TINJAUAN PUSTAKA Analisis ketepatan model altman, springate, dan zmijewski dalam memprediksi perusahaan yang delisting di bursa efek indonesia periode 2009-2013.

Menurut Martin et.al 1995:376 dalam Adnan dan Kurniasih 2000:137, kebangkrutan sebagai kegagalan didefinisikan dalam beberapa arti, yaitu: 1. Kegagalan ekonomi Economic Failure Kegagalan dalam arti ekonomi berarti bahwa perusahaan kehilangan uang atau pendapatan perusahaan tidak menutupi biayanya sendiri, ini berarti tingkat laba lebih kecil dari biaya modal atau nilai sekarang dari arus kas perusahaan lebih kecil dari kewajiban. 2. Kegagalan keuangan Financial Failure Kegagalan keuangan bisa diartikan sebagai insolvensi yang membedakan antara dasar arus kas dan dasar saham. Insolvensi atas dasar arus kas ada dua bentuk, yaitu: a. Insolvensi teknis Perusahaan dapat dianggap gagal jika perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo. Insolvensi juga terjadi bila arus kas tidak cukup untuk memenuhi pembayaran bunga atau pembayaran kembali pokok pada tanggal tertentu. b. Insolvensi dalam pengertian kebangkrutan Kebangkrutan didefinisikan dalam ukuran sebagai kekayaan bersih negatif dalam neraca konvensional atau nilai sekarang dari arus kas yang diharapkan lebih kecil dari kewajiban. Berdasarkan uraian tentang definisi kebangkrutan di atas, kebangkrutan dapat disimpulkan sebagai suatu keadaan dimana perusahaan dianggap gagal secara finansial dan tidak mampu dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya akibat dari ketidakmampuan perusahaan tersebut dalam menghasilkan laba bagi kelangsungan hidup usahanya. E. Manfaat Informasi Kebangkrutan Hanafi dan Halim 2009:259 mengungkapkan bahwa informasi kebangkrutan bisa bermanfaat bagi beberapa pihak seperti: 1. Pemberi Pinjaman Informasi kebangkrutan bisa bermanfaat untuk mengambil keputusan siapa yang akan diberi pinjaman, dan kemudian bermanfaat untuk kebijakan memonitor pinjaman yang ada. 2. Investor Investor saham atau obligasi yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan tentunya akan sangat berkepentingan melihat adanya kemungkinan bangkrut atau tidaknya perusahaan yang menjual surat berharga tersebut. 3. Pihak Pemerintah Lembaga pemerintah mempunyai kepentingan untuk melihat tanda-tanda kebangkrutan lebih awal supaya tindakan-tindakan yang perlu bisa dilakukan lebih awal, khususnya sektor perbankan dan BUMN. 4. Akuntan Akuntan mempunyai kepentingan terhadap informasi kelangsungan suatu usaha karena akuntan akan menilai kemampuan going concern suatu perusahaan. 5. Manajemen Kebangkrutan berarti munculnya biaya-biaya yang berkaitan dengan kebangkrutan dan biaya ini cukup besar. Apabila manajemen bisa mendeteksi kebangkrutan lebih awal, maka tindakan-tindakan penghematan bisa dilakukan, misal dengan melakukan merger atau restrukturisasi keuangan sehingga biaya kebangkrutan bisa dihindari. F. Prediksi Kebangkrutan Kebangkrutan suatu perusahaan dapat diprediksi jauh sebelum perusahaan mengalami kebangkrutan dimana kemungkinan terjadinya kebangkrutan tidak dapat diketahui hanya dalam waktu singkat. Waktu yang digunakan biasanya dua sampai lima tahun sebagai batas toleransi penurunan kinerja untuk mendeteksi kemungkinan kebangkrutan perusahaan Adnan dan Taufiq, 2001:189 dalam Triharyanti, 2008:14. Prediksi kebangkrutan usaha berfungsi untuk memberikan panduan bagi pihak-pihak tentang kinerja keuangan perusahaan apakah akan mengalami kesulitan keuangan atau tidak di masa mendatang Darsono dan Ashari, 2005:105. G. Delisting Menurut Keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta Nomor : Kep- 308BEJ07-2004, definisi Penghapusan Pencatatan delisting adalah penghapusan Efek dari daftar Efek yang tercatat di Bursa sehingga Efek tersebut tidak dapat diperdagangkan di Bursa. Menurut Darmadji dan Fakhruddin 2011:84, delisting yaitu penghapusan pencatatan dari daftar saham di bursa. Berdasarkan definisi tersebut, delisting merupakan tindakan untuk mengeluarkan suatu saham yang tercatat di bursa efek. H. Alasan Terjadinya Delisting Bursa Efek Indonesia mengatur ketentuan mengenai delisting dalam Keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta Nomor: Kep-308BEJ07-2004. Menurut Darmadji dan Fakhruddin 2011:84, delisting atas suatu saham dari daftar Efek yang tercatat di Bursa dapat terjadi karena: 1. Permohonan delisting saham yang diajukan oleh Perusahaan Tercatat yang bersangkutan voluntary delisting. Persyaratan voluntary delisting: a. Telah tercatat sekurang-kurangnya lima tahun b. Disetujui RUPS bukan RUPS Pemegang Saham Independen c. Buy-back atas saham bagi pemegang saham yang tidak menyetujui, yaitu pada harga tertinggi antara: 1 harga nominal 2 harga pasar tertinggi selama dua tahun ditambah premi dua tahun, yaitu harga perdana x tingkat bunga SBI tiga bulan atau tingkat bunga obligasi pemerintah yang setara 3 harga wajar berdasarkan laporan penilaian appraisal 2. Dihapus pencatatan sahamnya oleh Bursa forced delisting Berdasarkan Keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta Nomor : Kep- 308BEJ07-2004, b ursa menghapus pencatatan saham Perusahaan Tercatat apabila Perusahaan Tercatat mengalami sekurang-kurangnya satu kondisi di bawah ini: a. mengalami kondisi, atau peristiwa, yang secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha Perusahaan Tercatat, baik secara finansial atau secara hukum, atau terhadap kelangsungan status Perusahaan Tercatat sebagai Perusahaan Terbuka, dan Perusahaan Tercatat tidak dapat menunjukkan indikasi pemulihan yang memadai b. Saham Perusahaan Tercatat yang akibat suspensi di Pasar Reguler dan Pasar Tunai, hanya diperdagangkan di Pasar Negosiasi sekurang- kurangnya selama 24 dua puluh empat bulan terakhir Suspensi merupakan penghentian sementara perdagangan saham. Dengan pertimbangan tertentu, otoritas bursa dapat menghentikan sementara perdagangan suatu saham, sehingga saham tersebut tidak dapat diperjualbelikan hingga penghentian sementara dicabut oleh bursa unsuspend. Tidak jarang suspensi yang berkepanjangan berakhir dengan penghapusan pencatatan delisting oleh pihak bursa. Beberapa hal yang dapat menjadi penyebab penghentian perdagangan suatu saham, antara lain Darmadji dan Fakhruddin, 2011:103: 1. Laporan Keuangan Auditan memperoleh opini Disclaimer tidak memberikan pendapat sebanyak dua kali berturut-turut atau memperoleh opini tidak wajar sebanyak satu kali. 2. Emiten dimohonkan pailit oleh krediturnya atau secara sukarela mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang PKPU 3. Tidak melakukan keterbukaan informasi atas suatu informasi yang menurut pertimbangan Bursa secara material dapat memengaruhi keputusan investasi investor. 4. Terjadi kenaikan atau penurunan harga yang signifikan danatau adanya pola transaksi yang tidak wajar. I. Kebangkrutan dan Delisting Indikasi perusahaan yang akan mengalami kebangkrutan adalah kesulitan keuangan financial distress yang dihadapinya. Penelitian yang dilakukan oleh Hofer 1980 dan Whitaker 1999 dalam Almilia 2006 mendefinisikan financial distress sebagai suatu kondisi perusahaan yang mengalami laba bersih net income negatif selama beberapa tahun. Menurut Darsono dan Ashari 2005:101, kesulitan keuangan dapat diartikan sebagai ketidakmampuan perusahaan untuk membayar kewajiban keuangannya pada saat jatuh tempo yang menyebabkan kebangkrutan perusahaan. Sedangkan menurut Plat dan Plat 2002 dalam Almilia 2006 mendefinisikan financial distress sebagai tahap penurunan kondisi keuangan yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan atau likuiditasi. Jika suatu perusahaan mengalami masalah dalam likuiditas maka sangat memungkinkan perusahaan tersebut mulai memasuki masa kesulitan keuangan, dan jika kondisi kesulitan tersebut tidak cepat diatasi maka ini bisa berakibat kebangkrutan usaha Fahmi, 2011:157. Indikasi awal perusahaan bangkrut adalah dilakukannya penghapusan pencatatan saham delisting dari Bursa Hadi dan Anggraeni, 2008. Suatu saham perusahaan yang di delist dari Bursa umumnya karena kinerja yang buruk misalnya dalam kurun waktu tertentu tidak pernah diperdagangkan, mengalami kerugian beberapa tahun, tidak membagikan dividen secara berturut-turut selama beberapa tahun, dan beberapa kondisi lainnya sesuai dengan Peraturan Pencatatan Efek di Bursa Sunariyah, 2011:51. Lebih lanjut menurut Sunariyah 2011:51, jika suatu perusahaan bangkrut atau dilikuidasi, maka secara otomatis saham perusahaan tersebut akan dikeluarkan dari Bursa atau di Delist. Hal tersebut mengindikasikan bahwa perusahaan tercatat yang mengalami kesulitan keuangan financial distress rentan mengalami delisting secara paksa. Berdasarkan uraian di atas, baik kebangkrutan maupun delisting secara paksa forced delisting umumnya diawali dengan kesulitan keuangan financial distress yang tidak mampu diatasi oleh perusahaan dalam jangka waktu tertentu. J. Model Prediksi Kebangkrutan Munculnya berbagai model prediksi kebangkrutan merupakan antisipasi dan sistem peringatan dini terhadap financial distress karena model tersebut dapat digunakan sebagai sarana untuk mengidentifikasikan bahkan memperbaiki kondisi sebelum sampai pada kondisi krisis atau kebangkrutan Endri, 2009. Penggunaan model prediksi kebangkrutan dalam penelitian ini akan digunakan dalam memprediksi terjadinya forced delisting suatu perusahaan yang mengindikasikan perusahaan tersebut mengalami financial distress sebelum dinyatakan delisting. Berikut ini akan diuraikan tiga model prediksi kebangkrutan yang akan digunakan dalam penelitian ini: 1. Model Prediksi Altman Z-Score Model prediksi yang dikembangkan oleh Altman pertama kalinya pada tahun 1968 yang menerapkan Multiple Discriminant Analysis. Anjum 2012 dalam penelitiannya mengungkapkan prediktor ini merupakan model statistik yang menggabungkan lima rasio keuangan untuk menghasilkan suatu produk yang disebut Z-Score dan telah terbukti menjadi instrumen yang dapat diandalkan untuk meramalkan kegagalan dalam berbagai entitas bisnis . Persamaan diskriminan model Altman sebagai berikut Hanafi dan Halim, 2009:272: Z = 1,2X 1 + 1,4X 2 + 3,3X 3 + 0,6X 4 + 1,0X 5 Dimana: X 1 = Working Capital Total Asset X 2 = Retained Earnings Total Asset X 3 = Earning Before Interest and TaxesTotal Asset X 4 = Market Value of Equity Book Value of Total Debt X 5 = Sales Total Asset Klasifikasi perusahaan yang sehat dan bangkrut didasarkan pada nilai Z-score model Altman, yaitu: a. Jika nilai Z 1,81 maka termasuk perusahaan yang bangkrut. b. Jika nilai Z antara 1,81 dan 2,99 maka termasuk grey area tidak dapat ditentukan apakah perusahaan sehat ataupun mengalami kebangkrutan. c. Jika nilai Z 2,99 maka termasuk perusahaan yang tidak bangkrut . Seiring dengan perkembangannya, Altman melakukan revisi atas model prediksinya. Revisi yang dilakukan oleh Altman pada tahun 1983 merupakan penyesuaian yang dilakukan agar model prediksi kebangkrutan ini tidak hanya untuk perusahaan manufaktur yang go public melainkan juga dapat diaplikasikan untuk perusahaan-perusahaan di sektor swasta Ramadhani dan Lukviarman, 2009. Altman merevisi modelnya dengan mengganti variabel X 4 . Model Altman yang dikenal sebagai the revised Z- score memiliki rumus Anjum, 2012: Z = 0,717X 1 + 0,847X 2 + 3,107X 3 + 0,420X 4 + 0,998X 5 Dimana: X 1 = Working Capital Total Asset X 2 = Retained Earnings Total Asset X 3 = Earning Before Interest and Taxes Total Asset X 4 = Book Value of Equity Book Value of Total Debt X 5 = Sales Total Asset Klasifikasi perusahaan yang sehat dan bangkrut didasarkan pada nilai Z-score model Altman, yaitu: a. Jika nilai Z 1,23 maka termasuk perusahaan yang bangkrut. b. Jika nilai Z antara 1,23 dan 2,90 maka termasuk grey area tidak dapat ditentukan apakah perusahaan sehat ataupun mengalami kebangkrutan. c. Jika nilai Z 2,90 maka termasuk perusahaan yang tidak bangkrut . Jika dibandingkan antara kedua model Altman tersebut, model prediksi Altman pertama memberikan tingkat prediksi kebangkrutan yang lebih tinggi dibandingkan dengan model Altman revisi Ramadhani dan Lukviarman, 2009. Menurut Hanafi dan Halim 2009:273, model Altman yang baru mempunyai kemampuan prediksi yang cukup baik sebesar 94 62 benar dari total sampel 66 sedangkan model Altman yang asli pertama memiliki kemampuan prediksi sebesar 95 63 benar dari 66 total sampel. Berdasarkan hal tersebut, penelitian akan menggunakan model Altman yang pertama. 2. Model Prediksi Springate Penelitian yang dilakukan oleh Gordon L.V Springate 1978 menghasilkan model prediksi kebangkrutan yang dibuat dengan mengikuti prosedur model Altman Prihanthini dan Sari, 2013:422. Springate mengkombinasikan empat rasio yang digunakan dalam memprediksi adanya potensi kebangkrutan suatu perusahaan. Model ini memiliki rumus sebagai berikut: S = 1,03 A + 3,07 B + 0,66 C +0,4 D Dimana: A = Working Capital Total Asset B = Net Profit before Interest and Taxes Total Asset C = Net Profit before Taxes Current Liabilities D = Sales Total Asset Model Springate ini mengklasifikasikan perusahaan dengan skor S 0,862 merupakan perusahaan yang tidak berpotensi bangkrut, begitu juga sebaliknya jika perusahaan memiliki skor S 0,862 diklasifikasikan sebagai perusahaan yang tidak sehat dan berpotensi untuk bangkrut. 3. Model Prediksi Zmijewski Menurut Prihanthini dan Sari 2013:423, model prediksi yang dihasilkan oleh Zmijewski pada tahun 1983 merupakan hasil riset selama 20 tahun yang ditelaah ulang. Zmijewski menggunakan probit analisis yang diterapkan pada 40 perusahaan yang telah bangkrut dan 800 perusahaan yang masih bertahan saat itu Hadi dan Anggraeni, 2008. Model ini menghasilkan rumus sebagai berikut: X = -4,3 - 4,5X 1 + 5,7X 2 – 0,004X 3 Dimana : X1 = ROA Return on Asset X2 = Leverage Debt Ratio X3 = Likuiditas Current Ratio Jika skor yang diperoleh sebuah perusahaan dari model prediksi kebangkrutan ini melebihi 0 maka perusahaan diprediksi berpotensi mengalami kebangkrutan. Sebaliknya, jika sebuah perusahaan memiliki skor yang kurang dari 0 maka perusahaan diprediksi tidak berpotensi untuk mengalami kebangkrutan. K. Kesalahan Tipe I dan II Setiap model selalu terdapat kemungkinan salah prediksi dan perbedaan tingkat akurasi. Sulit untuk berharap ada alat prediksi dengan akurasi 100. Alat prediksi dikatakan benar apabila antara yang diprediksi dengan aktualnya sama, sedangkan kesalahan terjadi apabila antara yang diprediksi dengan aktualnya tidak sama. Kesalahan yang timbul dari alat prediksi terdiri dari Prihadi, 2010:334: 1. Kesalahan Tipe 1 Kesalahan dimana alat prediksi menyatakan tidak bangkrut ternyata aktualnya bangkrut. 2. Kesalahan Tipe 2 Kesalahan dimana alat prediksi menyatakan bangkrut ternyata aktualnya tidak bangkrut. Menurut Hanafi dan Halim 2005:264, kesalahan prediksi terdiri dari dua tipe yaitu kesalahan tipe I dan kesalahan tipe II seperti berikut ini: Tabel 1. Tipe Kesalahan Prediksi Diprediksi Bangkrut Tidak Bangkrut Kenyataan Bangkrut Benar Kesalahan Tipe I Tidak Bangkrut Kesalahan Tipe II Benar Sumber: Hanafi dan Halim L. Penelitian Terdahulu Penelitian oleh Hadi dan Anggraeni 2008 melakukan perbandingan antara model Zmijewski, model Altman, dan model Springate untuk mengetahui prediktor delisting terbaik pada Bursa Efek Indonesia BEI. Penelitian menggunakan semua data delisting BEI tahun 2003-2007 kecuali data delisting bank.. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model Altman merupakan prediktor delisting terbaik, diikuti oleh model Springate dan model Zmijewski. Penelitian oleh Prihanthini dan Sari 2013 dilakukan dengan menggunakan model Grover, Altman Z-Score, Springate dan Zmijewski yang diterapkan pada perusahaan Food and Beverage yang masih tercatat di Bursa Efek Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat akurasi tertinggi diraih model Grover kemudian disusul oleh model Springate, model Zmijewski, dan terakhir model Altman Z-score. Penelitian oleh Raras 2014 menggunakan model prediksi Altman, Wang dan Campbell, dan Springate dalam analisisnya untuk menguji apakah ketiga model analisis prediksi tersebut dapat digunakan untuk memprediksi secara tepat perusahaan yang delisting dari Bursa Efek Indonesia karena kegagalan keuangan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada sampel pembanding kecil, jika diurutkan berdasarkan tingkat akurasinya adalah Springate 1978, Altman 1984 dan Wang dan Campbell 2010. Sedangkan untuk sampel pembanding besar, kesimpulannya bahwa Altman menempati urutan pertama, urutan kedua model prediksi Springate, sedangkan model prediksi Wang dan Campbell berada diurutan terakhir. 23

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan studi empiris. Studi empiris dalam penelitian ini menggunakan data sekunder dari perusahaan-perusahaan baik perusahaan yang mengalami delisting maupun yang tidak mengalami delisting dengan analisis berdasarkan data keuangan dari laporan keuangan selama tiga tahun berturut-turut.

B. Objek Penelitian

Objek penelitian yang digunakan adalah laporan keuangan perusahaan. Laporan keuangan perusahaan yang digunakan adalah laporan keuangan dari perusahaan yang telah delisting dari Bursa Efek Indonesia pada periode 2009-2013. Sebagai pembanding, digunakan pula laporan keuangan dari perusahaan yang tidak mengalami delisting. Laporan keuangan yang diperlukan berupa laporan posisi keuangan neraca dan laporan laba rugi.

C. Teknik Pengambilan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan yang telah delisting dari Bursa Efek Indonesia pada periode 2009-2013 maupun perusahaan-perusahaan yang tidak mengalami delisting sehingga masih terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Pengambilan sampel penelitian menggunakan teknik purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel yang didasarkan pada suatu kriteria tertentu. Kriteria umum penentuan sampel adalah: 1. Sampel perusahaan yang dipilih merupakan perusahaan yang mempublikasikan laporan keuangannya selama tiga tahun berturut-turut yang berakhir pada 31 Desember. 2. Sampel perusahaan yang dipilih tidak termasuk perusahaan yang bergerak di sektor keuangan dan perbankan . Selain kriteria umum, terdapat kriteria khusus yang harus dipenuhi untuk mengkategorikan sampel. Sampel dibagi menjadi dua kategori yaitu perusahaan yang mengalami delisting dan perusahaan yang tidak mengalami delisting. Berikut kriteria khusus kategori I untuk perusahaan yang delisting: 1. Sampel perusahaan merupakan perusahaan yang mengalami forced delisting pada periode 2009-2013 karena mengalami masalah keuangan yang mengindikasikan bahwa perusahaan yang bersangkutan mengalami financial distress sehingga menimbulkan keraguan atas kelangsungan usahanya going concern. 2. Sampel perusahaan menyediakan data keuangan secara lengkap yang dibutuhkan dalam penelitian ini, yaitu data selama tiga tahun berturut-turut yang mengacu pada laporan keuangan terakhir yang diterbitkan di BEI sebelum dinyatakan delisting. Apabila laporan keuangan terakhir yang diterbitkan di BEI tidak memiliki kelengkapan data yang dibutuhkan, maka data yang akan diambil dari laporan keuangan periode sebelumnya 1-3 tahun sebelum delisting selama tiga tahun berturut-turut. Adapun kriteria khusus kategori II untuk perusahaan yang tidak mengalami delisting listing: 1. Perusahaan masih terdaftar di Bursa Efek Indonesia dengan menggunakan data laporan keuangan selama tiga tahun berturut-turut pada periode yang sama dengan perusahaan yang telah delisting. 2. Sampel perusahaan yang dipilih tidak memiliki laba negatif secara berturut-turut yang menjadi indikator bahwa perusahaan tidak mengalami financial distress. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hofer 1980 dan Whitaker 1999 dalam Almilia 2006 yang mendefinisikan financial distress sebagai suatu kondisi perusahaan yang mengalami laba bersih net income negatif selama beberapa tahun. 3. Sampel perusahaan dipilih dalam jumlah yang sama dengan sampel perusahaan yang telah delisting dan dari sub sektor industri yang sejenis dengan perusahaan yang telah delisting. Tabel 2. Daftar Sampel Perusahaan No Nama Perusahaan Status Sub Sektor Industri 1 Jaka Inti Realtindo Tbk. Delisting Real Estate and Property 2 Bakrieland Development Tbk. Listing Real Estate and Property 3 Daya Sakti Unggul Corporindo Tbk. Delisting Lumber and Wood Products 4 Tirta Mahakam Resources Tbk. Listing Lumber and Wood Products 5 Infoasia Teknologi Global Tbk. Delisting Telecommunication 6 Telekomunikasi Indonesia Persero Tbk. Listing Telecommunication 7 New Century Development Tbk. Delisting Real Estate and Property 8 Ciputra Property Tbk. Listing Real Estate and Property Sumber: Indonesian Capital Market Directory dan Annual Report IDX

Dokumen yang terkait

Analisis Perbandingan Ketepatan Model Prediksi Kebangkrutan Altman, Ohlson, Dan Springate Dalam Memprediksi Kebangkrutan Perusahaan

7 131 79

ANALISIS MODEL ALTMAN, MODEL ZMIJEWSKI, DAN MODEL SPRINGATE DALAM MEMPREDIKSI FINANCIAL DISTRESS (STUDI EMPIRIS PADA PERUSAHAAN PERTAMBANGAN

2 15 18

PENGUJIAN KEAKURATAN MODEL ALTMAN DAN MODEL ZMIJEWSKI DALAM MEMPREDIKSI KEBANGKRUTAN PADA PERUSAHAAN DELISTING DARI BURSA EFEK INDONESIA

2 23 89

PENGGUNAAN MODEL ZMIJEWSKI, SPRINGATE, ALTMAN Z-SCORE DAN GROVER DALAM MEMPREDIKSI KEPAILITAN PADA PERUSAHAAN TRANSPORTASI YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA.

1 14 18

The Zmijewski Model, The Altman Model, The Ohlson Model, dan The Springate Model Sebagai Prediktor Perusahaan yang Delisting pada Bursa Efek Indonesia.

0 0 11

Analisis akurasi metode Altman, Grover, Springate, dan Zmijewski dalam memprediksi perusahaan delisting (studi empiris pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia periode 2009-2013).

3 9 110

The Zmijewski Model, The Altman Model, The Ohlson Model, dan The Springate Model Sebagai Prediktor Perusahaan yang Delisting pada Bursa Efek Indonesia - Repositori Universitas Andalas

0 0 1

The Zmijewski Model, The Altman Model, The Ohlson Model, dan The Springate Model Sebagai Prediktor Perusahaan yang Delisting pada Bursa Efek Indonesia - Repositori Universitas Andalas

0 0 1

The Zmijewski Model, The Altman Model, The Ohlson Model, dan The Springate Model Sebagai Prediktor Perusahaan yang Delisting pada Bursa Efek Indonesia - Repositori Universitas Andalas

0 0 9

View of PREDIKSI KEBANGKRUTAN DENGAN METODE ALTMAN Z-SCORE, SPRINGATE DAN ZMIJEWSKI PADA PERUSAHAAN DELISTING DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI)

0 0 8