TINJAUAN PUSTAKA Analisis ketepatan model altman, springate, dan zmijewski dalam memprediksi perusahaan yang delisting di bursa efek indonesia periode 2009-2013.
Menurut Martin et.al 1995:376 dalam Adnan dan Kurniasih 2000:137, kebangkrutan sebagai kegagalan didefinisikan dalam beberapa arti, yaitu:
1. Kegagalan ekonomi Economic Failure Kegagalan dalam arti ekonomi berarti bahwa perusahaan
kehilangan uang atau pendapatan perusahaan tidak menutupi biayanya sendiri, ini berarti tingkat laba lebih kecil dari biaya modal atau nilai
sekarang dari arus kas perusahaan lebih kecil dari kewajiban. 2. Kegagalan keuangan Financial Failure
Kegagalan keuangan bisa diartikan sebagai insolvensi yang membedakan antara dasar arus kas dan dasar saham. Insolvensi atas dasar
arus kas ada dua bentuk, yaitu: a. Insolvensi teknis
Perusahaan dapat dianggap gagal jika perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo. Insolvensi juga terjadi
bila arus kas tidak cukup untuk memenuhi pembayaran bunga atau pembayaran kembali pokok pada tanggal tertentu.
b. Insolvensi dalam pengertian kebangkrutan Kebangkrutan didefinisikan dalam ukuran sebagai kekayaan
bersih negatif dalam neraca konvensional atau nilai sekarang dari arus kas yang diharapkan lebih kecil dari kewajiban.
Berdasarkan uraian
tentang definisi
kebangkrutan di
atas, kebangkrutan dapat disimpulkan sebagai suatu keadaan dimana perusahaan
dianggap gagal secara finansial dan tidak mampu dalam memenuhi
kewajiban-kewajibannya akibat dari ketidakmampuan perusahaan tersebut dalam menghasilkan laba bagi kelangsungan hidup usahanya.
E. Manfaat Informasi Kebangkrutan Hanafi dan Halim 2009:259 mengungkapkan bahwa informasi
kebangkrutan bisa bermanfaat bagi beberapa pihak seperti: 1. Pemberi Pinjaman
Informasi kebangkrutan bisa bermanfaat untuk mengambil keputusan siapa yang akan diberi pinjaman, dan kemudian bermanfaat
untuk kebijakan memonitor pinjaman yang ada. 2. Investor
Investor saham atau obligasi yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan tentunya akan sangat berkepentingan melihat adanya
kemungkinan bangkrut atau tidaknya perusahaan yang menjual surat berharga tersebut.
3. Pihak Pemerintah Lembaga pemerintah mempunyai kepentingan untuk melihat
tanda-tanda kebangkrutan lebih awal supaya tindakan-tindakan yang perlu bisa dilakukan lebih awal, khususnya sektor perbankan dan BUMN.
4. Akuntan Akuntan
mempunyai kepentingan
terhadap informasi
kelangsungan suatu usaha karena akuntan akan menilai kemampuan going concern suatu perusahaan.
5. Manajemen Kebangkrutan berarti munculnya biaya-biaya yang berkaitan
dengan kebangkrutan dan biaya ini cukup besar. Apabila manajemen bisa mendeteksi
kebangkrutan lebih
awal, maka
tindakan-tindakan penghematan bisa dilakukan, misal dengan melakukan merger atau
restrukturisasi keuangan sehingga biaya kebangkrutan bisa dihindari. F. Prediksi Kebangkrutan
Kebangkrutan suatu perusahaan dapat diprediksi jauh sebelum perusahaan mengalami kebangkrutan dimana kemungkinan terjadinya
kebangkrutan tidak dapat diketahui hanya dalam waktu singkat. Waktu yang digunakan biasanya dua sampai lima tahun sebagai batas toleransi penurunan
kinerja untuk mendeteksi kemungkinan kebangkrutan perusahaan Adnan dan Taufiq, 2001:189 dalam Triharyanti, 2008:14. Prediksi kebangkrutan usaha
berfungsi untuk memberikan panduan bagi pihak-pihak tentang kinerja keuangan perusahaan apakah akan mengalami kesulitan keuangan atau tidak
di masa mendatang Darsono dan Ashari, 2005:105. G. Delisting
Menurut Keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta Nomor : Kep- 308BEJ07-2004, definisi Penghapusan Pencatatan delisting adalah
penghapusan Efek dari daftar Efek yang tercatat di Bursa sehingga Efek tersebut tidak dapat diperdagangkan di Bursa. Menurut Darmadji dan
Fakhruddin 2011:84, delisting yaitu penghapusan pencatatan dari daftar
saham di bursa. Berdasarkan definisi tersebut, delisting merupakan tindakan untuk mengeluarkan suatu saham yang tercatat di bursa efek.
H. Alasan Terjadinya Delisting Bursa Efek Indonesia mengatur ketentuan mengenai delisting dalam
Keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta Nomor: Kep-308BEJ07-2004. Menurut Darmadji dan Fakhruddin 2011:84, delisting atas suatu saham dari
daftar Efek yang tercatat di Bursa dapat terjadi karena: 1. Permohonan delisting saham yang diajukan oleh Perusahaan Tercatat yang
bersangkutan voluntary delisting. Persyaratan voluntary delisting:
a. Telah tercatat sekurang-kurangnya lima tahun b. Disetujui RUPS bukan RUPS Pemegang Saham Independen
c. Buy-back atas saham bagi pemegang saham yang tidak menyetujui, yaitu pada harga tertinggi antara:
1 harga nominal 2 harga pasar tertinggi selama dua tahun ditambah premi dua tahun,
yaitu harga perdana x tingkat bunga SBI tiga bulan atau tingkat bunga obligasi pemerintah yang setara
3 harga wajar berdasarkan laporan penilaian appraisal 2. Dihapus pencatatan sahamnya oleh Bursa forced delisting
Berdasarkan
Keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta Nomor : Kep- 308BEJ07-2004, b
ursa menghapus pencatatan saham Perusahaan Tercatat
apabila Perusahaan Tercatat mengalami sekurang-kurangnya satu kondisi di bawah ini:
a. mengalami kondisi, atau peristiwa, yang secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha Perusahaan Tercatat, baik secara
finansial atau secara hukum, atau terhadap kelangsungan status Perusahaan Tercatat sebagai Perusahaan Terbuka, dan Perusahaan
Tercatat tidak dapat menunjukkan indikasi pemulihan yang memadai b. Saham Perusahaan Tercatat yang akibat suspensi di Pasar Reguler dan
Pasar Tunai, hanya diperdagangkan di Pasar Negosiasi sekurang- kurangnya selama 24 dua puluh empat bulan terakhir
Suspensi merupakan penghentian sementara perdagangan saham. Dengan pertimbangan tertentu, otoritas bursa dapat menghentikan sementara
perdagangan suatu
saham, sehingga
saham tersebut
tidak dapat
diperjualbelikan hingga penghentian sementara dicabut oleh bursa unsuspend. Tidak jarang suspensi yang berkepanjangan berakhir dengan
penghapusan pencatatan delisting oleh pihak bursa. Beberapa hal yang dapat menjadi penyebab penghentian perdagangan suatu saham, antara lain
Darmadji dan Fakhruddin, 2011:103: 1. Laporan Keuangan Auditan memperoleh opini Disclaimer tidak
memberikan pendapat sebanyak dua kali berturut-turut atau memperoleh opini tidak wajar sebanyak satu kali.
2. Emiten dimohonkan pailit oleh krediturnya atau secara sukarela mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang
PKPU 3. Tidak melakukan keterbukaan informasi atas suatu informasi yang
menurut pertimbangan Bursa secara material dapat memengaruhi keputusan investasi investor.
4. Terjadi kenaikan atau penurunan harga yang signifikan danatau adanya pola transaksi yang tidak wajar.
I. Kebangkrutan dan Delisting Indikasi perusahaan yang akan mengalami kebangkrutan adalah
kesulitan keuangan financial distress yang dihadapinya. Penelitian yang dilakukan oleh Hofer 1980 dan Whitaker 1999 dalam Almilia 2006
mendefinisikan financial distress sebagai suatu kondisi perusahaan yang mengalami laba bersih net income negatif selama beberapa tahun. Menurut
Darsono dan Ashari 2005:101, kesulitan keuangan dapat diartikan sebagai ketidakmampuan perusahaan untuk membayar kewajiban keuangannya pada
saat jatuh tempo yang menyebabkan kebangkrutan perusahaan. Sedangkan menurut Plat dan Plat 2002 dalam Almilia 2006 mendefinisikan financial
distress sebagai tahap penurunan kondisi keuangan yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan atau likuiditasi. Jika suatu perusahaan mengalami
masalah dalam likuiditas maka sangat memungkinkan perusahaan tersebut mulai memasuki masa kesulitan keuangan, dan jika kondisi kesulitan tersebut
tidak cepat diatasi maka ini bisa berakibat kebangkrutan usaha Fahmi, 2011:157.
Indikasi awal perusahaan bangkrut adalah dilakukannya penghapusan pencatatan saham delisting dari Bursa Hadi dan Anggraeni, 2008. Suatu
saham perusahaan yang di delist dari Bursa umumnya karena kinerja yang buruk misalnya dalam kurun waktu tertentu tidak pernah diperdagangkan,
mengalami kerugian beberapa tahun, tidak membagikan dividen secara berturut-turut selama beberapa tahun, dan beberapa kondisi lainnya sesuai
dengan Peraturan Pencatatan Efek di Bursa Sunariyah, 2011:51. Lebih lanjut menurut Sunariyah 2011:51, jika suatu perusahaan bangkrut atau dilikuidasi,
maka secara otomatis saham perusahaan tersebut akan dikeluarkan dari Bursa atau di Delist. Hal tersebut mengindikasikan bahwa perusahaan tercatat yang
mengalami kesulitan keuangan financial distress rentan mengalami delisting secara paksa. Berdasarkan uraian di atas, baik kebangkrutan maupun delisting
secara paksa forced delisting umumnya diawali dengan kesulitan keuangan financial distress yang tidak mampu diatasi oleh perusahaan dalam jangka
waktu tertentu. J. Model Prediksi Kebangkrutan
Munculnya berbagai model prediksi kebangkrutan merupakan antisipasi dan sistem peringatan dini terhadap financial distress karena model
tersebut dapat digunakan sebagai sarana untuk mengidentifikasikan bahkan memperbaiki kondisi sebelum sampai pada kondisi krisis atau kebangkrutan
Endri, 2009. Penggunaan model prediksi kebangkrutan dalam penelitian ini
akan digunakan dalam memprediksi terjadinya forced delisting suatu perusahaan yang mengindikasikan perusahaan tersebut mengalami financial
distress sebelum dinyatakan delisting. Berikut ini akan diuraikan tiga model prediksi kebangkrutan yang akan digunakan dalam penelitian ini:
1. Model Prediksi Altman Z-Score Model prediksi yang dikembangkan oleh Altman pertama kalinya
pada tahun 1968 yang menerapkan Multiple Discriminant Analysis. Anjum 2012 dalam penelitiannya mengungkapkan prediktor ini merupakan
model statistik yang menggabungkan lima rasio keuangan untuk menghasilkan suatu produk yang disebut Z-Score dan telah terbukti
menjadi instrumen yang dapat diandalkan untuk meramalkan kegagalan dalam berbagai entitas bisnis .
Persamaan diskriminan model Altman sebagai berikut Hanafi dan Halim, 2009:272:
Z = 1,2X
1
+ 1,4X
2
+ 3,3X
3
+ 0,6X
4
+ 1,0X
5
Dimana: X
1
= Working Capital Total Asset X
2
= Retained Earnings Total Asset X
3
= Earning Before Interest and TaxesTotal Asset X
4
= Market Value of Equity Book Value of Total Debt X
5
= Sales Total Asset
Klasifikasi perusahaan yang sehat dan bangkrut didasarkan pada nilai Z-score model Altman, yaitu:
a. Jika nilai Z 1,81 maka termasuk perusahaan yang bangkrut. b. Jika nilai Z antara 1,81 dan 2,99 maka termasuk grey area tidak dapat
ditentukan apakah
perusahaan sehat
ataupun mengalami
kebangkrutan.
c.
Jika nilai Z 2,99 maka termasuk perusahaan yang tidak bangkrut
.
Seiring dengan perkembangannya, Altman melakukan revisi atas model prediksinya. Revisi yang dilakukan oleh Altman pada tahun 1983
merupakan penyesuaian yang dilakukan agar model prediksi kebangkrutan ini tidak hanya untuk perusahaan manufaktur yang go public melainkan
juga dapat diaplikasikan untuk perusahaan-perusahaan di sektor swasta Ramadhani dan Lukviarman, 2009. Altman merevisi modelnya dengan
mengganti variabel X
4
. Model Altman yang dikenal sebagai the revised Z- score memiliki rumus Anjum, 2012:
Z = 0,717X
1
+ 0,847X
2
+ 3,107X
3
+ 0,420X
4
+ 0,998X
5
Dimana: X
1
= Working Capital Total Asset X
2
= Retained Earnings Total Asset X
3
= Earning Before Interest and Taxes Total Asset X
4
= Book Value of Equity Book Value of Total Debt X
5
= Sales Total Asset
Klasifikasi perusahaan yang sehat dan bangkrut didasarkan pada nilai Z-score model Altman, yaitu:
a. Jika nilai Z 1,23 maka termasuk perusahaan yang bangkrut. b. Jika nilai Z antara 1,23 dan 2,90 maka termasuk grey area tidak dapat
ditentukan apakah
perusahaan sehat
ataupun mengalami
kebangkrutan.
c.
Jika nilai Z 2,90 maka termasuk perusahaan yang tidak bangkrut
.
Jika dibandingkan antara kedua model Altman tersebut, model prediksi Altman pertama memberikan tingkat prediksi kebangkrutan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan model Altman revisi Ramadhani dan Lukviarman, 2009. Menurut Hanafi dan Halim 2009:273, model Altman
yang baru mempunyai kemampuan prediksi yang cukup baik sebesar 94 62 benar dari total sampel 66 sedangkan model Altman yang asli
pertama memiliki kemampuan prediksi sebesar 95 63 benar dari 66 total sampel. Berdasarkan hal tersebut, penelitian akan menggunakan
model Altman yang pertama. 2. Model Prediksi Springate
Penelitian yang dilakukan oleh Gordon L.V Springate 1978 menghasilkan model prediksi kebangkrutan yang dibuat dengan mengikuti
prosedur model Altman Prihanthini dan Sari, 2013:422. Springate mengkombinasikan empat rasio yang digunakan dalam memprediksi
adanya potensi kebangkrutan suatu perusahaan. Model ini memiliki rumus sebagai berikut:
S = 1,03 A + 3,07 B + 0,66 C +0,4 D Dimana:
A = Working Capital Total Asset B = Net Profit before Interest and Taxes Total Asset
C = Net Profit before Taxes Current Liabilities D = Sales Total Asset
Model Springate ini mengklasifikasikan perusahaan dengan skor S 0,862 merupakan perusahaan yang tidak berpotensi bangkrut, begitu
juga sebaliknya jika perusahaan memiliki skor S 0,862 diklasifikasikan sebagai perusahaan yang tidak sehat dan berpotensi untuk bangkrut.
3. Model Prediksi Zmijewski Menurut Prihanthini dan Sari 2013:423, model prediksi yang
dihasilkan oleh Zmijewski pada tahun 1983 merupakan hasil riset selama 20 tahun yang ditelaah ulang. Zmijewski menggunakan probit analisis
yang diterapkan pada 40 perusahaan yang telah bangkrut dan 800 perusahaan yang masih bertahan saat itu Hadi dan Anggraeni, 2008.
Model ini menghasilkan rumus sebagai berikut: X = -4,3 - 4,5X
1
+ 5,7X
2
– 0,004X
3
Dimana : X1 = ROA Return on Asset
X2 = Leverage Debt Ratio X3 = Likuiditas Current Ratio
Jika skor yang diperoleh sebuah perusahaan dari model prediksi kebangkrutan ini melebihi 0 maka perusahaan diprediksi berpotensi
mengalami kebangkrutan. Sebaliknya, jika sebuah perusahaan memiliki skor yang kurang dari 0 maka perusahaan diprediksi tidak berpotensi
untuk mengalami kebangkrutan. K. Kesalahan Tipe I dan II
Setiap model selalu terdapat kemungkinan salah prediksi dan perbedaan tingkat akurasi. Sulit untuk berharap ada alat prediksi dengan
akurasi 100. Alat prediksi dikatakan benar apabila antara yang diprediksi dengan aktualnya sama, sedangkan kesalahan terjadi apabila antara yang
diprediksi dengan aktualnya tidak sama. Kesalahan yang timbul dari alat prediksi terdiri dari Prihadi, 2010:334:
1. Kesalahan Tipe 1 Kesalahan dimana alat prediksi menyatakan tidak bangkrut ternyata
aktualnya bangkrut. 2. Kesalahan Tipe 2
Kesalahan dimana alat prediksi menyatakan bangkrut ternyata aktualnya tidak bangkrut.
Menurut Hanafi dan Halim 2005:264, kesalahan prediksi terdiri dari dua tipe yaitu kesalahan tipe I dan kesalahan tipe II seperti berikut ini:
Tabel 1. Tipe Kesalahan Prediksi
Diprediksi
Bangkrut Tidak Bangkrut
Kenyataan
Bangkrut Benar
Kesalahan Tipe I Tidak Bangkrut
Kesalahan Tipe II Benar
Sumber: Hanafi dan Halim L. Penelitian Terdahulu
Penelitian oleh Hadi dan Anggraeni 2008 melakukan perbandingan antara model Zmijewski, model Altman, dan model Springate untuk
mengetahui prediktor delisting terbaik pada Bursa Efek Indonesia BEI. Penelitian menggunakan semua data delisting BEI tahun 2003-2007 kecuali
data delisting bank.. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model Altman merupakan prediktor delisting terbaik, diikuti oleh model Springate dan model
Zmijewski. Penelitian oleh Prihanthini dan Sari 2013 dilakukan dengan
menggunakan model Grover, Altman Z-Score, Springate dan Zmijewski yang diterapkan pada perusahaan Food and Beverage yang masih tercatat di Bursa
Efek Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat akurasi tertinggi diraih model Grover kemudian disusul oleh model Springate, model Zmijewski, dan
terakhir model Altman Z-score. Penelitian oleh Raras 2014 menggunakan model prediksi Altman,
Wang dan Campbell, dan Springate dalam analisisnya untuk menguji apakah ketiga model analisis prediksi tersebut dapat digunakan untuk memprediksi
secara tepat perusahaan yang delisting dari Bursa Efek Indonesia karena kegagalan keuangan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada sampel
pembanding kecil, jika diurutkan berdasarkan tingkat akurasinya adalah Springate 1978, Altman 1984 dan Wang dan Campbell 2010. Sedangkan
untuk sampel pembanding besar, kesimpulannya bahwa Altman menempati urutan pertama, urutan kedua model prediksi Springate, sedangkan model
prediksi Wang dan Campbell berada diurutan terakhir.
23