Jika terdapat korelasi sempurna diantara sesama variabel bebas ini sama dengan satu, dari hasil Covariance Analysis menunjukan bahwa korelasi, nilai
output sektor industri dengan tenaga kerja adalah -0.009125, korelasi antara nilai output sektor industri dengan nilai investasi adalah 0.754099, korelasi antara nilai
output sektor industri dengan bahan baku adalah 0.803015, korelasi antara nilai output sektor industri dengan bahan bakar minyak adalah 0.299497, korelasi
antara nilai output sektor industri dengan listrik adalah 0.727367,. Korelasi antar peubah bebas tidak begitu kuat mendekati 1, maka diasumsikan tidak ada
multikolinieritas.
5.2.2. Analisis Kriteria Statistik dan Ekonomi
Untuk meliahat analisis kriteria statistik dilakukan 3 uji yaitu: analisis koefisien determinasi, uji F dan uji t. Analisis Koefisien Determinasi R²
digunakan untuk melihat untuk sejauh mana besar keragaman yang dapat diterangkan oleh variabel bebas terhadap variabel tak bebas. Uji t Uji Parsial
digunakan untuk melihat sejauh mana variabel bebas secara parsial berpengaruh pada variabel terikatnya Gujarati, 1999. Sedangkan Uji F digunakan untuk
melihat apakah variabel-variabel bebas secara serentak berpengaruh tergadap variabel terikatnya, Gujarati,1999.
Tabel 5.9 Analisis Statistik Fungsi Produksi
Variable Coefficient Prob.
TK 0.188658 0.1104
INV 0.879573 0.0086
BB -0.044993 0.3242
BBM 0.437649 0.0161
LSTRK 0.100395 0.0975
C -12.97975 0.0220
Adjusted R-squared 0.999129
ProbF-statistic 0.020457
Persamaan Fungsi Produksi: Ln_OUTPUT=
β1Ln_TK+β2Ln_INV+β3Ln_BB+β4Ln_BBM+β5Ln_LSTRK+β0 Ln_OUTPUT=0.188658Ln_TK+0.879573Ln_INV-0.044993Ln_BB+
0.437649Ln_BBM + 0.100395Ln_LSTRK - 12.97975
Koefisien betha sudah termasuk koefisien elastisitas.
Kelayakan model berdasarkan kriteria statistik ditentukan melalui dua pengujian yaitu uji serentak uji F dan uji parsial uji t. Uji F digunakan untuk
melihat apakah variabel-variabel bebas berpengaruh nyata secara bersama-sama terhadap variabel terikat. Uji t digunakan untuk mengetahui signifikasi pengaruh
masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikatnya. Artinya, untuk mengetahui signifikansi variabel yang berpengaruh terhadap output sektor industri
pengolahan, perlu dilakukan uji signifikasi dari masing-masing variabel tersebut. Pengujiannya dapat dilakukan dengan cara melihat nilai probability dari masing-
masing variabel tersebut. Kriteria ekonomi digunakan untuk menguji kesesuaian tanda dan
mengetahui besarnya pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat. Suatu model telah memenuhi kriteria ekonomi jika tanda parameter
dugaan variabel-variabel bebas sesuai dengan hipotesis. Besarnya pengaruh variabel-variabel bebas ditunjukan oleh besarnya elastisitas tersebut.
Dari Tabel 5.9 terlihat bahwa
nilai probabiltas uji F menunjukan nilai 0.020457. Nilai Probabilitas lebih kecil dari pada nilai sebesar 5 persen, artinya
model secara keseluruhan signifikan. Berdasarkan uji t tenaga kerja terhadap nilai output sektor industri pengolahan diperoleh t-hitung sebesar 5.711176, dan
probabilitas 0.1104 lebih besar daripada nilai sebesar 5 persen artinya tenaga
kerja tidak berpengaruh nyata terhadap nilai output sektor industri pengolahan. Pada uji t nilai investasi terhadap nilai output sektor industri pengolahan diperoleh
t-hitung sebesar 74.41391, dan probabilitas 0.0086 lebih kecil daripada nilai sebesar 5 persen artinya nilai investasi berpengaruh nyata terhadap nilai output
sektor industri pengolahan. Pada uji t bahan baku terhadap nilai output sektor industri pengolahan diperoleh t-hitung sebesar -1.790775, dan probabilitas 0.3242
lebih besar dari pada nilai sebesar 5 persen artinya bahan baku tidak berpengaruh nyata terhadap nilai output sektor industri pengolahan. Pada uji t
bahan bakar minyak terhadap nilai output sektor industri pengolahan diperoleh t- hitung sebesar 39.39976, dan probabilitas 0.0161 lebih kecil dari pada nilai
sebesar 5 persen artinya bahan bakar minyak berpengaruh nyata terhadap nilai output sektor industri pengolahan, sedangkan pada uji t listrik terhadap nilai
output sektor industri pengolahan diperoleh t-hitung sebesar 6.478789, dan probabilitas 0.0975 lebih besar dari pada nilai sebesar 5 persen artinya listrik
tidak berpengaruh nyata terhadap nilai output sektor industri pengolahan. Pada koefisien determinasi R
2
menunjukan pada taraf 99.98 persen. Artinya, keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor tenaga kerja, nilai
investasi, bahan baku, bahan bakar minyak dan listrik terhadap nilai output sebesar 99.98 persen sedangkan sisanya 0.02 persen mampu dijelaskan oleh faktor
lain di luar model. Pada uji kriteria statistik fungsi produksi menunjukan koefisien untuk nilai
investasi sebesar 0.879573. Artinya, setiap kenaikan 1 persen pada nilai investasi akan meningkatkan nilai output sebesar 0.879573 persen sedangkan koefisien
pada bahan bakar minyak sebesar 0.437649. Artinya, setiap penambahan 1 persen
pada penggunaan bahan bakar minyak akan meningkatkan nilai output sebesar 0.437649 persen. Pada tenaga kerja, bahan baku dan listrik tidak berpengaruh
nyata terhadap peningkatan nilai output. Perkembangan suatu industri di suatu daerah tidak terlepas dari
perkembangan faktor-faktor pendukung dalam proses produksi. Penggunaan input produksi yang meningkat seringkali dikaitkan dengan adanya indikator
peningkatan aktivitas produksi pada kegiatan industri di daerah tersebut, selama peningkatan aktivitas produksi diimbangi pula dengan peningkatan output pada
kegiatan produksi. Seiring perkembangan industri yang signifikan, proses efisiensi menjadi hal yang penting dalam kegiatan produksi, dimana penggunaan input
yang minim diharapkan mampu menghasilkan output yang besar yang pada akhirnya diharapkan pula menghasilkan pendapatan yang besar pula pada sektor
industri pengolahan. Pada tahun 2003 serta tahun 2007 terjadi penurunan yang signifikan pada
nilai output serta faktor-faktor produksi input pada sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya seperti yang ditunjukan pada Tabel 5.1 tentang perkembangan
nilai output sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya Halaman 56, Tabel 5.2 Halaman 57, serta Tabel 5.3 Halaman 58 tentang faktor-faktor produksi
input sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya. Penurunan nilai output serta faktor-faktor produksi input tersebut tidak terlepas dari kondisi ekonomi
global yang berdampak pada kinerja sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya pada tahun 2003 serta tahun 2007. Pada tahun 2003 terjadi gejolak
harga minyak dunia serta belum pulihnya kondisi perekonomian Indonesia secara umum yang berdampak pada penurunan kinerja sektor industri pengolahan.
Begitu pula dengan tahun 2007, krisis energi yang ditandai dengan melambungnya harga minyak dunia, krisis ekonomi di Amerika yang terjadi
secara tidak langsung telah berpengaruh pada kinerja sektor industri pengolahan di Indonesia serta Kota Tasikmalaya. Terjadinya kenaikan harga minyak dunia
serta krisis ekonomi yang terjadi di Amerika serta beberapa negara maju lainnya telah berdampak pada penurunan permintaan impor akan hasil produksi sektor
industri pengolahan di Indonesia maupun secara khusus di Kota Tasikmalaya. Penurunan permintaan impor berdampak pada pengurangan kapasitas produksi
yang akhirnya menurunkan juga pada nilai output yang dihasilkan serta penggunaan input yang dipergunakan. Begitu pula dengan nilai efisiensi yang
dicapai seperti yang ditunjukan oleh Gambar 5.2 Halaman 75, nilai efisiensi pada tahun 2003 serta tahun 2007 merupakan tahun terbaik dalam pencapaian
nilain efisiensi. Hal ini menunjukan bahwa para pelaku industri melakukan proses efisiensi yang ketat guna bertahan pada kondisi ekonomi yang sedang bergejolak.
Jika kita perhatikan pada Tabel 5.2 Halaman 57 tentang perkembangan faktor produksi tenaga kerja serta nilai investasi, seringkali pesatnya laju
pertumbuhan pada nilai investasi tidak mampu diimbangi oleh pesatnya laju pertumbuhan pada jumlah penyerapan tenaga kerja pada sektor industri
pengolahan. Pada Tabel 5.2 laju pertumbuhan rata-rata untuk jumlah penyerapan tenaga kerja sektor industri pengolahan sebesar 0.81 persen setiap tahunnya
sedangkan laju pertumbuhan pada nilai investasi mampu melaju sebesar 14.50 persen setiap tahunnya. Hal yang paling masuk akal untuk menjelaskan kondisi
tersebut adalah jenis industri yang berkembang di Kota Tasikmalaya adalah jenis industri padat modal, dimana faktor produksi investasi lebih dominan daripada
faktor produksi tenaga kerja. Tingginya kebutuhan nilai investasi pada sektor industri sebagai konsekuensi belanja teknologi sebagai kebutuhan dasar pada
kegiatan produksinya. Penggunaan teknologi modern dengan peran mesin-mesin yang semi otomatis maupun otomatis akan menggantikan peran tenaga kerja pada
kegiatan produksinya sehingga laju pertumbuhan pada jumlah tenaga kerja pada sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya cenderung lambat.
Begitu pula jika kita perhatikan pada penggunaan faktor-faktor produksi lainnya seperti bahan baku, bahan bakar minyak serta listrik. Penggunaan bahan
baku pada sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan laju pertumbuhan pertahunnya sebesar 4.23
persen. Pada penggunaan bahan bakar minyak selama periode tahun 2002 sampai 2008 cenderung mengalami penurunan dengan laju pertumbuhan sebesar -20.32
persen setiap tahunnya, sedangkan penggunaan listrik oleh sektor industri pengolahan mengalami hal yang sama seperti pada penggunaan bahan bakar
minyak dengan laju pertumbuhan sebesar -0.04. Peningkatan pada bahan baku pada sektor industri pengolahan
mengindikasikan telah terjadinya peningkatan aktivitas produksi pada sektor tersebut. Namun dengan penggunaan bahan bakar minyak yang cenderung
mengalami penurunan hal ini menguatkan dugaan pembahasan sebelumnya tentang jenis industri yang berkembang adalah jenis industri padat modal. Peran
bahan bakar minyak yang terus menurun mengindikasikan penggantian bahan bakar minyak sebagai sumber energi utama dalam proses produksi oleh bahan
bakar alternatif lainnya. Penggunaan energi listrik pun semakin menguatkan dugaan ini, meskipun laju pertumbuhan rata-rata selama periode penelitian
mengalami penurunan sebesar 0.04 persen setiap tahunnya, namun jika dilihat penggunaan setiap tahunnya terus mengalami peningkatan seiring dengan
penurunan yang terjadi pada penggunaan bahan bakar minyak. Hal ini bisa diasumsikan bahwa penggunaan bahan bakar minyak sebagai energi utama pada
sektor industri pengolahan digantikan oleh energi listrik sebagai bahan energi utamanya.
Pada koefisien elastisitas tenaga kerja dan koefisien nilai investasi pun semakin membuktikan bahwa jenis industri yang berkembang di Kota
Tasikmalaya adalah jenis industri padat modal. Nilai koefisien elastisitas pada nilai investasi berpengaruh nyata positif daripada nilai koefisien pada tenaga kerja
yang tidak berpengaruh nyata terhadap nilai output. Artinya, penambahan nilai investasi lebih berpengaruh terhadap peningkatan nilai output daripada tenaga
kerja. Namun hal yang berbeda ditunjukan pada nilai elastisitas bahan baku,
bahan bakar minyak dan listrik. Pada Tabel 5.9 Halaman 64, menunjukan bahwa faktor produksi bahan bakar minyak secara nyata berpengaruh signifikan terhadap
variabel dependennya daripada faktor bahan baku dan listrik. Artinya, setiap penambahan 1 persen bahan bakar minyak akan mampu meningkatkan output
daripada penambahan 1 persen pada bahan baku dan listrik. Lebih berpengaruhnya faktor produksi bahan bakar minyak daripada
faktor produksi listrik menandakan bahwa penggunaan bahan bakar minyak sebagai sumber energi utama dalam proses produksi pada industri pengolahan di
Kota Tasikmalaya. Hal ini memunculkan dugaan lain yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa jenis industri yang berkembang di Kota
Tasikmalaya adalah jenis industri padat modal, tetapi juga jenis industri yang berkembang di Kota Tasikmalaya adalah jenis industri padat karya.
Pada industri padat modal penggunaan mesin-mesin begitu dominan menggantikan peran manusia sebagai konsekuensi pengoperasian mesin-mesin
secara otomatis. Penggunaan mesin-mesin secara otomatis akan berdampak pula pada penggunaan listrik yang besar pada kegiatan produksi industri padat modal
sebagai sumber energi utamanya, sedangkan pada industri padat karya penggunaan bahan bakar minyak akan lebih dominan daripada penggunaan listrik
sebagai akibat dari penggunaan teknologi yang masih sederhana sehingga penggunaan bahan bakar minyak akan lebih besar daripada penggunaan listrik
sebagai energi utamanya. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa bukan hanya jenis industri padat modal yang berkembang di Kota Tasikmalaya tetapi juga jenis
industri padat karya. Perpaduan jenis industri padat modal serta padat karya merupakan salah
satu karakteristik dari jenis industri sekunder atau industri antara yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Artinya, industri yang berkembang di
Kota Tasikmalaya adalah jenis industri yang mengolah bahan setengah jadi hasil dari industri primer industri hulu menjadi bahan setengah jadi yang merupakan
input bagi industri tersier industri hilir. Pada Tabel 4.1, semakin membuktikan bahwa jenis industri yang berkembang di Kota Tasikmalaya adalah jenis industri
sekunder, karena pada Tabel 4.1 menunjukan bahwa 50 persen jenis industri menurut subsektor di Kota Tasikmalaya didominasi oleh suksektor industri tekstil.
Industri tekstil merupakan salah satu contoh dari industri sekunder atau industri antara, karena industri tekstil membutuhkan input dari industri hulunya berupa
benang, kain dan lain sebagainya dan akan menghasilkan output yang akan menjadi input bagi industri hilirnya seperti input yang dibutuhkan oleh industri
garmen.
5.3. Elastisitas Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Output Sektor Industri