commit to user 11
yang terjadi dalam masyarakat yang disertai dengan sentuhan imajinasi pengarang dalam mengembangkan suatu cerita dan melalui karya sastra
pengarang dapat melukiskan dengan jelas peristiwa yang terjadi pada suatu waktu dan tempat tertentu.
Pendapat lain dikemukakan oleh Taufik Abdulah 1983: 231 yang mendefinisikan novel sebagai berikut:
“
novel, as work of art, is a wa y to
reflect a concern and to comunicate with the society.”. Novel sebagai suatu karya seni yang baik, merupakan jalancara untuk mencerminkan suatu
perhatian dan berkomunikasi dengan berbagai masyarakat luas. Jika Riris K. Toha-Sarumpaet menggangap novel sebagai suatu karya kreatif, maka taufik
Abdulah lebih suka menyebut novel sebagai hasil seni. Namun di sini penulis menyadari bahwa keduanya bermaksud menggambarkan pengertian novel
sebagai hasil karya manusia yang kreatif dan memiliki nilai seni.
3. Pendekatan Struktural
Satu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural adalah adanya anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra merupakan
struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat yang saling berjalin, dan usaha untuk memahami struktur sebagai suatu
kesatuan yang utuh tidak terpisah, seseorang harus mengetahui unsur-unsur pembentuknya yang saling berhubungan satu sama lain. Rahmat Djoko
Pradopo, 2005: 108.
Teori struktural juga diartikan sebagai suatu disiplin yang memandang karya sastra sebagai suatu struktur yang terdiri atas beberapa unsur yang
saling berkaitan antara unsur yang satu dengan lainnya Sangidu, 2004: 16.
commit to user 12
Dari kedua teori tersebut, dapat dilihat bahwa keduanya merumuskan pengertian struktur dengan pengertian yang hampir sama. Rahmat Djoko
Pradopo berpendapat struktur adalah sebagai struktur otonom yang utuh dan usaha untuk memahami struktur sebagai sesuatu yang utuh tersebut, maka
seseorang harus mengetahui unsur-unsur pembentuknya. Bandingkan dengan pengertian Sangidu. Secara praktis, dapat kita simpulkan bahwa kedua
pendapat tersebut merumuskan pengertian struktural yang sama. Analisis struktural merupakan tahap awal dalam suatu penelitian
terhadap karya sastra. Tahap ini sulit dihindari, sebab analisis struktural merupakan pintu gerbang yang paling utama untuk mengetahui unsur-unsur
yang membangunnya. Kita akan mengetahui kedalaman suatu karya sastra dengan cara kita menguak permukaannya lebih dahulu.
Teeuw 1984: 135 mengemukakan bahwa pada dasarnya analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti
dan sedetail serta sedalam mungkin keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Selanjutnya
Teeuw 1984:135-136 mengatakan analisis struktural bukanlah penjumlahan unsur-unsur yang ada di dalam karya sastra, tetapi yang terpenting adalah
sumbangan yang diberikan oleh masing-masing unsur dalam menghasilkan makna atas terkaitan dan keterjalinannya antar unsur.
Dari pendapat Teeuw tersebut, dapat kita tarik kesimpulan bahwa untuk dapat memahami dan mengerti sebuah karya sastra, kita harus melewati
tahap analisis struktural terlebih dahulu. Dengan pemaknaan yang mendalam
commit to user 13
terhadap unsur strukutralnya, diharapkan kita dapat dengan mudah memahami seluruh isi dan maksud dari sebuah karya sastra.
Sementara itu Stanton dalam bukunya yang berjudul:
Teori Fiksi
2007
,
mengemukakan adanya tiga tataran yang harus dilihat dalam menganalisis struktur sebuah karya sastra fiksi. Tiga tataran itu adalah;
pertama, tataran fakta-fakta cerita
.
Yang dimaksud dengan fakta-fakta cerita yaitu meliputi unsur-unsur plot, penokohan dan latar. Unsur-unsur ini terjalin
secara erat dan membentuk struktur faktual. Tataran kedua, yaitu tataran makna sentral
atau yang lebih dikenal dengan istilah tema. Tampilnya makna sentral atau tema didukung oleh tataran yang pertama, yakni struktur faktual
cerita yang di dalamnya terdapat plot, penokohan dan latar. Tataran ketiga, yaitu tataran sarana kesastraan
.
Yang dimaksud dengan sarana kesastraan adalah cara-cara yang digunakan oleh pengarang untuk menyeleksi dan
menyusun detil-detil sebuah cerita sehingga membentuk pola-pola yang bermakna. Adapun tujuannya agar memungkinkan bagi para pembaca untuk
dapat melihat fakta-fakta cerita itu, dan untuk sarana melihat pengalaman yang diimajinasikan oleh pengarang itu Stanton, 2007: 22.
Cara paling efektif untuk mengenali tema sebuah karya adalah dengan mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalamnya. Setiap aspek
cerita turut mendukung kehadiran tema. Oleh karena itu, pengamatan harus dilakukan pada semua hal seperti peristiwa-peristiwa, karakter-karakter, atau
bahkan objek-objek yang sekilas tampak tidak relevan dengan alur utama. Jika relevansi hal-hal tersebut dengan alur dapat dikenali, keseluruhan cerita akan
terbentang gamblang.
commit to user 14
Menurut Stanton 2007: 44, selama menganalisis, kita hendaknya berpegang teguh pada apa yang telah diniatkan sejak awal menemukan tema
yang sesuai dengan cerita. Tema tersebut hendaknya memberi makna dan disugestikan pada dan oleh tiap bagian cerita secara simultan. Lebih
mengerucut lagi, tema hendaknya memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut. 1.
Interpretasi yang baik hendaknya selalu mempertimbangkan berbagai detail menonjol dalam sebuah cerita. Kriteria ini adalah yang terpenting.
Kesalahan terbesar suatu analisis adalah terpaku pada tema yang mengabaikan melupakan tidak merangkum beberapa kejadian yang
tampak jelas. 2.
Interpretasi yang baik hendaknya tidak terpengaruh oleh berbagai detil cerita yang saling berkontradiksi. Pada intinya, pengarang ingin
menyampaikan sesuatu. Adalah tidak mungkin bagi pengarang untuk melawan maksudnya sendiri. Seorang pembaca hendaknya bersikap
layaknya seorang ilmuwan. Ia harus selalu siap menerima berbagai bukti yang saling berkontradiksi. Ia harus selalu siap untuk mengubah
interpretasinya, kapanpun bila diperlukan. 3.
Interpretasi yang baik hendaknya tidak sepenuhnya bergantung pada bukti- bukti yang tidak secara jelas diutarakan hanya disebut secara implisit.
4. Terakhir, interpretasi yang dihasilkan hendaknya diujarkan secara jelas
oleh cerita bersangkutan. Contohnya, bila kita yakin bahwa sebuah cerita bertema keberanian, kita juga harus dapat menemukan ungkapan eksplisit
dalam cerita yang menyebut atau mengacu pada keberanian itu. Kita ibaratkan ada seorang pembaca yang baru saja membaca sebuah sajak
commit to user 15
menggambarkan perjalanan waktu dari sejak terbitnya matahari hingga tenggelamnya. Ia langsung mengira bahwa sajak itu menyimbolkan
kehidupan seorang manusia dari lahir sampai mati. Jika benar hal tersebut yang dimaksudkan pengarang, mengapa ia sama sekali tidak mengaitkan
terbit dan tenggelamnya matahari itu dengan kehidupan manusia, bahkan lewat sebuah metafora atau secarik judul yang relevan? Oleh karena itu
perlu diingat, proses mencari tema sama saja dengan bertanya pada diri kita sendiri, “mengapa pengarang menulis cerita ini? Mengapa cerita
tersebut dituliskan?” kemampuan menelisik tema ke dalam setiap detail cerita bagaimana tema member fokus dan kedalaman makna hidup pada
pengalaman yang diutarakan adalah keuntungan yang akan kita dapat nantinya.
Awalnya buku „teori fiksi‟ karya Stanton ini berjudul „
An introduction
to fiction‟ yang diterbitkan pada tahun 1965, untuk kemudian diterjemahkan oleh Sugihastuti ke dalam bahasa Indonesia dengan tujuan untuk memudahkan
peneliti sastra di Indonesia dalam melakukan analisis sebuah karya sastra. Stanton secara lebih mendalam berani mengelompokkan struktural menjadi
tiga tataran utama sebagai unsur pembentuk struktur karya sastra. selanjutnya pendapat ini berkembang dan meluas dan banyak digunakan sebagai acuan
bagi para peneliti sastra termasuk juga di Indonesia. Berdasarkan pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
pendekatan struktural merupakan langkah awal untuk mendapatkan makna karya sastra secara otonom sebagai satu kesatuan yang utuh tak terpisahkan.
commit to user 16
Dalam penelitian ini, penulis lebih menitikberatkan pengelompokan unsur-unsur berdasarkan teori dari Stanton yang mengelompokkan unsur
struktural menjadi 3 tataran. Sedangkan untuk teori dari Rahmat Djoko Pradopo dan Sangidu merupakan teori penunjang dan pendukung dalam usaha
memahami pengertian dan batasan-batasan dalam struktural. Untuk kemudian akan dijelaskan tentang pengertian tiga tataran tersebut yang meliputi alur,
penokohan, latar, tema, dan sudut pandang yang perlu dianalisis untuk menelaah struktur sebuah karya sastra. Unsur-unsur struktural dalam karya
sastra yaitu:
a. Tema
Tema adalah merupakan unsur pembangun karya sastra yang pertama, setelah membaca sebuah karya sastra, seseorang biasanya tidak
hanya bertujuan untuk mencari dan menikmati kehebatan sebuah cerita, tetapi biasanya akan mencari apa yang sebenarnya ingin diungkapkan oleh
pengarang lewat karyanya itu. Makna apa yang terkandung dalam karya tersebut. Penggalian tema menurut Atar Semi 1993: 68, harus dikaitkan
dengan dasar pemikiran, falsafah yang terkandung di dalamnya, tentang nilai luhur. Seringkali tema tersembunyi dibalik bungkusan bentuk,
menyebabkan peneliti mesti membacanya secara kritis dan berulang-ulang. Dengan pengertian tersebut, tema dapat diartikan pula sebagai ide,
gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra.
Tema menjadi dasar pengembangan cerita dan bersifat menjiwai seluruh bagian cerita. Setiap karya sastra tentunya mempunyai tema yang
commit to user 17
mendasari cerita tersebut. Namun keberadaan isi tema sebuah karya sastra tidak mudah ditunjukkan. Karya sastra tersebut harus dibaca berulang kali
untuk dapat dipahami dan ditafsirkan melalui cerita dan data pendukung lainnya. Usaha untuk mendefinisikan tema tidaklah mudah, khususnya
definisi yang mewakili bagian dari sesuatu yang didefinisikan itu. Kejelasan pengertian tema akan membantu usaha penafsiran dan
pendeskripsian pernyataan sebuah karya fiksi Burhan Nurgiyantoro, 1995: 67.
Berdasarkan pengertian-pengertian
di atas,
maka dapat
disimpulkan di dalam penelitian ini bahwa tema adalah inti pokok dari suatu cerita di dalam suatu karya sastra, dalam hal ini adalah karya sastra
Jawa. Atar Semi berpendapat bahwa tema adalah merupakan langkah awal dalam struktural yang harus dipahami betul sebelum menganalisis karya
sastra lebih mendalam. Atar Semi berpendapat tema berperan vital karena mengandung
falsafah, ide dan pemikiran pengarangnya yang hendak disampaikan kepada pembaca. Untuk itu diperlukan membaca berulang-ulang untuk
memahami tema dalam sebuah karya sastra. selanjutnya Burhan Nurgiantoro dalam bukunya “teori pengkajian fiksi‟ menambahkan
tentang peran penting sebuah tema dalam analisis struktur karya sastra, bahwa tema yang jelas akan sangat membantu dalam usaha penafsiran
dan pendeskripsian sebuah karya sastra. jika dibandingkan tentu saja, pendapat Burhan Nurgiantoro ini lebih ramping dan singkat akan tetapi
commit to user 18
dari segi kejelasan teori Atar Semi lebih mampu mendefinisikan secara gamblang tentang pengertian tema dan kegunaannya.
b.
Plot
Alur
Plot
merupakan bagian yang penting dari cerita fiksi. Tinjauan struktural terhadap karya sastra pun sering menekankan pada alur
plot.
Menurut Herman J. Waluyo 2002: 8
plot
merupakan jalinan cerita atau kerangka dari awal hingga akhir yang merupakan jalinan konflik antara
dua tokoh yang berlawanan. Hal tersebut cukup beralasan sebab kejelasan alur
plot
akan mempermudah pemahaman terhadap cerita yang ditampilkan. Dari pengertian tersebut, Herman J Waluyo berusaha
memberikan batasan yang jelas mengenai pengertian alur yaitu jalinan cerita dari awal sampai akhir. Tentu saja jalinan cerita yang dimaksud
memuat semua peristiwa dari awal cerita, berkembangnya, sampai dengan akhir cerita. Kemudian dalam jalinan cerita tersebut berisi jalinan konflik
antara dua tokoh yang berlawanan. Biasanya dibedakan antara tokoh protagonis dengan tokoh antagonis.
Pengertian
plot
menurut Jan van Luxemburg, Mieke Bal dan Willem G. Westseijn 1986: 149, diterjemahkan oleh Dick Hartoko ialah
konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logik dan kronologik saling berkaitan dan yang diakibatkan atau
dialami oleh para pelaku
.
Dari pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa pembaca mengambil peran penting dalam penjelasan suatu alur.
Dapat dipahami bagaimana penilaian dan sudut pandang orang yang
commit to user 19
berbeda-beda terhadap detil suatu alur, meski secara keseluruhan tetap sama. Hal ini tentu saja berhubungan dengan persepsi pembaca.
Senada dengan Herman J Waluyo,
Plot
alur menurut Stanton
2007: 26 merupakan suatu rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita. cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu dihubungkan
sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya suatu peristiwa yang lain.
Dalam pengertian yang luas, pendapat Stanton ini melengkapi pendapat Herman J Waluyo, bahwa alur selain terdiri dari jalinan peristiwa
dari awal sampai akhir dan jalinan konflik antar dua tokoh yang berbeda, namun juga di dalamnya terdapat suatu hubungan sebab-akibat atau
kausalitas. Yaitu peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkab peristiwa yang lain.
Plot
alur menurut Panuti Sudjiman 1984 yaitu rangkaian peristiwa yang direka dan dijalani dengan seksama yang menggerakkan
jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan penyelesaian. Dalam pengertian ini, alur merupakan rentetan peristiwa yang memperlihatkan
gerakan peristiwa dari yang satu ke yang lain. Panuti Sudjiman memberikan detil lagi mengenai pengertian Alur yaitu dengan
menyertakan istilah klimaks dan penyelesaian. Keduanya merupakan unsur dalam alur yang memberikan roh sehingga suatu cerita itu pantas
untuk dibaca. Dalam perbincangan alur harus diwaspadai kemungkinan adanya
karya sastra yang tidak mengindahkan masalah kronologis, atau rentetan
commit to user 20
peristiwa yang terputus-putus yang sukar dijajaki. Tetapi hal itu tidak berarti alurnya tidak ada Atar Semi, 1993: 68. Menurut Atar Semi ada
beberapa karya sastra yang memang menampilkan keistimewaan seorang pengarang dalam menciptakan sebuah karya sastra dan keistimewaan itu
diperlihatkan dalam pengolahan alur yang mendetail dan rumit. Seperti contohnya adalah alur campuran. Terjadi peristiwa yang maju-mundur
maju-mundur setiap kali dalam suatu adegan atau peristiwa hingga cerita itu usai. Hal ini merupakan jebakan bagi pembaca, apabila kurang cermat
maka akan kesulitan dalam memahami alurnya. Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa alur merupakan
rangkaian peristiwa yang terjadi dalam sebuah cerita, saling berkaitan dan dialami oleh pelaku atau tokoh. Struktur alur terdiri dari 1
Situation
pengarang mulai melukiskan suatu keadaan; 2
Generating Circumtance
peristiwa yang bersangkutan mulai bergerak; 3
Rising Action
keadaan mulai memuncak; 4
Climax
peristiwa-periwtiwa mencapai puncaknya; 5
Denounement
pemecahan persoalan-persoalan dari semua peristiwa, dalam Sugihastuti, 2002: 37. Sugihastuti mengklasifikasikan alur menjadi
lima tahapan seperti yang telah disebutkan di atas. Dimulai dari awal cerita tau pelukisan keadaan awal berlanjut hingga mencapai klimaks dan
kemudian denoument atau pemecahan persoalan dari semua peristiwa. c.
Penokohan Jones dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 165 menyatakan,
penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Orang-orang yang ditampilkan dalam
commit to user 21
cerita disebut tokoh cerita. Tokoh cerita, menurut Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 165 adalah orang-orang yang ditampilkan dalam
suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti diekspresikan dalam
ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Penokohan atau karakterisasi adalah proses yang dipergunakan oleh seseorang pengarang
untuk menciptakan tokoh-tokoh fiksinya. Dalam karya prosa, pelukisan
pelaku dengan cara sebagai berikut:
1
Phisical description;
pengarang menggambarkan watak pelaku cerita melalui pemerian deskripsi bentuk lahir atau temperamen pelaku.
2
Portra yal of thought Stream or of Conscious Thought;
pengarang melukiskan jalan pikiran pelaku atau apa yang terlintas di dalam
pikiran pelaku. 3
Reaction to Event;
pengarang melukiskan bagaimana reaksi pelaku terhadap peristiwa tertentu.
4
Direct Author Analysis;
pengarang secara langsung menganalisis atau melukiskan watak pelaku.
5
Discussion of environment;
pengarang melukiskan keadaan sekitar pelaku, sehingga pembaca dapat menyimpulkan watak pelaku tersebut.
6
Reaction of Other to Character;
pengarang melukiskan pandangan- pandangan tokoh atau pelaku lain tokoh bawahan dalam suatu cerita
tentang pelaku utama.
commit to user 22
7
Conversation of Other to character;
pengarang melukiskan watak pelaku utama melalui perbincangan atau dialog dengan para pelaku
lainnya Herman J. Waluyo, 2002: 19-20. Pelukisan watak pelaku menurut Herman J Waluyo yang terdiri
dari tujuh tersebut di atas selain melalui pemerian watak pelaku secara langsung, juga melalui percakapan, cara pelaku menanggapi suatu
peristiwa dan beberapa teknik lain sesuai dengan yang disebutkan di atas. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa penokohan
adalah gambaran tentang sifat atau perwatakan tokoh-tokoh atau para pelaku dalam sebuah karya sastra.
d. Latar atau
Setting
Panuti Sudjiman 1984: 46 mengemukakan latar atau
setting
adalah segala ketentuan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra. Termasuk dalam unsur latar ini adalah hari,
tahun, musim atau periode sejarah. Senada dengan pendapat tersebut, Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 216 menyatakan bahwa
latar
setting
yang disebut landas tumpu menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan. Dari kedua pendapat tersebut, dapat diidentifikasi bahwa latar
berhubungan dengan waktu, tempat dan keadaan sosial dalam suatu periode dalam cerita tersebut. Panuti Sudjiman menyatakan latar sebagai
periode sejarah yang berhubungan dengan hari, tahun dan musim yang berhubungan dengan waktu, ruang dan suasana. Kemudian oleh Abrams,
commit to user 23
latar diidentifikasikan sebagai landas tumpu yang mengacu pada pengertian tempat, waktu dan keadaan sosial masyarakat. Jadi
kesimpulannya kedua teori tersebut hampir sama dan hanya berbeda pada penggunaan kata-katanya.
Hal yang sama juga dilkemukakan oleh Burhan Nurgiyantoro 1995: 227 menyatakan, unsur latar dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu
tempat, waktu dan sosial. Ketiga unsur tersebut saling berkaitan satu sama lain.
1. Latar Tempat Latar tempat menunjuk pada tempat atau lokasi terjadinya
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah fiksi. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan sifat dan
keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Masing-masing tempat memiliki karakteristik tertentu yang membedakan dengan tempat lain.
2. Latar waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah „kapan‟ terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu menjadi dominan dan fungsional jika digarap secara teliti,
terutama jika dihubungkan dengan peristiwa sejarah. Pengangkatan unsur sejarah ke dalam karya fiksi akan menyebabkan waktu yang
diceritakan menjadi bersifat khas, tipikal dan dapat menjadi sangat fungsional sehingga tidak dapat digantikan dengan waktu lain. Latar
waktu sangat koheren dengan unsur cerita lain.
commit to user 24
3. Latar sosial Latar sosial merujuk pada hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku kehidupan sosial-masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup
berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan,
pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual seperti dikemukakan sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latar atau
setting
adalah segala ketentuan mengenai waktu, ruang dan suasana di dalam sebuah karya sastra.
e. Sudut Pandang
Point of View
Menurut Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 248 sudut pandang
point of view
merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar,
dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.
Berbeda dari pendapat Abrams, Janet Burroway 2003: 49 merumuskan pengertian Sudut pandang sebagai berikut. “
Point of View a s a literary technique is a complex and specific concept, dealing with
vantage point and addressing the question..” yang artinya adalah “Sudut pandang sebagai sebuah teknik penulisan sastra adalah satu konsep yg
kompleks dan spesifik, searah dengan tempat yang menguntungkan dan merujuk pada pertanyaan..”
commit to user 25
Dari kedua pendapat tersebut mengenai pengertian sudut pandang, penulis menyimpulkan bahwa pendapat keduanya adalah saling
melengkapi. Konsep yang dikemukakan oleh Janet Burroway melengkapi toeri Abrams mengenai pengertian sudut pandang.
Tzvetan Todorov 1985: 31, mengemukakan bahwa hal yang dapat menjadi ciri penghubung antara wacana dan fiksi adalah sudut
pandang: peristiwa-peristiwa yang membentuk dunia fiktif tidak dikemukakan kepada kita sebagaimana aslinya, tetapi menurut sudut
pandang tertentu. Tzvetan Todorov menegaskan bahwa sudut pandang dalam sastra tidak ada hubungannya dengan pandangan riil si pembaca,
yang tetap bisa berlain-lainan dan tergantung dari faktor-faktor di luar karya, melainkan suatu pandangan yang dikemukakan di dalam karya,
yaitu cara yang khas dalam memandang peristiwa. Teori yang lebih sederhana dan mudah dipahami yaitu pengertian
sudut pandang menurut Sangidu. Teorinya mengatakan bahwa sudut pandang titik pandang, pusat pengisahan merupakan posisi pencerita
narator dalam sebuah cerita. Ada kalanya pencerita bertindak sebagai orang pertama atau sebagai orang ketiga Sangidu, 2004: 142. Dari
penjelasan keempat ahli tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa sudut pandang adalah posisi pencerita dalam sebuah cerita.
commit to user 26
4. Pendekatan Sosiologi Sastra