31
BAB IV DATA, ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
J. Pelaksanaan Penelitian
Dari penelitian yang dilakukan, subyek yang diteliti terdiri atas 2 guru senior dari SMP X dan 1 guru muda dari SMP Y. Jumlah subyek guru yang
diteliti tidak sesuai dengan yang sudah peneliti rencanakan sebelumnya, yaitu 2 guru senior dan 2 guru muda. Hal ini disebabkan oleh sulitnya mencari guru
muda di wilayah Sleman, Yogyakarta. Baik dikarenakan sekolah yang dituju tidak memiliki guru IPA muda atau ketika sudah menemukan guru IPA muda,
justru guru tersebut sedang berhalangan untuk menjadi subyek penelitian. Setelah kurang lebih 1 bulan lamanya 19 September – 18 Oktober 2012
peneliti mencari subyek guru untuk diteliti, dan setelah berkonsultasi dengan dosen pembimbing akhirnya peneliti memutuskan untuk hanya meneliti 3
orang guru yang sudah bersedia untuk menjadi subyek penelitian peneliti. Berikut data 3 guru yang menjadi subyek penelitian:
Tabel 4.1 : Data Tiga Guru Yang Menjadi Subyek Penelitian No
Subyek Sekolah
Ket 1
Subyek I SMP X
Guru senior
1994 – sekarang
2 Subyek II
SMP X Guru senior
1999 – sekarang
3 Subyek III
SMP Y Guru muda
2012 – sekarang
Sedangkan sampel siswa yang mengisi kuesioner adalah berasal salah
satu kelas yang diajar oleh masing-masing sampel guru.
32
K. Data, Analisis Data dan Pembahasan
Pada bagian ini akan dibahas hasil penelitian yang memperlihatkan bagaimana kompetensi pedagogik guru dalam pembelajaran serta persepsi
siswa tentang kompetensi tersebut dalam pembelajaran. Data penelitian ini diolah dalam 2 cara yaitu secara kualitatif dan
kuantitatif. Data yang dianalisis secara kualitatif yaitu data yang diperoleh dari video pengamatan guru mengajar di kelas, fieldnotes dan transkrip
wawancara guru. Sedangkan data yang dianalisis secara kuantitatif adalah hasil kuesioner persepsi siswa tentang kompetensi pedagogik guru dalam
pembelajaran. 1. Kompetensi Pedagogik Guru IPA
Pada penelitian ini, untuk mengetahui kompetensi pedagogik guru IPA masing-masing sampel, peneliti menggunakan data video
pengamatan guru mengajar di kelas, fieldnotes dan transkrip wawancara guru. Adapun kompetensi pedagogik masing-masing guru
IPA adalah sebagai berikut: a. Pemahaman Terhadap Siswa
1 Subyek I Dalam usaha memahami karakter dan kemampuan siswa,
subyek I berusaha memperoleh informasi mengenai anak didiknya baik dari pengamatan selama pembelajaran, informasi
dari orangtua maupun dari Bimbingan Konseling BK seperti yang dituturkan oleh subyek I berikut ini:
33
“Jadi segala informasi dibutuhkan, baik dari orang tua, dari anak itu sendiri, dari subyek, teman-temannya dan
khususnya BK. Biasanya BK itu secara khusus memberikan dialog pribadi dengan siswa, itu dapat menjadi masukan-
masukan sebagai penentu prioritas bagi anak-anak tertentu.”
Dari hasil wawancara dan pengamatan di kelas, subyek I
sudah hapal sebagian besar nama siswa terutama siswa yang membutuhkan perhatian khusus. Siswa yang tergolong
membutuhkan perhatian khusus misalnya siswa yang menurut subyek I belum memiliki mental untuk belajar. Hal ini
ditunjukkan dengan perilaku siswa yang lebih sering ngobrol dengan sesama siswa dibandingkan memperhatikan pelajaran.
Siswa yang sudah terbentuk mental belajarnya sehingga sering dijadikan contoh teladan bagi siswa lainnya juga lebih
gampang untuk diingat namanya. Berikut adalah kutipan hasil wawancara dengan subyek I:
“Ya sebagian besar hapal tapi tidak semua, khususnya anak-anak yang butuh perhatian khusus, taruhlah misalnya
yang butuh perhatian khusus ada beberapa siswa yang mungkin agak, mungkin secara mental untuk anak, itu belum
terbentuk mental belajar atau anak yang bisa dipakaisebagai teladan bagi teman temannya itu juga gampang untuk dihapal
namanya.”
Subyek I menyatakan bahwa dengan mengetahui
karakteristik siswa, selain dapat membantu dalam memetakan kondisi siswa yang memang sudah menjadi kewajiban guru,
tapi juga
sebagai langkah
awal untuk
menentukan pendampingan belajar yang tepat bagi siswa. Bentuk
34
pendampingan belajar siswa yang sering dilakukan subyek I di kelas berupa beberapa hal, misalnya pengkondisian tempat
duduk siswa. Siswa yang dilihat dari segi akademis dianggap masih kurang oleh subyek I dan ternyata di kelas sering ribut
akan diminta untuk duduk di barisan depan agar lebih terpantau oleh guru selama proses belajar berlangsung, serta agar tidak
mengganggu siswa lain sehingga suasana belajar dapat menjadi lebih kondusif. Berikut adalah kutipan hasil wawancara dengan
subyek I: “Penempatan tempat duduk itu sudah mulai kita atur
dengan melihat kondisi siswa. Kalau anak-anak misalnya si a secara akademis kurang dan ternyata dia di kelas ribut, ya ini
kan harus kita sesuaikan, berarti anak ini supaya bisa konsentrasi dalam belajar, kita pindahkan tempat duduknya.
Selain itu juga agar terciptanya suasana belajar dengan baik.”
Selama 4 kali pengamatan di kelas, terjadi aktivitas subyek yang mengatur tempat duduk. Aktivitas tersebut terjadi
pada pertemuan ke-3, pada hari Senin, tanggal 3 November 2012, menit ke-5. Kronologi kejadian terlampir pada lampiran
B3. Subyek I juga menyatakan bahwa siswa di kelas 7F ini
sering mengalami kesulitan ketika menghadapi soal hitungan pengaplikasian rumus. Namun subyek beranggapan bahwa hal
ini dapat terjadi bukan karena siswa tidak bisa, namun karena siswa kurang gigih dan sifat ingin serba instan dalam belajar.
Menghadapi hal ini subyek I mengakui harus selalu tetap sabar
35
dalam mendampingi siswa, karena masing-masing siswa memiliki kondisi yang berbeda-beda. Bentuk pendampingan
siswa yang lain yaitu dapat berupa memanggil langsung siswa yang bermasalah atau dengan pemanggilan orangtua siswa
untuk mengetahui apakah ada faktor penyebab yang berasal dari luar sekolah. Berikut kutipan hasil wawancara dengan
subyek I: “Kalau kesulitan belajar pada siswa secara makro gak
ya, mungkin kalau dalam mengitung, mengaplikaskan rumus. Tapi dari segi itu sebenarnya bukan karena anak itu tidak
mampu, tapi anak itu kurang gigih dalam belajar. Jadi maunya kan serba instan dalam mengerjakan soal. Dalam
menghadapi siswa yang kurang gigih dalam belajar butuh kesabaran, butuh waktu, dan pendampingan. Pendampingan
dapat berupa pemanggilan, kontak dengan orang tuanya, agar orang tuanya juga tahu masalah yang terjadi pada
analnya, dan minimal nanti kalau ada hal-hal yang terkait dengan siswa terutama tentang nilai dan lainnya, orang tua
bisa tau.”
Dikarenakan kondisi kelas yang belum terlalu kondusif
untuk belajar, subyek I sering menggunakan metode mendikte dalam menyampaikan materi pelajaran. Subyek I menyatakan
hal ini dilakukan untuk memancing siswa agar lebih memperhatikan dan siswa menjadi terbiasa menulis. Kegiatan
tanya jawab dengan siswa juga sering dilakukan dengan tujuan untuk merangsang siswa berpikir. Berikut kutipan hasil
wawancara dengan subyek I: “Ya karena satu karena situasi kelas memang belum
kondusif tadi,
maka saya
memancing anak
untuk
36
memperhatikan dengan
membacamendikte. Dengan
membacamendikte, anak otomatis mau menulis.” Pada pertemuan pertama, lama subyek I mendikte yaitu 10
menit 40 detik dari total mengajar 80 menit. Pada pertemuan kedua, lama subyek I mendikte yaitu 16 menit 38 detik dari
total mengajar 40 menit. Pada pertemuan ketiga, lama subyek I mendikte yaitu 24 detik dari total mengajar 40 menit. Dan pada
pertemuan keempat, lama subyek I mendikte yaitu 10 menit 37 detik dari total mengajar 80 menit. Kronologi kejadian
terlampir pada lampiran B3. “Kegiatan tanya jawab dengan siswa ya untuk
merangsang siswa
yang lain
juga agar
mau bertanyamenjawab.”
Wawancara dengan subyek I, guru IPA kelas 7F SMP X, tanggal 30 November 2012.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa subyek I telah
melakukan upaya pemahaman terhadap siswa, khususnya siswa kelas 7F dengan cara memperoleh informasi dari orangtua
siswa, memperoleh informasi dari bimbingan konseling, serta melakukan interaksi komunikasi secara langsung dengan siswa
selama proses pembelajaran berlangsung. Dari upaya-upaya yang telah dilakukan, subyek I menjadi tahu bagaimana
karakteristik siswa kelas 7F, seperti: siapa saja siswa yang membutuhkan
perhatian khusus
selama pembelajaran
berlangsung, baik karena siswa tersebut sering ramai di kelas
37
atau siswa yang dari segi akademis masih kurang, kesulitan- kesulitan belajar yang dialami siswa seperti ketika menghadapi
soal hitungan pengaplikasian rumus, serta sifat siswa yang kurang gigih dalam belajar.
2 Subyek II Dalam usaha memahami karakter dan kemampuan peserta
didik, berdasarkan pengalaman mengajar dibeberapa sekolah dan setelah 10 tahun mengajar sebagai subyek IPA di SMP X,
subyek II berpendapat bahwa mengajar IPA pada siswa SMP harus
pertama-tama mengenalkan
konsep-konsep yang
sederhana dikarenakan menurut subyek II, kebanyakan siswa masih belum bisa untuk diajak berpikir asbtrak, seperti yang
dituturkan berikut ini: “Susah memang anak SMP itu, kadang-kadang sangat
sulit, hanya beberapa yang bisa berfikir abstrak. Makanya saya menyampaikan hal-hal yang sederhana saja, hal-hal yang
berkaitan dengan hal yang dia kenal, kalau kita melampaui abstraknya dia, atau perkembangan, itu sulit sekali. Siswa
yang bisa diajak berpikir abstrak hanya ada beberapa, bisa dihitung dengan jari lima.”
“Makanya saya
memasukkan konsep-konsep
yang sederhana seperti misalnya rumus fisika massa jenis dan
sebagainya gak pakai lambang. Sulit sekali, lambang massa jenis gak tau. Misalnya rumus massa jenis sama dengan m
dibagi v c = mv jarang sekali yang tahu. Kalau misal massa jenis, massa dibagi volume, mereka tau.”
“Makanya, kalau saya, jalan tengahnya dengan dihapal pelan-pelan. Dengan menghapal akan terbiasa, misalnya
rumus kimia air H
2
O itu anak sudah tau tapi gak ngerti, H itu apa.”
38
Subyek II juga mengutarakan bahwa jumlah siswa di kelas 7A yang sudah terlihat memiliki potensi terutama dalam
pembelajaran IPA, jumlahnya masih sedikit, sisanya adalah siswa dengan kemampuan yang sedang. Meskipun demikian,
subyek II mengakui bahwa keseluruhan siswa di sekolah termasuk siswa di kelas 7A, memiliki tingkat motivasi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan siswa dari sekolah lain. Subyek II berpendapat bahwa tingginya motivasi belajar yang
dimiliki siswa bisa saja disebabkan karena sebagian besar siswa yang berasal dari latar belakang keluarga dengan ekonomi yang
juga tinggi. Selanjutnya menurut subyek II, para orangtua siswa yang berlatar belakang ekonomi tinggi ini cenderung untuk lebih
memperhatikan pendidikan anaknya, termasuk baik secara langsung maupun tidak langsung menekan anaknya untuk
berprestasi di sekolah. Berikut kutipan wawancara dengan subyek II:
“Potensi siswa terutama dalam pelajaran IPA kalau dilihat dalam satu kelas itu, mungkin bisa dihitung lima.”
“Siswa di sini tuh kalau saya bandingkan dengan SMP yang lain, mendingan di sini. Di sini motivasi belajarnya lebih
tinggi. Mungkin karena taraf ekonomi juga. Anak-anak, kalau orang-orang yang punya taraf ekonomi tinggi itu motivasi
belajarnya tinggi, paling tidak dikejar-kejar orangtua nya. Orang tua itu kadang, sampai tanya ke wali kelas tentang
perkembangan
anaknya, referensinya
banyak sekali,
perhatiannya banyak.”
39
Subyek II mengakui bahwa penerapan gaya mengajar di tiap kelas berbeda-beda, tergantung dengan kondisi kelas,
karakteristik siswa, serta komposisi tingkat kecerdasan siswa dalam satu kelas. Menurut subyek II, siswa di kelas 7A
termasuk ramai. Meskipun demikian, siswa di kelas 7A termasuk siswa dengan tingkat kecerdasan yang tinggi terutama
bila dibandingkan dengan kelas 7 lainnya, misalnya dengan kelas 7B. Berikut kutipan wawancara dengan subyek II:
“Penerapan gaya ya berbeda-beda, pertimbangannya keadaan kelas. Misalnya, karakter anak yang satu kelas tenang,
yang satu kelas ramai. Kemudian yang kedua pertimbangannya peta kelas, artinya oh kelas ini anak-anak dominasinya lebih
bagus disini, tingkat kecerdasannya lebih bagus, perlakuannya jadi lebih santai. Jadi kalau yang kelas dengan tingkat
kecerdasan agak rendah memang pertama harus banyak energi, lebih ekstra untuk memasukkan materi. Kalau yang
seperti 7A ini termasuk kelas yang ramai tetapi tinggi tingkat Iqnya. Kalau pun ada yang tidak tinggi, tapi bisa. Saya juga
kaget ketika dibandingkan dengan 7B, ternyata ulangannya lebih bagus rata-ratanya ketimbang 7B.”
Saat melakukan wawancara dengan subyek II, subyek II
sempat bercerita tentang salah satu kasus yang pernah dialaminya bersama salah satu siswa, meskipun siswa tersebut
bukan merupakan siswa kelas 7A. Dari hal ini dapat dilihat bahwa subyek II sungguh berusaha memahami permasalahan
yang sedang dihadapi siswa, seperti yang dituturkan berikut ini: “Misalnya Clarissa, siswa 7B. Selama ini tugasnya baik,
anaknya aktif, tapi akhirnya ulangannya kok 70. Sampai-sampai orangtuanya saya panggil. Dari penuturan orangtua, Clarissa
belajarnya semangat sekali, bahkan sampai jam dua pagi. Tapi akhir akhir ini dia konsentrasinya agak terpecah karena sudah
40
banyak sosialisasi sering main, kenal teman-teman dan sebagainya. Kemudian saya beri tahu Clarissa, Ibunya kemarin
bertanya kenapa Clarissa nilainya kok gak seperti biasanya. Trus saya kroscek dengan Ibunya, ternyata Clarissa juga
kurang konsentrasi dalam belajar. Jadi match gitu yang saya amati dengan yang terjadi di rumah.”
Wawancara dengan subyek II, guru IPA kelas 7A SMP X, tanggal 3 Desember 2012.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa subyek II telah melakukan upaya pemahaman terhadap siswa, khususnya siswa
kelas 7A dengan cara memperoleh informasi dari orangtua siswa, memperoleh informasi dari bimbingan konseling, serta
melakukan interaksi komunikasi secara langsung dengan siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Dari upaya-upaya
yang telah dilakukan, subyek II menjadi tahu bagaimana karakteristik siswa kelas 7A, seperti: sebagian besar siswa yang
belum bisa untuk belajar tentang abstrak, siswa memiliki motivasi belajar yang tinggi, siswa kelas 7A sering ramai
selama pembelajaran namun termasuk cerdas bila dibandingkan dengan kelas 7 lain yang juga diajar oleh subyek II.
3 Subyek III Subyek III selaku guru muda yang mengampu mata
pelajaran IPA kelas 7.1 dan 7.2 di SMP Y telah berusaha memahami karakter dan kemampuan siswa, dengan cara
mencoba untuk akrab dengan para siswa. Usaha mengakrabkan diri dengan siswa berupa baik menghapal nama siswa, sering
41
bercanda dengan siswa, hingga mencari tahu tingkat kemampuan
kognitif masing-masing
siswa melalui
dokumentasi daftar nilai. Subyek III juga berpendapat bahwa dengan mengakrabkan diri dengan siswa, maka dalam proses
belajar akan menjadi lebih gampang dalam berinteraksi dengan siswa. Dengan cara-cara tersebut subyek III dapat mengetahui
bahwa para siswa kelas 7.1 dan 7.2 memiliki minat serta perhatian yang bagus pada mata pelajaran IPA yang
diampunya. Dalam wawancara, subyek III menuturkan bahwa
kemampuan kognitif siswa sangat mempengaruhi sikap siswa tersebut di kelas. Selain itu, subyek III juga mengutarakan
bahwa meskipun pada dasarnya baik kelas 7.1 dan 7.2 sama- sama ramai, namun tetap ada yang membedakan kedua kelas
tersebut. Subyek III berpendapat bahwa siswa di kelas 7.1 lebih baik dari aspek kognitifnya dibandingkan dengan siswa kelas
7.2. Berikut kutipan wawancara dengan subyek III:
“ Rata-rata semakin mereka pintar, makin anteng, manut,
diam, gak berisik sama yang lain, gak ngerusuhi. Aku pernah bilang ke siswa, yang rame-rame itu belum tentu pinter,
mereka langsung komentar wo Bapak ki. Tapi ya bener, yang nilainya 89 an, diem loh, biasa aja, manut aja. Yang rata-rata
nilainya buruk ya itu, modelannya pecicilan gitu.”
“Tapi itu yang buat saya kagum, mereka siswa kelas 7.1 pas dikasi tugas, hasilnya bagus-bagus terus. Dibanding
7.2.”
42
Salah satu upaya yang dilakukan oleh subyek III untuk lebih memahami siswanya adalah dengan menghapal nama
siswa. Untuk dapat menghapal keseluruhan nama siswa kelas 7.1 dan 7.2 ini, subyek III mengaku memerlukan waktu selama
3 minggu. Menurut subyek III, dengan menghapal nama siswa maka subyek III dapat lebih memahami dan merasa dekat
dengan siswa. Berikut kutipan wawancara dengan subyek III: “Oo dengan sendirinya, tapi itu sekitar 3 minggu, 3
minggu awal. Karena saya ya lumayan sepat mengahapal kalo waktu gak ngajar kelas 9, yah hapal nama. Kadang ya akrab di
facebook, ya jadi hapal.”
“Ya, ini kalo menurut saya ya, kita itu kan sebagai pendidik, ya mau gak mau kan harus kenal dulu. Serba salah
kalo sebagai subyek itu. Kalo kita membatasi diri, anak kayak tertekan, kayak gimana. Tapi kalo misalnya saya membaur, ya
anak kadang nyeleneh kadang gimana. Ini saya coba, ada keuntungannya,
untuk mengahapal
itu dia
merasa diperhatikan. Sekarang kan udah mulai itu toh, kalo gak hapal
berarti kan mereka siswa bisa merasa kayak gak diperhatikan.”
Di sela-sela pembelajaran IPA di kelas, subyek III sering
berinteraksi dalam bentuk bercanda dengan siswa. Hal ini diakui karena subyek III berpendapat bahwa dengan bercanda
berarti mau terbuka dengan siswa dan siswa juga diharapkan mau terbuka dengan guru. Selain itu subyek III juga
mengatakan bahwa apabila suatu saat ada kasus yang menimpa salah satu siswanya, maka kedekatan yang sudah dibangun
antara guru dan siswa dapat sangat membantu dalam
43
menyelesaikan masalah tersebut. Berikut kutipan wawancara dengan subyek III:
“Tapi intinya mereka itu senang bercanda ceria. Ya itu untuk mengetahui dalamnya mereka, karena kan nati kalo ada
kasus-kasus, malah yang lebih hapal itu yang akrab. Hanya itu mengenal lebih dekat aja lah, biar mengenal informasi-
informasi tentang siswa.”
Subyek III mengakui melalui aktivitas tanya jawab selama
pembelajaran, beliau dapat mengetahui kisaran jumlah siswa yang benar-benar sudah paham dengan materi ajar yang
disampaikan, bukan hanya sekedar menghapal. Yaitu masing- masing 60 pada kelas 7.1 dan 20 pada kelas 7.2. Berikut
kutipan wawancara dengan subyek III: “Untuk
apersepsi itu
diwajibkan kalo
dalam pembelajaran. Apersepsi pertanyaan, jadi saya tahu indikator
siswa ini menghapal tidaknya. Kan ada sebagian siswa yang cuma menghapal. Kayak di kelas 7.1 itu kan 60 udah bisa,
kalo di kelas 7.2 baru 20.”
Dalam mengahadapi situasi kelas yang ramai, baik itu
kelas 7.1 atau 7.2, subyek III akan menangani dengan teguran keras namun tanpa menggunakan kekerasan fisik, atau justru
dengan mendiamkan saja hingga pada akhirnya kelas menjadi tenang sendiri, seperti yang dituturkan berikut ini:
“Kalo kelas 7 ramai, langsung keras tapi pelan. Intinya kalo pas rame banget, keras langsung, tapi gak berani mukul.
Sama kalo masih rame sedikit-sedikit, didiemin aja, dia nanti diam sendiri. Makanya, yah menurut subyek-subyek disini
harus halus. Tetep kalo halus itu menangan, nanti dia manut sendiri.”
44
Subyek III juga mengutarakan bahwa ada beberapa siswa baik di kelas 7.1 maupun 7.2 yang suka sekedar ikut-ikutan
menjawab saat subyek III mengajukan pertanyaan kepada kelas. Oleh sebab itu subyek III mengadakan aktivitas tanya
jawab dengan individu siswa untuk mengetes kemampuan siswa yang bersangkutan, seperti yang dituturkan berikut ini:
“Jadi intinya saya pengen tau kemampuan mereka sampe mana. Kalo belum tahu ya baru materinya diulangin
lagi. Tapi itu aslinya ada siswa yang cuma bersuara tok. Yang pinter, misalnya Yani atau siapa gitu, nanti ada yang
bersuara yang ikut-ikutan. Nah itu yang gak bisa dipercaya. Pas dibuktikan ya bingung. Kayak misalnya hitungan, kalo
yang pinter pasti tau, waktu anaknya mau ngomong di depan umum kan subyek bilang jangan disebutin dulu, nanti ada
yang ikut-ikutan.”
Selanjutnya, subyek III mengatakan bahwa pondasi
matematika yang dimiliki oleh siswanya masih kurang, hal ini diketahui ketika subyek III memberi soal hitung-hitungan pada
siswa, dan siswa tidak bisa mengerjakannya, berikut kutipan wawancaranya:
“Waktu saya kasi soal awal itu, mereka langsung bengong, kayak yang bingung gitu, padahal kan cuma 0, bagi.
‘Wah jangan-jangan parah ini’, ada feeling seperti itu. Ternyata malah bener. Awalnya gak ada pikiran kalo siswa
tidak bisa perhitungan matematika, ini paling udah bisa lah, karena udah dari SD. Wah ternyata parah, ini pondasi
awalnya gak tahu, parah banget, perkalian aja masih dibimbing.”
“Jadi mau gak mau saya yang bertindak, dari pada nanti berantakan. Kan fisika perlu pembagian-pembagian gitu. Di
kelas 7.1 aja masih ada 4-6 orang yang belum bisa pembagian- pembagian seperti itu.”
45
Selain itu, saat ulangan sedang berlangsung, sering terlihat beberapa siswa yang kasak-kusuk meminta jawaban dari siswa
lain. Meskipun pada awalnya subyek III menegur siswa tersebut namun pada akhirnya lebih sering mengacuhkan
perilaku siswa tersebut. Berikut alasan yang diutarakan oleh subyek III:
“Ya iya lah temennya aja bodoh, ya gak bisa lah percuma nyontek. Lah ini temennya udah salah, ya biarin aja
lah. Tapi saya bilangin kok kadang, wes jangan nyontoh, temennnya aja belum tentu bener, siswa tetap aja gak
ngerti.”
Dari hasil wawancara dengan subyek III, dapat diketahui
bahwa subyek III cenderung tidak mengalami kesulitan dalam mengetahui karakter dan kemampuan siswa. Meskipun
demikian, masih ada beberapa siswa yang belum dapat membuka diri sehingga subyek III mengalami kebingungan
bagaimana agar siswa yang bersangkutan mau ikut aktif selama pembelajaran IPA. Dalam menghadapi kasus yang seperti ini,
subyek III biasanya langsung memasrahkan permasalahan siswa yang bersangkutan langsung ke wali kelas, seperti yang
dituturkan berikut ini:
“ Alexsius jarang masuk sekolah. Mungkin dari latar
belakang, mungkin keluarganya kurang mampu atau gimana.” “Alexsius tadi, dari ulangan 2 sampe tadi nilainya
belum masuk. Aku sudah tanya wali kelas, ya wali kelas diem aja. Kalo yang siswa lainnya gak ada yang bermasalah
seperti ini. Makanya tadi Alexsius dipanggil, mau saya marahin, malah anaknya hilang, yang datang malah Zaenal
Arifin sama Ega. Alex ini malah tetap pergi.”
46
“Mendekati siswa yang seperti itu Alexsius saya paling bilangin ke wali kelas. Itu kan urusan wali kelas, saya gak
berani sampe dekat sampe gimana. Paling pas kasi tugas, ‘ayo dikerjakan lama-lama digertak terus. Intinya saya gak
terlalu mau bertindak di kelas, kan ada wali kelas.”
Wawancara dengan subyek III, guru IPA kelas 7 SMP Y, tanggal 28 November 2012.
Berdasarkan uraian di atas dapat terlihat bahwa subyek III mencari informasi tentang siswa dengan melakukan
interaksi komunikasi secara langsung dengan siswa selama proses pembelajaran, sebagai upaya pemahaman terhadap
siswa. Karakteristik siswa kelas 7.1 dan 7.2, menurut subyek III adalah kelas yang sama-sama ramai, sama-sama memiliki
minta serta perhatian yang bagus pada mata pelajaran IPA, sama-sama memiliki pengetahuan dasar seperti kemampuan
berhitung yang masih kurang. Namun yang membedakan dari kedua kelas tersebut adalah bahwa dari segi kemampuan
kognitif, siswa kelas 7.1 lebih unggul dibandingkan dengan siswa kelas 7.2, serta jumlah siswa yang benar-benar sudah
paham dengan materi ajar yang disampaikan, yaitu masing- masing 60 pada kelas 7.1 dan 20 pada kelas 7.2.
Selanjutnya dapat diketahui bahwa masing-masing subyek telah melakukan upaya pemahaman terhadap siswa dengan
caranya masing-masing. Baik dengan cara interaksi komunikasi dengan siswa, memperoleh informasi dari orangtua siswa,maupun
47
memperoleh informasi dari bimbingan konseling. Dari sini pula peneliti menyimpulkan bahwa adanya perbedaan antara guru
senior dan guru muda yang menjadi subyek penelitian dalam upaya pemahaman terhadap siswa. Yaitu dimana upaya
memperoleh informasi untuk memahami siswa yang dilakukan oleh guru muda lebih terfokus pada interaksi komunikasi
langsung dengan siswa. Sedangkan kedua guru senior selain interaksi komunikasi dengan siswa juga mengandalkan informasi-
informasi dari orangtua siswa dan bagian bimbingan konseling Berikut kesimpulan kompetensi pemahaman terhadap
siswa masing-masing subyek dalam bentuk tabel: Tabel 4.2 : Kesimpulan Kompetensi Pemahaman Terhadap Siswa
Subyek I Subyek II
Subyek III 1. Subyek tahu
siapa saja siswa yang
membutuhkan perhatian khusus
selama pembelajaran
berlangsung, baik karena siswa
tersebut sering ramai di kelas
atau siswa yang dari segi
akademis masih kurang.
1. Subyek tahu bahwa sebagian
besar siswa belum bisa untuk belajar
tentang abstrak. 1. Subyek tahu
bahwa baik kelas 7.1 dan 7.2 kelas
sama-sama ramai, namun juga sama-
sama memiliki minat serta
perhatian yang bagus pada mata
pelajaran IPA, serta sama-sama
memiliki pengetahuan dasar
seperti kemampuan
berhitung yang masih kurang.
48
2. Subyek tahu kesulitan-
kesulitan belajar yang dialami
siswa seperti ketika
menghadapi soal hitungan
pengaplikasian rumus, serta sifat
siswa yang kurang gigih
dalam belajar. 2. Subyek
mengetahui bahwa siswa
memiliki motivasi belajar yang
tinggi 2. Subyek
mengetahui bahwa dari segi
kemampuan kognitif, siswa
kelas 7.1 lebih unggul
dibandingkan dengan siswa
kelas 7.2
3. Subyek tahu bahwa meskipun
siswa kelas 7A sering ramai
selama pembelajaran
namun termasuk cerdas bila
dibandingkan dengan kelas 7
lain yang juga diajar oleh
subyek. 3. Subyek
mengetahui jumlah siswa
yang benar-benar sudah paham
dengan materi ajar yang
disampaikan, yaitu masing-
masing 60 pada kelas 7.1 dan
20 pada kelas 7.2.
b. Perancangan Pembelajaran 1 Subyek I
Subyek I selaku guru IPA kelas 7F di SMP X telah memiliki RPP Rencana Pelaksanaan Pembelajaran sebagai
rancangan belajar untuk kelas 7 SMP dengan menggunakan format yang berasal dari Dinas Pendidikan untuk kelas 7 SMP.
Dalam proses pembelajaran IPA di kelas, meskipun subyek I
49
memiliki rancangan pembelajaran berupa silabus dan RPP, subyek I tetap mengedepankan kondisi kelas, sehingga kadang
kala urutan pembelajaran tidak sama dengan yang sudah direncanakan dalam RPP. Subyek I juga selalu mengikuti
perubahan-perubahan kurikulum dengan ikut merubah format silabus dan RPP sesuai dengan kurikulum yang sedang berlaku.
Berikut kutipan hasil wawancara dengan subyek I: “Kalau dari awal yang namanya silabus RPP pasti
dibuat. Tapi berdasarkan pengalaman mengajar, dari administrasi secara tertulis bisa berbeda dalam penerapan.
Pembelajaran dilaksanakan berdasarkan pada silabus, kemudian materi ajar disampaikan disesuaikan dengan
situasi kelas. Jadi urutan pembelajaran mungkin tidak sama dengan yang di RPP, tapi inti materi tetap tersampaikan
pada siswa.”
“Perubahan RPP terjadi beberapa kali, dan itu pun terjadi serentak. Jadi kita susun, kita ubah, dan kita edit
bersama-sama”
Wawancara dengan subyek I, guru IPA kelas 7F SMP X, tanggal 30 November 2012.Adapun contoh RPP dapat dilihat
dalam lampiran B5 dokumen subyek I, RPP dicopy pada tanggal 17 November 2012.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa subyek I
mengakui bahwa meskipun sudah memiliki RPP, namun dalam pelaksanaannya
dapat berubah
sewaktu-waktu sesuai
bagaimana kondisi kelas.
50
2 Subyek II Subyek II selaku guru IPA kelas 7A di SMP X telah
memiliki RPP Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dan silabus untuk kelas 7 SMP menggunakan format yang berasal
dari Dinas Pendidikan untuk kelas 7 SMP. Dalam proses pembelajaran IPA di kelas subyek II mengakui sangat
mementingkan tercapainya RPP yang sudah dibuat. RPP bagi subyek II dipandang sebagai pengontrol ketercapaian
pembelajaran siswa. Dari situ hasil belajar siswa dapat menjadi indikator keberhasilan kegiatan belajar mengajar, seperti yang
dituturkan berikut ini:
“ Makanya ya, RPP yang dulu yang penting ini tercapai.
Sederhana kalau saya, artinya tujuannya tercapai, improvisasi gak masalah asal tujuan yang harus dicapai, wong yang
digariskan di silabus sudah ada, minimal itu.”
“ Ya untuk ngontrol, yang jelas untuk ngontrol
ketercapaian pembelajaran anak. Artinya ketika sudah dapet, misalnya dengan tujuan yang sudah dirumuskan, ada evaluasi
misalnya sudah tuntas, ada batas ketuntasan, kalau udah tuntas, berarti belajar kita berhasil. Itu untuk mengontrol memang,
kalau gak ada kontrol itu, kita ngajar ya seperti gak punya tujuan, kontrolnya gak ada. Artinya tiap kali hanya membuang
waktu. Kalau tercapai, bisa tahu anak mana yang belum tercapai, tau anak mana yang sudah tercapai. Rasanya itu
puas, meskipun sederhana.”
“ Pengalaman aja, dan iya memang harus begitu RPP
sangat penting untuk mengontrol keberhasilan. Kalau tingkat keberhasilan itu sudah tahu, saya pribadi puas, meskipun
ternyata masih banyak yang remidi. Dengan ini tahu saya peta-petanya, trus ya dikasi remidi jadi mudah, jadi gak usah
ngladrah, ngajar tuh gak usah spaneng.”
51
Subyek II juga mengikuti perubahan-perubahan kurikulum dengan ikut merubah format silabus dan RPP sesuai dengan
kurikulum yang sedang berlaku. Berikut kutipan hasil wawancara dengan subyek II:
“Ya hanya setiap awal semester aja, jadi membuat sekalian semuanya terus dipakai. Jadi ketika awal tahun
pelajaran dibuat langsung, klip jadi perangkat. Ketika setahun lagi, awal semester lagi ada perubahan, ya kita hanya tinggal
sedikit merubah.”
Wawancara dengan subyek II, subyek IPA kelas 7A SMP X, tanggal 3 Desember 2012. Adapun contoh RPP dapat
dilihat dalam lampiran B5 dokumen subyek I, RPPdicopy pada tanggal 20 November 2012.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa subyek
II memandang RPP sebagai acuan ketercapaian pembelajaran. Sehingga
dalam pelaksanaannya,
subyek II
sangat mementingkan tercapainya RPP yang sudah dibuat.
3 Subyek III Subyek III selaku guru IPA kelas 7.1 dan 7.2 di SMP Y,
telah memiliki RPP Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dan silabus untuk kelas 7 SMP menggunakan format yang berasal
dari Dinas Pendidikan untuk kelas 7 SMP. Meskipun dalam keseharian kegiatan belajar mengajar, subyek III mengaku
tidak pernah menggunakan RPP yang dimilikinya sebagai acuan. Seperti yang dituturkan berikut ini:
“Itu kalo masalah RPP, saya gak pernah lihat. Walaupun disuruh bikin, saya gak pernah menggunakannya sebagai
acuan. Yah lihat dari keseharian aja. Kalo siswa udah
52
paham langsung lanjut materi aja. Ini materi perubahan zat kemarin sudah selesai cuma 1 kali pertemuan, kalo di RPP
kan 2 pertemuan. Trus saya juga lihat SKL, kalo bikin soal UAS, juga mengacu lihat SKL. Jadi misalnya materi suhu, di
buku gak ada materi suhu, intinya cuma diterangkan saja pada siswa. Kita lihat kondisi.”
Meskipun demikian, subyek III tetap menganggap bahwa
RPP itu penting, seperti yang dituturkan berikut: “Ya penting, aku kan baru awal di sini, belum tahu. Pas
bikin RPP, kok ya beda semua antara RPP dan praktek. Sekarang lihat kondisi dulu, besok-besok jadi tahu, o
kemampuannya siswa segini. Padahal udah tak bikin loh latihan-latihannya di RPP, eh ternyata kondisinya begini.
Kalo semester ini gak sesuai blas antara RPP dan praktek.”
Wawancara dengan subyek III, guru IPA kelas 7 SMP Y tanggal 28 November 2012.
Adapun contoh RPP dapat dilihat dalam lampiran B5 dokumen subyek III, RPP dan dicopy pada tanggal 12
November 2012. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa subyek
III mengakui meskipun telah membuat RPP sesuai dengan format dari Departemen Pendidikan, namun RPP tersebut tidak
pernah benar-benar
digunakan sebagai
acuan dalam
pelaksanaan pembelajaran.Dikarenakan adanya ketidaksesuaian antara RPP yang sudah dibuat dengan praktiknya dalam
pembelajaran. Oleh sebab itu, dalam tahun pertama subyek III mengajar di sekolah, subyek III baru membuat RPP setelah
proses pembelajaran berlangsung. Kemudian pada tahun berikutnya akan dikembangkan sesuai dengan kondisi yang
ada.
53
Selanjutnya peneliti dalam menyimpulkan bahwa tidak adanya perbedaan antara guru senior dan guru muda yang
menjadi subyek penelitian dalam upaya membuat perancangan pembelajaran. Ketiga subyek sama-sama telah membuat RPP
seperti yang sudah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan untuk kelas 7 SMP. Meskipun demikian,seperti yang telah diuraikan di
atas, ketiga subyek tersebut memiliki sudut pandangnya masing- masing tentang RPP sebagai perancangan pembelajaran. Apabila
subyek I mengakui meskipun sudah memiliki RPP, namun dalam pelaksanaannya dapat berubah sewaktu-waktu sesuai bagaimana
kondisi kelas, maka subyek II memandang RPP sebagai acuan ketercapaian pembelajaran dan mementingkan tercapainya RPP
yang sudah dibuat. Sedangkan subyek III mengakui tidak pernah menggunakan
RPP sebagai
acuan dalam
pelaksanaan pembelajaran dikarenakan adanya ketidaksesuaian antara RPP
yang sudah dibuat dengan praktiknya dalam pembelajaran. Selanjutnya menurut peneliti sendiri dalam hal perancangan
pembelajaran, membuat RPP sesuai dengan format yang berasal dari Departemen Pendidikan sudah merupakan hal yang baik.
Namun akan lebih baik bila RPP yang sudah dibuat kemudian digunakan sebagai panduan dalam pelaksanaan pembelajaran.
Karena selain berguna sebagai panduan mengajar juga berguna sebagai tolak ukur ketercapaian tujuan pembelajaran. Meskipun
54
dalam realitanya ada kemungkinan untuk melakukan hal yang berbeda dari RPP sesuai dengan kondisi kelas.
Berikut kesimpulan
kompetensi perancangan
pembelajaran masing-masing subyek dalam bentuk tabel: Tabel 4.3 : Kesimpulan Kompetensi Perancangan Pembelajaran
Subyek I Subyek II
Subyek III 1. Subyek I telah
membuat RPP seperti yang
sudah ditetapkan oleh Departemen
Pendidikan untuk kelas 7 SMP.
1. Subyek II telah membuat RPP
seperti yang sudah ditetapkan
oleh Departemen Pendidikan untuk
kelas 7 SMP. 1. Subyek III telah
membuat RPP seperti yang
sudah ditetapkan oleh Departemen
Pendidikan untuk kelas 7 SMP.
2. Dalam penerapan,
subyek I sebagai guru senior
mengakui meskipun sudah
memiliki RPP, namun dalam
pelaksanaannya dapat berubah
sewaktu-waktu sesuai bagaimana
kondisi kelas. 2. Dalam
penerapan, subyek II sebagai
guru senior memandang RPP
sebagai acuan ketercapaian
pembelajaran dan mementingkan
tercapainya RPP yang sudah
dibuat. 2. Dalam
penerapan, subyek III
sebagai guru muda mengakui
tidak pernah menggunakan
RPP sebagai acuan dalam
pelaksanaan pembelajaran
dikarenakan ketidaksesuaian
antara RPP yang sudah dibuat
dengan praktiknya dalam
pembelajaran.
55
c. Pelaksanaan Pembelajaran 1 Subyek I
Untuk mengetahui
bagaimana berlangsungnya
pelaksanaan pembelajaran IPA di kelas 7F SMP X, peneliti melakukan 4 kali pengamatan langsung pada jam belajar IPA
yang diampu oleh subyek I. Sebagaimana data kronologi kejadian dan fieldnotes yang terlampir pada lampiran, subyek I
melaksanakan pembelajaran IPA dalam tiga tahapan, yaitu tahap awal, inti, dan penutup. Dalam tahap awal, dari
pertemuan pertama hingga pertemuan keenam subyek masuk kelas setelah bel sekolah berbunyi. Pada pertemuan pertama
sebelum pembelajaran dimulai, subyek membagikan buku jadwal belajar pada siswa dan menjelaskan manfaatnya.
Kemudian subyek I meminta siswa untuk menyiapkan buku pelajaran. Setelah itu subyek I keluar kelas selama 10 menit.
Sekembalinya subyek I ke kelas, subyek I langsung mengulang materi disertai dengan tanya jawab mengenai materi pada
pertemuan sebelumnya yaitu tentang asam, basa, dan garam. Pada pertemuan kedua, begitu masuk ke kelas subyek I
langsung meminta siswa untuk merapikan meja dan kursi serta membuang sampah yang bertebaran di lantai. Setelah itu
subyek I meminta siswa untuk mengisi jadwal belajar pada buku yang dibagikan pada pertemuan sebelumnya. Subyek I
56
juga ada mengeluhkan pengadaan remedi yang sudah dua kali dilakukan namun masih ada beberapa siswa yang tidak
mengalami peningkatan nilai. Empat orang siswa yang tidak mengalami peningkatan nilai tersebut kemudian namanya
dipanggil dan diminta untuk mengerjakan soal remedi di luar kelas. Setelah itu, subyek I mulai mengulang materi pada
pertemuan sebelumnya sambil sesekali melakukan sesi tanya jawab dengan siswa. Pada pertemuan ketiga, setibanya di
kelas, subyek I langsung meminta siswa untuk membersihkan sampah yang bertebaran di lantai. Subyek I juga mengingatkan
mengenai pengumpulan rapor dilanjutkan dengan membaca presensi nama siswa. Kemudian subyek I menyampaikan
rencana pembelajaran yang akan disampaikan dilanjutkan dengan bertanya pada siswa tentang materi pertemuan
sebelumnya dan juga mengecek tentang pengetahuan awal siswa mengenai materi yang akan diajarkan. Pada pertemuan
keempat yang dilaksanakan di ruang laboratorium IPA, subyekI sudah berada di kelas terlebih dahulu untuk
menyiapkan media viewer yang akan digunakan. Setelah siswa duduk rapi, subyek I mulai menampilkan slide-slide mengenai
materi-materi sebelumnya disertai pertanyaan-pertanyaan secara singkat.
57
Tahapan inti pada pembelajaran IPA yang dilakukan oleh subyek I semuanya memiliki kesamaan yaitu dimana subyek
dominan mendikte
sementara siswa
mencatat saat
menyampaikan materi, sambil sesekali subyek I menjelaskan dan memberi contoh. Dari metode mendikte ini subyek I
mengakui terdapat kekurangannya yaitu materi tidak dapat tersampaikan
secara maksimal.
Akan tetapi
dengan membiasakan mendikte pada siswa maka siswa diharapkan
dapat lebih bertanggung jawab dengan tugasnya sebagai siswa yaitu diwajibkan untuk memiliki catatan yang lengkap, yang
nantinya juga akan berguna saat menjelang ujian seperti yang dituturkan oleh subyek I dalam kutipan wawancara berikut ini:
“Kalau kekurangannya sih, kita tidak bisa menyampaikan materi secara full ya, jadi mendikte itu seperti hanya sekedar
formalitas. Tapi dibalik itu kita kan namanya mendidik, mendidik membiasakan anak yang baik. Sehingga nanti
misalnya dalam bentuk tugas-tugas soal uraian atau melengkapi BKS catatan tadi bisa membantu. Selain itu
sebagai tanggung jawab anak juga, biasanya catatan siswa saya kumpulkan, lalu saya lihat kira-kira kalau satu
jam anak harus dapat sekian, eh ternyata catatannya baru dapat sekian, hari berikutnya saya panggil untuk mengerjakan
sendiri, menyelesaikan yang tertunda, tidak dengan kemarahan, tapi membiasakan tanggung jawabnya.”
Selain itu, selama pembelajaran subyek I juga
memberikan soal latihan untuk siswa. Selama siswa mengerjakan soal latihan ini, subyek I biasanya berkeliling
untuk memastikan siswa mengerjakan soal sambil meladeni bila ada siswa yang bertanya.
58
Pada pertemuan kedua, saat subyek I menjelaskan mengenai materi pemisahan campuran, subyek I menawarkan
pada siswa untuk maju ke depan kelas menjelaskan mengenai cara kerja seperangkat alat pemisah campuran destilasi yang
telah digambar subyek di papan tulis. Pada akhirnya ada satu orang siswa yang maju dan menjelaskan di depan kelas.
Setelah siswa tersebut selesai menjelaskan, subyek I bertanya pada siswa lain apakah ada kritik atau mau memberikan
tambahan. Karena tidak ada yang mengajukan pertanyaan atau memberikan pendapat akhirnya subyek I meminta salah satu
siswa yang ribut untuk menjelaskan ulang dan menuliskannya di papan tulis. Setelah itu subyek I bersama-sama dengan siswa
lain mengoreksi tulisan yang salah dan menyimpulkan materi yang sudah dibahas hingga bel tanda berakhirnya jam pelajaran
berbunyi. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa subyek
I melaksanakan pembelajaran IPA dalam tiga tahapan, yaitu tahap awal, inti, dan penutup. Ceramah dan mendikte
merupakan metode mengajar yang dominan dilakukan oleh subyek I dalam pembelajaran IPA. Alur penyampaian materi
disesuaikan dengan situasi kelas. Sebagian besar siswa juga mau terlibat dalam aktivitas-aktivitas belajar di kelas, misalnya
kegiatan tanya jawab. Meskipun selama proses belajar
59
berlangsung, sebagian kecil siswa terkadang asyik mengobrol dengan sesama siswa lainnya. Selanjutnya peneliti berpendapat
bahwa tentu akan menjadi lebih baik bila subyek I yang dominan ceramah dan mendikte, juga menggunakan metode
dan media belajar yang bervariatif yang disesuaikan dengan materi dan kondisi kelas. Karena metode dan media belajar
yang bervariatif berguna untuk mengantisipasi rasa suntuk siswa, dan pada akhirnya guru dapat lebih mudah
mengkondisikan siswa menjadi lebih kondusif dalam kegiatan pembelajaran. Kronologi kejadian terlampir pada lampiran
B3. 2 Subyek II
Untuk mengetahui
bagaimana berlangsungnya
pelaksanaan pembelajaran IPA di kelas 7A SMP X, peneliti melakukan 2 kali pengamatan langsung pada jam belajar IPA
yang diampu oleh subyek II. Sebagaimana data kronologi kejadian dan fieldnotes yang terlampir pada lampiran, subyek
II melaksanakan pembelajaran IPA dalam tiga tahapan, yaitu tahap awal, inti, dan penutup. Dalam tahap awal pada
pertemuan pertama subyek II membuka kelas dengan mengabsen
siswa kemudian
meminta siswa
untuk mengumpulkan tugas pertemuan yang lalu. Setelah itu subyek
II melanjutkan dengan mengulang materi pada pertemuan
60
sebelumnya dan menyampaikan materi apa yang dipelajari. Sedangkan pada pertemuan kedua pertama-tama subyekII
membagikan fotocopy ringkasan catatan. Tahapan inti pembelajaran IPA yang dilakukan oleh
subyek II pada pertemuan pertama yaitu subyek II menulis materi pelajaran di papan tulis mengenai macam-macam
pemisahan campuran
kemudian dilanjutkan
dengan penjelasan. Setelah selesai menjelaskan, subyek II kembali
menuliskan materi tentang perhitungan di papan tulis sementara siswa mencatat. Subyek II kemudian berkeliling
kelas sambil sesekali menenangkan kelas yang mulai ramai. Setelah siswa selesai mencatat, subyek II mengajak siswa
untuk bersama-sama menyelesaikan soal latihan yang ada di buku pegangan. Untuk soal hitungan, subyek II menuliskan
kembali di papan tulis, kemudian bersama-sama dengan siswa menyelesaikan persoalan tersebut. Setelah beberapa soal
selesai dikerjakan, subyek II meminta siswa untuk bersiap pulang dan tak lupa subyek II memimpin doa pulang.
Sedangkan pada pertemuan kedua, setelah ringkasan dibagikan ke siswa, subyek II membaca ringkasan tersebut
sambil sesekali memberi penjelasan singkat. Gambar rangkaian alat pemisah campuran kemudian dijelaskan oleh
subyek II sambil sesekali menegur siswa yang ribut. Setelah
61
itu subyek II kembali mengajak siswa bersama-sama menyelesaikan soal pilihan ganda yang ada di buku pegangan
hingga bel berbunyi. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa
ceramah dan latihan soal merupakan metode mengajar yang dominan dilakukan oleh subyek II dalam pembelajaran IPA.
Selama proses pembelajaran berlangsung, alur dan tempo penyampaian materi cenderung cepat yang kemudian
dilanjutkan dengan mengerjakan latihan soal bersama-sama. Selanjutnya peneliti berpendapat bahwa tentu proses
pembelajaran akan menjadi lebih baik lagi bila subyek II menggunakan metode dan media belajar yang lebih bervariatif
yang sesuai dengan kondisi kelas. Kronologi kejadian terlampir pada lampiran B3.
3 Subyek III Untuk
mengetahui bagaimana
berlangsungnya pelaksanaan pembelajaran IPA di kelas 7 SMP Y, peneliti
melakukan 6 kali pengamatan langsung pada jam belajar IPA yang diampu oleh subyek III, masing-masing 2 kali
pengamatan di kelas 7.1 dan 4 kali pengamatan di kelas 7.2. Sebagaimana data kronologi kejadian dan fieldnotes yang
terlampir pada
lampiran, subyek
III melaksanakan
pembelajaran IPA dalam tiga tahapan, yaitu tahap awal, inti,
62
dan penutup. Dalam tahap awal pada pertemuan pertama di kelas 7.2, subyek III membuka kelas dengan membacakan
presensi nama siswa kemudian doa bersama yang lalu dilanjutkan dengan tanya jawab mengenai materi sebelumnya
yaitu tentang unsur. Pada pertemuan kedua di kelas 7.2 yang dilaksanakan di laboratorium IPA, subyek III telah berada di
laboratorium untuk mempersiapkan peralatan yang akan digunakan selama praktikum sebelum siswa masuk ke ruangan.
Subyek III memulai pembelajaran dengan pertama-tama mengatur tempat duduk siswa dalam kelompok, kemudian
subyek III mengecek barang yang siswa bawa untuk keperluan praktikum, dilanjutkan dengan mengulang materi pertemuan
sebelumnya tentang menentukan volume dan massa jenis benda, sambil sesekali bertanya pada siswa. Pada pertemuan
ketiga di kelas 7.2, subyek III memulai pembelajaran dengan sesi tanya jawab mengenai materi pertemuan tentang zat dan
unsur sambil sesekali menenangkan siswa yang ramai. Pada pertemuan keempat di kelas 7.2, subyek III memulai
pembelajaran dengan membacakan presensi nama siswa dilanjutkan dengan doa bersama kemudian melakukan tanya
jawab mengenai materi pertemuan sebelumnya tentang persamaan muai panjang. Pada pertemuan kelima yang
berlangsung di kelas 7.1, subyek III terlambat selama 5 menit.
63
Begitu masuk kelas, subyek III langsung mengulang kembali materi dari awal secara singkat di papan tulis dilanjutkan
dengan tanya jawab dengan siswa bagaimana mencari volume untuk membantu siswa mengingat materi sebelum diadakannya
ulangan. Dan pada pertemuan keenam di kelas 7.1, subyek III terlambat selama 5 menit. Subyek III langsung memulai
pembelajaran dengan sesi tanya jawab mengenai materi pertemuan sebelumnya.
Tahapan inti pada pembelajaran IPA yang dilakukan oleh subyek III semuanya memiliki kesamaan yaitu dimana subyek
menyampaikan materi dengan media papan tulis dengan menggunakan sumber buku yang juga menjadi buku pegangan
siswa. Subyek III juga sering mengajak siswa untuk menyimak penjelasan sambil sesekali melontarkan pertanyaan pada siswa
yang kemudian ditanggapi bersama-sama dengan siswa lainnya. Komunikasi antara subyek III dengan siswa juga tidak
selalu mengenai pelajaran, sesekali subyek III berkeliling sambil memberi nasihat atau bercanda dengan siswa.
Selanjutnya pada pertemuan kedua di kelas 7.2, proses pembelajaran berlangsung di laboratorium IPA. Di sini siswa
dibagi dalam kelompok untuk bersama-sama melakukan pengukuran volume benda tidak beraturan sambil didampingi
oleh subyek III. Situasi kelas selama kegiatan pengukuran
64
berlangsung cukup ramai, karena beberapa siswa yang tidak ikut mengukur sibuk ngobrol sendiri, sedangkan perhatian
subyek III tersita pada kegiatan pengukuran yang dilakukan oleh siswa lainnya. Setelah kegiatan pengukuran selesai,
subyek III meminta kelompok untuk mempresentasikan hasil pengukuran di depan kelas secara bergiliran. Pada pertemuan
ketiga di kelas 7.2, setelah subyek III selesai mengulang materi pertemuan sebelumnya dan melakukan sesi tanya jawab dengan
siswa, subyek III kemudian memberi waktu selama 20 menit bagi siswa untuk mempersiapkan ulangan. Selama ulangan
berlangsung, ada beberapa siswa yang ramai bertanya pada sesama siswa lainnya. Subyek III sempat beberapa kali
memperingatkan siswa untuk mengerjakan sendiri-sendiri, namun tetap saja ada siswa yang tidak menghiraukan
peringatan subyek III. Setelah ulangan selesai dan lembar jawaban siswa sudah dikumpulkan, subyek III membahas soal
ulangan di depan kelas hingga bel berakhirnya jam pelajaran berbunyi. Demikian juga pada saat pertemuan kelima di kelas
7.1, setelah subyek III selesai mengulang kembali materi dari awal secara singkat di papan tulis dan dilanjutkan dengan tanya
jawab dengan siswa, subyek III kemudian memberi waktu bagi siswa untuk mempersiapkan ulangan. Setelah itu subyek III
mendikte soal ulangan dan memberikan waktu selama 45 menit
65
bagi siswa untuk menyelesaikan soal. Setelah lembar jawaban siswa terkumpul, subyek menenangkan situasi kelas yang ramai
dan melanjutkan menjelaskan materi mengenai pemuaian panjang serta meniskus cembung dan cekung hingga bel
berakhirnya jam pelajaran berbunyi. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa subyek
III melaksanakan pembelajaran IPA dalam tiga tahapan, yaitu tahap awal, inti, dan penutup. Ceramah dan latihan soal
merupakan metode mengajar yang dominan dilakukan oleh subyek III dalam pembelajaran IPA. Selama proses
pembelajaran berlangsung,
alur penyampaian
materi disesuaikan dengan situasi kelas. Hanya sebagaian kecil siswa
yang mau terlibat aktif dalam aktivitas-aktivitas belajar di kelas. Namun kegiatan tanya jawab merupakan aktivitas
belajar yang sering terjadi selama proses pembelajaran berlangsung. Meskipun selama proses belajar berlangsung,
sebagian kecil siswa terkadang asik mengobrol dengan sesama siswa lainnya. Selanjutnya peneliti berpendapat bahwa tentu
akan lebih baik lagi bila subyek III menggunakan metode dan media belajar yang lebih bervariasi yang sesuai dengan kondisi
kelas. Kronologi kejadian terlampir pada lampiran B3. Selanjutnya dapat diketahui bahwa ketiga subyek sama-
sama melaksanakan pembelajaran IPA dalam tiga tahapan, yaitu
66
tahap awal, inti, dan penutup. Akan tetapi ketiga subyek juga memiliki metode mengajar yang berbeda-beda. Bila subyek I
dominan menggunakan metode mendikte dan ceramah dalam menyampaikan materi ajar, maka subyek II dan III lebih sering
menggunakan metode ceramah dan memberikan latihan soal pada siswa.
Selama pengamatan berlangsung, peneliti mengamati adanya perbedaan antara guru senior dan guru muda dalam
pelaksanaan pembelajaran, yaitu dimana
selama proses pembelajaran berlangsung, guru muda lebih dapat menciptakan
suasana belajar yang akrab. Sedangkan suasana belajar yang diajar oleh guru senior lebih terkesan serius. Hal ini bisa saja
disebabkan oleh perbedaan umur yang tidak terlalu jauh antara guru dan siswa. Namun bukan berarti semua guru senior tidak
mampu berkomunikasi baik dengan siswa atau semua guru muda pasti mampu berkomunikasi baik dengan siswa. Faktor
karakteristik masing-masing individu guru juga mempengaruhi dalam hal berkomunikasi dengan siswa.
Berikut kesimpulan kompetensi pelaksanaan pembelajaran masing-masing subyek dalam bentuk tabel:
Tabel 4.4 : Kesimpulan Kompetensi Pelaksanaan Pembelajaran Subyek I
Subyek II Subyek III
1. Subyek I melaksanakan
1. Subyek II melaksanakan
1. Subyek melaksanakan
67
pembelajaran IPA dalam tiga tahapan,
yaitu tahap awal, inti, dan penutup.
pembelajaran IPA dalam tiga
tahapan, yaitu tahap awal, inti,
dan penutup. pembelajaran IPA
dalam 3 tahapan, yaitu tahap awal,
inti, dan penutup.
2. Selama proses pembelajaran
berlangsung, suasana belajar
yang tercipta oleh subyek I sebagai
subyek senior lebih terkesan serius jika
dibandingkan suasana belajar
yang diajar oleh subyek muda.
2. Selama proses pembelajaran
berlangsung, suasana belajar
yang tercipta oleh subyek II sebagai
subyek senior lebih terkesan
serius jika dibandingkan
suasana belajar yang diajar oleh
subyek muda. 2. Selama proses
pembelajaran berlangsung,
subyek III sebagai subyek muda
lebih dapat menciptakan
suasana belajar yang akrab.
3. Alur dan tempo penyampaian
materi disesuaikan dengan situasi
kelas. 3. Alur dan tempo
penyampaian materi cenderung
cepat yang biasanya
kemudian dilanjutkan
dengan mengerjakan
latihan soal. 3. Alur dan tempo
penyampaian materi
disesuaikan dengan situasi
kelas.
4. Sebagian besar siswa mau terlibat
aktif dalam aktivitas-aktivitas
belajar di kelas. Misalnya aktivitas
tanya jawab. 4. Sebagian besar
siswa mau terlibat aktif dalam
aktivitas-aktivitas belajar di kelas.
Misalnya aktivitas tanya jawab.
4. Hanya sebagaian kecil siswa yang
mau terlibat aktif dalam aktivitas-
aktivitas belajar di kelas. Kegiatan
tanya jawab merupakan
aktivitas belajar yang sering
terjadi selama proses
68
pembelajaran berlangsung.
d. Evaluasi Hasil Belajar 1 Subyek I
Subyek I berpendapat bahwa dalam pembelajaran IPA ada banyak yang bisa dinilai, baik dari aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Akan tetapi pada kelas 7 yang menjadi fokus utama penilaian pembelajaran IPA adalah dari aspek
kognitifnya melalui latihan soal, pemberian tugas rumah, ulangan harian, ujian mid semester, dan ujian akhir semester.
Sementara itu aspek afektif dan psikomotorik siswa dilihat dari keseharian aktivitas siswa selama pembelajaran, meskipun
hasilnya penilaiannya tidak untuk didokumentasikan. Berikut kutipan hasil wawancara dengan subyek I:
“ Ya sebenarnya kalau IPA sangat banyak ya aspeknya,
misalnya kognitif, afektif, psikomotorik. Untuk aspek psikomotorik bisa dilihat dari eksperimen. Kalau di kelas,
saya lebih mengedepankan proses logika berfikir. Cara untuk melihat nilai kognitif dari ulangan-ulangan harian.
Sedangkan dari segi afektif dapat dilihat dari aktivitas di kelas, dari segi tatapannya, cara menjawab. Namun tanpa
menggunakan instrumen penilaian. Secara umum, cukup dilihat dari nilai tuntas atau tidak, tidak dari segi masing-
masing aspeknya.”
Wawancara dengan subyek I, guru IPA kelas 7F SMP X, tanggal 30 November 2012.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa subyek I
dominan melakukan evaluasi hasil belajar siswa dari segi kognitif dengan instrumen berupa latihan soal, pemberian
69
tugas rumah, ulangan harian, ujian mid semester, dan ujian akhir semester. Sedangkan evaluasi hasil belajar siswa dari
segi afektif dan psikomotorik belum terlaksana dengan maksimal.
2 Subyek II Subyek II selaku subyek IPA kelas 7A di SMP X
mengakui bahwa selama ini hanya aspek kognitif saja yang dinilai dari siswa. Penilaian aspek kognitif ini diperoleh dari
latihan soal, pemberian tugas rumah, ulangan harian, ujian mid semester, dan ujian akhir semester. Subyek II juga mengatakan
meskipun mengetahui bagaimana keaktifan siswanya, akan tetapi tetap saja hal itu tidak dinilai dalam bentuk angka dalam
rapor, melainkan hanya sebagai pemetaan kemampuan dan keaktifan
siswa dalam
kategori-kategori yang
tidak didokumentasikan seperti yang dituturkan berikut ini:
“Yang saya nilai, misalnya soal yang dikerjakan di rumah sebagai tugas, nanti ulangan sendiri, jadi saya punya
banyak nilai. Bobotnya berbeda, kan ada yang dirumah PR itu kan buka buku, mungkin bobotnya satu, yang ulangan
bobotnya dua.”
“Instrumen penilaian aspek kognitifya itu tadi pilihan ganda sama uraian. Instrumen afektif dan psikomotorik hanya
sekedar diketahui saja, tidak melakukan untuk dinilai terus menerus, artinya hanya tertentu saja, biasanya dalam kategori,
sedangcukup, baik dan istimewa, itu aja. Kalau menilai aspek psikomotorik paling kita praktikum, sama mungkin membuat
terapan aja, misalnya aksi reaksi, roket-roketan air.”
“Kalau manfaat penilaian aspek kognitif jelas ya prestasi siswa. Dengan begitu lebih mudah mengidentifikasi
70
apa anak itu berhasil atau tidak, dan juga untuk kebutuhan sekolah.
Ternyata yang
dibutuhkan menonjol
untuk kebutuhan itu pada kognitif. Rapot yang tertulis aspek
kognitif, UAN juga kognitif. Jarang sekali yang afektifnya dimasukkan dalam rapot, ada sih sekolah tertentu yang sudah
sampai tiga, kognitif, afektif dan psikomotorik, kalau disini belum.”
Wawancara dengan subyek II, guru IPA kelas 7A SMP X tanggal 3 Desember 2012.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa subyek II dominan melakukan evaluasi hasil belajar siswa dari segi
kognitif dengan instrumen berupa latihan soal, pemberian tugas rumah, ulangan harian, ujian mid semester, dan ujian
akhir semester. Sedangkan evaluasi hasil belajar siswa dari segi afektif dan psikomotorik belum terlaksana dengan
maksimal dan hasil penilaiannya tidak terarsip. 3 Subyek III
Subyek III mengakui bahwa selama ini melakukan evaluasi hasil belajar siswa kelas 7.1 dan 7.2 hanya dengan
menilai aspek kognitif saja, melalui pemberian tugas dan ulangan. Soal tertulis yang digunakan untuk ulangan harian
dibuat dengan spontan baik sehari sebelum maupun beberapa jam sebelum ulangan berlangsung. Tak jarang subyek III
memberi ulangan mendadak atau tugas yang tak terencana untuk melihat sejauh mana kemampuan siswa atau ketika
suasana kelas sangat ramai.
71
“Instrumen evaluasi hasil belajar siswa berupa tugas, ulangan harian. Tugasnya banyak itu, kadang memberi tugas
juga gak terencana itu. Misal kalo kelas rame banget, saya langsung kasi tugas.”
“Tujuan ulangan dadakan ya aku pengen tau sebenarnya kemampuan bocah itu. Kayak bocah yang rame
di pojokan itu sebenarnya bisa gak. Ternyata ya buktinya ada yang nilainya bagus. Sebenarnya kalo nilai itu dari situ. Itu
masuk nilai, buat perbaikan juga.”
Meskipun baru dari espek kognitif saja yang dinilai,
subyek III mengakui sempat satu kali mencoba membagikan lembar penilaian ke siswa di kelas 7.1 untuk diisi siswa, untuk
saling menilai satu sama lain sebagai istrumen penilaian afektif siswa. Demikian pula dengan instrumen penilaian aspek
psikomotorik berupa praktikum yang menurut subyek III juga tidak efektif bagi siswanya. Dan akhirnya hingga saat ini
aspek afektif dan psikomotorik siswa tetap belum dapat dinilai dengan angka meskipun subyek III tetap selalu memperhatikan
sikap dan
keaktifan siswanya
meski tidak
untuk didokumentasikan. Berikut kutipan wawancara dengan subyek
III: “Harusnya aspek psikomotorik, afektif, dan kognitif
dinilai semua. Cuma untuk buat indikator afektif saya belum bisa menilai. Pernah sekali saya sebar lembar penilaian di
kelas 7.1. Untuk saling menilai antar siswa, Akbar gimana, Ines gimana, Aiban gimana. Jadi yang nilai siswa sendiri
masing-masing. Tapi ya tetap gak jalan, di sini yang ada baru format penilaian kognitif aja. Tapi yah ini kan buat
saya aja. Psikomotorik pun gak, praktikum gak jalan.”
72
Subyek III juga bercita-cita untuk membuat LKS Lembar Kerja Siswa sebagai tambahan instrumen penilaian. Namun
hal ini belum dapat terwujud disebabkan oleh keterbatasan biaya yang dimiliki para siswa, seperti yang dituturkan berikut
ini: “O iya saya pengennya buat LKS. Udah bisa terealisasi
itu sebenarnya. Tapi ya gimana, lihat-lihat dulu keadaan siswanya, biaya fotocopynya. Bocah-bocah itu ditawarin
fotocopy malah bilang masa segini bayar?’ Ya mau gak mau saya fotocopy selembar saja, tapi itu ya juga cuma soal,
pengennya ya LKS lengkap.”
Selanjutnya subyek III menambahkan, apabila menjelang
ujian akhir semester, misalnya dari keseluruhan kelas 7 ada satu kelas yang hanya mencapai 3 bab materi, sedangkan ada
kelas lain yang sudah mencapai 7 bab materi, maka guru mata pelajaran yang bersangkutan akan sepakat untuk membuat soal
ujian hanya sampai 3 bab materi saja. Hal ini diakui karena mengikuti anjuran dari Dinas Pendidikan seperti yang
dituturkan berikut ini: “Kalo saya perhatiin sekelas 7 ya emang 7.1 yang paling
aktif, dalam tugas. Kalo kelas 7.2 masih banyak yang kurang, apalagi kelas 7.5, sangat sulit. Gimana ya, mau gak mau, kita
1 bab aja gak tau materi 1 bab itu akan kecapai atau gak di kelas 7.5. Ini agak lumayan, 7 bab kecapai semua di kelas
7.1. Tapi kalo di kelas 7.3, sulit, 3 bab kadang gitu gak selesai. Nah disini perlu kerja sama, karena subyeknya
subyek IPA kelas 7 ada 2 toh, jadi pas UAS nanti bikin soalnya gak sampai target ketuntasan. Aturannya gitu pas di
dinas, kalo belum tuntas, gak apa-apa. Jangan kejar bab berikutnya kalo belum tuntas. Misalnya mereka siswa paham
cuma 1 bab aja, ya gak apa-apa.”
73
“Mau gak mau bikin soal UAS juga ikut yang kelas 7.5 sebagai acuan. Di kelas 7.1 saya bilangin, materi tertentu ini
ini gak keluar di soal. Kalo dibandingkan sama sekolah negeri, yah sama ada juga kelas yang ketinggalan di sekolah
negeri. Kan kemarin saya ikut lesson study, sama aja situasinya.”
Selain itu, subyek III juga sempat teramati melaksanakan
kegiatan ulangan dadakan. Aktivitas ulangan dadakan ini sempat terjadi masing-masing 1 kali saat pengamatan di kelas
7.1 dan 7.2. Selain itu subyek III juga sempat bercerita tentang salah satu kejadian bagaimana subyek III memotivasi siswa
saat ulangan dadakan selesai dilaksanakan, berikut kutipan wawancaranya:
“Pernah kan ulangan dadakan, yang berhasil itu cuma 3 orang. Nilainya 97, 82, 82 kalo gak salah. Aku kan nanya ke
siswa lain, ini kenapa begini? kok nilainya nilai siswa yang lain buruk-buruk?’, siswanya menjawab ‘lah itu kan Yani
Pak. Malah jadi alasan bagi siswa yang nilainya rendah. Ya saya balik, lah Yani podo makan gorengan apa bedanya?.”
Wawancara dengan subyek III, guru IPA kelas 7 SMP Y tanggal 28 November 2012.
Selama 6 kali pengamatan di 2 kelas yang berbeda, yaitu
kelas 7.1 dan 7.2, terjadi beberapa 2 kali aktivitas pelaksanaan ulangan dadakan. Aktivitas tersebut terjadi pada pertemuan ke-
3 di kelas 7.2, pada hari Senin, tanggal 29 Oktober 2012 dan pada pertemuan ke-5 di kelas 7.1, pada hari Senin, tanggal 12
November 2012. Kronologi kejadian terlampir pada lampiran B3.
74
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa subyek III dominan melakukan evaluasi hasil belajar siswa dari segi
kognitif dengan instrumen berupa latihan soal, pemberian tugas rumah, ulangan harian, ujian mid semester, dan ujian
akhir semester. Sedangkan evaluasi hasil belajar siswa dari segi afektif dan psikomotorik belum terlaksana dengan
maksimal. Selanjutnya peneliti menyimpulkan bahwa tidak adanya
perbedaan antara guru senior dan guru muda yang menjadi subyek penelitian dalam menyelenggarakan evaluasi hasil belajar
siswa. Ketiga subyek sama-sama melakukan evaluasi hasil belajar siswa hanya dari segi kognitif saja, sedangkan evaluasi hasil
belajar siswa dari segi afektif dan psikomotorik belum terlaksana dengan maksimal. Menurut peneliti, penyelenggaraan evaluasi
hasil belajar siswa dari segi kognitif tentu akan menjadi baik bila dilengkapi pula dengan evaluasi hasil belajar dari segi afektif dan
psikomotorik yang tentu saja juga didokumentasikan. Hal ini akan sangat berguna tidak hanya bagi guru dan sekolah, tapi juga bagi
siswa. Melalui hasil dokumentasi hasil belajar siswa dari 3 segi tersebut, dapat dilihat perkembangan belajar siswa, kemudian
dapat diidentifikasi kesulitan belajar siswa untuk kemudian dicari solusinya.
75
Berikut kesimpulan kompetensi evaluasi hasil belajar masing-masing subyek dalam bentuk tabel:
Tabel 4.5 : Kesimpulan Kompetensi Evaluasi Hasil Belajar Subyek I
Subyek II Subyek III
1. Subyek I dominan melakukan
evaluasi hasil belajar siswa dari
segi kognitif dengan instrumen
berupa latihan soal, pemberian tugas
rumah, ulangan harian, ujian mid
semester, dan ujian akhir semester.
1. Subyek II dominan melakukan evaluasi
hasil belajar siswa dari segi kognitif
dengan instrumen berupa latihan soal,
pemberian tugas rumah, ulangan
harian, ujian mid semester, dan ujian
akhir semester. 1. Subyek III
dominan melakukan evaluasi
hasil belajar siswa dari segi kognitif
dengan instrumen berupa latihan soal,
pemberian tugas rumah, ulangan
harian, ujian mid semester, dan ujian
akhir semester.
2. Evaluasi hasil belajar siswa dari
segi afektif dan psikomotorik
belum terlaksana dengan maksimal.
2. Evaluasi hasil belajar siswa dari
segi afektif dan psikomotorik
belum terlaksana dengan maksimal
dan hasil penilaiannya tidak
terarsip. 2. Evaluasi hasil
belajar siswa dari segi afektif dan
psikomotorik belum terlaksana
dengan maksimal.
e. Pengembangan Siswa Untuk Mengaktualisasikan Berbagai Potensi Yang Dimilikinya
1 Subyek I Subyek I selaku guru IPA kelas 7F di SMP X berupaya
untuk mengembangkan potensi siswa dengan cara memotivasi
76
siswa untuk bertanya, memberikan nasehat, pengaturan tempat duduk serta pemberian tugas rumah. Yang dimaksud dengan
pengaturan tempat duduk yaitu bila ada satu orang siswa yang sering ribut di kelas dan dari segi akademis tergolong masih
kurang maka posisi tempat duduk siswa tersebut akan dipindahkan oleh subyek I agar siswa tersebut dan siswa
lainnya dapat lebih berkonsentrasi dalam belajar. Meskipun demikian, hingga pertengahan semester satu,
subyek I belum menemukan potensi-potensi dari siswa meskipun proses menemukan potensi tersebut sudah dimulai
seperti yang dituturkan berikut ini: “Ya secara individual klasikal belum, karena nanti
targetnya sampai semester satu. Jadi kalau secara akademis itu akan terlihat dari hasil belajar. Secara proses sudah mulai,
jadi pemetaan tadi sudah mulai dari hasil mid itu ya, namun itu semua kan masih dalam bentuk konteks proses, jadi anak
belum bisa di lihat potensinya yang menonjol tetapi dari pemetaan dan proses tadi mulai bisa meruncing sebab-
sebabnya sudah mulai kelihatan sehingga untuk langkah- langkah selanjutnya entah pemberian nasehat, kemudian
penempatan tempat duduk itu sudah mulai kita atur dengan melihat kondisi siswa.”
Wawancara dengan subyek I, guru IPA kelas 7F SMP X, tanggal 30 November 2012.
Aktivitas pemberian remedi bagi siswa yang belum
mencapai nilai ketuntasan juga sempat teramati pada pertemuan ke-2, pada hari rabu, tanggal 31 Oktober 2012.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa subyek I melakukan
upaya pengembangan
siswa untuk
77
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya dalam bentuk memberikan nasehat, memotivasi siswa, pengaturan
tempat duduk, pengadaan remedi serta pemberian tugas rumah. 2 Subyek II
Subyek II selaku guru IPA kelas 7A di SMP X telah menyadari adanya potensi-potensi yang baik di kelas yang
diajarnya. Hal ini diketahui berdasarkan dari hasil ulangan maupun aktivitas di kelas selama pembelajaran. Oleh sebab itu
subyek II pun terus berupaya untuk mengembangkan potensi siswa dengan cara memotivasi untuk lebih giat belajar,
memberikan nasehat, serta pemberian tugas rumah, seperti yang dituturkan berikut ini:
“ Memang normalnya itu banyak yang sedang kalau
dilihat dalam satu kelas. Mungkin bisa dihitung lima. Gak nyampai sepuluh itu memang pinter, abstraknya tinggi. Dua
puluh persen tinggi, dua puluh persen rendah, yang sisanya enam puluh persen sedang, cukup.”
“Mengetahuinya ketika ulangan, ketika aktivitas di kelas.”
Wawancara dengan subyek II, guru IPA kelas 7A SMP X tanggal 3 Desember 2012.
Subyek II juga sering memberi nasehat pada siswa saat subyekII berkeliling kelas sementara siswa mencatat,
mengerjakan soal, atau saat kondisi kelas mulai ramai. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa subyek II
melakukan upaya
pengembangan siswa
untuk
78
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya dalam bentuk memberikan nasehat, memotivasi siswa, serta
pemberian tugas rumah. 3 Subyek III
Subyek III
mengaku telah
berupaya untuk
mengembangkan potensi siswa dengan cara memotivasi siswa untuk bertanya, pemberian tugas rumah maupun dengan
pemberian nasehat. Sejauh ini pula, subyek III telah menemukan masing-masing 3 orang di kelas 7.1 dan 5 orang
lainnya di kelas 7.2 yang dianggap memiliki potensi yang baik, terutama dalam mata pelajaran IPA seperti yang dituturkan
berikut ini: “O ketemu banyak itu, di kelas 7.2 ada 5 anak, di kelas
7.1 ada 3 lah. Malah di kelas 7.2 paling bagus tuh, ada yang menonjol banget. Di kelas 7.1 kan sebenarnya lebih bagus
peringkat kognitifnya, malah ketemu yang punya potensi cuma tiga. Kemarin kan ada lomba sains ya kalah. padahal
siswa yang ikut lomba itu hitung-hitungan matematikanya cepat.”
Siswa dengan potensi yang baik terutama pada mata
pelajaran IPA ini ditemukan oleh subyek III sendiri selama proses pembelajaran berlangsung. Ketika peneliti bertanya
apakah anak-anak berpotensi ini mendapat perlakukan khusus, subyek III menjawab:
“Belum ada perlakuan khusus sampai saat ini. Tapi nanti di semester 2 ada. Itu nanti bisa dilepas sendiri siswa
belajar mandiri. Jadi membiasakan belajar sendiri, kalo siswa dimanja, nanti gak ada perkembangan itu. Nanti
79
siswa disuruh belajar di perpus, terus laporan ke subyek. Kayak kemarin sama si Yani siswa kelas 7.1,saya bilang
udah besok gak usah ikut UAS, wawancara saja. Wawancara kan bagus, nanti kan keluar kemampuannya.”
Wawancara dengan subyek III, guru IPA kelas 7 SMP Y tanggal 28 November 2012.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa subyekIII
melakukan upaya
pengembangan siswa
untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya dalam
bentuk memberikan nasehat, memotivasi siswa, serta pemberian tugas rumah.
Selanjutnya peneliti dapat menyimpulkan bahwa tidak adanya perbedaan antara guru senior dan guru muda yang
menjadi subyek penelitian dalam upaya pengembangan siswa untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Ketiga subyek sama-sama telah melakukan upaya pengembangan siswa
untuk mengaktualisasikan
berbagai potensi
yang dimilikinya berupa pemberian motivasi, nasehat, serta pemberian
tugas. Selain itu subyek I juga sempat teramati mengadakan remedial bagi beberapa siswa yang belum mencapai nilai
ketuntasan. Berikut kesimpulan kompetensi pengembangan siswa
untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya oleh masing-masing subyek dalam bentuk tabel:
80
Tabel 4.6 : Kesimpulan Kompetensi Pengembangan Siswa Untuk Mengaktualisasikan
Berbagai Potensi
Yang Dimilikinya
Subyek I Subyek II
Subyek III 1. Subyek I
melakukan upaya pengembangan
siswa untuk mengaktualisasika
n berbagai potensi yang dimilikinya
dalam bentuk memberikan
nasehat, memotivasi siswa,
pengaturan tempat duduk,
mengadakan remedial, serta
pemberian tugas rumah.
1. Subyek II melakukan upaya
pengembangan siswa untuk
mengaktualisasik an berbagai
potensi yang dimilikinya dalam
bentuk memberikan
nasehat, memotivasi
siswa, pengaturan tempat duduk,
mengadakan remedial, serta
pemberian tugas rumah.
1. Subyek III melakukan upaya
pengembangan siswa untuk
mengaktualisasik an berbagai
potensi yang dimilikinya dalam
bentuk memberikan
nasehat, memotivasi
siswa, pengaturan tempat duduk,
mengadakan remedial, serta
pemberian tugas rumah.
f. Pembelajaran Yang Mendidik dan Dialogis
1 Subyek I Menurut subyek I, pembelajaran IPA yang mendidik yaitu
dengan memperkenalkan perkembangan ilmu pengetahuan dan mempersiapkan mental anak untuk lebih berkembang agar
dapat menjadi bekal hidup serta dapat memberdayakan alam dan sekitarnya. Dengan mau terbukanya anak terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan ini, maka ke depannya anak
81
dapat menjadi lebih kreatif dan inovatif, seperti kutipan wawancara berikut ini:
“Sistem pembelajaran yang baik untuk anak itu adalah mengena secara positif, memperkenalkan pada anak dan
mempersiapkan anak untuk lebih berkembang. Menyiapkan mentalnya, supaya dia juga mau membuka wawasan lewat
pengetahuan. Apalagi bila dikaitkan dengan berbagai macam kecerdasan ya. Di antara itu kan tujuan utama belajar itu kan
untuk membekali diri. Dan membekali diri itu untuk bekal hidup, selain itu untuk memberdayakan alam dan sekitarnya.
Nah kalo anak itu sendiri udah terbuka ke arah sana, kan dia lebih kreatif, lebih inovatif, ya kemudian dia jadi lebih
mendalami.”
Wawancara dengan subyek I, guru IPA kelas 7F SMP X, tanggal 30 November 2012.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa subyek
I telah melakukan upaya pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis. Selama 4 kali pengamatan di kelas,
terjadi beberapa kali aktivitas belajar yang mengindikasikan bahwa subyek I telah berusaha melaksanakan pembelajaran
yang mendidik dan dialogis berupa diskusi dan tanya jawab. Selain itu subyek I juga terlihat beberapa kali menegur siswa
yang ramai dan memberikan nasihat agar rajin belajar. 2 Subyek II
Subyek II mengutarakan bahwa pembelajaran IPA yang mendidik yaitu tidak hanya dengan menuntut siswa agar pintar
dalam bidang akademik tapi juga harus diimbangi dengan sikap sopan serta memiliki kemampuan untuk bersosialisasi,
seperti yang dituturkan berikut ini:
82
“Pembelajaran yang mendidik itu artinya begini, anak itu gak usah dituntut pinter sekali, karena anak itu
kapasitasnya memang masih bisa berkembang, tapi talenta nya itu kan tertentu ya tidak bisa disamakan. Artinya, kalau saya,
masalah akademik itu gak usah diperas dipaksa, pasti akan berkembang sendiri. Yang penting itu masalah sosialisasi
kemudian masalah sikap, masalah kepribadian, masalah sopan santun, masalah etika, itu lebih penting, karena ada yang
prestasinya tinggi tapi tidak bisa bersosialisasi.”
Wawancara dengan subyek II, guru IPA kelas 7A SMP X, tanggal 3 Desember 2012.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa subyek
II telah melakukan upaya pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis. Selama 2 kali pengamatan di kelas,
terjadi beberapa kali aktivitas belajar yang mengindikasikan bahwa subyek II telah berusaha melaksanakan pembelajaran
yang mendidik dan dialogis berupa diskusi dan tanya jawab. Selain itu subyek II juga terlihat beberapa kali menegur siswa
yang ramai dan memberikan nasihat agar rajin belajar. 3 Subyek III
Subyek III mengutarakan bahwa pembelajaran yang mendidik tidak hanya sekedar transfer ilmu ke siswa tapi juga
harus dapat memotivasi siswa terlebih dahulu agar pertama- tama siswa menyukai subyek III supaya dalam pembelajaran
subyek III dapat lebih mudah mengkondisikan kelas dan siswa menjadi lebih terbuka dengan subyek III. Selain itu subyek III
juga beranggapan bahwa pembelajaran IPA yang mendidik pada akhirnya adalah dimana siswa menyadari bahwa alam
83
semesta ada keterkaitannya dengan Tuhan sebagai penciptanya seperti yang tertulis dalam ayat-ayat kitab suci. Berikut kutipan
wawancara dengan subyek III: “Ya intinya motivasi, kalo saya udah bisa akrab dengan
siswa. Mau gak mau apa yang kita lakukan ntar diperhatikan oleh siswa. Kalo udah masuk kelas bisa dikondisikan.”
“Intinya saya pengen ajarkan motivasi, itu yang sulit. Subyek yang berhasil itu, subyek yang bisa memotivasi, bukan
sekedar pintarnya ilmu. Percuma kita punya ilmu tapi gak bisa masuk ke siswa.”
“Yang mendidik itu ya sikap. IPA alam semesta itu, ayat- ayat Quran, nanti kamu tahu Tuhan sebenarnya siapa,
dibuktikan dari ayat-ayat Quran, ayat-ayat alkitab, atau ayat- ayat kitab masing-masing. Tapi masa bocah diajarin sampe
segitu, paling ya sikap sehari-hari.”
Dalam pembelajaran IPA di kelas, subyek III juga sering
melakukan aktivitas tanya jawab dengan siswa. Hal ini diakui bermanfaat untuk mengetahui indikator pemahaman siswa
akan materi ajar yang disampaikan, seperti yang dituturkan berikut ini:
“Untuk apersepsi
itu diwajibkan
kalo dalam
pembelajaran. Apersepsi pertanyaan, jadi saya tahu indikator siswa ini menghapal tidaknya. Kan ada sebagian siswa yang
cuma menghapal. Kayak di kelas 7.1 itu kan 60 udah bisa, kalo di kelas 7.2 baru 20. Yah tujuannya apersepsi tersebut
untuk mengetahui indikator pemahaman siswa tersebut sampai dimana. Misal di bab kalor, saya bertanya apa rumusnya?
Rumusannya kalor. Kalo siswa menjawab, perubahan suhu. Yah berarti udah lumayan siswanya.”
Selama melakukan aktivitas tanya jawab dengan siswa,
subyek III mengakui bahwa sering memberi apresiasi pada siswa bila dapat menjawab dengan benar. Selain itu subyek III
84
juga mengutarakan bahwa apabila kondisi waktu masih memungkinkan untuk melakukan aktivitas tanya jawab, maka
subyek III sering melemparkan kesempatan menjawab bagi siswa lainnya hingga memperoleh jawabankesimpulan yang
benar. Namun bila waktu sudah tidak cukup dan jawabankesimpulan yang ingin dituju belum juga tercapai,
maka subyek III akan mempersingkat aktivitas tersebut dengan langsung memberitahu jawabankesimpulan yang benar.
Berikut kutipan wawncara dengan subyek III: “Ya dalam diskusitanya jawab kalo jawabannya benar
ya tak puji terus. Kalo salah, ya sebenarnya kode etik subyek kan gak boleh menghina. Aku sering nyeleneh aja, woo bodo
gitu.”
“Ya tergantung kondisi waktu tadi. Kalo waktu mepet, saya langsung jawab, kalo ini kalo waktu masih lama
dilempar ke siswa lain. Kalo misalnya saya gak bisa jawab, saya salahnya suka ngomongnya gak tau atau ‘nanti ya’ atau
‘dijadikan PR untuk yang akan datang’. Jangan sampe siswa komentar woo Bapaknya aja gak tau, jadi kalo gak tau
jawabannya mending langsung ngomong jujur aja, ‘gak tau’ atau ‘nanti dibahas besok’, jangan sampe bohong, bahaya itu,
anak-anak itu bisa kecewa loh.”
Aktivitas eksperimen juga sempat terjadi 1 kali kelas
7.2. Aktivitas eksperimen menghitung volume benda tidak beraturan ini berlangsung di laboratorium IPA dan
dilaksanakan dalam kelompok. Setelah aktivitas eksperimen selesai, subyek III meminta masing-masing kelompok untuk
maju ke depan kelas mempresentasikan hasil eksperimennya.
85
Akan tetapi, menurut subyek III, aktivitas ekperimen ini tidak efektif bagi siswanya, seperti yang dituturkan berikut ini:
“Siswa diminta bereksperimen dan mempresentasikan hasilnya alasannya ya itu, aku pengen coba. Kalo di sekolah
negeri semua gitu, habis praktikum, langsung hasilnya presentasi. Habis kerja kelompok, presentasi, ternyata di
sekolahan ini gak jalan kan. Ada yang disuruh maju ke depan malah diem, bahaya itu, bisa kelamaan nanti. Malah ada
juga yang ‘preteli’ model tulang. Serba salah kita itu sebagai subyek IPA, harusnya mau gak mau pake alat, kayak
dosen saya itu, bawa alat terus. Kita paling ya menjelaskan konsep-konsep gitu. Dosen fisika saya itu bawa alat terus. Tapi
ya gimana, kadang saya ya faktor malas untuk bawa alat sendiri.”
Selain itu subyek III juga memiliki keinginan
mengikutsertakan siswa-siswa berpotensi ini dalam kegiatan karya ilmiah. Akan tetapi hal ini belum dapat terwujud
dikarenakan ekstrakurikuler karya ilmiah yang ada di sekolah tidak berjalan. Berikut kutipan wawancara dengan subyek III:
“Saya kan pengennya siswa ikut karya ilmiah, tapi di sekolahan gak jalan di sini.”
Wawancara dengan subyek III, guru IPA kelas 7 SMP Y, tanggal 28 November 2012.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa subyek
III telah melakukan upaya pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis. Selama 6 kali pengamatan di 2 kelas
yang berbeda, terjadi beberapa kali aktivitas belajar yang mengindikasikan
bahwa subyek
III telah
berusaha melaksanakan pembelajaran yang mendidik dan dialogis
berupa diskusi, tanya jawab, dan kegiatan eksperimen di
86
laboratorium. Selain itu subyek III juga terlihat beberapa kali menegur siswa yang ramai dan memberikan nasihat agar rajin
belajar. Selanjutnya dapat diketahui bahwa ketiga subyek telah
melakukan upaya pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis. Dalam upaya tersebut, ketiga subyek sama-sama
melakukan aktivitas diskusi dan tanya jawab dengan siswa. Selama penelitian berlangsung, subyek III juga sempat melakukan
aktivitas eksperimen yang berlangsung di laboratorium, juga mengakui memiliki keinginan mengikutsertakan siswanya dalam
kegiatan karya ilmiah. Akan tetapi hal ini belum dapat terwujud dikarenakan ekstrakurikuler karya ilmiah yang ada di sekolah
tidak berjalan. Selain itu terdapat perbedaan antara antara guru senior dan guru muda yang menjadi subyek penelitian. Peneliti
menyimpulkan bahwa guru muda lebih memiliki semangat dalam upaya pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis
dibandingkan dengan guru senior. Hal ini tampak dari usaha- usaha yang dilakukan oleh guru muda untuk lebih akrab dengan
siswa lebih intens dibandingkan usaha yang dilakukan oleh guru senior.
Berikut kesimpulan kompetensi pembelajaran yang mendidik dan dialogis masing-masing subyek dalam bentuk tabel:
87
Tabel 4.7 : Kesimpulan Kompetensi Pembelajaran Yang Mendidik dan Dialogis
Subyek I Subyek II
Subyek III 1. Subyek I telah
melakukan upaya pelaksanaan
pembelajaran yang mendidik dan
dialogis, salah satunya dengan
menegur siswa yang ramai dan
memberikan nasihat agar siswa
rajin belajar. 1. Subyek II telah
melakukan upaya pelaksanaan
pembelajaran yang mendidik
dan dialogis, salah satunya
dengan menegur siswa yang ramai
dan memberikan nasihat agar siswa
rajin belajar. 1. Subyek III telah
melakukan upaya pelaksanaan
pembelajaran yang mendidik
dan dialogis, salah satunya
dengan menegur siswa yang ramai
dan memberikan nasihat agar siswa
rajin belajar.
2. Subyek III mengakui
memiliki keinginan
mengikutsertakan siswanya dalam
kegiatan karya ilmiah. Akan
tetapi hal ini belum dapat
terwujud dikarenakan
ekstrakurikuler karya ilmiah yang
ada di sekolah tidak berjalan.
g. Pemanfaatan Teknologi Pembelajaran 1 Subyek I
Subyek I menuturkan bahwa media pembelajaran yang efektif adalah kombinasi antara visualisasi dan ceramah.
88
Subyek I selain menggunakan papan tulis sebagai media belajar, juga sesekali menggunakan media laptop dan viewer
sebagai variasi pembelajaran. Dari 4 pertemuan yang peneliti ikuti di kelas subyek I ini, sempat terjadi dua kali dimana
subyek I menjelaskan materi pelajaran menggunakan media laptop dan viewer dalam pembelajaran IPA. Subyek I
beranggapan bahwa penggunaan media seperti ini sewaktu- waktu perlu untuk dilakukan sebagai variasi belajar siswa
seperti kutipan wawancara berikut ini: “Ya sebenarnya yang efektif ada kombinasi antara
visualisasi dan ceramah ya. Biasanya kan dalam proses belajar kan sudah punya catatan. Ini nanti bisa disampaikan
secara visual. Itu maksudnya untuk yang kemarin secara sekilas dijabarkan gini, oh ternyata animasi seperti ini.
Sumber media ada yang sendiri ya, artinya sambil menyusun sendiri, ada yang dari internet juga, ada yang dari teman.
Penggunaan media seperti animasi dan simulasi sebaiknya tidak mendominasi tapi sewaktu-waktu perlu.”
Wawancara dengan subyek I, guru IPA kelas 7F SMP X, tanggal 30 November 2012.
Selama 4 kali pengamatan di kelas, terjadi 2 kali aktivitas
pemanfaatan teknologi pembelajaran yang dilakukan oleh subyek. Aktivitas tersebut berupa penggunaan media laptop
dan viewer. Aktivitas ini terjadi pada pertemuan ke-3, hari Senin, tanggal 5 November 2012, dan pada pertemuan ke-4
yang dilaksanakan di laboratotium IPA, hari Rabu, tanggal 7 November 2012.
89
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa subyek I telah melakukan upaya pemanfaatan teknologi pembelajaran berupa
penggunaan media laptop dan viewer. 2 Subyek II
Subyek II
mengakui bahwa
dalam pelaksanaan
pembelajaran IPA, selain menggunakan media papan tulis beliau juga sesekali menggunakan alat peraga sebagai media
pembelajaran dengan pertimbangan kemudahan dalam mencari dan menggunakannya. Selain itu juga bertujuan untuk
memvisualisasikan materi ajar yang disampaikan, seperti yang dituturkan berikut ini:
“Ya kalau media itu kadang-kadang masih saya campur adukkan media papan tulis dengan alat peraga. Alat peraga
saya artikan media, gitu aja. Banyak alat peraga KIT macem macem. Kadang alam sekitar disini tak pakai, misalnya untuk
tumbuh-tumbuhan, tumbuhan monokotil, dikotil, ciri-ciri daun. Anak siswa, abstrak belum bisa. Biar nyambung, saya
berusaha, kalau ketika ketika di materi pelajaran ciri-ciri daun tumbuhan dikotil, daunnya sejajar, daunnya menyirip
kaya apa, dengan media alat peraga biar tau daun menyirip kayak apa. Gambar juga bisa sih, gambar juga bagus, kalau
ada yang tersedia saja, kalau ada yang lebih mudah aja, lebih mudah ditemui. Kalau saya belum menemukan, misalnya
belum menemukan gambar-gambar itu ya saya ambil cara sederhana, langsung kita suruh dia gambar buat ilustrasi
sendiri.”
Selanjutnya subyek II juga menuturkan kelebihan serta kekurangan menggunakan alat peraga sebagai media
pembelajaran. Berikut kutipan hasil wawancaranya: “Kalau keuntungannya, dia sangat beruntung, bisa tahu,
apa yang dia pikirkan dengan apa yang harus dia lihat jadi
90
nyambung. Kalau kerugiannya biasanya waktu, tapi gak masalah sih. Tapi memang kerugiannya waktu, waktunya jadi
agak lebih panjang. Untung disini jam IPA nya agak longgar, kalau cuma empat jam itu sulit sulit untuk menggunakan
alat peraga sebagai media pembelajaran, tapi kalau disini itu tujuh jam malah.”
Wawancara dengan subyek II, guru IPA kelas 7A SMP X, tanggal 3 Desember 2012.
Dari hasil pengamatan yang dilakukan peneliti diketahui
bahwa meskipun subyek II mengakui pernah menggunakan media alat peraga sebagai media belajar, namun selama 2 kali
pengamatan yang peneliti lakukan, tidak terjadi penggunaan media alat peraga selama pembelajaran IPA.
3 Subyek III Subyek III selaku guru IPA kelas 7.1 dan 7.2 di SMP Y,
mengakui bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran IPA, selain menggunakan media papan tulis beliau juga sesekali
menggunakan media laptop dan viewer sebagai variasi pembelajaran terutama apabila suasana belajar sudah mulai
jenuh. Berikut kutipan wawancara dengan subyek III: “Pernah pake viewer, tapi mau ga mau ya di sini di
laboratorium, itu 2 kali pertemuan buat kelas 7.1. Kadang yang ditunjukkan motivasi. Kalo fisikanya ya simulasi-
simulasi, itu pasti, setiap kalo suasana belajar udah jenuh. Terutama kalau ini kelasnya udah banyak dikasi tugas, ‘yo
nonton yo’.”
Selanjutnya subyek II juga mengakui adanya kelebihan dan kekurangan menggunakan media laptop dan viewer
91
sebagai media pembelajaran, seperti yang dituturkan berikut ini:
“Kekurangannya ya senang bocah itu bukannya belajar, kerugiannya itu. Keuntungannya kan visual, siswa
jadi tau.”
Wawancara dengan subyek III, guru IPA kelas 7 SMP Y, tanggal 28 November 2012.
Selama 6 kali pengamatan di 2 kelas yang berbeda, tidak
terjadi penggunaan media laptop dan viewer selama pembelajaran IPA. Akan tetapi sempat terjadi 1 kali aktivitas
praktikum yang dilaksanakan di laboratorium pada pertemuan pertama saat jam belajar kelas 7.2 pada hari Senin, tanggal 22
Oktober 2012.Kronologi kejadian terlampir pada lampiran B3.
Selanjutnya peneliti dapat menyimpulkan bahwa ketiga subyek telah melakukan upaya pemanfaatan teknologi dalam
pembelajaran meskipun belum maksimal. Selama penelitian berlangsung, subyek I teramati telah 2 kali melakukan aktivitas
pemanfaatan teknologi pembelajaran dengan menggunakan media laptop dan viewer. Sedangkan subyek II tidak teramati melakukan
aktivitas pemanfaatan teknologi belajar, meskipun dalam wawancaranyasubyek II mengakui bahwa sesekali menggunakan
media alat peraga sebagai media belajar. Subyek III juga sempat 1 kali teramati melakukan aktivitas eksperimen yang diadakan
dilaboratorium. Selain itu tidak terdapat perbedaan yang
92
signifikan antara guru senior dan guru muda dalam upaya pemanfaatan teknologi pembelajaran.Terlaksana maupun tidak
terlaksananya pemanfaatan teknologi pembelajaran juga dapat dipengaruhi oleh kondisi fasilitas di masing-masing sekolah.
Berikut kesimpulan kompetensi pemanfaatan teknologi pembelajaran masing-masing subyek dalam bentuk tabel:
Tabel 4.8 : Kesimpulan Kompetensi Pemanfaatan Teknologi Pembelajaran
Subyek I Subyek II
Subyek III 1. Subyek I telah
melakukan upaya pemanfaatan
teknologi pembelajaran
berupa penggunaan media laptop dan
viewer. 1. Subyek II
mengakui pernah menggunakan
media alat peraga sebagai media
belajar, namun selama 2 kali
pengamatan yang peneliti lakukan,
tidak terjadi penggunaan
media alat peraga selama
pembelajaran IPA.
1. Subyek III mengakui pernah
menggunakan laptop dan viewer
sebagai media belajar, namun
selama 6 kali pengamatan di 2
kelas yang berbeda, tidak
terjadi penggunaan
media laptop dan viewer selama
pembelajaran IPA. Namun
sempat terjadi 1 kali aktivitas
praktikum yang dilaksanakan di
laboratorium.
Masing-masing subyek sebagai subyek IPA kelas 7 SMP telah berupaya memenuhi kompetensi pedagogik sebagaimana yang
93
diidealkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Permendiknas Nomor 16 Tahun
2007, yaitu dengan melakukan pemahaman terhadap siswa, membuat perancangan serta pelaksanaan pembelajaran, melakukan pengadaan
evaluasi hasil belajar, usaha mengembangkan peserta didik, melakukan pembelajaran
yang mendidik
serta memanfaatkan
teknologi pembelajaran. Berikut adalah kesimpulan kompetensi pedagogik
masing-masing subyek dalam bentuk tabel:
94
Tabel 4.9: Kesimpulan Kompetensi Pedagogik Masing-masing Subyek Kompetensi
Pedagogik Subyek I
Subyek II Subyek III
1. Pemahaman terhadap siswa 1. Sudah hapal sebagian besar
nama siswa. 2. Subyek tidak menyebutkan
secara spesifik bagaimana kemampuan siswanya
terutama kelas 7F dari segi kemampuan kognitif,
namun subyek mengetahui siswa mana saja yang
membutuhkan perhatian khusus.
3. Subyek mengetahui kesulitan belajar belajar
yang paling sering terjadi pada siswanya yaitu
kesulitan ketika menghadapi soal hitungan.
4. Subyek mengetahui bahwa sebagian siswanya masih
kurang gigih dalam belajar. 5. Subyek mengendalikan
kelas yang sedang tidak dalam situasi kondusif
untuk belajar yaitu dengan 1. Sudah hapal sebagian besar
nama siswa. 2. Subyek mengetahui bahwa
siswanya terutama kelas 7A termasuk siswa yang lebih
cerdas bila dibandingkan dengan siswa kelas 7 lain
yang juga diajar oleh subyek.
3. Subyek tidak menyebutkan secara spesifik kesulitan
belajar yang terjadi pada siswa.
4. Subyek mengetahui bahwa siswanya memiliki motivasi
belajar yang tinggi. 5. Subyek mengendalikan
kelas yang sedang tidak dalam situasi kondusif
untuk belajar misalnya ketika siswa ribut yaitu
dengan menegur langsung baik secara halus maupun
secara tegas. 1. Sudah hapal sebagian besar
nama siswa. 2. Subyek mengetahui bahwa
siswa kelas 7.1 lebih unggul dibandingkan kelas 7.2 bila
dilihat dari segi kemampuan kognitifnya.
3. Subyek mengetahui kesulitan belajar yang
paling sering terjadi yaitu ketika mengahadapi soal
hitungan.
4. Subyek mengetahui bahwa siswanya memiliki minat
serta perhatian yang bagus pada mata pelajaran IPA
5. Subyek mengendalikan kelas yang sedang tidak
dalam situasi kondusif untuk belajar misalnya
ketika siswa ribut yaitu dengan menegur langsung
baik secara halus maupun secara tegas.
95
Kompetensi Pedagogik
Subyek I Subyek II
Subyek III mendikte sehingga siswa
akhirnya akan lebih fokus mendengarkan dan
mencatat.
2. Perancangan pembelajaran 1. Subyek membuat RPP
seperti yang sudah ditetapkan oleh Departemen
Pendidikan untuk kelas 7 SMP.
2. Subyek menggunakan RPP dalam pelaksanaan
pembelajaran di kelas namun dapat berubah
sewaktu-waktu sesuai bagaimana kondisi kelas.
1. Subyek membuat RPP seperti yang sudah
ditetapkan oleh Departemen Pendidikan untuk kelas 7
SMP.
2. Subyek menggunakan RPP dalam pelaksanaan
pembelajaran. Karena subyekmemandang RPP
sebagai acuan ketercapaian pembelajaran maka subyek
juga mementingkan tercapainya RPP yang
sudah dibuat. 1. Subyek membuat RPP
seperti yang sudah ditetapkan oleh Departemen
Pendidikan untuk kelas 7 SMP.
2. Subyek mengakui tidak pernah menggunakan RPP
sebagai acuan dalam pelaksanaan pembelajaran.
3. Pelaksanaan pembelajaran 1. Subyek melaksanakan
pembelajaran IPA dalam tiga tahapan yaitu tahap
awal, inti, dan penutup.
2. Suasana belajar yang tercipta oleh subyek I
sebagai guru senior lebih terkesan serius jika
1. Subyek melaksanakan pembelajaran IPA dalam
tiga tahapan yaitu tahap awal, inti, dan penutup.
2. Suasana belajar yang tercipta oleh subyek II
sebagai guru senior lebih terkesan serius jika
1. Subyek melaksanakan pembelajaran IPA dalam
tiga tahapan yaitu tahap awal, inti, dan penutup.
2. Suasana belajar yang tercipta oleh subyek III
sebagai guru muda lebih terkesan akrab, dimana
96
Kompetensi Pedagogik
Subyek I Subyek II
Subyek III dibandingkan suasana
belajar yang diajar oleh guru muda.
3. Alur dan tempo penyampaian materi
disesuaikan dengan situasi kelas.
4. Subyek sering menggunakan metode
ceramah dan mendikte secara bergantian serta
menggunakan media papan tulis.
5. Sebagian besar siswa mau terlibat aktif dalam
aktivitas-aktivitas belajar di kelas. Misalnya aktivitas
tanya jawab. dibandingkan suasana
belajar yang diajar oleh guru muda.
3. Tempo penyampaian materi cenderung cepat yang
biasanya kemudian dilanjutkan dengan
mengerjakan latihan soal bersama-sama.
4. Subyek sering menggunakan metode
ceramah dan menggunakan media papan tulis.
5. Sebagian besar siswa mau terlibat aktif dalam
aktivitas-aktivitas belajar di kelas. Misalnya aktivitas
tanya jawab. subyek sering melemparkan
candaan pada siswanya. 3. Alur dan tempo
penyampaian materi disesusaikan dengan situasi
kelas.
4. Subyek sering menggunakan metode
ceramah dan menggunakan media papan tulis.
5. Hanya sebagian kecil siswa yang mau terlibat aktif
dalam aktivitas-aktivitas belajar di kelas. Kegiatan
tanya jawab merupakan aktivitas belajar yang sering
terjadi selama proses pembelajaran berlangsung.
4. Evaluasi hasil belajar 1. Subyek dominan
melakukan evaluasi hasil belajar siswa dari segi
kognitif, sedangkan dari segi afektif dan
psikomotorik belum terlaksana dengan
maksimal. 1. Subyek dominan
melakukan evaluasi hasil belajar siswa dari segi
kognitif, sedangkan dari segi afektif dan
psikomotorik belum terlaksana dengan
maksimal. 1. Subyek dominan
melakukan evaluasi hasil belajar siswa dari segi
kognitif, sedangkan dari segi afektif dan
psikomotorik belum terlaksana dengan
maksimal.
97
Kompetensi Pedagogik
Subyek I Subyek II
Subyek III 2. Subyek menggunakan
instrumen penilaian berupa latihan soal, pemberian
tugas rumah, ulangan harian, ujian mid semester
dan ujian akhir semester. 2. Subyek menggunakan
instrumen penilaian berupa latihan soal, pemberian
tugas rumah, ulangan harian, ujian mid semester
dan ujian akhir semester. 2. Subyek menggunakan
instrumen penilaian berupa latihan soal, pemberian
tugas rumah, ulangan harian, ujian mid semester
dan ujian akhir semester.
5. Pengembangan siswa untuk mengaktualisasikan berbagai
potensi yang dimilikinya 1. Upaya yang dilakukan oleh
subyek yaitu dalam bentuk memberikan nasehat,
memotivasi siswa, pengaturan tempat duduk
siswa, mengadakan remedial, serta pemberian
tugas rumah. 1. Upaya yang dilakukan oleh
subyek yaitu dalam bentuk memberikan nasehat,
memotivasi siswa, pengaturan tempat duduk
siswa, mengadakan remedial, serta pemberian
tugas rumah. 1. Upaya yang dilakukan oleh
subyek yaitu dalam bentuk memberikan nasehat,
memotivasi siswa, pengaturan tempat duduk
siswa, mengadakan remedial, serta pemberian
tugas rumah.
6. Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis
1. Subyek mengadakan kegiatan belajar yang dapat
membantu siswa untuk mengembangkan
kreativitasnya, seperti diskusi, tanya jawab,
pengamatan.
2. Subyek I sebagai guru senior tidak secara spesifik
menyebutkan pernah mengikutsertakan siswa
dalam kegiatan apa saja 1. Subyek mengadakan
kegiatan belajar yang dapat membantu siswa untuk
mengembangkan kreativitasnya, seperti
diskusi, tanya jawab, pengamatan.
2. Subyek II sebagai guru senior tidak secara spesifik
menyebutkan pernah mengikutsertakan siswa
dalam kegiatan apa saja 1. Subyek mengadakan
kegiatan belajar yang dapat membantu siswa untuk
mengembangkan kreativitasnya, seperti
diskusi, tanya jawab, pengamatan.
2. Subyek mengakui memiliki keinginan mengikutsertakan
siswanya dalam kegiatan karya ilmiah. Akan tetapi
hal ini belum dapat
98
Kompetensi Pedagogik
Subyek I Subyek II
Subyek III selain kegiatan belajar
mengajar di kelas. 3. Subyek juga menegur siswa
yang ramai dan memberikan nasihat agar
siswa rajin belajar. selain kegiatan belajar
mengajar di kelas. 3. Subyek juga menegur siswa
yang ramai dan memberikan nasihat agar
siswa rajin belajar. terwujud dikarenakan
ekstrakurikuler karya ilmiah yang ada di sekolah tidak
berjalan.
3. Subyek juga menegur siswa yang ramai dan
memberikan nasihat agar siswa rajin belajar.
7. Pemanfaatan teknologi pembelajaran
1. Subyek teramati melakukan upaya pemanfaatan
teknologi pembelajaran berupa penggunaan media
laptop dan viewer. 1. Subyek mengakui pernah
menggunakan media alat peraga sebagai media
belajar, namun selama 2 kali pengamatan yang
peneliti lakukan, tidak terjadi penggunaan media
alat peraga selama pembelajaran IPA.
1. Subyek mengakui pernah menggunakan laptop dan
viewer sebagai media belajar, namun selama 6
kali pengamatan di 2 kelas yang berbeda, tidak terjadi
penggunaan media laptop dan viewer selama
pembelajaran IPA. Namun sempat terjadi 1 kali
aktivitas praktikum yang dilaksanakan di
laboratorium.
99
2. Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Pedagogik Guru dalam Pembelajaran
Pada penelitian ini, untuk mengetahui bagaimana persepsi siswa mengenai realisasi kompetensi pedagogik guru dalam pembelajaran,
peneliti menggunakan data skor kuesioner persepsi siswa. Rangkuman dari hasil kuesioner pada 4 kelas sampel dapat dilihat pada lampiran
B2. a. Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Pedagogik Guru dalam
Pembelajaran Untuk mengetahui bagaimana persepsi siswa mengenai
realisasi kompetensi pedagogik guru dalam pembelajaran secara umum, peneliti menggunakan data skor kuesioner persepsi siswa.
Setelah diperoleh skor total, kemudian dihitung skor rata-ratanya dengan cara membagi skor total dengan jumlah pernyataan pada
kuesioner. Berdasarkan skor rata-rata tersebut dapat ditentukan kategori persepsi siswa. Pemberian kategori dari hasil analisis pada
kuesioner persepsi dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4.10 : Pembagian Kategori Kuesioner Persepsi Siswa
Kelas 7.1 SMP Y No
Skor total Skor rata-rata
Kategori 1
147 3,34
Sangat Baik 2
122 2,77
Baik 3
107 2,43
Cukup 4
121 2,75
Baik 5
134 3,05
Baik 6
138 3,14
Baik
100
No Skor total
Skor rata-rata Kategori
7 131
2,98 Baik
8 137
3,11 Baik
9 126
2,86 Baik
10 129
2,93 Baik
11 126
2,86 Baik
12 131
2,98 Baik
13 106
2,41 Cukup
14 120
2,73 Baik
15 135
3,07 Baik
16 132
3,00 Baik
17 115
2,61 Baik
18 148
3,36 Sangat Baik
19 111
2,52 Baik
20 108
2,45 Cukup
21 129
2,93 Baik
22 148
3,36 Sangat Baik
23 141
3,20 Baik
24 166
3,77 Sangat Baik
25 96
2,18 Cukup
26 134
3,05 Baik
27 134
3,05 Baik
28 122
2,77 Baik
29 134
3,05 Baik
30 108
2,45 Cukup
31 141
3,20 Baik
32 100
2,27 Cukup
33 116
2,64 Baik
34 107
2,43 Cukup
4300
No Kategori
Frekuensi 1
Kurang 2
Cukup 7
3 Baik
23 4
Sangat Baik 4
101
Tabel 4.11 : Pembagian Kategori Kuesioner Persepsi Siswa Kelas 7.2SMP Y
No Skor total
Skor rata-rata Kategori
1 134
3,05 Baik
2 126
2,86 Baik
3 130
2,95 Baik
4 149
3,39 Sangat Baik
5 130
2,95 Baik
6 122
2,77 Baik
7 134
3,05 Baik
8 136
3,09 Baik
9 116
2,64 Baik
10 140
3,18 Baik
11 125
2,84 Baik
12 133
3,02 Baik
13 115
2,61 Baik
14 130
2,95 Baik
15 131
2,98 Baik
16 141
3,20 Baik
17 136
3,09 Baik
18 147
3,34 Sangat Baik
19 118
2,68 Baik
20 127
2,89 Baik
21 123
2,80 Baik
22 127
2,89 Baik
23 148
3,36 Sangat Baik
24 126
2,86 Baik
25 144
3,27 Sangat Baik
26 145
3,30 Sangat Baik
27 134
3,05 Baik
28 142
3,23 Baik
29 134
3,05 Baik
30 125
2,84 Baik
31 115
2,61 Baik
32 126
2,86 Baik
33 162
3,68 Sangat Baik
4371
102
No Kategori
Frekuensi 1
Kurang 2
Cukup 3
Baik 27
4 Sangat Baik
6
Tabel 4.12 : Pembagian Kategori Kuesioner Persepsi Siswa Kelas 7A SMP X
No Skor total
Skor rata-rata Kategori
1 121
2,75 Baik
2 121
2,75 Baik
3 109
2,48 Cukup
4 96
2,18 Cukup
5 99
2,25 Cukup
6 108
2,45 Cukup
7 122
2,77 Baik
8 113
2,57 Baik
9 99
2,25 Cukup
10 129
2,93 Baik
11 136
3,09 Baik
12 121
2,75 Baik
13 115
2,61 Baik
14 145
3,30 Sangat Baik
15 122
2,77 Baik
16 105
2,39 Cukup
17 113
2,57 Baik
18 118
2,68 Baik
19 122
2,77 Baik
20 116
2,64 Baik
21 110
2,50 Baik
22 116
2,64 Baik
23 99
2,25 Cukup
24 111
2,52 Baik
25 149
3,39 Baik
26 141
3,20 Baik
27 145
3,30 Sangat baik
28 120
2,73 Baik
103
No Kategori
Frekuensi 1
Kurang 2
Cukup 10
3 Baik
29 4
Sangat Baik 3
Tabel 4.13 : Pembagian Kategori Kuesioner Persepsi Siswa Kelas 7F SMP X
No Skor total
Skor rata-rata Kategori
1 125
2,84 Baik
2 137
3,11 Baik
3 154
3,50 Sangat Baik
4 144
3,27 Sangat Baik
5 132
3,00 Baik
6 141
3,20 Baik
7 137
3,11 Baik
8 113
2,57 Baik
9 134
3,05 Baik
10 124
2,82 Baik
29 112
2,55 Baik
30 111
2,52 Baik
31 96
2,18 Cukup
32 132
3,00 Baik
33 118
2,68 Baik
34 115
2,61 Baik
35 120
2,73 Baik
36 122
2,77 Baik
37 110
2,50 Baik
38 146
3,32 Sangat Baik
39 103
2,34 Cukup
40 96
2,18 Cukup
41 113
2,57 Baik
42 132
3,00 Baik
4947
104
No Skor total
Skor rata-rata Kategori
11 107
2,43 Cukup
12 142
3,23 Baik
13 135
3,07 Baik
14 125
2,84 Baik
15 141
3,20 Baik
16 145
3,30 Baik
17 131
2,98 Baik
18 132
3,00 Baik
19 126
2,86 Baik
20 126
2,86 Baik
21 125
2,84 Baik
22 89
2,02 Cukup
23 112
2,55 Baik
24 134
3,05 Baik
25 142
3,23 Baik
26 122
2,77 Baik
27 129
2,93 Baik
28 144
3,27 Sangat Baik
29 130
2,95 Baik
30 113
2,57 Baik
31 124
2,82 Baik
32 117
2,66 Baik
33 141
3,20 Baik
34 118
2,68 Baik
35 111
2,52 Baik
36 115
2,61 Baik
37 123
2,80 Baik
4740
No Kategori
Frekuensi 1
Kurang 2
Cukup 2
3 Baik
32 4
Sangat Baik 3
105
Kemudian untuk mengetahui persepsi keseluruhan masing- masing kelas dapat dihitung dengan menggunakaan rumus:
Dari hasil perhitungan tersebut kemudian diperoleh skor rata- rata keseluruhan, yang kemudian dapat ditentukan dalam kategori
persepsi siswa. Pemberian kategori dari hasil analisis persepsi keseluruhan siswa pada kuesioner persepsi dapat dilihat pada tabel
berikut: Tabel 4.14 : Pembagian Kategori Kuesioner Persepsi Siswa Secara
Keseluruhan No
Subyek Kelas
Persepsi Keseluruhan
Kategori 1
Subyek I 7F
2,91 Baik
2 Subyek II
7A 2,68
Baik 3
Subyek III 7.1
2,87 Baik
7.2 3,01
Baik
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui persepsi keseluruhan masing-masing kelas terhadap realisasi kompetensi pedagogik yang
dilaksanakan guru IPA dalam pembelajaran. Dari keseluruhan siswa di masing-masing kelas dan sekolah memiliki persepsi yang
cukup terhadap realisasi kompetensi pedagogik yang dilaksanakan oleh subyek IPA dalam pembelajaran. Dengan total skor
maksimum 4,00 sangat baik, siswa kelas 7.1 SMP Y memiliki persepsi baikdengan skor 2,87. Siswa kelas 7.2 SMP Y memiliki
106
persepsi baik dengan skor 3,01. Siswa kelas 7A SMP X memiliki persepsi baik dengan skor 2,68. Dan siswa kelas 7F SMP X
memiliki persepsi baikdengan skor 2,91. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dari keseluruhan siswa
di masing-masing kelas dan sekolah memiliki persepsi yang baik tentang kompetensi pedagogik guru dalam pembelajaran.
b. Persepsi Siswa Tentang Guru Khususnya Mengenai Aspek-Aspek Guru Terkait Dengan Kompetensi Pedagogik
Untuk mengetahui bagaimana persepsi siswa terhadap masing- masing aspek kompetensi pedagogik yang dimiliki guru, peneliti
menggunakan hasil kuesioner tertutup yang telah diisi siswa. Total jumlah item yang terdapat dalam kuesioner yaitu berjumlah 44
item. Berikut hasil persepsi siswa untuk masing-masing aspek pedagogik yang dimiliki guru disajikan dalam bentuk tabel:
Tabel 4.15 : Pembagian Kategori Kuesioner Persepsi Siswa Tentang Guru Khususnya Mengenai Aspek-Aspek
Guru Terkait Dengan Kompetensi Pedagogik No
Aspek Kompetensi Sub I
kls 7F Sub II
kls 7A Sub III
kls 7.1 Sub III
kls 7.2 1
Pemahaman terhadap siswa 3,05
Baik 2,84
Baik 2,83
Baik 3,04
Baik 2
Perancangan dan pelaksanaan pembelajaran
2,75 Baik
2,83 Baik
2,90 Baik
3,09 Baik
3 Evaluasi hasil belajar
2,90 Baik
2,71 Baik
2,92 Baik
2,94 Baik
4 Pengembangan siswa untuk
mengaktualisasikan 2,96
Baik 2,52
Baik 3,02
Baik 3,04
Baik
107
No Aspek Kompetensi
Sub I kls 7F
Sub II kls 7A
Sub III kls 7.1
Sub III kls 7.2
berbagai potensi yang dimilikinya
5 Pembelajaran yang
mendidik dan dialogis 2,76
Baik 2,32
Cukup 2,79
Baik 2,98
Baik 6
Pemanfaatan teknologi pembelajaran
2,40 Cukup
2,10 Cukup
2,85 Baik
2,77 Baik
L. Keterbatasan Penelitian