengelola lahan pertanian, dan untuk mencukupi
kebutuhan sambil menjadi makelar sepeda dan kendaraan lainnya. Tetapi selalu saja kurang hingga tanahnya semakin hari semakin sempit dan
habis. Untung saja kedua anaknya sudah mandiri. Satu, Marwin sudah menjadi seorang penjaga sekolah di Kras, satunya, perempuan, dinikahi
pegawe dari Blitar. Sekarang yang menjadi pembantu ya Astirin itu. Sekarang mau dinikahkan dengan Buamin, yang membuka bengkel sepeda
motor sebelah barat pasar yang dekat dengan tikungan.
Dari kutipan tersebut dapat dilihat bahwa lingkungan kehidupan Astirin pada waktu itu adalah kalangan masyarakat yang sederhana. Sebagian
bekerjanya adalah seperti yang disebutkan itu. Berbeda dengan Astirin yang tidak sampai lulus SMA, dia bekerja sebagai pelayan restauran sekaligus
sebagai penyanyi. Sedangkan sebagian kecil adalah orang-orang yang dianggap mapan seperti pegawai pemerintahan, para pejabat, penyanyi dan
bintang film. Hal ini pula yang membuat Astirin bercita-cita ingin menjadi seorang penyanyi pop. Sehingga bisa mengangkat paman dan bibinya dan
tidak perlu hidup susah lagi. Era ini pula ditandai dengan beberapa penyanyi pop yang mencapai
masa keemasan seperti Dewi Yul, Anggun dan Nike Ardilla. Namun kehidupan sosial pada masa ini juga sudah memprihatinkan, terlihat sudah
merebaknya kompleks pelacuran seperti di Kampung Dupak Bangun Sari V yang merupakan salah satu kawasan di Surabaya. Terlihat pada kutipan
berikut.
commit to user 155
Astirin ngreti Samsihi srool, mrengut. Mula banjur digandheng tangane
nalika ing taksi. Lungguhe dipepet. “Aja nesu dhisik, ta, Mas Aku isih butuh kowe dadi cucuk lakuku, ngurusi bisnisku.”
“Bisnis menyang Bangunsari nge
ne iki bisnis apa? Kuwi kompleks
pelacuran” H172 P3 Terjemahan:
Astirin tahu Samsihi sedang marah, muram. Sehingga segera menggandeng tangannya ketika di dalam taksi. Duduknya dirapatkan.
“Jangan marah dulu, ta, Mas Saya masih membutuhkan kamu untuk menemaniku, menyelesaikan bisnisku.”
“Bisnis ke Bangunsari seperti ini bisnis apa? Itu kompleks pelacuran” Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa Dupak
Bangunsari merupakan kompleks pelacuran. Kompleks pelacuran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat tersebut. Terlihat bagaimana sikap dan perkataan
Samsihi dalam menanggapi perkataan Astirin tersebut. Ada
lagi tentang
mafia perdagangan
manusia yang
memperdagangkan para wanita untuk dijual ke Malaysia tentu saja secara gelap-gelapan. Kemudian juga tingkat keamanan yang belum terjamin, karena
nyatanya sering terjadi perampokan dan setelah beberapa kali baru terungkap. Hal ini terlihat pada peristiwa perampokan di desa Ngunut yang terjadi
berulang kali dan baru terungkap setelah beberapa waktu kemudian. Hal itupun diungkap melalui usaha Astirin.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa. Hal ini sesuai dengan tokoh-tokohnya yang menggambarkan kehidupan masyarakat Jawa. Bahasa
Jawa di dalam novel ini digunakan sebagai percakapan sehari-hari antar tokoh. Dominannya penggunaan bahasa Jawa di dalam novel ini juga semakin
menguatkan pandangan peneliti bahwa tokoh-tokoh di dalam cerita ini adalah masyarakat Jawa. Sebagai contohnya terlihat pada kutipan berikut.
commit to user 156
Nalika samono ana becak liwat, penumpange wong lanang nganggo klambi putih setrikan licin, clanane biru alus, nganggo kaos kaki la n
sepatu kulit ulese ireng. Nyipati kedadean udreg rebutan Astirin ngono,
penumpang becak mau ngabani tukang becake, “Ee, stop Stop Stop, sik, Cak” becak direm
ciiit mandheg, terus bleber penumpange anjlog mudhun. Terus nyenya we sing padha udreg. Clana ireng sing lagek
ngglandhang lengene Astirin dicekel, terus diantem. Heg Gloyoran, kena wange. Astirin lepas. Sing clana soklat lagek arep ngranggeh Astirin,
wurung merga nya wang tandange wong lanang sing sepaton dandana n rijig kuwi.
H51, P3 Terjemahan:
Ketika itu ada becak lewat, penumpangnya seorang laki-laki denga kemeja putih rapi, celananya berwarna biru halus, memakai kaos kaki dan sepatu
kulit berwarna hitam. Melihat peristiwa rebutan Astirin tersebut, sontak penumpang tadi memberi aba-aba tukang b
ecaknya, “Ee, stop Stop Stop, dulu, Cak” becak direm ciiit berhenti, kemudian meloncat turun.
Kemudian mendatangi yang sedang berebut Astirin.celana hitam yang sedang mencengkeram lengan Astirin, dipegang lalu dipukul. Heg
Sempoyongan terkena pelipisnya. Astirn terlepas. Orang yang memakai celana coklat baru mau mencengkeram Astirin, tidak jadi karena melihat
kehebatan lelaki yang bersepatu dan berpakaian rapi tersebut.
Di dalam kutipan tersebut terlihat bahwa bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa dengan sesekali disisipi bahasa Inggris. Bahasa Inggris di
sini merupakan salah satu bahasa yang sudah membiasa atau memasyarakat sehingga para penggunanya terkadang tidak menyadari telah menggunakan
bahasa Inggris. Ditunjukkan dengan kata
stop
yang dalam bahasa Indonesia artinya berhenti.
Namun juga ada beberapa bahasa lain yang digunakan, seperti bahasa perancis. Bahasa perancis khususnya digunakan oleh Astirin dan Louis
Duvalier, karena memang di dalam novel ini hanya mereka berdua yang fasih menggunakannya. Salah satu kutipannya sebagai berikut.
“Jabangbayik Adol asmara? Orak Ora bakal Aku mau rak wis kandha,
atiku kecanthol cintrong Embuh, ya, lagi sepisan iki aku nggregesi kaya mengkene tomtomen weruh cahyane Aku ka ya wis ra ket banget sra wung
ka
ro dheweke. Louis Duvalier Bien, bien Je comprends Tres bien”
commit to user 157
wadon gandrung kuwi muni-muni nglanyahake apalane basa Perancis.
H152, P2 Terjemahan:
“Astaga Menjual cinta? Tidak Tidak akan Saya tadi kan sudah bilang, hatiku terpanah asmara Tidak tahu, ya, baru kali ini saya merinding
seperti ini melihat cahayanya Saya seperti sudah kenal dekat sekali
dengannya. Louis Duvalier Bien, bien Je comprends Tres bien” perempuan yang sedang mabuk asmara itu berkata terus sambil
menghafakan bahasa Perancisnya.
Penggunaan bahasa Perancis juga terlihat pada kutipan berikut. “Bonjour, monsieur” omonge Astirin tumuju marang Louis Duvalier.
Ora mung omonge, uga lakune awak tumuju mrana. “Bonjour,
mademoiselle. Etes-vous estudiante? Aimez-vous les sports? Aimez-tu le
metier que tu fais?” kemrecek panyapane wong Prancis kuwi. H155, P6 Terjemahan:
“Bonjour, monsieur” perkataan Astirin yang ditujukan untuk Louis Duvalier. Tidak hanya perkataanya, tetapi jalannya juga mengarah ke sana
“Bonjour, mademoiselle. Etes-vous estudiante? Aimez-vous les sports? Aimez-
tu le metier que tu fais?” sahut orang Perancis itu. Dari kutipan di atas jelaslah bahwa pada waktu itu kebudayaan luar
sudah mulai masuk ke Indonesia. Seperti halnya bahasa yang digunakan dan juga gaya hidup mereka. Astirin yang orang pribumi bisa fasih menggunakan
bahasa Perancis meskipun tidak lulus SMA. Hal ini memberikan gambaran bahwa kebudayaan luar terutama bahasa mulai masuk dan diterima oleh
masyarakat Jawa.
commit to user 158
b.
Novel
Clemang-clemong
Aspek sosial dan budaya yang ditampilkan oleh pengarang di dalam novel
Clemang-clemong
adalah kehidupan keluarga kalangan menengah ke atas yaitu keluarga Abyor. Diceritakan ayah Abyor yaitu Sunar Pribadi adalah
seorang yang sukses dan hidup mapan. Kehidupan mapan pada saat itu ditandai dengan bertempat tinggal dikompleks perumahan, mempunyai mobil
dan mempunyai pembantu rumah tangga. Apabila dilihat dari segi materi serba kecukupan. Hal ini dibuktikan pada kutipan:
Omahe Abyor kuwi mapan ing perumahan becik. Lurunge gedhe amba. Nanging mujudake kompleks kanthong sing kinurung, ora kena dienggo
dalan tembusan liwat menyang kompleks liyane. Dadi lurung tetep ora rame, sing nganggo mung wong-wong sing arep mlebu metu menyang
komplek kono thok. Supaya aman, mlebu-metu kompleks liwat lurung siji sing dijaga hansip. Dadi ing wa yah esuk mengkono, kahanane tetep sepi,
sing liwat mung mobil-mobil sing padha manggon ing kompleks kono.
H311, P3, K1-K6 Terjemahan:
Rumahnya Abyor itu bertempat di perumahan yang bagus. Jalannya luas dan lebar. Tetapi mengesankan sebuah kompleks tertutup berbentuk U,
tidak bisa dipakai sebagai jalan pintas menuju komplek lainnya. Jadi jalannya tetap tidak ramai, yang memakai hanya orang-orang yang mau
keluar-masuk ke kompleks itu saja. Supaya aman, masuk-keluar kompleks melewati jalan satu yang dijaga oleh hansip. Jadi jika masih pagi seperti
itu, keadaan tetap sepi, yang lewat hanya mobil-mobil yang tinggal di kompleks itu.
Namun pengarang juga ingin menyampaikan kepada kita bahwa masyarakat kalangan atas pun tidak lepas dari masalah. Dalam novel tersebut
mengambil
setting
di kota Surabaya, Mojokerto dan Ngunut. Seorang anak kecil yang ikut mencarikan jodoh untuk ayahnya. Seorang duda kaya, masih
muda, dan tampan. Digambarkan pula bagaimana gaya hidup mereka, yang memang menunjukkan perbedaan dengan orang-orang yang status sosialnya
commit to user 159
berada di bawah mereka. Limpahan materi yang menjadi pembeda dan dapat dilihat kasat mata seperti tempat tinggal, fasilitas hidup seperi kendaraan, alat
komunikasi dan peralatan rumah tangga merupakan salah satu hal yang membedakan kalangan atas dengan kalangan bawah. Di dalam novel tersebut
ditandai dengan memiliki mobil pribadi, tinggal di perumahan elite dan berpendidikan tinggi. Kehidupan kalangan atas menurut peneliti memang
sedikit berbeda dengan kalangan bawah. Mereka memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan mempunyai gaya hidup yang berbeda apabila
dibandingkan dengan kalangan bawah. Berbicara tentang sosial budaya, maka kita juga tidak bisa
melupakan begitu saja tentang aspek pendidikan. Dalam novel tersebut, Abyor sebagai tokoh sentral diceritakan belum bersekolah dan masih berumur lima
tahun. Ayahnya Sunar Pribadi tidak dijelaskan secara tersurat tentang jenjang pendidikan terakhir dirinya, namun apabila menilik dari jabatannya maka bisa
ditafsirkan bahwa Sunar Pribadi setidaknya adalah seorang lulusan sarjana. Begitu juga dengan sekretarisnya Nora yang juga dari kalangan pendidikan,
karena tidak banyak orang yang menguasai ketrampilan sebagai seorang sekretaris. Tokoh Yang Tri, juga merupakan salah satu tokoh yang tingkat
pendidikannya tidak terlalu tinggi. Hal ini dikarenakan dia termasuk angkatan lama, karena adat kebudayaan masyarakat Jawa pada jaman dahulu khusus
untuk perempuan tidaklah perlu bersekolah tinggi-tinggi. Lain pula dengan Jujur. Meskipun dia termasuk generasi muda, akan tetapi karena ekonomi
maka pendidikannya rendah. Hal ini dibuktikannya dengan pekerjaan dia sebagai pembantu rumah tangga di rumah Sunar Pribadi.
commit to user 160
Dalam lingkup sosial budaya maka mencakup pula yang namanya adat-istiadat dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
Seperti dalam novel tersebut, keluarga Sunar Pribadi sangat memperhatikan tingat tutur dalam berbahasa atau
unggah-ungguh basa
. Ini menandakan bahwa keluarga mereka merupakan salah satu yang memperhatikan etika
berbicara serta memperhatikan norma yang berlaku dalam lingkungan mereka. Sebagai contohnya terlihat pada kutipan berikut.
“wingenane daktakoni apa aku pareng dolanan bal, aku disentak, yen ana
wong lagi telepon ki aja diajak ngomong Bareng aku nguncalke bal, menyang tem
bok mendal ngenani sirahe ...” “Mustakane” ibune mbenerke.
“Kene ki sirah, ta, Bu?” Abyor ngemek dhuwur kupinge dhewe. “La iya, sirah kuwi yen tumrap Yang Putri, mustaka.” H224, P5, K5-K9
Terjemahan: Kemarin waktu saya bertanya apakah saya boleh bermain bola saya
dimarahi, jika ada orang telpon itu jangan diajak bicara Waktu saya
melemparkan bola, ke tembok mengenai kepalanya ...” “Kepala” ibunya membenarkan.
“Di sini itu, kepala, kan, Bu?” Abyor memegang atas telinganya sendiri. “Iya benar, kepala itu jika untuk Yang Putri, Kepala.”
Dari kutipan tersebut dapat diketahui bagaimana kebiasaan dan etika yang berlaku di dalam keluarga Abyor. Dengan adanya norma tersebut tentu
saja diharapkan anak kecil seperti Abyor dapat belajar sejak dini tentang tata krama. Tentang bagaimana harus bersikap dan berbicara dengan orang lain
terutama kepada orang yang lebih tua. Selain itu juga bisa sebagai sarana pembentukan karakter dalam dirinya untuk menghormati orang yang lebih tua.
Dari kutipan di atas juga dapat disimpulkan bahwa sebagai seorang keluarga yang mapan mereka juga tidak melupakan etika dan adat-istiadat yang berlaku
di dalam masyarakat.
commit to user 161
Bahasa yang digunakan di dalam novel CC adalah bahasa Jawa. Mengingat novel ini juga merupakan novel bahasa Jawa. Dapat dilihat pada
kutipan berikut. “Sasmita becik apa? Sing siji kae dandane menor, raine pulasan kaya
ledhek ngono. Lan sijine maneh, tingkahe pethakilan, kaya kaya sing ga wene ngaton ing televise kar
o muni, „gengsinya dhong‟ kae. Sengit
aku, yen wis bar iki aja cedhak-cedhak wong loro kuwi, lo, Sunar Kowe
mengko mundhak kepencut Keglendheng..” H269, P3 Terjemahan:
“Pertanda baik apanya? Yang satu itu penampilannya menor, wajahnya penuh kosmetik. Dan satunya lagi, tingkah lakunya seperti lelaki, seperti
yang sering muncul di televise sambil berkata, „gengsinya dong‟ itu. Benci aku, setelah selesai ini jangan dekat-dekat lagi dengan mereka
berdua, lo, Sunar Kamu nanti malah jatuh cinta Kasma ran..”
Dari kutipan tersebut dapat dilihat tentang penggunaan bahasa Jawa yaitu percakapan yang dilakukan oleh Yang Tri dengan Sunar Pribadi. Yang
Tri yang marah-marah dan tidak suka dengan sikap anaknya yang pergi dengan perempuan bernama Nora. Di luar konteks itu, bahasa yang digunakan
oleh para tokohnya tentu saja mewakili keberadaan masyarakat Jawa yang kesehariannya menggunakan bahasa Jawa.
Adat kebiasaan yang lain adalah tentang tata cara kematian. Di dalam novel tersebut keluarga Abyor menganut agama Islam yaitu orang yang
sudah meninggal harus segera dikuburkan. Hal ini juga sesuai dengan adat- budaya masyarakat Jawa pada umumnya. Namun di dalam keluarga Abyor
juga dipanjatkan doa-doa dalam bahasa Arab juga untuk mendoakan orang yang meninggal tersebut dan keluarga yang ditinggalkannya. Hal ini
dibuktikan dengan adanya istilah
layon, telung dinan, pitung dinan, satus dinan,
dan
yasinan
.
commit to user 162
c. Novel