Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri Di Pulau Jawa

(1)

1.1 Latar Belakang

Tujuan utama pembangunan ekonomi di negara berkembang adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan pencapaian kesejahteraan tersebut dapat diukur dengan sejauh mana suatu negara dapat menyelesaikan berbagai masalah yang sedang dihadapi. Salah satu masalah yang dihadapi oleh hampir seluruh wilayah di Indonesia adalah tingginya tingkat pengangguran. Permasalahan tersebut juga masih ditemui di Pulau Jawa meskipun wilayah tersebut sudah lebih maju dibandingkan wilayah lainnya di Indonesia. Data BPS (2011a, 2011b) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Pulau Jawa tahun 2010 mencapai 6,3 persen dengan rata-rata tingkat pengangguran sebesar 10,76 persen. Pertumbuhan ekonomi tinggi diharapkan dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih luas dan mengurangi penggangguran.

Menurut Lewis pertumbuhan dan perkembangan ekonomi suatu negara dapat dilakukan dengan meningkatkan pertumbuhan pada sektor industri. Industrialisasi merupakan mesin penggerak pertumbuhan ekonomi (Todaro dan Smith, 2006). Oleh karena itu, strategi industrialisasi sering digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan. Sektor industri pengolahan di Indonesia menjadi

leading sector sejak tahun 1990 (Wicaksono, 2009). Perkembangan industri dapat dilihat dari kontribusi sektor tersebut terhadap pendapatan nasional.


(2)

Pulau Jawa merupakan basis pertumbuhan sektor industri yang menyumbang 63,94 persen terhadap total pendapatan nasional sektor industri pada tahun 2010. Ketersediaan infrastruktur, sumberdaya manusia, serta peranan administrasi merupakan faktor penting yang mendorong pesatnya pertumbuhan sektor industri di Pulau Jawa. Pertumbuhan di Pulau Jawa diharapkan dapat berfungsi sebagai pendorong pertumbuhan nasional dan perangsang bagi pertumbuhan daerah-daerah lain di Indonesia (Kartasasmita, 1996).

Data BPS (2011)b menunjukkan bahwa di Pulau Jawa, sektor industri pengolahan menjadi sektor yang memiliki kontribusi paling besar dibandingkan sektor lainnya terhadap total PDRB. Pada tahun 2010, PDRB sektor industri pengolahan sebesar 380,7 Trilyun memberikan kontribusi sebesar 28,32 persen terhadap total PDRB di Pulau Jawa. Semakin berkembangnya sektor industri akan memberikan dampak secara tidak langsung terhadap penyerapan tenaga kerja. Namun peningkatan PDRB pada sektor industri di Pulau Jawa belum diimbangi dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja pada sektor tersebut. Walaupun sektor industri menyumbangkan nilai tambah yang paling besar dibandingkan sektor lainnya terhadap PDRB yaitu sebesar 28,32 persen tetapi sektor tersebut hanya mampu menyerap 17,19 persen tenaga kerja dari total tenaga kerja di Pulau Jawa. Tenaga kerja di Pulau Jawa lebih banyak bekerja pada sektor pertanian dan perdagangan seperti terlihat pada Gambar 1.


(3)

Industri Pengolahan 28.32% Perdagangan 24.03% Keuangan 11.35% Pertanian 10.29% Jasa Kemasyarakatan 9.30% Angkutan 7.96% Bangunan 5.90%

Listrik, Gas dan Air 1.46% Pertambangan 1.38%

(A) PDRB

Pertanian 30.10% Perdagangan 23.59% Industri Pengolahan 17.19% Jasa Kemasyarakatan 15.04% Angkutan 5.61% Bangunan 5.56% Keuangan 2.00% Pertambangan 0.68%

Listrik, Gas dan Air 0.22%

(B) Tenaga Kerja

Sumber: BPS, 2010

Gambar 1. Kontribusi PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000 dan penyerapan tenaga kerja menurut lapangan usaha di Pulau Jawa tahun 2010

Pertumbuhan sektor industri dipengaruhi oleh investasi yang ditanamkan pada sektor tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Ningrum (2008) menunjukkan bahwa investasi asing memiliki pengaruh yang signifikan terhadap


(4)

penyerapan tenaga kerja. Iklim investasi yang baik akan memberikan kesempatan yang lebih besar untuk pertumbuhan sektor industri dan pada akhirnya akan berkontribusi pada penyediaan lapangan pekerjaan. Memperbaiki iklim investasi merupakan salah satu tonggak dari strategi pembangunan. Namun, industri yang bersifat padat modal membuat investasi yang ditanamkan cenderung dipergunakan untuk pembelian modal yang berupa mesin mesin canggih sehingga pada akhirnya industri tidak banyak menggunakan banyak tenaga kerja.

Menurut Okun, terdapat hubungan yang negatif antara Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dengan pengangguran (Mankiw, 2007). PDB merupakan pendapatan total dan pengeluaran total nasional pada output barang dan jasa. Pada skala wilayah yang lebih kecil, total pendapatan dan total penggeluaran pada output barang dan jasa disebut sebagai Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Perubahan pada PDRB riil dari tahun ke tahun erat kaitannya dengan perubahan tingkat pengangguran. Peningkatan PDRB dapat menurunkan tingkat pengangguran.

Secara teori, peningkatan pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dengan asumsi investasi meningkat. Namun permasalahaan yang masih terjadi di Pulau Jawa adalah adanya ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran lapangan kerja. Penyediaan lapangan kerja yang besar diperlukan untuk mengimbangi pertumbuhan penduduk. Perbaikan kualitas sumberdaya manusia juga mutlak diperlukan karena merupakan modal pembangunan. Tersedianya tenaga kerja yang besar jika dimanfaatkan, dibina, dan dikerahkan untuk menciptakan tenaga kerja yang efektif akan menjadi modal yang besar dalam pelaksanaan pembangunan di berbagai sektor.


(5)

Penyerapan tenaga kerja juga tidak terlepas dari peranan pemerintah sebagai penyusun kebijakan yang mendukung terciptanya iklim investasi yang baik, standar penerimaan pendapatan untuk kesejahteraan tenaga kerja, serta strategi-strategi yang dilakukan demi tercapainya tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kebijakan pemerintah dalam menetapkan upah minimum provinsi juga sering menjadi alasan bagi pengusaha untuk lebih memilih industri yang padat modal. Stabilitas perekonomian juga diperlukan untuk menjamin perekonomian berjalan dengan lancar.

Permasalahan penyediaan kesempatan kerja di Pulau Jawa menjadi penting dengan kondisi penduduk yang terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Pertambahan penduduk membuat jumlah angkatan kerja di Pulau Jawa meningkat. Sektor industri yang memiliki nilai tambah paling besar dibandingkan sektor lainnya diharapkan dapat menyerap tenaga kerja yang lebih luas. Untuk mengantisipasi permasalahan pengangguran yang pada akhirnya akan mengganggu peroses pertumbuhan ekonomi, maka perlu dikaji faktor-faktor yang memengaruhi penyerapan tenaga kerja khususnya sektor industri.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul ”Faktor-faktor yang Memengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri di Pulau Jawa Tahun”.

1.2Rumusan Permasalahan

Masalah penyediaan lapangan pekerjaan merupakan salah satu masalah penting dalam pembangunan. Sektor industri di Pulau Jawa diharapkan mampu memberikan lapangan kerja yang lebih luas sehingga dapat mengurangi


(6)

pengangguran. Kontribusi nilai tambah sektor industri diharapkan diimbangi dengan penyerapan tenaga kerja yang lebih luas pada sektor tersebut. Ada banyak faktor yang memengaruhi penyerapan tenaga kerja sektor industri. Kebijakan pemerintah dalam menetapkan upah minimum provinsi sering menjadi alasan bagi pengusaha untuk lebih memilih industri yang padat modal. Iklim investasi yang baik juga akan membuat sektor tersebut berkembang dan pada akhirnya memberikan pengaruh yang baik terhadap penyerapan tenaga kerja jika penggunaannya sesuai dengan strategi industrialisasi yang bersifat padat tenaga kerja. Tantangan pemerintah yang paling berat adalah apakah pemerintah bisa selalu menjaga iklim investasi yang dapat mendorong pertumbuhan sektor industri. Penyerapan tenaga kerja yang masih relatif sedikit dibandingkan sektor pertanian menunjukkan pertumbuhan ekonomi pada sektor industri belum cukup untuk menyimpulkan bahwa sektor tersebut mampu menyerap banyak tenaga kerja. Kebijakan pemerintah yang terkait dengan penetapan standar upah dan penggunaan investasi juga memiliki peran dalam mendorong penciptaan lapangan kerja. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dapat ditarik rumusan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran perkembangan tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi, dan investasi pada sektor industri di Pulau Jawa?

2. Faktor- faktor apa saja yang memengaruhi penyerapan tenaga kerja sektor industri di Pulau Jawa?


(7)

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan, penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mengetahui gambaran perkembangan tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi, dan investasi pada sektor industri di Pulau Jawa.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang memengaruhi penyerapan tenaga kerja sektor industri di Pulau Jawa.

1.4Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini antara lain:

1. Bagi penulis, memberikan pengetahuan dan pemahaman yang mendalam mengenai faktor-faktor yang memengaruhi penyerapan tenaga kerja di sektor industri.

2. Bagi pemerintah, memberikan masukan kepada pemerintah yang terkait dengan pembangunan sektor industri dan penyerapan tenaga pada sektor tersebut sehingga dapat mengambil kebijakan yang tepat.

3. Bagi pembaca, diharapkan penelitian ini dapat membuka wawasan pembaca agar dapat menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan masalah penyerapan tenaga kerja sektor industri.

1.5Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah Pulau Jawa yang mencakup enam provinsi yaitu Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Banten.


(8)

2.1Pembangunan Ekonomi

Pembangunan menurut Todaro dan Smith (2006) merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Pembangunan merupakan tekad masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin melalui serangkaian kombinasi proses sosial, ekonomi dan institusional untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Proses pembangunan harus memiliki tiga tujuan inti yaitu:

1. Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai barang kebutuhan hidup yang pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, dan perlindungan keamanan.

2. Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan, tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan.

3. Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruahan, yakni dengan membebaskan mereka dari belitan sikap menghamba dan ketergantungan.


(9)

2.2 Perubahan Struktural

Teori perubahan struktural (struktural change theory) memusatkan perhatian pada mekanisme transformasi struktur perekonomian dalam negeri dari pola perekonomian pertanian subsisten tradisional ke perekonomian yang lebih modern serta memiliki sektor industri manufaktur yang lebih bervariasi dan sektor jasa-jasa yang lebih tangguh. Aliran pendekatan perubahan struktural ini didukung oleh ekonom-ekonom yang sangat terkemuka seperti W. Arthur Lewis yang terkenal dengan model teoritisnya tentang ”surplus tenaga kerja dua sektor ” (two sektor surplus labor) dan Hollis B. Chenery yang terkenal dengan analisis empiris tentang ”pola-pola pembangunan” (pattern of development). (Todaro dan Smith, 2006)

Model pembangunan menurut Lewis, perekonomian yang terbelakang terdiri dari dua sektor yaitu sektor tradisional pedesaan yang memiliki kelebihan tenaga kerja dan sektor industri perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi dan menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang ditransfer sedikit demi sedikit dari sektor subsisten. Model ini menekankan pada proses peralihan tenaga kerja serta pertumbuhan output dan peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor modern. Pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja dimungkinkan oleh adanya perluasan output pada sektor modern tersebut. Rangkaian proses pertumbuhan berkesinambungan (self-sustaining growth) dan perluasan kesempatan kerja di sektor modern tersebut diasumsikan akan terus berlangsung sampai semua surplus tenaga kerja pedesaan terserap habis oleh sektor industri. Transformasi struktural dengan sendirinya akan menjadi suatu


(10)

kenyataan, dan perekonomian pada akhirnya akan beralih dari perekonomian tradisional yang berpusat di pedesaan menjadi sebuah perekonomian industri modern yang berorientasi pada pola kehidupan perkotaan (Todaro dan Smith, 2006).

Analisis pola pembangunan (patterns of development analysis) Chenery memusatkan perhatian pada proses yang mengubah struktur ekonomi, industri, dan kelembagaan secara bertahap pada suatu perekonomian yang terbelakang, sehingga memungkinkan tampilnya industri-industri baru yang menggantikan kedudukan sektor pertanian sebagai penggerak roda pertumbuhan ekonomi. Studi empiris tentang proses perubahan struktural tersebut mengarah pada kesimpulan bahwa langkah dan pola pembangunan dapat berbeda-beda di setiap negara karena adanya perbedaan faktor-faktor domestik dan internasional (Todaro dan Smith, 2006).

2.3 Industri

Badan Pusat Statistik (2011) mendefinisikan industri sebagai cabang kegiatan ekonomi, sebuah perusahaan atau badan usaha sejenisnya dimana tempat seseorang bekerja yang diklasifikasikan berdasarkan Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI). Industri merupakan suatu usaha atau kegiatan pengolahan bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi yang memiliki nilai tambah untuk mendapatkan keuntungan.

Industri Pengolahan didefinisikan sebagai unit produksi yang menyangkut kegiatan ekonomi, produksi barang atau jasa, yang bertempat di suatu bangunan atau lokasi tertentu, struktur upah dan produksi, dan mempunyai satu orang atau


(11)

lebih yang bertanggung jawab atau menanggung resiko dari kegiatan tersebut. Industri dapat dikelompokkan menjadi industri kecil, sedang, dan besar. Klasifikasi industri berdasarkan besar kecil modal terdiri dari:

1. Industri padat modal, yaitu industri yang dibangun dengan modal yang jumlahnya besar untuk kegiatan operasional maupun pembangunannya

2. Industri padat karya, yaitu industri yang lebih dititik beratkan pada sejumlah besar tenaga kerja atau pekerja dalam pembangunan serta pengoperasiannya (www.organisasi.org)

2.4 Penyerapan Tenaga Kerja

Pengertian tenaga kerja menurut BPS (2010)c adalah Penduduk usia 15 tahun ke atas yang sedang bekerja, yang memiliki pekerjaan namun sementara tidak bekerja, seseorang yang tidak memiliki pekerjaan dan sedang mencari pekerjaan dikategorikan bekerja. Bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan tujuan memperoleh nafkah atau membantu memperoleh nafkah paling sedikit satu jam secara terus menerus selama seminggu yang lalu.

Ketenagakerjaan merupakan aspek yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia karena mencakup dimensi ekonomi dan sosial. Salah satu sasaran utama pembangunan Indonesia adalah terciptanya lapangan kerja baru dalam jumlah dan kualitas yang memadai agar dapat menyerap tambahan angkatan kerja yang memasuki pasar kerja setiap tahun. Keterlibatan penduduk dalam kegiatan ekonomi suatu negara dapat diukur dengan porsi penduduk yang masuk dalam pasar kerja (bekerja atau mencari pekerjaan). Kesempatan kerja memberikan gambaran besarnya jumlah penyerapan pasar kerja sehingga


(12)

angkatan kerja yang tidak terserap merupakan masalah suatu negara karena menganggur (Sitanggang, 2003). Penyerapan tenaga kerja menurut Rahardjo (1984) didefinisikan sebagai jumlah tenaga kerja yang terserap pada suatu sektor dalam waktu tertentu.

2.5 Teori Permintaan Tenaga Kerja

Dalam keseimbangan pasar tenaga kerja, upah riil melakukan penyesuaian untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan. Kekakuan upah riil menyebabkan rasionalisasi pekerjaan. Jika upah riil berada di atas tingkat keseimbangan, maka penawaran tenaga kerja melebihi permintaannya sehingga menyebabkan pengangguran (Mankiw, 2007).

Sumber: Mankiw, 2007


(13)

Permintaan tenaga kerja menurut Haryani (2002), berkaitan dengan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan oleh perusahaan atau instansi secara keseluruhan. Jumlah tenaga kerja yang diminta di pasar tenaga kerja ditentukan oleh faktor-faktor seperti: tingkat upah, teknologi, produktivitas, kualitas tenaga kerja, fasilitas modal, produk domestik regional bruto, dan tingkat suku bunga.

1. Tingkat Upah

Tingkat upah akan memengaruhi tingi rendahnya biaya produksi perusahaan. Biaya produksi yang tinggi meningkatkan harga produk yang pada akhirnya membuat permintaan terhadap produk berkurang. Kondisi ini memaksa produsen untuk mengurangi jumlah produk yang dihasilkan, yang selanjutnya juga dapat mengurangi permintaan tenaga kerja. Penurunan jumlah tenaga kerja akibat perubahan skala produksi disebut efek skala produksi (scale effect). Suatu kenaikan upah dengan asumsi harga barang-barang modal yang lain tetap, maka pengusaha mempunyai kecenderungan untuk menggantikan tenaga kerja dengan mesin. Penurunan jumlah tenaga kerja akibat adanya penggantian dengan mesin disebut efek subtitusi (subtitution effect).

2. Teknologi

Penggunaan teknologi dalam perusahaan akan memengaruhi berapa jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan. Kecanggihan teknologi saja belum tentu mengakibatkan penurunan jumlah tenaga kerja.


(14)

3. Produktivitas

Berapa jumlah tenaga kerja yang diminta dapat ditentukan oleh seberapa tingkat produktivitas dari tenaga kerja itu sendiri.

4. Kualitas Tenaga Kerja

Pembahasan mengenai kualitas ini berhubungan erat dengan pembahasan mengenai produktivitas. Tenaga kerja yang berkualitas menyebabkan produktivitas meningkat. Kualitas tenaga kerja ini tercermin dari tingkat pendidikan, keterampilan, pengalaman, dan kematangan tenaga kerja dalam bekerja.

5. Fasilitas Modal

Pada suatu industri, dengan asumsi faktor-faktor produksi yang lain konstan, maka semakin besar modal yang ditanamkan akan semakin besar permintaan tenaga kerja.

Fasilitas modal yang pada umumnya disebut sebagai penanaman modal atau investasi berasal dari 2 sumber, diantaranya:

a. Investasi Asing

Investasi asing atau biasa disebut Penanaman Modal Asing (PMA) adalah salah suatu bentuk penghimpunan modal guna menunjang proses pembangunan ekonomi yang bersumber dari luar negeri. Salvatore (1997) menjelaskan bahwa PMA terdiri atas:

1). Investasi portofolio (portofolio investment), yakni investasi yang melibatkan hanya aset-aset finansial saja, seperti obligasi dan saham, yang didenominasikan atau ternilai dalam mata uang nasional.


(15)

Kegiatan-kegiatan investasi portofolio atau finansial ini biasanya berlangsung melalui lembaga-lembaga keuangan seperti bank, perusahaan dana investasi, yayasan pensiun, dan sebagainya.

2). Investasi asing langsung (Foreign Direct Investment), merupakan PMA yang meliputi investasi ke dalam aset-aset secara nyata berupa pembangunan pabrik-pabrik, pengadaan berbagai macam barang modal, pembelian tanah untuk keperluan produksi, dan sebagainya. Wiranata (2004) berpendapat bahwa investasi asing secara langsung dapat dianggap sebagai salah satu sumber modal pembangunan ekonomi yang penting. Semua negara yang menganut sistem ekonomi terbuka, pada umumnya memerlukan investasi asing, terutama perusahaan yang menghasilkan barang dan jasa untuk kepentingan ekspor. Di negara maju seperti Amerika, modal asing (khususnya dari Jepang dan Eropa Barat) tetap dibutuhkan guna memacu pertumbuhan ekonomi domestik, menghindari kelesuan pasar dan penciptaan kesempatan kerja. Apalagi di negara berkembang seperti Indonesia, modal asing sangat diperlukan terutama sebagai akibat dari modal dalam negeri yang tidak mencukupi. Untuk itu berbagai kebijakan di bidang penanaman modal perlu diciptakan dalam upaya menarik pihak luar negeri untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Undang-undang yang mengatur PMA di Indonesia pertama kali ditetapkan berdasarkan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang kemudian disempurnakan oleh UU No. 11 Tahun


(16)

1970 juga mengenai Penanaman Modal Asing. Di dalam UU tersebut terdapat berbagai kemudahan yang dilengkapi dengan berbagai kebijakan dalam paket-paket deregulasi yang berkaitan dengan investasi asing. Hal ini dimaksudkan untuk lebih menarik investor dalam menanamkan modalnya untuk berinvestasi di Indonesia guna memenuhi kebutuhan sumber-sumber pembiayaan pembangunan.

b. Investasi Dalam Negeri

Investasi Dalam Negeri biasa dikenal dengan istilah Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) adalah bentuk upaya dalam rangka menambah modal guna menunjang pembangunan nasional maupun wilayah melalui investor dalam negeri. Modal yang diperoleh dari dalam negeri ini dapat berasal dari pihak swasta ataupun dari pemerintah. Undang-undang yang mengatur PMDN di Indonesia pertama kali ditetapkan berdasarkan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri yang kemudian disempurnakan oleh UU No. 12 Tahun 1970 juga mengenai Penanaman Modal Dalam Negeri.

6. Produksi Domestik Regional Bruto (PDRB)

Produk Domestik Regional Bruto (Gross Regional Domestic Product, GRDP) adalah total nilai atau harga pasar (market price) dari seluruh barang dan jasa akhir (final goods and services) yang dihasilkan oleh suatu perekonomian daerah selama kurun waktu tertentu (biasanya satu tahun). PDRB adalah konsep pengukuran tingkat kegiatan produksi dan ekonomi aktual suatu wilayah. PDRB merupakan salah satu ukuran atau indikator


(17)

yang secara luas digunakan untuk mengukur kinerja ekonomi daerah (regional economic performance) atau kegiatan makroekonomi daerah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa PDRB dapat dijadikan suatu indikator untuk mengetahui dan mengukur kondisi perekonomian maupun pertumbuhan ekonomi pada suatu wilayah pada kurun waktu tertentu.

Konsep PDRB dapat diartikan sebagai salah satu ukuran kemajuan dalam suatu masyarakat, karena dapat mencerminkan kemampuan atau keberhasilan masyarakat dalam memperoleh pendapatan. Disamping itu PDRB juga dapat digunakan untuk dijadikan bahan evaluasi dari hasil pembangunan ekonomi yang telah dilaksanakan baik oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat umum lainnya.

7. Suku Bunga dalam Investasi

Suku bunga menentukan jenis-jenis investasi yang akan memberikan keuntungan kepada para pemilik modal (investor). Para investor hanya akan menanamkan modalnya apabila tingkat pengembalian modal dari modal yang ditanamkan (return of investment), yaitu berupa persentase keuntungan netto (belum dikurangi dengan suku bunga yang dibayar) yang diterima lebih besar dari suku bunga. Seorang investor mempunyai dua pilihan di dalam menggunakan modal yang dimilikinya yaitu dengan meminjamkan atau membungakan uang tersebut (deposito), dan menggunakannya untuk investasi (Nainggolan, 2009).

Suku bunga kredit perbankan merupakan biaya opportunitas dalam pembentukan investasi oleh sektor bisnis, sehingga peningkatan suku bunga


(18)

kredit perbankan akan menurunkan tingkat investasi dan kemudian menurunkan pertumbuhan ekonomi. Penurunan intensitas persaingan bank akan meningkatkan penawaran kredit perbankan atau berasosiasi positif dengan struktur kredit perbankan. Peningkatan struktur kredit perbankan akibat penurunan intensitas persaingan bank akan meningkatkan investasi sektor riil dan kemudian mendorong pertumbuhan ekonomi (Bank Indonesia, 2007). Ramalan mengenai keuntungan dimasa depan akan memberikan gambaran pada investor mengenai jenis usaha yang prospektif dan dapat dilaksanakan dimasa depan dan besarnya investasi yang harus dilakukan untuk memenuhi tambahan barang-barang modal yang diperlukan. Dengan bertambahnya pendapatan nasional maka tingkat pendapatan masyarakat akan meningkat, daya beli masyarakat juga meningkat, total aggregat demand meningkat yang pada akhirnya akan mendorong tumbuhnya investasi lain (Nainggolan, 2009).

2.6 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh Prihartanti (2007) yang berjudul ”Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri di Kota Bogor” menunjukkan bahwa faktor-faktor yang signifikan memengaruhi penyerapan tenaga kerja pada sektor industri di Kota Bogor adalah upah riil, investasi rill, jumlah unit usaha. Upah riil berpengaruh negatif terhadap penyerapan tenaga kerja sektor industri. Peningkatan upah di sektor industri yang tidak disertai dengan meningkatnya penerimaan yang diperoleh perusahaan akan menyebabkan penyerapan tenaga kerja di sektor industri menurun. Peningkatan


(19)

nilai investasi akan meningkatkan jumlah perusahaan yang bergerak pada sektor industri sehingga menimbulkan peningkatan penyerapan akan tenaga kerja pada sektor industri. Dengan semakin banyaknya investor di Kota Bogor akan menyebabkan terjadinya peningkatan penyerapan tenaga kerja pada sektor industri. Bertambahnya jumlah unit usaha yang ada di Kota Bogor mengakibatkan semakin meningkatnya jumlah penyerapan tenaga kerja di sektor tersebut.

Hasil penelitian Kagami (2000) tentang perubahan struktur ekonomi dan kesempatan kerja sektor pertanian dan non pertanian di Sumatera Selatan menunjukkan bahwa kesempatan kerja sektor industri dipengaruhi oleh upah sektor industri, investasi sektor industri, jumlah perusahaan perindustrian, PDRB sektor industri, dan kesempatan kerja sektor pertanian. Analisis lebih lanjut menjelaskan bahwa kesempatan kerja sektor industri dipengaruhi secara nyata oleh variabel kesempatan kerja sektor pertanian. Sedangkan kesempatan kerja sektor industri tidak responsif terhadap tingkat upah, PDRB, dan Jumlah Perusahaan. Keluar masuknya tenaga kerja sektor industri tidak terlampau dipengaruhi oleh perubahan variabel-variabel tersebut.

Fudjaja (2002) melakukan penelitian tentang dinamika kesempatan kerja sektor pertanian dan industri di Sulawesi Selatan. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi kesempatan kerja sektor industri antara lain kesempatan kerja sektor pertanian, PDRB sektor industri tahun sebelumnya, jumlah perusahaan industri, angkatan kerja, dan kesempatan kerja sektor industri tahun sebelumnya.


(20)

Penelitian Wicaksono (2009) melakukan analisis pengaruh PDB sektor industri, upah riil, suku bunga riil, dan jumlah unit usaha terhadap penyerapan tenaga kerja pada industri pengolahan sedang dan besar di Indonesia tahun 1990-2008. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja pada sektor industri pengolahan dipengaruhi secara signifikan oleh PDB sektor industri dan upah riil. Kedua variabel tersebut berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja sektor industri.

2.7 Kerangka Pemikiran

Sektor industri pengolahan memberikan kontribusi yang besar terhadap pembentukan PDB di Indonesia. Industri pengolahan terkonsentrasi sebesar 61,05 persen di Pulau Jawa. Namun pada kenyataannya, penyerapan tenaga kerja pada sektor industri pengolahan ini relatif kecil daripada sektor pertanian dan sektor Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan, dan Hotel. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi di Pulau Jawa memerlukan perhatian khusus pada masalah pengangguran. Perkembangan sektor industri diharapkan mampu menyerap tenaga kerja yang banyak sehingga terjadi keseimbangan antara penawaran dan permintaan tenaga kerja pada pasar tenaga kerja.

Berdasarkan permasalahan yang sudah dijelaskan sebelumnya perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang dapat memengaruhi penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan literatur yang didapatkan penyerapan tenaga kerja bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain PDRB Sektor Industri, upah, dan investasi. PDRB merupakan indikator pertumbuhan ekonomi, dengan meningkatknya PDRB maka penyerapan tenaga kerja akan meningkat. Besarnya


(21)

investasi yang ditanamkan pada sektor ini juga akan mendukung berkembangnya industri sehingga akan meningkatkan permintaan terhadap tenaga kerja. Investasi didapatkan dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) Sedangkan kenaikan upah akan memberikan pengaruh yang negatif terhadap penyerapan tenaga kerja, karena jika upah naik, biaya produksi akan meningkat dan akan berdampak pada menurunnya permintaan terhadap tenaga kerja. Dengan diketahuinya faktor-faktor yang memengaruhi penyerapan tenaga kerja, dapat memberikan rekomendasi kebijakan terhadap pemerintah terkait dengan masalah pengangguran dan penyediaan lapangan pekerjaan. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat dijelaskan melalui Gambar 3.

Gambar 3. Kerangka pemikiran Tenaga Kerja

Variabel-variabel yang Diduga Memengaruhi Penyerapan Tenaga

Kerja Sektor Industri

Variabel-variabel yang Memengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri

Rekomendasi Kebijakan Penduduk Pembangunan Ekonomi

Industri

UMP

Investasi

Pemodelan Data Panel

PDRB Sektor Industri

PMA dan PMDN Sektor Industri Tenaga Kerja


(22)

2.8 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah yang sudah dijelaskan maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. PDRB sektor industri diduga berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja sektor industri

2. Upah Minimum Provinsi (UMP) riil diduga berpengaruh negatif terhadap penyerapan tenaga kerja sektor industri

3. investasi dalam negeri diduga berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja sektor industri

4. investasi asing diduga berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja sektor industri.


(23)

3.1. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan kementrian terkait. Data yang bersumber dari BPS adalah data tenaga kerja, upah, dan Produk Domestik Regional Bruto tahun 2003-2010. Data investasi berasal dari Badan Koordinasi Penanaman Modal.

3.2. Cakupan Penelitian

Penelitian ini menggunakan periode data tahun 2003-2010. Cakupan wilayah penelitian meliputi seluruh provinsi di Pulau Jawa yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Banten.

3.3. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan analisis sederhana yang digunakan untuk memaparkan perkembangan tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi, upah minimum provinsi dan investasi di seluruh provinsi di Pulau Jawa.

3.4. Analisis Model Regresi untuk Data Panel

Data panel menurut Gujarati (2004) merupakan suatu data cross-section (individu/sektor) yang disusun berdasarkan runtun waktu (time series). Struktur data panel menggabungkan antara data sektoral atau individu dan runtun waktu


(24)

yang biasanya berdiri sendiri menjadi sebuah satu kesatuan data. Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan data panel antara lain:

1. Semakin banyak jumlah observasi akan memperbesar derajat kebebasan (degree of freedom) dan menurunkan kemungkinan kolinearitas antar variabel bebas.

2. Penggunaan data panel memberikan kemungkinan untuk menganalisis karakteristik baik antar sektor atau individu maupun menurut waktu secara terpisah dengan proses estimasi yang simultan. Dengan kata lain, secara simultan akan dapat diestimasi karakteristik individu yang mencerminkan dinamika antar waktu dari masing masing variabel yang dianalisis. Analisis terhadap hasil estimasi menjadi lebih komprehensif dan mencakup hal-hal yang lebih mendekati realita.

3.4.1 Bentuk Model Regresi dengan Data Panel

Data panel adalah satu set observasi yang terdiri dari beberapa individu pada suatu periode tertentu. Observasi tersebut merupakan pasangan yit (variabel terikat) dengan xit (variabel bebas) dimana i menunjukkan individu, t menunjukkan waktu, dan j menunjukkan variabel bebas yang dinyatakan dalam sebuah persamaan berikut:

it xjit

yit  ... (3.1) i = urutan provinsi

t = tahun

Selain harus memenuhi asumsi klasik seperti non-autokorelasi, homoskedastisitas, dan non-multikolinearitas, terdapat beberapa asumsi tambahan untuk model


(25)

regresi data panel, yaitu tidak terdapatnya hubungan (korelasi) antara: (1) Individu satu dengan individu lainnya; (2) α dan it; dan (3) it dan xit. Ada tiga macam model estimasi data panel yaitu Pooled Model, Fixed Effect Model, Random Effect Model.

1. Pooled Model

Jika semua asumsi tersebut terpenuhi maka metode Ordinary Least Square (OLS) dapat digunakan untuk mengestimasi model untuk data panel yang disebut dengan Pooled Estimation. Metode ini mengasumsikan bahwa

intersept α dan slope β konstan, berlaku untuk seluruh individu. Persamaan pada estimasi menggunakan pooled least square dapat dituliskan dalam bentuk sebagai berikut:

Yit = α + βj xjit + μit ... (3.2) i = urutan provinsi

j = urutan variabel independen t = tahun

2. Fixed Effect Model

Fixed Effects Model memasukkan unsur variabel dummy sehingga intersept α bervariasi antar individu maupun antar unit waktu. Fixed effects model lebih tepat digunakan jika data yang diteliti ada pada tingkat individu atau apabila syarat (3) dilanggar, yaitu terdapat korelasi antara it dan xit. Spesifikasi Fixed effects model yang dibahas pada penelitian ini yaitu:


(26)

yang menggambarkan bahwa intercept dari individu berbeda-beda, tetapi model masih memiliki koefisien slope sama

3. Random Effect

Pada Random Effect, intersept α diintegrasikan ke dalam komponen error it

sehingga menjadi cross section error (αi), time series error (αt) dan combination error (αit). Random effect akan lebih tepat digunakan jika memang benar bahwa tidak ada hubungan antara it dan xit karena jika it dan xit berkorelasi maka estimasi menggunakan random effect model akan bias. (Judge, 1998). Model ini sering disebut sebagai juga Error Correction Model (ECM) dengan ide dasar:

Yit= β1i+ β2X2it+ β3X3it+ uit ... (3.4)

β1i = β1+ εi i = 1, 2, . . . ,N ... (3.5)

Yit = β1 + β2X2it+ β3X3it+ εi+ uit= β1+ β2X2it+ β3X3it+ wit ... (3.6)

wit= εi+ uit ... (3.7)

i~ N(0, 2) = komponen cross section error uit~ N(0, u2) = komponen time series error

E(εiuit) = 0 E(εiεj) =0 ( j )

E(uituis) = E(uitujt) = E(uitujs) =0 ( j ; t )

Error secara individual dan error secara kombinasi diasumsikan tidak berkolerasi.


(27)

3.4.2 Penyimpangan terhadap Asumsi Model Regresi

Tiga masalah yang seringkali muncul sehingga mengakibatkan asumsi dasar model regresi tidak terpenuhi yaitu multikolinearity, heteroskedastisity, dan autocorrelation.

1. Multikolinearity

Salah satu asumsi dasar model regresi adalah tidak ada hubungan linear antara variabel-variabel bebas dalam model. Cara untuk mendeteksi multicolinearity adalah dengan menghitung korelasi-korelasi antara dua variabel bebas. Jika korelasi lebih besar dari 0,8 maka multicolinearity merupakan masalah.

2. Heteroskedastisity

Asumsi dasar lainnya adalah varians dari error yang dihasilkan adalah konstan. Dampak heteroskedastisity adalah hasil uji t dan F dapat menjadi tidak berarti (tidak ada gunanya). Mendeteksi adanya heteroskedastisitas dapat dilakukan melalui paket program Eviews 6.0 dengan membandingkan sum square resid pada hasil estimasi weighted dan unweighted. Masalah heteroskedastisitas dapat diatasi dengan menggunakan metode white-heteroskedastisity.

Pada paket program Eviews 6.0 juga terdapat opsi yang memungkinkan untuk menghasilkan penduga yang dapat mengatasi masalah heteroskedastisity dan korelasi error antar individu dalam data yaitu opsi Cross Section SUR. Cross Section SUR akan melakukan koreksi


(28)

terhadap keberadaan heteroskedastisity dan korelasi error antar individu (Zellner’s dalam Hecth dan Haye, 2009).

3. Autocorrelation

Asumsi yang terakhir adalah tidak adanya korelasi antar error yang dihasilkan. Autocorrelation dapat memengaruhi efisiensi model. Cara mendeteksi Autocorelation adalah dengan uji Durbin Watson.

Hipotesis dalam pengujian autokorekasi adalah: H0: tidak ada Otokorelasi positif atau negatif

H1: terdapat masalah Otokorelasi positif atau negatif. Kriteria pengujian:

Sumber: Yamin, 2010

Gambar 4. Kriteria pengujian autokorelasi dengan Uji Durbin Watson

Tolak H0 bila

 Nilai d hitung atau nilai Durbin Watson Model lebih besar daripada nilai Durbin Watson table batas bawah (dL) yang berarti terdapat masalah otokorelasi positif (dw < dL)

d

0 d dU 2 4 - 4 - 4

Tolak H0

Ada masalah Otokorelasi positif

Tolak H0

Ada masalah Otokorelasi Tidak Tolak H0

tidak ada masalah Otokorelasi Tidak ada

kesimpulan

Tidak ada kesimpulan


(29)

 Atau, nilai d hitung ataunilai Durbin Watson Model terletak antara nilai (4–dL < dw < 4) yang berarti terdapat masalah otokorelasi negatif Tidak tolak H0 bila

 Nilai d hitung atau nilai Durbin Watson Model terletak antara nilai (dU < dw < 4-dU)

3.4.3 Pemilihan Model Terbaik

Berdasarkan asumsi model yang sudah dijelaskan sebelumnya akan dilakukan pemilihan model terbaik dengan menggunakan Uji Chow untuk memilih antara Pooled Model dan Fixed Effects Model (FEM) serta Uji Hausman untuk menentukan apakah Random Effects Model (REM) atau Fixed Effect Model yang lebih tepat digunakan.

1. Chow Test

Chow Test atau beberapa buku menyebutnya pengujian F Statistics adalah pengujian untuk memilih apakah model yang digunakan Pooled Least Square atau Fixed Effect. Seperti yang kita ketahui, terkadang asumsi bahwa setiap unit cross section memiliki perilaku yang sama cenderung tidak realistis mengingat dimungkinkan saja setiap unit cross section memiliki perilaku yang berbeda. Dalam pengujian ini dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut:

H0: Model Pooled Least Square H1: Model Fixed Effect


(30)

Dasar penolakan terhadap hipotesa nol adalah dengan menggunakan F-Statistik seperti yang dirumuskan oleh Chow:

) /( ) 1 /( ) ( K N NT URSS N URSS RRSS CHOW     

... (3.8) Dimana:

RRSS = Restricted Residual Sum Square URSS = Unrestricted Residual Sum Square N = Jumlah data cross section

T = Jumlah data time series K = Jumlah variabel penjelas,

Chow Test ini mengikuti distribusi F-statistik yaitu FN-1, NT-N-K. Jika nilai CHOW Statistics (F-Stat) hasil pengujian lebih besar dari F Tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol sehingga model yang digunakan adalah fixed effect model, begitu juga sebaliknya. Pengujian ini disebut sebagai Chow Test karena kemiripannya dengan Chow Test yang digunakan untuk menguji stabilitas dari parameter (stability test).

2. Hausman Test

Hausman Test adalah pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan kita dalam memilih apakah menggunakan fixed effect model atau random effect model. Seperti yang kita ketahui bahwa penggunaan model fixed effect model mengandung suatu unsur trade off yaitu hilangnya derajat kebebasan dengan memasukkan variabel dummy. Namun, penggunaan


(31)

metode random effect model pun harus memperhatikan ketiadaan pelanggaran asumsi dari setiap komponen galat.

Hausman Test dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut:

H0: Random Effects Model

H1: Fixed Effects Model.

Sebagai dasar penolakan Hipotesa nol maka digunakan statistik hausman dan membandingkannya dengan chi square.

Statistik hausman dirumuskan dengan:

b

 

M M

 

b

m  ' 01 1   ~ X2

 

K ... (3.9) Dimana  adalah vektor untuk statistik variabel fixed effect, b adalah vektor statistik variabel random effect, (M0) adalah matriks kovarians untuk dugaan FEM dan (M1) adalah matriks kovarians untuk dugaan REM.

3.5 Uji Statistik

1. Pengujian Koefisien Regresi Secara Simultan (Uji F-Statistik)

Uji-F digunakan untuk mengetahui tingkat signifikansi pengaruh variabel bebas secara serentak terhadap variabel tidak bebas. Adapun pengujiannya dilakukan dengan rumus sebagai berikut (Gujarati, 2004):

) ( 1 ( ) 1 ( ) 2 2 k n R k R F   

 ... (3.10)

F = Nilai F hitung

2


(32)

k = Banyaknya variabel dalam penelitian n = Banyaknya sampel

Dengan derajat kebebasan (df) = (k-1)(n-1) dan tingkat keyakinan 95% atau

α=0,05.

Hipotesis Statistik:

a. H0: bi = 0 (i = 0,1,...,n)

artinya variabel bebas (independent variable) yang bekerja secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap variabel tidak bebasnya (dependent variable)

b. H0: bi ≠ 0 (i = 0,1,...,n), atau sekurang-kurangnya satu koefisien variabel bebas tidak sama dengan nol

artinya variabel bebas (independent variable) yang bekerja secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel tidak bebasnya (dependent variable) Kriteria Pengujian:

a. H0 diterima jika F hitung ≤ F tabel, artinya variabel bebas (independent variable) yang bekerja secara bersama-sama tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel tidak bebasnya (dependent variable)

b. H0 ditolak jika F hitung > F tabel, artinya variabel bebas (independent variable) yang bekerja secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap variabel tidak bebasnya (dependent variable)


(33)

2. Pengujian Koefisien Regresi Secara Parsial (Uji t-Statistik)

Uji-t digunakan untuk mengetahui tingkat signifikansi pengaruh dari masing-masing variabel bebas terhadap variabel tidak bebas. Adapun pengujiannya dilakukan dengan rumus sebagai berikut (Gujarati, 2004):

Sbi bi

t  ... (3.11)

t = Nilai t hitung

i

b = Koefisien regresi variabel bebas ke-i

i

Sb = Kesalahan baku regresi/standar eror koefisien regresi variabel bebas ke-i Dengan derajat kebebasan (df) = (n-k) dan tingkat keyakinan 95% atau α = 0,05. Hipotesis Statistik:

a. H0: bi = 0 (i = 0,1,...,n)

artinya variabel bebas (independent variable) yang bekerja secara parsial atau individu tidak berpengaruh terhadap variabel tidak bebasnya (dependent variable)

b. H0: bi ≠ 0 (i = 0,1,...,n), atau sekurang-kurangnya satu koefisien variabel bebas tidak sama dengan nol

artinya variabel bebas (independent variable) yang bekerja secara parsial atau individu berpengaruh terhadap variabel tidak bebasnya (dependent variable)

Kriteria Pengujian:

a. H0 diterima jika t hitung negatif ≥ t tabel ≥ t hitung positif, artinya variabel bebas (independent variable) yang bekerja secara parsial atau individu tidak


(34)

berpengaruh secara signifikan terhadap variabel tidak bebasnya (dependent variable)

b. H0 ditolak jika t hitung negatif ≤ t tabel atau t hitung positif ≥ t tabel, artinya varibel bebas (independent variable) yang bekerja secara parsial atau individu berpengaruh secara signifikan terhadap variabel tidak bebasnya (dependent variable)

3. Uji Koefisien Determinasi (R²)

Nilai Uji R² mengukur kecocokan (goodnes of fit) dari persamaan regresi yaitu memberikan proporsi atau presentasi variasi total dalam variabel tidak bebas yang dijelaskan oleh variabel bebas atau merupakan suatu ukuran yang menunjukkan seberapa baik garis regresi sampel menggambarkan populasi. Atau dengan kata lain bahwa Uji R² digunakan untuk menghitung seberapa besar variasi dari variabel bebas yang dapat menjelaskan variasi dari variabel tidak bebas. Nilainya berkisar antara 0-1. Jika nilai R² sama dengan 1, maka variasi variabel bebas mampu menjelaskan 100 persen variasi variabel tidak bebas. Sebaliknya jika nilai R² sama dengan 0, maka variasi variabel bebas tidak mampu menjelaskan sedikitpun variasi variabel tidak bebas. Kecocokan model dikatakan

”lebih baik” jika nilai R² semakin dekat dengan 1.

4. Uji Elastisitas

Untuk mengetahui variabel mana yang paling berpengaruh dari variabel bebas terhadap variabel tidak bebas maka digunakan uji elastisitas, yaitu dengan membandingkan besarnya nilai koefisien beta dari variabel bebas yang terbesar.


(35)

3.6 Spesifikasi Model

Rancangan model yang akan diajukan adalah model regresi linear berganda dengan empat variabel bebas. Variabel independennya adalah jumlah tenaga kerja terserap pada sektor industri. Data yang diperoleh pada variabel-variabel tersebut memiliki satuan yang berbeda. Oleh karena itu, untuk memudahkan dalam mengolah data dan interpretasi hasil akhirnya, keempat variabel ini akan diubah bentuknya sehingga menjadi bentuk satuan yang sama, yaitu dalam persentase. Beberapa variabel akan diubah menjadi bentuk log natural sehingga koefisien hasil regresi diinterpretasikan sebagai elastisitas. Dengan model tersebut, diharapkan bahwa hasil regresi yang diperoleh akan lebih efisien dan mudah untuk diinterprestasikan.

Sesuai dengan keterangan di atas, maka model tersebut secara ekonometrika akan menjadi:

Ln (TK_INDit) = α + β1 ln(UMP_RIILit) + β2 ln(PDRB_INDit) + β3 (PMA_INDit) + β4 (PMDN_INDit)

Dimana:

TK_INDit = Jumlah tenaga kerja terserap pada sektor industri provinsi i tahun t (orang)

UMP_RIILit = Upah Minimum Provinsi Riil provinsi i tahun t (Rp/bulan) PDRB_INDit = Nilai PDRB sektor industri pada provinsi i tahun t (milyar

rupiah)

PMA_INDit = Persentase Nilai PMA sektor industri terhadap Total PMA provinsi i tahun t (persen)


(36)

PMDN_it = Persentase Nilai PMDN sektor industri terhadap Total PMDN provinsi i tahun t (persen)

3.7 Definisi Variabel Operasional

Definisi operasional variabel yang digunakan dalam model penelitian ini antara lain:

1) TK_IND

Variabel TK_IND merupakan variabel yang merepresentasikan penyerapan tenaga kerja sektor industri. Nilai variabel TK ini merupakan jumlah tenaga kerja terserap sektor industri pada provinsi i dan tahun t yang diperoleh dari hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) periode Agustus yang dilakukan oleh BPS.

2) PMA_IND

Variabel PMA_IND merupakan variabel yang merepresentasikan penanaman modal asing langsung pada sektor industri. Nilai variabel PMA_IND ini merupakan nilai PMA sektor indurti suatu provinsi selama satu tahun dibagi nilai total PMA. Nilai PMA sektor industri merupakan jumlah investasi asing riil yang meliputi investasi ke dalam aset-aset secara nyata berupa pembangunan pabrik-pabrik, pengadaan berbagai macam barang modal, pembelian tanah untuk keperluan produksi, dan sebagainya (tidak termasuk investasi portofolio). Data yang digunakan merupakan realisasi PMA berdasarkan ijin usaha yang diperoleh dari BKPM.


(37)

3) PMDN_IND

Variabel PMDN_IND merupakan variabel yang merepresentasikan penanaman modal domestik langsung pada sektor industri. Nilai variabel PMDN_IND ini merupakan nilai PMDN sektor industri suatu provinsi selama satu tahun dibagi nilai total PMDN. Nilai PMDN sektor industri merupakan jumlah investasi riil dalam negeri yang meliputi investasi ke dalam aset-aset secara nyata berupa pembangunan pabrik-pabrik, pengadaan berbagai macam barang modal, pembelian tanah untuk keperluan produksi, dan sebagainya (tidak termasuk portofolio). Data yang digunakan merupakan realisasi PMDN berdasarkan ijin usaha yang diperoleh dari BKPM.

4) PDRB_IND

Variabel PDRB_IND merupakan variabel yang merepresentasikan output sektor industri selama setahun pada suatu provinsi. Nilai variabel PDRB_IND ini merupakan jumlah PDRB sektor industri atas dasar harga konstan tahun 2000 pada provinsi i tahun t.

5) UMP_RIIL

Variabel UMP merupakan variabel yang merepresentasikan upah minimum riil pada suatu provinsi. Nilai variabel UMP ini merupakan nilai nominal UMP dibagi dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) tahun dasar tahun 2002.


(38)

4.1Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri

Ketenagakerjaan merupakan isu penting dalam sebuah aktivitas bisnis dan perekonomian Indonesia. Angkatan kerja, penduduk yang bekerja, dan angka pengangguran merupakan faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Kepadatan penduduk yang terus meningkat di Pulau Jawa, perlu menjadi perhatian khusus. Wilayah Pulau Jawa yang meliputi Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur memiliki daya tarik yang cukup kuat bagi penduduk di luar Pulau Jawa. Peluang kerja yang lebih besar di wilayah perkotaan di Pulau Jawa menjadi salah satu faktor pendorong pertumbuhan penduduk dari tahun ke tahun. Berdasarkan data strategis BPS (2011c), penduduk di Pulau Jawa meningkat dari 121,3 juta tahun 2000 menjadi 136,6 juta pada tahun 2010.

Pertambahan jumlah penduduk tersebut secara tidak langsung memengaruhi komposisi tenaga kerja di Pulau Jawa. Ketersediaan lapangan kerja yang relatif terbatas, tidak mampu menyerap para pencari kerja yang senantiasa bertambah setiap tahun seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Jumlah tenaga kerja yang terserap pada masing-masing sektor ekonomi dapat menjadi salah satu indikator untuk mengukur penyerapan tenaga kerja. Komposisi tenaga kerja terserap berdasarkan lapangan usaha utama di Pulau Jawa dapat dilihat pada Tabel 1. Sektor industri menempati urutan ketiga dalam memberikan kontribusi penyerapan tenaga kerja di Pulau Jawa. Kontribusi terhadap penyerapan tenaga


(39)

kerja lebih besar pada sektor pertanian dan perdagangan. Sektor industri pengolahan menyerap tenaga kerja sebesar 10,7 Juta orang tahun 2010 meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar 9,9 Juta orang. Tenaga kerja pada sektor perdagangan meningkat dari 14,6 Juta orang tahun 2009 menjadi 14,7 Juta orang pada tahun 2010. Sektor pertanian mengalami penurunan penyerapan tenaga kerja selama tiga tahun terakhir. Hal ini mengindikasikan sudah terjadi transformasi struktural dari masyarakat yang bertumpu pada pertanian tradisional menjadi masyarakat yang bekerja di sektor-sektor lain yang lebih modern.

Tabel 1. Penduduk yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama di Pulau Jawa tahun 2008-2010

Lapangan Usaha

Tahun

2008 2009 2010

orang Persen orang persen orang persen 1. Pertanian 19.544.313 32,26 19.749.603 31,9

8 18.811.094

30,10 2. Pertambangan 437.017 0,72 422.769

0,68 426.755

0,68 3. Industri 9.682.322 15,98 9.864.699 15,97 10.743.142 17,19 4. Listrik, Gas dan

Air 108.628 0,18 128.331 0,21 139.458 0,22 5. Bangunan 3.493.704 5,77 3.469.040 5,62 3.476.882 5,56 6. Perdagangan 14.204.811 23,45 14.640.629 23,7

1 14.744.746

23,59 7. Angkutan 3.889.173 6,42 3.925.542

6,36 3.505.996

5,61 8. Keuangan 1.087.612 1,80 1.051.439 1,70 1.253.080

2,00 9. Jasa 8.131.816 13,42 8.508.632 13,7

8 9.396.840

15,04 Total 60.579.396 100,00 61.760.684 100,00 62.497.993

100,0 0

Sumber: BPS, diolah.

Penyerapan tenaga kerja pada sektor industri masih belum memberikan hasil yang menggembirakan. PDRB sektor industri yang tinggi di Pulau Jawa diharapkan akan menghasilkan kesempatan kerja yang cukup luas. Namun pada


(40)

kenyataannya, sektor industri yang memiliki kontribusi yang paling tinggi dibandingkan sektor lainnya di Pulau Jawa, hanya mampu menyerap tenaga kerja sebesar 17,19 persen terhadap total tenaga kerja pada tahun 2010.

Gambar 5. menunjukkan perkembangan kontribusi tenaga kerja sektor industri dan total penyerapan tenaga kerja di Pulau Jawa. Penyerapan tenaga kerja mengalami penurunan pada tahun 2004, 2008, dan 2009. Penurunan yang terjadi pada tahun 2004 merupakan dampak krisis tahun 1998 yang menunjukkan bahwa pada saat itu stabilitas ekonomi masih belum berjalan dengan baik. Tahun 2005 sampai dengan 2007, kondisi perekonomian mulai stabil, investor mulai menanamkan modalnya di Pulau Jawa. Namun, kondisi ekonomi memburuk lagi akibat terjadinya krisis global pada tahun 2008 yang menyebabkan penyerapan tenaga kerja turun sampai dengan tahun 2009. Pada tahun 2010, perekonomian mulai pulih, dan menunjukkan peningkatan penyerapan tenaga kerja sektor industri yang cukup tinggi pencapai 17,19 persen.

14.50 15.00 15.50 16.00 16.50 17.00 17.50

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 16.59

15.73

16.47 16.39 16.54

15.98 15.97

17.19

Per

sen

Tahun


(41)

Gambar 5. Perkembangan kontribusi tenaga kerja sektor industri terhadap total tenaga kerja di Pulau Jawa tahun 2003-3010.

Penyerapan tenaga kerja sektor industri paling besar di Provinsi Jawa Barat. Jawa Barat memiliki wilayah kawasan industri yang lebih luas dibandingkan provinsi lainnya. Hal ini yang menyebabkan industri di wilayah tersebut dapat berkembang dan pada akhirnya dapat menciptakan peluang kerja yang lebih besar. Jumlah tenaga kerja sektor industri di provinsi ini mengalami peningkatan yang cukup tinggi dari tahun 2009 sebesar 3.073.499 orang menjadi 3.389.287 orang pada tahun 2010. Namun, jika dilihat dari rata-rata pertumbuhan selama tahun 2003 sampai dengan 2010, pertumbuhan tenaga kerja sektor industri paling tinggi terjadi di Provinsi Banten mencapai 7,33 persen per tahun dan paling rendah di Provinsi Jawa Tengah sebesar 0,12 persen per tahun.

Tabel 2. Penyerapan tenaga kerja sektor industri di Pulau Jawa menurut provinsi tahun 2009 dan 2010.

Provinsi 2009 2010

orang persen orang persen

DKI Jakarta 667.883 6,77 754.985 7,03

Jawa Barat 3.073.499 31,16 3.389.287 31,55 Jawa Tengah 2.656.673 26,93 2.815.292 26,21

DI Yogyakarta 237.240 0,24 247.093 2,30

Jawa Timur 2.385.686 24,18 2.482.563 23,11

Banten 843.718 8,55 1.053.922 9,81

Total 9.864.699 100,00 10.743.142 100,00

Sumber: BPS, diolah.

Keberhasilan dalam menciptakan lapangan pekerjaan tidak terlepas dari peranan pemerintah. Berbagai macam kebijakan yang diambil pemerintah setempat sangat memengaruhi pertumbuhan sektor industri dan penyediaan lapangan kerja yang memadai. Penggarapan proyek yang menyerap investasi baik asing maupun domestik meningkatkan jumlah tenaga kerja terserap. Perbaikan


(42)

infrastruktur yang selalu dilakukan setiap tahun mendorong tumbuhnya perekonomian yang pada akhirnya dapat mengurangi tingkat pengangguran.

Kebijakan pemerintah dalam menetapkan standar upah minimun juga akan memengaruhi penyerapan tenaga kerja. Upah minimum adalah suatu standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pekerja di dalam lingkungan usaha atau kerjanya. Karena pemenuhan kebutuhan yang layak di setiap propinsi berbeda-beda, maka disebut Upah Minimum Propinsi (UMP). Menurut Permen no.1 Th. 1999 Pasal 1 ayat 1, upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap. Upah ini berlaku bagi mereka yang lajang dan memiliki pengalaman kerja 0-1 tahun, berfungsi sebagai jaring pengaman, ditetapkan melalui Keputusan Gubernur berdasarkan rekomendasi dari Dewan Pengupahan dan berlaku selama 1 tahun berjalan.

UMP secara keseluruhan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. UMP paling tinggi adalah UMP DKI Jakarta yang mencapai Rp 1.118.000 per orang per bulan pada tahun 2010. Tingginya angka tersebut mempertimbangkan biaya hidup di Jakarta lebih tinggi dibandingkan biaya hidup di provinsi-provinsi lain di pulau Jawa. Peningkatan standar upah menunjukkan peningkatan yang cukup tajam di DKI Jakarta dan Banten dari tahun 2000 sampai 2011. UMP Jawa Timur dan Jawa Tengah masih relatif lebih rendah dibandingkan provinsi lainnya.

UMP riil merupakan UMP nominal dibagi dengan Indeks Harga Konsumen (IHK). UMP riil adalah standar upah minimum dengan


(43)

mempertimbangkan harga-harga yang berlaku. Perubahan upah riil akan memengaruhi permintaan terhadap tenaga kerja. Jika upah riil naik, biaya produksi yang diperlukan untuk memproduksi suatu produk menjadi lebih tinggi, akibatnya output yang dihasilkan berkurang dan berdampak pada berkurangnya permintaan terhadap tenaga kerja.

Perkembangan UMP riil di enam provinsi di Pulau Jawa menunjukkan peningkatan dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2010. UMP riil Provinsi DKI Jakarta lebih tinggi dibandingkat provinsi provinsi lainnya. Upah riil DKI Jakarta turun pada tahun 2006, berdampak pada peningkatan penyerapan tenaga kerja sebesar 9,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Namun berbeda dengan keadaan tenaga kerja pada sektor industri, pada tahun tersebut penyerapan tenaga kerja sektor industri turun sebesar 2,14 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya walaupun UMP riil di provinsi tersebut turun.

0 100000 200000 300000 400000 500000 600000 700000

R

u

p

iah

Tahun

DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Sumber: BPS (2005, 2009, dan 2010), diolah.


(44)

4.2Pertumbuhan Ekonomi Sektor Industri

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ukuran dari hasil pembangunan. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan pertumbuhan produksi barang dan jasa di suatu wilayah perekonomian dan dalam selang waktu tertentu. Produksi tersebut diukur dalam nilai tambah (value added) yang diciptakan oleh sektor-sektor ekonomi di wilayah bersangkutan yang secara total dikenal sebagai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Peningkatan PDRB akan meningkatkan jumlah tenaga kerja.

Pertumbuhan ekonomi pada sektor industri di Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa yang menciptakan kontribusi sebesar 63.94 persen terhadap total pendapatan nasional sektor industri. Kontribusi Pulau Jawa mulai menurun pada tahun 2008, seiring dengan kebijakan pemerintah yang mulai mengembangkan industri-industri di luar Pulau Jawa. Perkembangan kontribusi sektor industri di Pulau Jawa dapat dilihat pada Gambar 7.

62.72 65.13 64.22 63.95 61.50 62.00 62.50 63.00 63.50 64.00 64.50 65.00 65.50

2007 2008 2009 2010

P e rs e n Tahun Sumber: BPS (2011b), diolah.

Gambar 7. Perkembangan kontribusi PDRB sektor industri atas dasar harga konstan tahun 2000 di Pulau Jawa terhadap PDB sektor industri tahun 2007-2010.


(45)

Pertumbuhan ekonomi sektor industri di Pulau Jawa selama kurun waktu 2003 sampai dengan 2010 memperlihatkan pertumbuhan yang selalu positif meskipun pola pertumbuhan fluktuatif. Pertumbuhan mengalami beberapa periode peningkatan dan penurunan. Pertumbuhan naik dari tahun 2003 sampai dengan 2005 karena stabilitas ekonomi Indonesia terjaga dengan baik. Namun tahun 2006 dan 2007 menurun akibat adanya kenaikan harga minyak dunia pada akhir tahun 2005. Kondisi ini memengaruhi produksi pada sektor industri. Pertumbuhan mulai naik pada tahun 2008 kemudian turun pada tahun 2009 yang merupakan dampak terjadinya krisis global. Krisis global menyebabkan volume perdagangan dunia berkurang sehingga berdampak pada menurunnya permintaan terhadap barang-barang ekspor Indonesia. Keadaan tersebut memaksa industri di Indonesia termasuk industri-industri yang berada di Pulau Jawa mengurangi produksi dan akhirnya memperlambat pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa. Tahun 2010, industri mulai kembali bangkit dan masih tetap menjadi salah satu prioritas pembangunan dengan strategi-strategi pembangunan industri yang sustainable dan tahan terhadap krisis seperti terlihat pada Gambar 8.

Strategi pembangunan yang dilakukan pemerintah saat ini masih memberikan prioritas pembangunan pada sektor industri. Hal ini tertuang dalam dalam RPJM 2010-2014 dengan fokus sebagai berikut:

1. Penumbuhan populasi usaha industri 2. Penguatan struktur industri


(46)

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Per

sen

Tahun

PDRB

PDRB Sektor Industri

Sumber: BPS, diolah

Gambar 8. Pertumbuhan ekonomi dan industri atas dasar harga konstan tahun 2000 di Pulau Jawa tahun 2003-2010

Dalam RPJM 2010-2014 dituangkan juga tujuan dan sasaran strategis yang terkait dengan Kementrian Perindustrian. Salah satu tujuannya adalah tumbuhnya industri yang mampu menciptakan lapangan kerja yang besar dengan sasaran strategis yaitu bertambahnya investasi di industri-industri yang mempekerjakan banyak tenaga kerja.

PDRB sektor industri tahun 2010 paling besar di Provinsi Jawa Barat dengan sebesar 135,2 Trilyun rupiah menyumbang kontribusi sebesar 34 persen terhadap total PDRB sektor industri. Kontribusi paling rendah di Provinsi D. I. Yogyakarta sebesar 2.7 Trilyun seperti terlihat pada Tabel 3.


(47)

Sumber: BPS (2011b), diolah.

Pertumbuhan ekonomi sektor industri di masing-masing provinsi di Pulau Jawa ditunjukkan dalam Gambar 9. Jawa Barat mengalami pertumbuhan yang tinggi pada tahun 2008 dibandingkan dengan provinsi lainnya namun juga merosot lebih tajam pada tahun 2009.

DI Yogyakarta cenderung tidak terpengaruh krisis global pada tahun 2008, gambar menunjukkan saat provinsi lain mengalami kemerosotan pertumbuhan ekonomi yang cukup tajam, pertumbuhan ekonomi provinsi ini mampu bertahan bahkan mengalami peningkatan. Hal ini dindikasikan karena industri yang berkembang di provinsi tersebut adalah industri kecil dengan pangsa pasar lokal dengan modal domestik sehingga tidak terpengaruh gejolak yang terjadi akibat krisis tahun 2008.

Tabel 3. PDRB sektor industri atas dasar harga konstan tahun 2000 menurut provinsi di Pulau Jawa tahun 2009 dan 2010.

Provinsi

2009 2010

milyar rupiah persen milyar rupiah persen

DKI Jakarta 58.448 15,97 60.568 15,91

Jawa Barat 131.433 35,92 135.247 35,53

Jawa Tengah 57.444 15,70 61.390 16,13

DI Yogyakarta 2.611 0,71 2.794 0,73

Jawa Timur 83.300 22,76 86.901 22,83

Banten 32.708 8,94 33.779 8,87


(48)

-4.00 -2.00 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Per

sen

Tahun

DKI Jakarta Jawa Barat

Jawa Tengah DI. Yogyakarta

Jawa Timur Banten

Sumber: BPS, diolah.

Gambar 9. Pertumbuhan PDRB sektor industri atas dasar harga konstan tahun 2000 di Pulau Jawa tahun 2003-2010.

Pertumbuhan paling tinggi terjadi di provinsi Jawa Barat pada tahun 2008 sebesar 9,01 persen tetapi kemudian pertumbuhan menjadi negatif pada tahun 2009 karena pengaruh krisis. Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki tingkat pertumbuhan paling rendah diantara provinsi lainnya di Pulau Jawa pada tahun 2009. Rata-rata pertumbuhan paling tinggi di provinsi Jawa Tengah sebesar 5.76 persen.

Tabel 4. Nilai terendah, tertinggi, dan rata-rata pertumbuhan PDRB sektor industri tahun 2003-2010.

Kategori Provinsi DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa

Timur Banten Terrendah 0.14 -1.74 3.79 2.80 1.50 0.73 Tertinggi 5.74 9.01 8.80 6.39 5.43 6.86 Rata-rata 4.13 5.21 5.76 4.36 3.48 4.73


(49)

Pengembangan sektor industri di Pulau Jawa sebagai sektor unggulan yang diharapkan dapat menciptakan kesempatan kerja yang luas tidak terlepas dari campur tangan pemerintah. Mendorong tumbuhnya industri yang padat tenaga kerja merupakan sesuatu yang penting untuk mengatasi masalah pengangguran dan ketidakseimbangan penawaran dan permintaan terhadap tenaga kerja.

4.3Perkembangan Investasi Sektor Industri

Untuk memperoleh suatu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam proses pembangunan di Indonesia, terkumpulnya modal dalam bentuk investasi menduduki peranan yang sangat penting. Investasi bisa berasal dari dalam negeri yang dikenal dengan PMDN maupun pihak asing atau PMA.

Komposisi PMDN yang semula lebih memprioritaskan pada industri kecil, saat ini mulai diarahkan pada usaha untuk memperkokoh struktur industri dalam negeri, menciptakan mesin-mesin produksi dalam negeri, penyerapan tenaga kerja yang sebanyak-banyaknya, dan mengarahkan pembangunan industri yang merata di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa. Peran pihak asing juga diperlukan untuk menutupi kekurangan terhadap kebutuhan modal di Indonesia.

Konsentrasi penanaman modal masih terjadi di pulau jawa. Berdasarkan data realisasi investasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal tahun 2010, lebih dari 50 persen PMA dan PMDN berlokasi di Pulau Jawa. Beberapa faktor yang menyebabkan investor lebih memilih menanamkan modalnya di Pulau Jawa antara lain:

1. Investor lebih berorientasi terhadap pasar. Pulau Jawa dinilai memiliki kriteria tersebut mengingat sebagian besar penduduk Indoneia nerada di


(50)

pulau ini dan memiliki daya beli yang lebih baik dibandingkan daerah lainnya.

2. Pulau Jawa relatif memiliki fasilitas dan infrastruktur yang lebih baik yang akan berdampak pada biaya transportasi yang lebih murah dibandingkan wilayah di luar Pulau Jawa.

Pertumbuhan PMDN sektor industri selama 10 tahun terakhir menunjukkan nilai yang fluktuatif. Fluktuasi yang relatif lebih kecil sejak tahun 2006 menunjukkan iklim investasi di Indonesia lebih stabil dibandingkan tahun tahun sebelumnya. Penurunan yang cukup tajam pada saat krisis tahun 2008, namun investasi kembali tumbuh membaik seiring pemulihan perekonomian pasca krisis.

Perkembangan PMA sektor industri di Pulau Jawa pada dua tahun terakhir menunjukkan nilai yang semakin menurun. Penurunan investasi asing ini merupakan dampak terjadinya krisis global pada tahun 2008 yang berlanjut dengan terjadinya krisis Eropa yang masih terjadi sampai saat ini. Pada tahun 2005, tercatat pertumbuhan investasi sektor industri yang tinggi.


(51)

-100.00 -50.00 -50.00 100.00 150.00 200.00

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Per

sen

Tahun

PMDN PMA

Sumber: BKPM, diolah.

Gambar 10. Pertumbuhan PMA dan PMDN sektor industri di Pulau Jawa tahun 2003-2010.

Pada tahun 2009 PMDN tertinggi di Provinsi Banten sebesar 4.373,8 milyar rupiah dan pada tahun 2010 PMDN tertinggi bergeser ke Provinsi Jawa Timur sebesar 7.506,8 milyar rupiah. PMA sektor industri dialokasikan paling besar di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2009 dan 2010. Pada tahun 2010, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta hanya mendapatkan investasi asing sebesar 1 persen dari total investasi yang ditanamkan pada sektor industri di Pulau Jawa. Rendahnya investasi sektor industri di Jawa Tengah dan Provinsi DI Yogyakarta pada tahun 2010 mengindikasikan bahwa industri-industri yang berkembang di wilayah ini merupakan industri kecil yang hanya membutuhkan investasi sedikit namun dapat menggerakkan perekonomian sektor industri sehingga dapat menciptakan lapangan kerja yang cukup banyak. Hal ini dibuktikan dengan adanya pertumbuhan industri pada tahun 2010 meskipun investasi yang ditanamkan sangat sedikit. Angka pengangguran kedua provinsi tersebut juga


(52)

yang relatif rendah. Tingkat pengangguran DI Yogyakarta sebesar 6,02 persen dan Jawa Tengah sebesar 6,86 persen.

Tabel 5. Jumlah PMA dan PMDN sektor industri menurut provinsi di Pulau Jawa tahun 2009 dan 2010

Provinsi

2009 2010

PMA (US$. Juta)

PMDN (Rp. Milyar)

PMA (US$. Juta)

PMDN (Rp. Milyar)

DKI Jakarta 363,0 501,4 759,3 280,8

Jawa Barat 1493,0 4233,3 1160,3 5555,6

Jawa Tengah 167,9 2642,6 138,2 391,7

DI Yogyakarta 1183,9 32,5 386,9 0

Jawa Timur 75,5 2830,5 29,2 7506,8

Banten 1,7 4373,8 0,4 4130,7

Total 3285,0 14614,1 2474,3 17865,6

Sumber: BKPM, diolah.

Industri yang paling banyak mendapatkan modal dari dalam negeri dalam dua tahun terakhir adalah industri makanan. Pada tahun 2010, sebesar 63 persen PMDN sektor industri dialokasikan untuk industri makanan. Nilai PMDN untuk industri makanan meningkat cukup tajam dari 3304,20 milyar rupiah tahun 2009 menjadi 11409,20 milyar rupiah pada tahun 2010. Sedangkan industri yang lain, hampir seluruhnya mengalami penurunan nilai investasi antara lain industri tekstil, industri logam dasar, dan industri kimia dasar. Investor dalam negeri lebih memilih menanamkan investasi pada industri makanan. Industri lainnya yang cukup diminati investor domestik adalah industri kertas, kimia dasar dan farmasi, serta industri non logam mineral.


(53)

Tabel 6. Jumlah PMDN menurut jenis industri di Pulau Jawa tahun 2009 dan 2010

Jenis industri 2009 2010

Rp. Milyar persen Rp. Milyar persen Industri logam dasar, barang logam,

mesin dan elektronik 1367,80 9,36 362,10 2,03 Industri instrumen kedokteran,

Presisi, optik dan jam 0,00 0,00 0,00 0,00

Industri kayu 2,20 0,02 0,00 0,00

Industri kertas, barang dari kertas

dan percetakan 968,80 6,63 1064,90 5,96

Industri kimia dasar, barang kimia,

dan farmasi 3972,70 27,18 2312,20 12,94

Industri karet, barang dari karet dan

plastik 1231,50 8,43 503,40 2,82

Industri non logam mineral 786,10 5,38 1522,80 8,52 Industri alat angkutan dan

transportasi lainnya 66,50 0,46 278,40 1,56 Industri makanan 3304,20 22,61 11409,20 63,86 Industri tekstil 2645,70 18,10 396,40 2,22 Industri kulit, barang dari kulit, dan

sepatu 4,00 0,03 12,50 0,07

Industri lainnya 264,60 1,81 3,70 0,02

Jumlah 14614,10 100,00 17865,60 100,00

Sumber: BKPM, diolah.

Seperti halnya pada investasi domestik, investor asing juga lebih memilih menanamkan modalnya pada industri makanan. Industri makanan dinilai memiliki prospek yang cukup baik. Banyak investor tertarik pada industri makanan di Indonesia karena melihat peluang pasar domestik dan tingginya konsumsi masyarakat Indonesia. Industri yang juga menarik bagi investor asing adalah industri logam dasar, kimia dan farmasi, serta alat angkutan. Nilai investasi asing pada industri-industri tersebut cukup tinggi dibandingkan jenis industri lainnya.


(54)

Tabel 7. Jumlah PMA menurut jenis industri di Pulau Jawa tahun 2009 dan 2010

Jenis industri 2009 2010

US$. Juta persen US$. Juta persen

Industri logam dasar, barang logam,

mesin dan elektronik 507.9 16.03 507.9 20.75 Industri instrumen kedokteran,

Presisi, optik dan jam 4.9 0.15 1.3 0.05

Industri kayu 29.8 0.94 6.3 0.26

Industri kertas, barang dari kertas

dan percetakan 30.4 0.96 39.2 1.60

Industri kimia dasar, barang kimia,

dan farmasi 1125.4 35.52 396.4 16.19

Industri karet, barang dari karet dan

plastik 137.7 4.35 94.8 3.87

Industri non logam mineral 16.6 0.52 28.4 1.16 Industri alat angkutan dan

transportasi lainnya 541.3 17.08 370.9 15.15

Industri makanan 403.2 12.72 705.2 28.80

Industri tekstil 249.7 7.88 153.8 6.28

Industri kulit, barang dari kulit, dan

sepatu 121.8 3.84 144 5.88

Industri lainnya 116.3 3.67 26.1 1.07

Jumlah 3168.70 100.00 2448.20 100.00

Sumber: BKPM, diolah.

Berdasarkan data investasi yang sudah disajikan, industri tekstil menunjukkan angka yang menurun baik pada investasi asing maupun investasi domestik. Industri tekstil yang pernah menjadi salah satu industri yang dapat menyerap tenaga kerja banyak, saat ini sudah mengalami penurunan. Hal ini menyebabkan permasalahan penciptaan lapangan pekerjaan menjadi semakin penting. Pemerintah perlu mendorong industri ini agar tetap menjadi industri yang dapat diandalkan dengan melakukan strategi-strategi industri yang memanfaatkan


(55)

bahan baku dalam negeri sehingga industri ini tahan terhadap krisis dan pada akhirnya akan menciptakan kesempatan kerja yang lebih luas.

4.4Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri

Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini yaitu upah minimum provinsi riil (UMP_RIIL), PDRB sektor industri (PDRB_IND), proporsi investasi asing sektor industri terhadap total investasi asing (PMA_IND), proporsi investasi dalam negeri sektor industri terhadap total investasi dalam negeri (PMDN_IND). Penyusunan model data panel dilakukan dalam tiga tahap. Pertama, membandingkan pooled model dengan fixed effects model menggunakan uji Chow. Kedua membandingkan fixed effects model dengan random effects model menggunakan uji Hausman. Ketiga, membuat estimasi model atau persamaan dengan menentukan koefisien masing-masing variabel bebas. Software yang dipergunakan dalam pengolahan data penelitian adalah Eviews 6.0.

4.4.1 Pemilihan Model Terbaik

Hasil Uji Chow menunjukkan probability 0,0009 maka fixed effects model lebih sesuai digunakan dibandingkan pooled model. Hasil Uji Hausman menunjukkan nilai p-value sebesar 0,0000 maka fixed effects model lebih sesuai digunakan dibandingkan random effects model.


(56)

4.4.2 Uji Asumsi Klasik 1. Uji Normalitas

Uji normalitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah data residual yang diteliti berdistribusi normal atau tidak. Dengan asumsi kenormalan ini, maka akan didapatkan koefisien regresi yang bersifat linier tak bias terbaik (BLUE). Asumsi normalitas ini diperlukan dalam penelitian yang mempunyai tujuan untuk penaksiran dan pengujian hipotesis. Berdasarkan hasil Jarque-Bera test diperoleh nilai Probability Value) sebesar 0,067 pada Lampiran 2. Nilai Probability (P-Value) > 0,05 maka H0 diterima sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data residual yang diteliti berdistribusi normal.

2. Uji Multikolinearitas

Salah satu asumsi dasar model regresi adalah tidak ada hubungan linear antara variabel-variabel bebas dalam model. Untuk mengetahui ada tidaknya multikolinieritas antar variabel bebas salah satu caranya adalah dengan melihat nilai Correlation Matrix antar variabel bebas. Berdasarkan hasil analisis yang dapat dilihat pada Tabel 6, diperoleh nilai Correlation Matrix antar masing-masing variabel bebas sebesar kurang dari 0,8. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antar variabel bebas yang diteliti tidak terjadi multikolinearitas.

Tabel 8. Hasil uji multikolinearitas

Variabel PDRB_IND PMA_IND UMP_RIIL PMDN_IND

PDRB_IND 1 0,53 0,02 0,25

PMA_IND 0,53 1 -0,58 0,64

UMP_RIIL 0,02 -0,58 1 -0,53

PMDN_IND 0,25 0,64 -0,53 1


(57)

3. Uji Heteroskedastisitas

Asumsi heteroskedastisitas adalah asumsi dalam regresi dimana varians dari residual tidak sama untuk pengamatan satu ke pengamatan yang lain. Heteroskedastisitas dapat dilihat dengan membandingkan nilai sum squared resid pada weighted statistics dan unweight statistics. Nilai sum squared resid pada weighted statistics yang lebih kecil dari sum squared resid pada unweighted statistics maka terjadi heteroskedastisitas. Pada paket program Eviews 6.0, terdapat opsi yang memungkinkan untuk menghasilkan penduga yang dapat mengatasi masalah heteroskedastisity dalam data yaitu dengan white heteroskedastisity. Dengan menggunakan metode estimasi ini, hasil estimasi yang didapat sudah terlepas dari masalah heteroskedastisity.

4. Uji Autokorelasi

Asumsi yang terakhir adalah tidak adanya korelasi antar error yang dihasilkan. Cara mendeteksi Autocorelation adalah dengan uji Durbin Watson. Hasil Uji Durbin Watson dilakukan melalui program Eviews 6.0 dan menghasilkan nilai statistik Durbin Watson sebesar 1,96. Jika nilai berada antara 1,727 dan 2,273 maka data tersebut dinyatakan tidak ada korelasi antar error yang dihasilkan. Dengan demikian secara statistik, secara statistik dapat dinyatakan bahwa tidak ada pelanggaran asumsi autokorelasi.

4.4.3 Uji Statistik

Hasil penghitungan menunjukkan nilai R2 sebesar 0,9943 yang berarti bahwa upah minimum provinsi riil, PDRB sektor industri, proporsi investasi asing


(1)

LAMPIRAN 2

Hasil uji regresi berganda data panel menggunakan EViews 6.0 1. Uji Chow

Redundant Fixed Effects Tests Equation: ESTIMASI

Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 5.264501 (5,38) 0.0009

Cross-section Chi-square 25.263522 5 0.0001

2. Uji Hausman

Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: ESTIMASI

Test cross-section random effects

Test Summary

Chi-Sq.

Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.


(2)

68

3. Uji Heteroskedastisitas dan Autokorelasi

Dependent Variable: LN_TK

Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 11/19/11 Time: 01:26

Sample: 2003 2010 Periods included: 8

Cross-sections included: 6

Total panel (balanced) observations: 48

Linear estimation after one-step weighting matrix

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 2.697411 2.541499 1.061347 0.2952 PDRB_IND 0.254648 0.135064 1.885380 0.0670 UMP_RIIL 0.663339 0.255853 2.592657 0.0134 PMA_IND -0.000134 0.001051 -0.127704 0.8991 PMDN_IND -0.000342 0.000542 -0.632473 0.5309

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)

Weighted Statistics

R-squared 0.994343 Mean dependent var 50.21975 Adjusted R-squared 0.993004 S.D. dependent var 31.92322 S.E. of regression 0.302331 Sum squared resid 3.473359

F-statistic 742.2010 Durbin-Watson stat 1.957149

Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.878447 Mean dependent var 13.87953 Sum squared resid 5.455332 Durbin-Watson stat 2.652614


(3)

4. Hasil Regresi Data Panel

Dependent Variable: LN_TK

Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 11/19/11 Time: 01:26

Sample: 2003 2010 Periods included: 8

Cross-sections included: 6

Total panel (balanced) observations: 48

Linear estimation after one-step weighting matrix

White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 2.697411 2.489998 1.083298 0.2855 PDRB_IND 0.254648 0.081384 3.128967 0.0034 UMP_RIIL 0.663339 0.237935 2.787895 0.0082 PMA_IND -0.000134 0.000905 -0.148290 0.8829 PMDN_IND -0.000342 0.000465 -0.735942 0.4663

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)

Weighted Statistics

R-squared 0.994343 Mean dependent var 50.21975 Adjusted R-squared 0.993004 S.D. dependent var 31.92322 S.E. of regression 0.302331 Sum squared resid 3.473359 F-statistic 742.2010 Durbin-Watson stat 1.957149 Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.878447 Mean dependent var 13.87953 Sum squared resid 5.455332 Durbin-Watson stat 2.652614


(4)

70

5. Uji Normalitas

0 2 4 6 8 10 12

-1.0 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 -0.0 0.2 0.4 0.6

Series: Standardized Residuals Sample 2003 2010

Observations 48

Mean -7.17e-17 Median 0.016535 Maximum 0.676882 Minimum -0.900302 Std. Dev. 0.271848 Skewness -0.260619 Kurtosis 4.559482 Jarque-Bera 5.407346 Probability 0.066959


(5)

Pulau Jawa merupakan basis pertumbuhan sektor industri yang menyumbang 63,94 persen terhadap total pendapatan nasional sektor industri pada tahun 2010. Ketersediaan infrastruktur, sumberdaya manusia, serta peranan administrasi merupakan faktor penting yang mendorong pesatnya pertumbuhan sektor industri di Pulau Jawa. Meskipun sektor industri menyumbangkan nilai tambah yang paling besar dibandingkan sektor lainnya terhadap PDRB yaitu sebesar 28,32 persen tetapi sektor tersebut hanya mampu menyerap 17,19 persen tenaga kerja dari total tenaga kerja di Pulau Jawa. Permasalahan penyediaan kesempatan kerja di Pulau Jawa menjadi penting dengan kondisi penduduk yang terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Pertambahan penduduk membuat jumlah angkatan kerja di Pulau Jawa meningkat. Kondisi ini akan menyebabkan permasalahan pada tidak seimbangnya permintaan dan penawaran terhadap tenaga kerja. Sektor industri yang memiliki nilai tambah paling besar dibandingkan sektor lainnya diharapkan dapat menyerap tenaga kerja yang lebih luas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi dan investasi sektor industri. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi tenaga kerja sektor industri di Pulau Jawa.

Penelitian ini menggunakan data sekunder tahun 2003 sampai dengan 2010 meliputi data PDRB, upah minimum provinsi yang bersumber dari Badan Pusat Statistik dan investasi yang bersumber dari Badan Koordinasi Penanaman Modal. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Deskriptif dan Analisis Regresi Data Panel. Analisis Deskriptif digunakan untuk melihat perkembangan penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi, dan investasi pada sektor industri. Analisis Regresi Data Panel digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi penyerapan tenaga kerja sektor industri.

Berdasarkan hasil penelitian, penyerapan tenaga kerja sektor industri di Pulau Jawa menempati urutan ketiga setelah sektor pertanian dan perdagangan. Pola pertumbuhan ekonomi sektor industri di Pulau Jawa tahun 2003 sampai dengan 2010 memperlihatkan pertumbuhan yang selalu positif. Sektor industri mengalami beberapa kali periode penurunan dan peningkatan. Investasi dalam negeri pada sektor industri menunjukkan pola fluktuatif dari tahun 2003 sampai dengan 2010, sedangkan investasi asing menunjukkan pola yang semakin menurun selama dua tahun terakhir. Industri yang paling diminati oleh investor adalah industri makanan. Industri makanan memiliki potensi yang besar untuk berkembang.

Hasil analisis data panel menunjukkan secara keseluruhan upah minimum provinsi riil, PDRB sektor industri, investasi asing sektor industri, investasi dalam negeri sektor industri signifikan berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja sektor industri dengan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. Secara parsial, PDRB sektor


(6)

industri dan upah minimum provinsi berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja sektor industri. Investasi sektor industri baik dalam negeri maupun luar negeri tidak signifikan memengaruhi penyerapan tenaga kerja sektor industri.

Intervensi dari pemerintah diperlukan agar harapan terciptanya penyerapan tenaga kerja yang besar pada sektor industri dapat terwujud. Pemerintah harus mendorong pertumbuhan sektor industri agar output atau produksi yang dihasilkan menjadi lebih tinggi dengan cara mempermudah perizinan mendirikan perusahaan dan meningkatkan ekspor barang-barang produksi industri. Pemerintah juga harus menjaga pasar domestik khususnya pada pasar industri makanan dengan membatasi impor makanan dari luar negeri agar industri makanan dapat berkembang. Penetapan standar upah minimum perlu dilakukan secara tepat sampai batas tingkat upah tertentu yang tidak merugikan perusahaan industri.