Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Output Sektor Industri Pengolahan Kota Tasikmalaya Periode Tahun 2002-2008

(1)

OLEH

DEPY MUHAMAD PAUZY H14070045

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

DEPY MUHAMAD PAUZY. Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Output Sektor Industri Pengolahan Kota Tasikmalaya Periode Tahun 2002-2008 (dibimbing oleh TANTI NOVIANTI).

Kegiatan pembangunan industri bertujuan untuk menyediakan bahan-bahan kebutuhan pokok masyarakat, meningkatkan pendapatan masyarakat, menyediakan lapangan perkerjaan, menaikan devisa negara serta menaikan prestise nasional. Kegiatan industri merubah wajah suatu negara dari negara agraris menjadi wajah yang disebut dengan negara modern. Karakteristik negara agraris ditandai dengan tenaga kerja yang melimpah dan sebagian besar mengganggur sedangkan negara industri ditandai dengan padat modal dan padat karya serta pengangguran yang relatif sedikit.

Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya mempunyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian Kota Tasikmalaya. Berdasarkan pada PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000, sektor industri pengolahan memberikan kontribusi paling tinggi kedua pada PDRB Kota Tasikmalaya setelah sektor perdagangan, hotel dan restoran. Perkembangan sektor industri pengolahan tidak terlepas dari semua perkembangan faktor-faktor produksi yang mempengaruhinya. Selama periode penelitian faktor-faktor produksi yang mencakup tenaga kerja, nilai investasi, bahan baku, bahan bakar minyak dan listrik menunjukan fluktuasi pada penggunaannya meskipun dengan kecenderungan yang berbeda-beda. Laju pertumbuhan pada tenaga kerja, nilai investasi serta bahan baku mampu melaju positif sedangkan laju pertumbuhan pada bahan bakar minyak dan listrik menunjukan hal yang sebaliknya.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor-faktor produksi (tenaga kerja, nilai investasi, bahan baku, bahan bakar minyak dan listrik) terhadap pencapaian nilai output, menganalisis elastisitas dan skala usaha (return to scale) dengan menggunakan pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglas, serta menganalisis nilai tambah, efisiensi serta produktivitas tenaga kerja dari industri pengolahan di Kota Tasikmalaya. Adapun metode analisis yang digunakan yaitu metode analisis regresi berganda dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Data diolah dengan menggunakan perangkat lunak (software) E-Views 6 dan Microsoft Office Excel2007.

Hasil penelitian ini menunjukan faktor produksi yaitu investasi serta bahan bakar minyak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependennya. Berbeda dengan faktor produksi tenaga kerja, bahan baku dan listrik yang tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependennya. Pada analisis skala usaha (return to scale) menunjukan kondisi increasing return to scale, artinya laju pertumbuhan output lebih besar dari laju pertumbuhan input.


(3)

Oleh

DEPY MUHAMAD PAUZY H14070045

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(4)

Periode Tahun 2002-2008 Nama Mahasiswa : Depy Muhamad Pauzy

NIM : H14070045

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Tanti Novianti, M.Si NIP. 1972 1117 1998022005

Mengetahui, Ketua Departemen

Dedi Budiman Hakim, Ph.D NIP. 1964 1022 1989031003


(5)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Juli 2011

Depy Muhamad Pauzy H14070045


(6)

Penulis bernama Depy Muhamad Pauzy lahir tanggal 19 Juni 1989 di Ciawi, Tasikmalaya, sebuah kota kecil di Provinsi Jawa Barat. Penulis merupakan anak ke-2 dari tiga bersaudara, dari pasangan H. Ade Sopyan dan Hj. Siti Rokayah, S.Pd. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Kurniabakti, kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Ciawi dan lulus pada tahun 2004. Pada Tahun yang sama penulis melanjutkan sekolah ke SMA Negeri 1 Tasikmalaya dan lulus pada tahun 2007.

Pada tahun 2007 penulis meninggalkan kota tercinta untuk melajutkan studinya ke jenjang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir, sehingga sumber daya berguna bagi pembangunan kota tercinta. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi Himalaya (Himpunan Mahasiswa Tasikmalaya).


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Judul skripsi ini adalah “Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Output Sektor Industri Pengolahan Kota Tasikmalaya Periode Tahun 2002-2008”. Industri merupakan topik yang menarik karena sebagian besar perekonomian Indonesia ditopang oleh sektor ini. Karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terkait dengan industri, khususnya di daerah Kota Tasikmalaya. Disamping hal tersebut, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Kedua orang tua penulis, Bapak H. Ade Sopyan dan Hj. Siti Rokayah, S.Pd,

yang telah memberikan doa dan restu kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

2. Asep Diki Purniawan, S.E dan Aneta. R, S.E selaku kakak yang telah memberikan semangat dan dorongannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

3. Tanti Novianti, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan semangat kepada penulis selama proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.

4. Dr. Sri Mulatsih selaku dosen penguji utama yang telah memberikan banyak saran yang membangun demi kebaikan skripsi ini.

5. Ranti Wiliasih selaku dosen penguji komisi pendidikan yang turut memberikan saran atas berbagai penulisan skripsi.

6. Resti Lestari yang telah memberikan semangat dan bantuan terhadap penyelesaian skripsi ini.

7. Dedi Budiman Hakim, Ph.D sebagai ketua Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB.

8. Seluruh staf TU Departemen Ilmu Ekonomi, FEM IPB atas bantuan yang diberikan demi kelancaran seminar dan sidang skripsi ini.


(8)

9. Irvan Prasetya dan Dian Nurdiana yang telah bersedia menjadi teman diskusi penulis selama proses penyelesaian skripsi ini.

10. Yaya Sunarya atas semangat dan motivasi yang diberikan kepada penulis. 11. Yuhana Rahayu dan Ari Kusuma atas segala saran yang diberikan selama

proses penyelesaian skripsi ini.

12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan. Besar harapan penulis agar penelitian ini memiliki manfaat bagi pembaca.

Bogor, Juli 2011

Depy Muhamad Pauzy


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Kegunaan Penelitian ... 7

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Tinjauan Teoritis ... 9

2.1.1. Industri ... 9

2.1.2. Industri Pengolahan ... 11

2.1.3. Pengertian Produksi ... 15

2.1.3.1.Konsep Fungsi Produksi ... 17

2.1.3.2. Faktor-Faktor Produksi ... 23

2.1.4. Fungsi Produksi Cobb-Douglas ... 26

2.1.5. Skala Usaha (Return to Scale) ... 30

2.1.6. Nilai Tambah dan Efisiensi ... 32


(10)

2.2. Tinjauan Empiris ... 34

2.2.1. Penelitian Terdahulu ... 34

2.2.2. Kerangka Pemikiran Konseptual ... 36

III. METODE PENELITIAN ... 38

3.1. Jenis dan Sumber Data ... 38

3.2. Metode Analisis ... 39

3.2.1. Analisis Fungsi Produksi Cobb-Douglas ... 39

3.2.2. Analisis Nilai Tambah dan Efisiensi ... 40

3.2.3. Analisis Regresi Berganda ... 41

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN DI KOTA TASIKMALAYA ... 49

4.1. Gambaran Umum ... 49

4.1.1. Letak Geografis ... 49

4.1.2. Gambaran Perekonomian Kota Tasikmalaya ... 50

4.2. Gambaran Umum Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya .. 52

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56

5.1. Perkembangan Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya ... 56

5.1.1. Perkembangan Output Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya ... 56

5.1.2. Perkembangan Faktor-Faktor Produksi (Input) Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya ... 57

5.2. Hasil Estimasi Model Persamaan Regresi Fungsi Produksi Cobb-Douglas ... 60

5.2.1. Analisis Ekonometrika ... 61

5.2.2. Analisis Statistik dan Kriteria Ekonomi ... 64

5.3. Elastisitas Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Output sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya ... 72


(11)

5.4. Skala Usaha (Return to Scale) Industri Pengolahan di Kota

Tasikmalaya ... 73

5.5. Nilai Tambah Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya ... 74

5.6. Efisiensi Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya ... 75

5.7. Produktivitas Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya ... 75

5.8. Peran Pemerintah daerah Kota Tasikmalaya dalam Upaya Pengembangan Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya ... 76

5.8.1 Kebijakan Sektoral ... 77

5.8.2 Kebijakan Anggaran ... 78

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

6.1. Kesimpulan ... 81

6.2. Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 84


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1.1. PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 dan Persentase PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Kota Tasikmalaya dan Kabupaten

Tasikmalaya Tahun 2008 ... 2

1.2. Perkembangan Nilai Input dan Output Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Tahun 2006-2008 ... 5

2.1. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2009 Sektor Industri Penolahan Non-Migas ... 14

4.1. Jumlah Industri Besar atau Sedang Persubsektor Kota Tasikmalaya Tahun 2008 ... 52

5.1. Perkembangan Output Sektor Industri Pengolahan Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2002-2008 ... 56

5.2. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Investasi Sektor Industri Pengolahan Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008 ... 57

5.3. Perkembangan Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Sektor Industri Pengolahan Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008 ... 58

5.4. Perkembangan Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Sektor Industri Pengolahan Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008 ... 59

5.5. Uji Kenormalan ... 60

5.6. Heteroskedasticity Test: White ... 61

5.7. Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test ... 62

5.8. Covariance Analisys ... 63

5.9. Analisis Kriteria Statistik Fungsi Produksi ... 64

5.10. Realisasi Belanja Daerah Dinas Perindustrian Kota Tasikmalaya Tahun Anggaran 2008 ... 79


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

2.1. Elastisitas Produksi dan Daerah-Daerah Produksi Pada Jangka

Pendek ... 18 2.2. Gambar Kerangka Pemikiran Konseptual ... 37 4.1. PDRB Kota Tasikmalaya Tahun 2001-2008 Atas Dasar Harga

Konstan 2000 ... 50 4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Tasikmalaya dan beberapa

wilayah sekitar Tahun 2006-2008 Atas Dasar Harga Konstan 2000 ... 51 5.1. Nilai Tambah Riil pada Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya

Periode Tahun 2002-2008 ... 74 5.2. Nilai Efisiensi pada Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya

Periode Tahun 2002-2008 ... 75 5.3. Produktivitas Tenaga Kerja Sektor Industri Pengolahan di Kota

Tasikmalaya Periode Tahun 2002-2008 ... 76  


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Tabel PDRB dan Persentase PDRB Kota Tasikmalaya Atas Dasar

Harga Konstan 2000 Tahun 2002-2008 menurut Lapangan Usaha ... 88

2. Lanjutan lampiran 1 ... 89

3. Data Statistik Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008 ... 90

4. Produktivitas Tenaga Kerja Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008 ... 91

5. Data nominal faktor-faktor produksi yang memengaruhi Output Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya tahun 2002-2008 ... 92

6. Data riil faktor-faktor produksi yang memengaruhi Output Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya tahun 2002-2008 ... 93

7. Data Nilai Tambah nominal Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya tahun 2002-2008 ... 94

8. Data Nilai Tambah riil Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya tahun 2002-2008 ... 95

9. Data efisiensi Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008 ... 96

10. Data variabel dependen dan independen OLS ( di Ln-kan) ... 97

11. Covariance Analisys ... 98

12. Uji Statistik Fungsi Produksi ... 99


(15)

I.PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu teori ekonomi pembangunan yang menjadi rujukan bagi negara yang sedang berkembang adalah teori perubahan struktural (structural change theory). Teori ini menekankan bahwa suatu negara akan berkembang dengan pesat jika mampu mentransformasikan struktur perekonomiannya, dari pola perekonomian pertanian subsisten tradisional berbasis pedesaan menjadi perekonomian yang lebih modern berbasis perkotaan, serta memiliki sektor industri manufaktur yang bervariasi dan sektor jasa-jasa yang tangguh (Chenery dalam Todaro dan Smith, 2006).

Sejarah berdirinya Kota Tasikmalaya sebagai daerah otonomi tidak terlepas dari sejarah berdirinya Kabupaten Tasikmalaya sebagai daerah kabupaten induknya, maka rangkaian sejarah ini merupakan bagian dari perjalanan Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya sampai terbentuknya Pemerintah Kota Tasikmalaya. Semenjak berlakunya otonomi daerah, maka setiap daerah lebih mampu menggali potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimilikinya untuk dapat menggerakkan roda perekonomian wilayahnya dengan perencanaan yang lebih terarah dan berkesinambungan. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Tasikmalaya, telah menjadi dasar hukum bagi Pemerintah Kota Administratif Tasikmalaya menjadi Daerah Otonomi Kota Tasikmalaya, dengan diberlakukannya Undang-undang tersebut Kota Tasikmalaya


(16)

menjadi daerah yang mempunyai kewenangan dalam mengatur rumah tangga sendiri.

Secara umum bidang-bidang ekonomi yang ada di Kota Tasikmalaya dibagi ke dalam sembilan sektor atau lapangan usaha yaitu: (1)pertanian, (2)pertambangan dan penggalian, (3)industri pengolahan, (4)listrik, gas kota dan air bersih, (5)konstruksi atau bangunan, (6)perdagangan, hotel dan restoran (7)pengangkutan dan komunikasi, (8)keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dan (9)jasa-jasa.

Tabel 1.1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 dan Persentase PDRB Atas Harga Konstan 2000 Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2008

No Sektor

Kota Tasikmalaya Kabupaten Tasikmalaya

PDRB Persentase PDRB Persentase (juta) (%) (juta) (%)

1 Pertanian 295,204.03 8.51 2,325,521.28 47.51

2 Pertambangan dan

Penggalian 196.93 0.01 12,185.07 0.25

3 Industri

Pengolahan 621,586.84 17.91 378,693.39 7.74

4 Listrik, Gas dan Air

Bersih 57,112.97 1.65 49,782.83 1.02

5 Bangunan 360,041.49 10.38 36,945.57 0.75

6 Perdagangan, Hotel

dan Restoran 1,036,979.45 29.88 1,082,152.92 22.10 7 Pengangkutan dan

Komunikasi 306,170.95 8.82 239,527.63 4.89

8

Keuangan,

Persewaan dan Jasa Perusahaan

365,102.47 10.52 193,154.52 3.95

9 Jasa-jasa 427,846.77 12.33 577,840.51 11.80

Total 3,470,241.90 100.00 4,895,803.74 100.00


(17)

Tabel 1.1 menyajikan PDRB atas dasar harga konstan 2000 Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya menurut lapangan usaha pada tahun 2008. Terdapat perbedaan yang signifikan pada struktur perekonomian Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya. Berdasarkan Tabel 1.1 perekonomian Kota Tasikmalaya ditopang oleh 3 sektor utama yaitu sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor industri pengolahan dan sektor jasa-jasa yang masing-masing menyumbang 29.88 persen; 17.91 persen dan 12.33 persen terhadap PDRB Kota Tasikmalaya, sedangkan Kabupaten Tasikmalaya ditopang oleh 3 sektor utama yaitu sektor pertanian yang menyumbang 47.51 persen; sektor perdagangan, hotel dan restoran yang menyumbang 22.10 persen serta sektor jasa-jasa yang menyumbang 11.80 persen terhadap PDRB Kabupaten Tasikmalaya.

Kontribusi sektor industri pengolahan di Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya terdapat perbedaan. Tabel 1.1 menjelaskan bahwa sektor industri pengolahan berperan besar terhadap PDRB Kota Tasikmalaya yang mampu menyumbang 17.91 persen terhadap PDRB Kota Tasikmalaya dibandingkan dengan peran sektor industri pengolahan di Kabupaten Tasikmalaya yang hanya berkontribusi 7.74 persen terhadap PDRB Kabupaten Tasikmalaya. Kecilnya kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB Kabupaten Tasikmalaya lebih dikarenakan Kabupaten Tasikmalaya sebagai lumbung padi nasional dengan peran sektor pertanian yang sangat mendominasi. Industri pengolahan sebagai salah satu sektor utama di Kota Tasikmalaya diharapkan dapat berkembang dan lebih maju seiring dengan perkembangan teknologi saat ini, sehingga proses percepatan pembangunan di Kota Tasikmalaya akan berjalan lebih cepat.


(18)

Pembangunan sektor industri pengolahan bagi Kota Tasikmalaya pada masa sekarang diarahkan untuk dapat memberikan sumbangan yang nyata dan optimal dalam pencapaian sasaran utama pembangunan jangka panjang. Sasaran yang dimaksud adalah tercapainya kondisi ekonomi yang seimbang dimana terdapat kemampuan dan kekuatan industri yang lebih maju dalam menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kota Tasikmalaya.

Berbagai kendala dan rintangan muncul sejak tahun 2006, seperti melambungnya harga minyak dunia, krisis energi yang berkepanjangan serta fenomena alam yang sering kali tidak mendukung telah mempengaruhi kinerja perekonomian Kota Tasikmalaya. Peningkatan harga minyak dunia memengaruhi hampir semua sektor perekonomian karena bahan bakar minyak merupakan salah satu input produksi bagi semua sektor ekonomi khususnya sektor listrik, gas dan air bersih, juga sektor industri pengolahan. Krisis keuangan pula telah memengaruhi sektor Perbankan serta fenomena alam yang sering kali tidak mendukung akan memengaruhi kinerja sektor pertanian di Kota Tasikmalaya (lampiran 2, halaman 89).

Kondisi ekonomi yang terjadi selama kurun waktu 2006 sampai 2008 telah memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya. Hal ini disebabkan karena sebagian besar dari output produksi pada sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya merupakan pangsa pasar ekspor. Adanya resesi ekonomi di Amerika dan negara maju lainnya berakibat pada penurunan permintaan impor akan barang produksi industri


(19)

pengolahan di Indonesia maupun Kota Tasikmalaya, sehingga berpengaruh pula pada penggunaan input serta pencapaian output sektor industri pengolahan.

Tabel 1.2 Perkembangan Nilai Input dan Output Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008

Tahun

Output (Nominal) Input (Nominal)

Nilai Laju

Pertumbuhan Nilai

Laju Pertumbuhan (Ribu Rupiah) (%) (Ribu Rupiah) (%)

2006 196,467,183,900 * 142,199,848,772 *

2007 159,026,336,980 -23.54 76,010,737,054 -87.08 2008 156,607,053,603 -1.54 104,626,254,116 27.35 Total 512,100,574,483 -25.09 322,836,839,942 -59.73

Rata-rata 170,700,191,494 -12.54 107,612,279,981 -29.86 Sumber: BPS Jawa Barat Tahun 2006-2008

Keterangan:

* : Perhitungan data tidak mendukung

Kondisi perekonomian di Kota Tasikmalaya berpengaruh terhadap penggunaan nilai input serta pencapaian nilai output pada industri pengolahan di Kota Tasikmalaya tercermin pada Tabel 1.2. Pengunaan input cenderung mengalami penurunan dengan rata-rata 29.86 persen begitu pula pencapaian nilai output yang mempunyai kecenderungan yang sama dengan laju pertumbuhan rata-rata -12.54.

1.2. Perumusan Masalah

Masalah umum yang sering dihadapi oleh sektor industri pengolahan adalah teknologi industri yang dimiliki pada umumnya masih menggunakan


(20)

teknologi sederhana dan tingkat inefisiensi manajemen yang relatif tinggi. Penggunaan teknologi yang masih sederhana berdampak pada produktivitas yang rendah jika dibandingkan dengan penggunaan teknologi canggih dengan mesin-mesin otomatis. Begitu pula dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang menghambat sektor industri pengolahan untuk mencapai tingkat output yang efisien. Tingginya harga bahan baku dan tarif listrik yang sangat penting dalam menjalankan dunia usaha juga menambah beban biaya sehingga menurunkan tingkat efisiensi pada sektor industri pengolahan.

Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan bahwa permasalahan-permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana perkembangan output sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya selama periode 2002-2008?

2. Bagaimana perkembangan faktor-faktor produksi (input) sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya selama periode 2002-2008?

3. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi tingkat output industri pengolahan di Kota Tasikmalaya dan berapa besar pengaruh masing-masing faktor tersebut?

4. Kebijakan apa yang dapat dilakukan pemerintah daerah Kota Tasikmalaya dalam rangka meningkatkan output sektor industri pengolahan di wilayah tersebut?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka dapat dirumuskan tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut ini:


(21)

1. Mengidentifikasi perkembangan output sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya selama periode 2002-2008.

2. Mengidentifikasi perkembangan faktor-faktor produksi (input) sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya periode 2002-2008.

3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat output industri pengolahan di Kota Tasikmalaya pada periode 2002-2008 serta menganalisis besarnya pengaruh dari masing-masing faktor tersebut.

4. Mengkaji kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah (Kota Tasikmalaya) dalam rangka meningkatkan output sektor industri pengolahan di wilayah tersebut.

1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak. Bagi Pemerintah Daerah Kota Tasikmalaya, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi dan bahan pertimbangan dalam peran Kota Tasikmalaya dalam upaya peningkatan perkembangan industri pengolahan di Kota Tasikmalaya, sedangkan bagi pihak lainnya hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi tambahan dan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Industri pengolahan merupakan industri yang sangat kompleks karena kegiatannya sangat beragam dan saling berkait. Keberadaan industri ini akan memengaruhi nilai output produksi, pendapatan daerah, kesempatan kerja, upah, pengeluaran konsumsi rumah tangga, pengeluaran konsumsi pemerintah,


(22)

investasi, net ekspor dan sebagianya. Peneliti hanya mengkaji tentang faktor-faktor yang memengaruhi output sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya. Peneliti juga hanya memfokuskan pada nilai agregasi setiap model penduga (variabel) pada industri pengolahan di Kota Tasikmalaya tanpa mengkaji lebih mendalam tentang faktor-faktor yang memengaruhi setiap model penduga pada setiap subsektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya.


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Industri

Industri adalah sekelompok perusahaan yang menawarkan suatu produk yang memiliki substitusi yang dekat satu sama lain. Menurut BPS (2002), industri merupakan kumpulan dari beberapa perusahaan yang melakukan kegiatan atau aktivitas produksi yang sejenis seperti industri pengolahan.

Hasibuan (1993) mengatakan industri dapat dibagi ke dalam industri makro dan industri mikro. Secara mikro, industri adalah kumpulan dari perusahaan yang menghasilkan barang sejenis. Sedangkan secara makro, industri adalah kegiatan ekonomi yang menghasilkan nilai tambah. Selama ini ada empat masalah yang dihadapi oleh sektor industri pengolahan, masalah-masalah tersebut seperti diuraikan berikut ini:

1. Orientasinya yang terlalu mengarah kepada pemenuhan permintaan dalam negeri. Hal ini, telah mengakibatkan rendahnya nilai ekspor produk-produk industri. Dibandingkan dengan negara lain yang meletakan ekspor industri pengolahannya sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonominya, maka nilai ekspor produk-produk industri sebagai persentase ekspor barang dan jasa masih sangat tergolong rendah.

2. Pertumbuhan industri yang pesat selama ini tidak bisa terlaksana berkat adanya kebijakan perdagangan luar negeri yang protektif, yang bertujuan untuk mendorong perkembangan industri substitusi impor.


(24)

3. Pertumbuhan sektor industri pengolahan selama ini tidak banyak menyumbang perluasan kesempatan kerja, sebagai contoh tenaga kerja yang keluar dari sektor pertanian tidak sepenuhnya mampu ditampung oleh sektor industri. 4. Pertumbuhan sektor industri selama ini ditopang oleh adanya devisa yang

cukup besar untuk impor bahan baku yang diperlukan. Disamping itu, perkembangan sektor ini tidak ditunjang oleh perkembangan teknik dan teknologi serta tidak didukung oleh keterkaitan yang kuat dengan sektor-sektor lainnya.

Untuk menjawab persoalan yang dinyatakan diatas, ada tiga strategi yang dapat digunakan. Ketiga strategi tersebut menjelaskan bahwa industrialisasi di Indonesia harus didasarkan pada:

1. Keunggulan komparatif, yaitu dilihat dari sumberdaya alam yang tersedia di Indonesia.

2. Keterkaitan antar sektor terutama sektor hulu dan hilir. Dari kedua strategi ini diharapkan timbul suatu keterkaitan dimana pertumbuhan yang terjadi pada sektor industri pemakai akan ikut menumbuhkan industri komponen. Efek selanjutnya adalah terciptanya penghematan devisa, meningkatkan pendapatan, keahlian, dan kesempatan kerja.

3. Teknologi yang tinggi dan selalu berkembang untuk pembangunan industri hulu secara simultan. Faktor industri hulu harus merupakan pertimbangan yang dominan karena apabila industri hulu menggunakan teknologi yang tinggi dan efisien, maka industri hilirnya tidak mengalami biaya tinggi dan ini sesuai dengan sasaran untuk mengembangkan industri yang kompetitif untuk ekspor (Zain, 2005).


(25)

2.1.2. Industri Pengolahan

Pengertian industri pengolahan diartikan sebagai suatu kegiatan ekonomi yang melakukan aktivitas mengubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia atau dengan tangan sehingga menjadi barang jadi atau setengah jadi, atau suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah suatu barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya dan sifatnya lebih dekat kepada pemakai akhir (BPS, 2002).

Menurut Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2002, industri pengolahan dibagi kedalam 2 kelompok besar yaitu:

1. Industri Migas

a) Industri pengilangan minyak bumi b) Industri Gas alam cair

2. Industri Bukan Migas

a) Industri makanan, minuman, dan tembakau b) Industri textil, barang kulit dan alas kaki c) Industri barang kayu dan hasil hutan lain d) Industri barang kertas dan barang cekatan e) Industri pupuk, kimia, dan barang dari karet f) Industri semen dan barang galian bukan logam g) Industri logam dasar besi dan baja

h) Industri alat angkutan, mesin dan peralatan i) Industri barang lainnya.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2002) industri pengolahan terdapat dalam berbagai sektor, yaitu sektor pertanian, sektor peternakan, perikanan,


(26)

kehutanan, pertambangan, farmasi, dan pengolahan. Pada garis besarnya industri terdiri dari:

a) Industri Primer (Industri Hulu)

Industri primer merupakan industri yang mengolah bahan-bahan pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan, dan pertambangan, industri ini juga disebut dengan industri hulu. Karakteristik dari industri hulu adalah penggunaan teknologi yang tinggi yang mengubah bahan-bahan dari alam menjadi barang setengah jadi, kebutuhan investasi yang tinggi sebagai konsekuensi dari belanja teknologi yang dibutuhkan dalam proses produksi (padat modal), penggunaan mesin-mesin yang berjalan otomatis sehingga peran tenaga kerja tidak begitu dominan. Penggunaan mesin-mesin yang berjalan otomatis membuat produktivitas pada industri hulu sangat tinggi.

b) Industri Sekunder (Industri Antara)

Industri sekunder atau industri antara merupakan industri yang mengolah hasil-hasil industri primer dan bahan-bahan lain yang tidak termasuk industri primer. Karakteristik dari industri ini adalah penggunaan teknologi semi otomatis sehingga peranan teknologi serta tenaga kerja berjalan secara seimbang (padat modal dan padat karya). Artinya, setiap penambahan modal pada industri ini akan diimbangi pula dengan penyerapan tenaga kerja. Produktivitas tenaga kerja dari industri sekunder cukup tinggi karena faktor penggunaan mesin-mesin yang berjalan semi otomatis dengan penyerapan tenaga kerja yang relatif tinggi pula.


(27)

c) Industri Tersier (Industri Hilir)

Industri tersier atau industri hilir merupakan industri yang merubah bahan setengah jadi menjadi barang konsumsi. Karakteristik dari industri ini adalah peranan tenaga kerja yang dominan (padat karya). Poduktivitas tenaga kerja dari industri hilir rendah. Besarnya peranan tenaga kerja dalam industri tersier adalah sebagai akibat dari penggunaan teknologi yang masih sederhana.

Industri bagi pemerintah dan masyarakat mempunyai arti yang sangat penting, karena merupakan bagian dari kekuatan ekonomi yang menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Industri merupakan salah satu sumber dan sarana yang efektif bagi pemerintah untuk menjalankan kebijakan pembagian pendapatan nasional. Oleh sebab itu, pemerintah pada dasarnya mempunyai kepentingan dan ikut bertanggung jawab atas kelangsungan dan keberhasilan setiap industri.

Berdasarkan pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa ketiga pihak yaitu pengusaha, pekerja atau serikat pekerja dan pemerintah mempunyai kepentingan atas jalannya dan keberhasilan industri. Berhasilnya industri akan meningkatkan keuntungan yang diterima oleh industri tersebut sedangkan bagi pekerja keberhasilan industri akan meningkatkan tingkat upah yang akan diterima atau terbukanya kesempatan kerja baru bagi masyarakat. Bagi pemerintah keberhasilan industri akan meningkatkan pendapatan nasional yang diperoleh.

BPS (2002), mengklasifikasikan subsektor industri pengolahan berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2 digit seperti yang disajikan Tabel 2.1.


(28)

Tabel 2.1. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) Tahun 2002 Sektor Industri Pengolahan

No Kode

KBLI Deskripsi Sektor Industri Pengolahan 1 15 Industri Makanan dan Minuman

2 16 Industri Pengolahan Tembakau 3 17 Industri Tekstil

4 18 Industri Pakaian Jadi

5 19 Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki

6 20 Industri Kayu, Barang dari Kayu, Barang-barang anyaman dari rotan 7 21 Industri Kertas, Barang dari Kertas dan sejenisnya

8 22 Industri Penerbitan, Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman 9 23 Industri Batu Bara, Pengilangan Minyak Bumi, barang-barang dari

hasil pengilangan minyak bumi dan bahan baku nuklir 10 24 Industri kimia dan barang-barang dari kimia

11 25 Industri Karet, barang dari Karet dan barang dari plastik 12 26 Industri barang galian logam

13 27 Industri Logam Dasar

14 28 Industri Barang dari Logam, kecuali mesin dan peralatannya 15 29 Industri mesin dan peralatannya

16 30 Industri mesin dan peralatan kantor, akuntansi, dan pengolahan data 17 31 Industri pengolahan lainnya dan perlengkapannya

18 32 Industri radio, televisi, peralatan komunikasi, serta peralatannya

19 33 Industri peralatan kedokteran, alat-alat ukur, peralatan navigasi, peralatan optik, jam dan lonceng

20 34 industri kendaraan bermotor 21 35 Industri alat angkutan

22 36 Industri furnitur dan industri pengolahan lainnya

23 37 Daur Ulang


(29)

2.1.3. Pengertian Produksi

Menurut Sanimah (2006), produksi adalah hasil akhir dari proses atau aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan atau input. Produksi menurut Tasliah (2006) adalah merujuk pada transformasi dari berbagai macam input atau sumberdaya menjadi output berupa barang dan jasa. Input menurutnya adalah berbagai sumberdaya yang digunakan dalam produksi barang dan jasa. Dengan demikian, proses produksi adalah mengkombinasikan berbagai macam input atau masukan untuk menghasilkan output. Setiap kegiatan ekonomi yang dilakukan baik itu perorangan maupun perusahaan (industri) bertujuan untuk mendapatkan hasil yang terbaik, begitu pun dalam hal berproduksi. Untuk menghasilkan output yang optimal maka setiap input harus digunakan secara efisien.

Pada sebuah proses produksi, sebuah industri atau perusahaan membutuhkan input produksi yang dalam teori mikroekonomi disebut dengan faktor produksi (factors of production). Faktor produksi jika dilihat secara keseluruhan terdiri dari tenaga kerja (labor), bahan dasar (raw materials), dan investasi modal (capital). Faktor buruh dalam beberapa kasus dapat dibedakan menjadi tenaga kerja yang mempunyai keahlian (skilled labor) dan yang tidak memiliki keahlian (unskilled labor). Bahan dasar biasanya mengacu pada barang-barang yang diolah oleh perusahaan untuk kemudian dijadikan produk akhir (output), sedangkan modal mengacu pada bangunan, alat-alat yang digunakan untuk pengolahan (equipment) dan inventaris lainnya. Secara teoritis hubungan dari berbagai faktor produksi tersebut yang menghasilkan sebuah output disebut


(30)

dengan fungsi produksi. Dengan kata lain, fungsi produksi menghubungkan input dengan output.

Produksi atau memproduksi adalah menambah kegunaan (nilai guna) suatu barang. Kegunaan suatu barang akan bertambah bila memberikan manfaat baru atau lebih dari bentuk semula. Untuk memproduksi dibutuhkan faktor-faktor produksi, yaitu alat atau sarana untuk melakukan proses produksi. Faktor-faktor produksi yang dimaksudkan dalam ilmu ekonomi adalah manusia (tenaga kerja = TK), modal (uang atau alat modal seperti mesin = M), SDA (tanah = T), dan skill

(teknologi = S). Yang dimaksud fungsi produksi adalah hubungan teknis antara faktor produksi (input) dan hasil produksi (output). Secara matematis hubungan teknis itu dapat ditulis O = f(TK, M, T, S). Hubungan teknis yang dimaksud adalah bahwa produksi hanya bisa dilakukan dengan menggunakan faktor produksi yang dimaksud. Bila faktor produksi tidak ada, maka tidak ada juga produksi. Faktor-faktor produksi yang dimaksud dalam pemanfaatannya harus dikombinasikan, baik sebagai variabel atau pun tetap. Faktor produksi yang paling utama adalah manusia dan tanah (SDA) (Putong, 2003).

Produksi adalah proses kombinasi dan koordinasi material-material dan kekuatan-kekuatan (input, faktor, sumberdaya, atau jasa-jasa produksi) dalam pembuatan suatu barang dan jasa (output atau produk). Kata input dan output hanya memiliki pengertian dalam hubungannya dengan proses produksi tertentu (Beattie dan Taylor, 1994).

Dalam produksi dikenal istilah nilai output dan biaya input. Nilai output terbentuk dari berbagai komponen seperti barang yang dihasilkan, tenaga listrik yang dijual, jasa industri yang diberikan pada pihak lain, selisih nilai stok barang


(31)

setengah jadi, dan penerimaan lain dari jasa non-industri. Biaya input adalah semua biaya yang dipakai untuk memproduksi suatu barang seperti bahan baku; bahan bakar; tenaga listrik dan gas; dan barang lainnya (diluar bahan baku atau bahan penolong); perbaikan dari jasa industri; sewa gedung; mesin dan alat-alat serta jasa non-industri (BPS, 2002).

2.1.3.1. Konsep Fungsi Produksi

Hubungan penggunaan faktor-faktor produksi atau input dan produk atau output yang dihasilkan disebut fungsi produksi. Menurut Debertin, D.L. (1986) dalam Machmud (1997), fungsi produksi menguraikan suatu teknik hubungan yang mentransformasikan input (sumberdaya) ke dalam output (komoditi). Secara matematik fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut:

Y = f ( X1, X2, X3,….. Xn) ... (2.1) Dimana :

Y = output

Xn = input atau faktor produksi yang digunakan dalam memproduksi Y

f = bentuk hubungan yang mentransformasikan input-input dalam output.

Fungsi produksi menghubungkan antara input yang dalam proses produksi dengan kuantitas output yang dihasilkan (Lipsey, at al., 1995). Hubungan fisik antara input dan output sering disebut dengan fungsi produksi. Fungsi produksi adalah hubungan fisik antara masukan produksi (input) dan keluaran produksi atau output. Analisis fungsi produksi sering digunakan oleh para peneliti karena


(32)

mereka menginginkan informasi bagaimana sumberdaya yang terbatas seperti tanah, tenaga kerja dan modal dapat dikelola dengan baik agar produksi maksimum dapat diperoleh (Soekartawi, 1993). Fungsi produksi adalah sebuah deskripsi matematis atau kuantitatif dari berbagai macam kemungkinan-kemungkinan produksi teknis yang dihadapi oleh suatu perusahaan. Fungsi produksi memberikan output maksimum dalam pengertian fisik dari tiap-tiap tingkat input dalam pengertian fisik (Baettie dan Taylor, 1994).

Fungsi produksi dapat dinyatakan pula dalam grafik, dengan asumsi bahwa hanya satu faktor produksi saja yang berubah sedangkan faktor produksi lainnya dianggap tetap atau cateris paribus. Kebaikan fungsi produksi dinyatakan dalam grafik adalah mudah menganalisis peranan faktor produksi terhadap produk yang dihasilkan.

Sumber: Debertin, D.L. (1986) dalam Machmud (1997).


(33)

Keterangan:

MPP = Produk Marjinal (Marginal Physical Product) APP = Produk Rata-Rata (Average Physical Product) TPP = Produk Total (Total Physical Product)

A = Inflection Point

B = Titik Singgung Kurva TPP C = Titik Maksimum TPP

Produk Total (TP) adalah jumlah total yang diproduksi selama periode tertentu. Jika semua input kecuali satu faktor dijaga konstan, produksi total akan berubah menurut banyak sedikitnya variabel yang digunakan. Produk rata-rata (AP) adalah produk total produk total dibagi jumlah unit variabel yang digunakan untuk memproduksinya. Dalam Gambar 2.1. dengan makin banyaknya faktor variabel yang digunakan, produk rata-rata kemudian meningkat dan kemudian menurun. Tingkat output dimana produk rata-rata mencapai maksimum disebut titik berkurangnya produktivitas rata-rata (point of diminishing average productivity). Sampai dengan titik ini rata-rata produktivitas terus naik, diluar ini produktivitas rata-rata akan terus turun.

Produk marjinal (MP), kadang-kadang disebut juga produk incremental

(incremental product) atau produk fisik marjinal (MPP), adalah perubahan dalam produk total sebagai akibat penambahan satu unit penggunaan variabel. Tingkat output dimana produk marjinal mencapai maksimum dinamakan titik berkurangnya produktivitas marjinal (point of diminishing marginal productivity) (Lipsey, et al.1995).


(34)

AP =

=

... (2.3)

Untuk melihat perubahan dari jumlah produksi yang disebabkan oleh faktor produksi yang dipakai dapat dinyatakan dengan elastisitas produksi. Elastisitas produksi (EP) adalah persentase perubahan dari output sebagai akibat dari persentase perubahan dari input, atau dapat diartikan sebagai rasio tambahan relatif produk yang dihasilkan dengan perubahan relatif jumlah faktor produksi yang dipakai. Secara Matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:

EP = ∆ ∆ ... (2.4) atau

EP = ∆

. =

... (2.5)

Karena ∆ adalah MP, maka besarnya EP tergantung dari besar kecilnya MP dari suatu input. Adapun hubungan antara MP dan TP adalah:

1. Bila TP tetap naik, maka MP positif

2. Bila TP mencapai maksimum, maka nilai MP menjadi nol 3. Bila TP sudah mulai menurun, maka nilai MP menjadi negatif

4. Bila TP naik pada tahapan increasing rate, maka MP bertambah pada

decreasing rate.

Apabila AP didefinisikan sebagai perbandingan antara TP per jumlah input, maka rumus untuk mencari AP adalah:


(35)

Dengan demikian hubungan antara MP dan AP adalah:

1. Bila MP lebih besar dari AP, maka posisi AP masih dalam keadaan menaik.

Sebaliknya , bila MP lebih kecil dari pada AP, maka posisi AP dalam keadaan menurun.

2. Bila terjadi MP sama dengan AP maka AP dalam keadaan maksimum. Pada Gambar 2.1 menunjukan grafik fungsi produksi yang menggambarkan hubungan fisik antara satu faktor produksi dengan produksi,

cateris paribus. Menurut Debertin, D.L (1986) dalam Machmud (1997), fungsi produksi terbagi dalam tiga daerah yang dibedakan elastisitas produksi dari faktor-faktor, yaitu daerah produksi dengan elastisitas produksi lebih besar dari satu (daerah I), daerah produksi dengan elastisitas antara nol dan satu (daerah II) dan daerah produksi dengan elastisitas produksi lebih kecil dari nol (daerah III).

Daerah I adalah yang terletak antara titik asal dan X2. Daerah ini produksi marjinal (MP) mencapai titik maksimum dan kemudian mengalami penurunan tetapi marjinal masih lebih besar dari produk rata-rata (AP). Elastisitas produksi pada daerah I bernilai lebih besar dari satu, artinya penambahan faktor produksi sebanyak satu persen akan menyebabkan penambahan produksi selalu lebih besar dari satu persen. Pada daerah ini keuntungan maksimum belum tercapai karena masih selalu dapat ditingkatkan dengan penambahan input (faktor produksi). Dengan demikian, daerah ini merupakan daerah irasional (irrational region).

Daerah II adalah daerah yang terletak antara X2 dan X3. dengan elastisitas produksi antara nol dan satu, artinya setiap penambahan faktor produksi satu persen akan menyebabkan penambahan produksi sebesar nol dan satu persen.


(36)

Daerah ini dikatakan daerah decreasing diminishing returns karena setiap penambahan faktor produksi akan meningkatkan jumlah produksi yang peningkatannya semakin lama semakin berkurang. Pada suatu tingkat tertentu dari penggunaan input akan memberikan keuntungan maksimum yaitu pada saat Nilai Produk Marjinal (Value Marginal Product atau VMP) untuk faktor produksi sama dengan biaya Korbanan Marjinal (Marginal Factor Costatau atau MFC). Jika harga faktor produksi (P) tetap maka keuntungan maksimum dicapai pada saat VMP = MFC = P. Hal ini menunjukan bahwa penggunaan faktor produksi di daerah ini sudah optimal, maka dikatakan di daerah II merupakan daerah rasional (rational region).

Daerah III ini adalah daerah dengan elastisitas produksi dengan nilai kurang dari nol. Pada daerah ini produksi total mengalami penurunan yang ditunjukan oleh MP yang bernilai negatif. Dengan demikian, setiap penambahan faktor produksi akan menyebabkan penurunan jumlah produksi yang dihasilkan, sehingga daerah III ini disebut daerah irasional (irrational region).

Bentuk fungsi produksi dipengaruhi oleh hukum ekonomi produksi, yaitu hukum kenaikan hasil yang semakin berkurang (The Law of Diminishing Returns), sehingga informasi yang diperoleh dapat dipakai untuk melakukan upaya agar setiap upaya penambahan masukan produksi dapat menghasilkan tambahan produksi yang lebih besar. Adapun bunyi hukum tersebut yaitu jika satu input ditambahkan terus menerus dalam proses produksi, sedangkan input lain tetap, tambahan output persatuan input akan berkurang. Hukum ini akan menggambarkan kenaikan yang negatif dalam kurva fungsi produksi.


(37)

Ada dua hal penting dari hukum ini:

1. Hukum ini menunjukan adanya input variabel dalam jumlah tertentu harus dikombinasikan dengan input tetap. Perusahaan atau industri tidak boleh menggunakan input terlalu banyak atau terlalu sedikit.

2. Hukum ini mensyaratkan bahwa metode produksi tidak berubah ketika input variabel yang digunakan bertambah.

Dalam banyak kenyataan, penelitian melupakan asumsi tersebut, karena berbagai alasan, antara lain:

1. Orang tidak mengetahui secara pasti bagaimana sebenarnya keadaan usaha yang dilakukannya, apakah dalam keadaan decreasing, constant, increasing of returns.

2. Orang menginginkan bagaimana pengaruh masing-masing masukan produksi dalam keadaan skala berbeda.

3. Orang melakukan pendugaan dengan fungsi Cobb-Douglas sebagai dasar untuk mendapatkan fungsi pendugaan dengan model yang lain.

2.1.3.2. Faktor-Faktor Produksi a. Nilai Investasi atau Modal

Modal merupakan jumlah total mesin-mesin, bangunan-bangunan dan sumber manufaktur non-labor yang ada dalam suatu waktu. Kekayaan suatu perusahaan atau industri (assets) mencerminkan bagian dari suatu output ekonomi diwaktu lalu yang tidak dikonsumsi, melainkan disisihkan untuk kegiatan produksi masa yang akan datang (Nicholson, 1998).


(38)

Sebuah perusahaan atau industri yang memenuhi aturan maksimal laba akan melakukan ekspansi kapital dengan cara melakukan investasi. Investasi dapat dilakukan dengan cara menyewa mesin dengan tingkat sewa yang berlaku atau membeli mesin baru.

Menurut Mubyarto (1986) dalam Timor (2008), modal adalah barang atau uang yang bersama-sama faktor-faktor produksi lainnya digunakan untuk menghasilkan barang-barang baru, dalam hal ini adalah hasil produksi.

Modal dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

1. Modal tidak bergerak (modal tetap), merupakan biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi yang tidak habis dalam satu kali proses produksi. Modal tetap dapat berupa tanah, bangunan dan mesin-mesin yang digunakan.

2. Modal bergerak (modal variabel), adalah biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi dan habis dipakai dalam satu proses produksi. Modal bergerak dapat berupa biaya yang dikeluarkan untuk membeli bahan baku atau bahan-bahan penunjang produksi, atau biaya yang dikeluarkan untuk gaji tenaga kerja.

Investasi merupakan komponen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang paling mudah berubah (volatile).Jika pengeluaran terhadap barang dan jasa turun selama resesi maka penurunannya berkenaan dengan jatuhnya dalam pengeluaran untuk investasi. Ada tiga tipe pengeluaran investasi diantaranya: (1)investasi dalam barang tetap yang melingkupi peralatan dan struktur dimana dunia usaha membelinya untuk dipergunakan dalam proses produksi; (2)investasi perumahan melingkupi perumahan baru dimana dunia usaha membelinya untuk


(39)

disewakan; (3)investasi inventori meliputi bahan baku dan bahan penolong, barang setengah jadi dan barang jadi.

Perusahaan atau industri akan merubah kapital jika marginal produk dari kapital lebih besar dari biaya sewanya sehingga:

∆K = (r+ ) ... (2.7) Dimana:

∆K = penambahan kapital = investasi

= harga kapital P = harga barang

r = suku bunga

= depresiasi

Jadi total pengeluaran terhadap investasi dalam barang tetap adalah jumlah netto ditas ditambah dengan penggantian kapital rusak (depresiasi) sehingga:

I = ∆K + ... (2.8) = (r+ )]+ ... (2.9) Dari persamaan diatas maka dapat diketahui bahwa investasi tergantung dari marginal produk kapital, depresiasi dan tingkat suku bunga.

b. Tenaga Kerja

Tenaga kerja adalah bagian dari penduduk yang mampu bekerja untuk memproduksi sejumlah barang atau jasa. Menurut Perserikatan Bangsa Bangsa


(40)

(PBB, 1992) yang termasuk tenaga kerja adalah penduduk yang berusia 15-64 tahun. Indonesia menggolongkan penduduk yang berusia 10 tahun ke atas sebagai tenaga kerja, dengan alasan bahwa banyak penduduk yang berusai 10-14 tahun dan 65 tahun yang bekerja. Banyaknya tenaga kerja yang berusia 10-14 tahun maka kondisi ini menjadi perhatian pemerintah karena pada usia tersebut merupakan usia berada di sekolah. Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan dengan menetapkan batas bekerja menjadi usia 15 tahun. Dengan berlakunya Undang-undang tersebut, mulai tanggal 1 Oktober 1998 tenaga kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berusia 15 tahun ke atas.

c. Bahan Baku

Bahan baku dibedakan menjadi dua, yaitu bahan baku utama dan bahan baku penolong. Bahan baku utama merupakan faktor yang paling utama karena tanpa bahan baku produksi tidak akan berjalan, sedangkan bahan baku penolong sebagai penolong, pelengkap dan penyempurna saja. Tanpa bahan baku penolong, produksi bisa berjalan tapi mutu atau kualitasnya berkurang.

2.1.4. Fungsi Produksi Cobb-Douglas

Pengamatan pengaruh beberapa faktor produksi terhadap output secara keseluruhan dalam keadaan yang sebenarnya adalah tidak mungkin (Soekartawi, 1993). Oleh karena itu, hubungan antara faktor produksi dengan output perlu disederhanakan dalam suatu model. Untuk mendapatkan suatu model berbentuk fungsi produksi sebaiknya dapat dipertanggungjawabkan, mempunyai logik secara fisik maupun ekonomi, mudah dianalisis dan mempunyai implikasi ekonomi.


(41)

Bentuk fungsi produksi yang digunakan dalam menduga parameter-parameter yang mempengaruhi produk ada beberapa macam, seperti fungsi kuadratik, model elastisitas substitusi yang konstan (CES), model trasendental dan fungsi Cobb-Douglas. Fungsi produksi kuadratik dan transendental memiliki persamaan yang rumit dan parameternya bukan merupakan elastisitas dari faktor-faktor produksi. Jika menggunakan fungsi CES sulit untuk mempertahankan elastisitas yang konstan. Dalam penelitian ini model yang digunakan adalah Douglas, P.H., pada tahun 1928 melalui artikel di majalah ilmiah American Economic Review 18 (Suplement) halaman 139 sampai 165. Fungsi Cobb-Doglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel; variabel yang satu disebut dengan variabel dependen, yang dijelaskan (Y), dan yang lain disebut variabel independen, yang menjelaskan (X), (Soekartawi, 1993). Secara matematis persamaan fungsi Cobb-Douglas dirumuskan sebagai berikut: Y = X X X …… X ... (2.10)

Bila fungsi Cobb-Douglas tersebut dinyatakan oleh hubungan X dan Y, maka:

Y = f (X1, X2, X3,…. Xn) ... (2.11) dimana:

Y = variabel yang dijelaskan, X = variabel yang menjelaskan,

a,bi = besaran yang diduga,

u = kesalahan (disturbance term), dan


(42)

Untuk memudahkan pendugaan terhadap Ep maka persamaan tersebut diubah menjadi bentuk linier berganda dengan cara melogaritmakan persamaan tersebut adalah:

Log Y = Log a + b1 Log X1 + b2 Log X2 +……+ bn Log Xn + v ... (2.12) atau

Y* = a* + b1 + + v* ... (2.13) dimana:

Y*= Log Y; X*= Log X; v* = Log v; dan a* = Log a ... (2.13) Persamaan diatas dapat dengan mudah diselesaikan dengan cara regresi berganda. Pada persamaan tersebut terlihat bahwa nilai b1 dan b2 tetap walaupun variabel yang terlibat telah dilogaritmakan. Hal ini dapat dimengerti bahwa b1 dan b2 pada fungsi Cobb-Douglas sekaligus menunjukan elastisitas X terhadap Y. Karena penyelesaian fungsi Cobb-Douglas selalu dilogaitmakan dan diubah bentuk fungsinya menjadi fungsi linier, maka ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum seseorang menggunakan fungsi Cobb-Douglas.

Persyaratan ini antara lain (Soekartawi, 1993):

1. Tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol, sebab logaritma dari bilangan nol adalah suatu bilangan yang besarnya tidak diketahui (infinite).

2. Dalam fungsi produksi, perlu asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi pada setiap pengamatan (non-neutral difference in the respective technology), ini artinya jika fungsi Cobb-Douglas yang dipakai sebagai model dalam suatu pengamatan; dan bila diperlukan analisis yang merupakan lebih dari satu model (katakan dua model), maka perbedaan model tersebut terletak pada


(43)

3. Tiap variabel X adalah prefect competition.

4. Perbedaan lokasi (pada fungsi produksi) seperti iklim adalah sudah tercakup pada faktor kesalahan, u.

Dari semua fungsi produksi di atas, fungsi Cobb-Douglas merupakan salah satu bentuk yang banyak digunakan, karena memiliki kelebihan didasarkan pada pertimbangan, yaitu (1)Mengurangi terjadinya heteroskedastisitas, (2)Koefisien pangkat dari fungsi produksi Cobb-Douglas sekaligus menunjukan besarnya elastisitas produksi dari masing-masing faktor produksi yang digunakan terhadap output, (3)Jumlah elastisitas produksi dari masing-masing faktor produksi merupakan pendugaan terhadap skala usaha dari proses produksi, dan (4)Perhitungannya sederhana menjadi bentuk linear dan dapat dilakukan dengan menggunakan program komputer. Adapun kelemahan dari model Cobb-Douglas yaitu elastisitas produksinya dianggap konstan, nilai dugaan elastisitas produksi yang dihasilkan berbias bila faktor produksi yang digunakan tidak lengkap. Selain itu, tidak dapat digunakan untuk menduga tingkat produksi pada taraf penggunaan faktor produksi sama dengan nol dan pada fungsi Cobb-Douglas sering terjadi multikolinearitas.

Hubungan yang membuktikan bahwa koefisien pangkat dari fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan nilai elastisitasnya dapat dilihat dalam penjelasan dibawah ini, dengan menurunkan rumus dari persamaan fungsi produksi Cobb-Douglas yang dicontohkan sebelumnya. Sebagai contoh perhitungan yang dilakukan adalah terhadap faktor produksi tenaga kerja (X1).


(44)

maka:

e

x

1

=

.

... (2.15)

=

b X X X

.

X X X

...

(2.16)

=

X X X

X X X ... (2.17)

=

b1 ... (2.18) dimana:

e

x

1 = elastisitas tenaga kerja,

= perubahan output (Y) terhadap tenaga kerja (X1),

Y = nilai riil output yang dihasilkan dalam industri (ribu rupiah), X1 = jumlah tenaga kerja yang bekerja pada industri (orang atau jiwa),

X2 = bahan baku riil yang digunakan dalam proses produksi (ribu rupiah) dan X3 = nilai riil energi terdiri dari bahan bakar, listrik dan gas (ribu rupiah).

Jadi, koefisien dari tenaga kerja (X1) merupakan nilai elastisitas dari tenaga kerja (X1) dengan nilai b1. Cara yang sama digunakan untuk menghitung nilai elastisitas dari faktor produksi yang lainnya, maka akan diperoleh hasil yang sama yaitu nilai koefisien pangkat dari bahan baku menunjukan nilai elastisitas dari bahan baku (X2) tersebut. Demikian pula dengan faktor lainnya, seperti energi (X3).

2.1.5. Skala Usaha (Return to Scale)

Konsep skala usaha (return to scale) menjelaskan suatu keadaan dimana output meningkat sebagai respon adanya kenaikan yang proporsional dari seluruh


(45)

input. Konsep ini memiliki tiga kemungkinan keadaan. Pertama, sebuah fungsi produksi dikatakan menunjukan skala hasil konstan (constant returns to scale) jika peningkatan seluruh input sebanyak dua kali lipat berakibat pada peningkatan output sebanyak dua kali lipat pula. Kedua, jika penggandaan seluruh input menghasilkan output yang kurang dari dua kali lipatnya, maka fungsi produksi tersebut dikatakan menunjukan skala hasil menurun (decreasing returns to scale). Ketiga, jika penggandaan seluruh input menghasilkan output lebih dari dua kali lipatnya, maka fungsi produksi mengalami skala hasil meningkat (increasing returns to scale) (Nicholson, 2002).

Jika parameter peubah bebas dari fungsi produksi Cobb-Douglas dilambangkan dengan bi, skala usaha dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:

1. Decreasing returns to scale, bila (b1 + b2 + b3) 1. Dalam keadaan demikian, dapat diartikan bahwa proprosi penambahan masukan produksi melebihi proporsi penambahan produksi atau setiap penambahan faktor produksi secara bersama-sama justru akan menurunkan produksi.

2. Contant returns to scale, bila (b1 + b2 + b3) 1. Dalam keadaan demikian, penambahan masukan produksi akan proporsional dengan penambahan produksi yang diperoleh atau tambahan ke atas faktor-faktor produksi tidak memberikan dampak naik atau turun terhadap produksi.

3. Increasing returns to scale, bila (b1 + b2 + b3) 1. Artinya bahwa proporsi penambahan masukan produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang proporsinya lebih besar atau setiap penambahan faktor produksi secara bersama-sama akan memberikan tambahan kepada produksi (Soekartawi, 1993).


(46)

2.1.6. Nilai Tambah dan Efisiensi

Nilai tambah adalah nilai tambah bruto yang sesuai dengan harga pasar atau nilai tambah sebelum dikurangi pajak dan dapat juga diperoleh dari selisih antara nilai output dan biaya input. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam hubungan berikut:

Nilai Tambah Bruto (NTB) = Nilai Output – Biaya Input

Nilai output merupakan penjumlahan dari nilai-nilai barang yang dihasilkan, tenaga listrik yang dijual, jasa industri yang diberikan pada pihak lain, selisih nilai stok barang setengah jadi, dan penerimaan lain dari jasa non-industri. Biaya input merupakan penjumlahan dari nilai bahan baku dan penolong yang digunakan oleh perusahaan industri besar dan sedang baik yang berasal dari luar negeri (impor) atau dalam negeri, nilai bahan bakar yang dipakai, tenaga listrik dan gas yang dibeli, sewa gedung, mesin dan alat-alat serta jasa non-industri.

Semua perusahaan industri dalam kegiatannya untuk membuat produk akan berupaya semaksimal mungkin untuk menekan semua input. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan efisiensi kinerja perusahaan tersebut. Untuk menilai tingkat keberhasilan suatu perusahaan dalam proses produksi maka salah satu indikator yang bisa menggambarkan keadaan tersebut yaitu nilai efisiensi. Nilai efisiensi ini merupakan perbandingan antara biaya produksi (biaya input) dengan nilai outputnya (BPS, 2002). Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:


(47)

Efisiensi diartikan sebagai perbandingan antara nilai hasil terhadap nilai masukan (Lipsey, et. al., 1995). Suatu metode produksi dikatakan lebih efisien dari metode produksi lainnya, apabila menghasilkan produk lebih tinggi nilainya untuk tingkat korbanan yang sama, atau dapat mengurangi korbanan untuk memperoleh output dalam jumlah yang sama. Seorang pengusaha telah mencapai keuntungan yang maksimum bila telah menentukan kombinasi faktor-faktor produksi secara optimal (Nicholson, 1995).

2.1.7. Produktivitas

Dalam istilah sehari-hari produktivitas tenaga kerja biasanya dimaksudkan sebagai produktivitas rata-rata per pekerja. Jika ada yang mengatakan produktivitas kerja industri naik, maksudnya adalah output per tenaga kerja mengalami peningkatan (Nicholson, 2001). Jika produktivitas tenaga kerja naik maka barang dan jasa meningkat sehingga keuntungan dan pendapatan meningkat. Definisi produk rata-rata tenaga kerja adalah:

=

... (2.19) Keterangan:

: Produk rata-rata tenaga kerja (Produktivitas tenaga kerja)

Q : Output

T : Tenaga Kerja

Jika Produktivitas tenaga kerja naik, berarti bahwa setiap tenaga kerja dapat memproduksi lebih banyak, biaya satuan produksinya akan turun selama tingkat upah tidak naik sampai pada batas yang sama pada tingkat


(48)

produktivitasnya. Biaya yang lebih rendah pada umumnya akan diikuti dengan harga yang lebih rendah pula. Perusahaan yang bersaing akan menurunkan harganya dalam usaha untuk merebut pasar dan hasil akhir dari persaingan ini adalah turunnya biaya produksi yang diikuti dengan turunnya harga (Lipsey, 1995).

2.2. Tinjauan Empiris 2.2.1. Penelitian Terdahulu

Ardina (2005) dalam penelitiannya dengan judul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Output Industri Logam Dasar di Indonesia” dengan menggunakan Analisis Ordinary Least Square menerangkan bahwa faktor produksi bahan baku, biaya sewa modal, memberikan pengaruh yang positif terhadap peningkatan output industri logam dasar di Indonesia. Nilai elastisitas bahan baku sebesar 0.424955. Artinya, jika terjadi peningkatan penggunaan bahan baku dalam proses produksi sebesar satu persen maka akan terjadi peningkatan output yang dihasilkan industri logam dasar sebesar 0.424955 persen. Nilai elastisitas biaya sewa modal sebesar 0, karena biaya sewa modal ini tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap output, sedangkan nilai elastisitas pada bahan bakar dan energi, dan tenaga kerja masing-masing sebesar 0.212785 dan 0.468099. Skala hasil usaha industri logam dasar berada dalam kondisi

increasing returns to scale dengan nilai sebesar 1.11087. Nilai tambah industi logam dasar cenderung mengalami peningkatan selama periode penelitian (1983-2008) walaupun sempat terjadi penurunan nilai tambah setelah terjadi krisis moneter pada tahun 1997/1998. Tingkat efisiensi produksi yang tertinggi terjadi


(49)

pada tahun 1987 dimana perbandingan antara input dan outputnya adalah sebesar 0.419387016 yang merupakan rasio paling kecil.

Sulistyono (2005) dengan penelitiannya dengan judul “Analisis Fungsi Produksi Industri Kerajinan Genteng di Kecamatan Cawas Kabupaten Klaten”. Berdasarkan hasil penelitiannya diketahui bahwa faktor produksi modal kerja, dan jumlah tenaga kerja secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama berpengaruh positif dan nyata terhadap nilai produksi yang dihasilkan. Industri kecil kerajinan genteng di Kecamatan Cawas berada pada kondisi Decreasing Return to Scale. Hal ini berarti bahwa penambahan semua faktor produksi dalam proporsi yang sama akan menghasilkan penambahan nilai produksi dalam proporsi yang lebih kecil.

Fitriani (2005) dalam penelitiannya dengan judul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Output Industri Ban di Indonesia Periode tahun 1984-2002” menggunakan Analisis Estimasi Fungsi Produksi Cobb-Douglas menerangkan bahwa faktor produksi bahan baku, tenaga kerja dan bahan bakar memberikan pengaruh yang positif terhadap peningkatan output industri ban di Indonesia. Nilai elastisitas bahan baku sebesar 0.699. Artinya jika terjadi peningkatan penggunaan bahan baku dalam proses produksi sebesar satu persen maka akan terjadi peningkatan output yang dihasilkan industri logam dasar sebesar 0.699 persen. Nilai elastisitas faktor produksi modal memberikan pengaruh yang negatif dan tidak nyata yaitu sebesar 0.04, karena faktor produksi modal ini tidak efisien lagi untuk meningkatkan nilai output, sedangkan nilai elastisitas pada bahan bakar dan tenaga kerja berada pada daerah II (0< eq<1). Hal ini menunjukan bahwa penggunaan faktor produksi tenaga kerja, bahan baku dan bahan bakar masih


(50)

rasional. Skala usaha industri ban berada dalam kondisi increasing returns to scale dengan nilai sebesar 1.215.

Legiman (2003) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Efisiensi Pemanfaatan Input dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Industri kecil (Studi kasus pada sentra industri kecil keramik Kabupaten Klaten)”, diketahui bahwa faktor-faktor produksi tenaga kerja, tanah liat, dan kayu bakar berpengaruh positif terhadap produksi keramik di sentra industri keramik di Kabupaten Klaten. Faktor modal, tingkat pendidikan, dan pengalaman kerja pengusaha berpengaruh positif terhadap nilai efisiensi produksi keramik. Pemakaian faktor-faktor input ditinjau dari harga faktor produksi terhadap harga output belum efisien.

Dalam penelitian ini lebih difokuskan pada sejauh mana faktor-faktor produksi memberikan pengaruh pada output sektor Industri pengolahan Kota Tasikmalaya. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya terletak pada penggunaan estimasi Cobb-Douglas, elastisitas dari masing-masing input dan bagaimana skala usahanya serta nilai tambah dan efisiensinya. Untuk menjawab semua permasalahan diatas digunakan Analisis regresi dengan menggunakan metode

Ordinary Least Square (OLS).

2.2.2 Kerangka Pemikiran Konseptual

Sektor Industri Pengolahan diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata baik pada sisi pendapatan yang terindikasi dalam PDRB maupun pada sisi penyerapan tenaga kerja. Peningkatan output sektor industri yang diimbangi dengan kenaikan input mengindikasikan peningkatan kapasitas produksi. Peningkatan output yang disertai dengan penurunan penggunaan input produksi mengindikasikan telah terjadinya proses efisiensi pada aktivitas produksinya,


(51)

sehingga dapat diartikan dengan peningkatan produktivitas. Peningkatan PDRB sektor industri diharapkan dapat berbanding lurus dengan peningkatan jumlah tenaga kerja sehingga peningkatan sektor industri pengolahan dapat dinikmati oleh semua elemen sehingga tidak terjadi ketimpangan sosial.


(52)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari Badan Pusat Statistik, berupa data input-input dari sektor industri pengolahan, yaitu bahan baku, investasi, tenaga kerja, bahan bakar, energi, listrik, data PDRB industri pengolahan dalam bentuk data time series periode 2002-2008, data Indeks Harga Perdagangan Besar (2000=100) untuk kategori sektor industri, serta data-data lainnya yang berkaitan dengan penelitian yang diperoleh dari sumber-sumber lainnya. Data-data nominal yang dikumpulkan kemudian dideflasi dengan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB), kemudian diolah dengan menggunakan piranti lunak Eviews 6.1 yang sebelumnya proses perhitungan data dibantu dengan piranti lunak Microsoft Excel 2003. Data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Tasikmalaya, Graha Kadin Kota Tasikmalaya, Dinas UMKM, Perindustrian dan Perdagangan Kota Tasikmalaya dan dinas terkait yang berhubungan dengan penelitian ini.

Penggunaan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) sebagai deflator dimaksudkan agar semua agregat dinilai atas harga dasar harga konstan suatu tahun. Dalam penelitian ini, IHPB yang digunakan adalah IHPB tahun dasar 2000 (2000=100) dan harga dianggap tetap sehingga adanya perkembangan terhadap agregat dari tahun ke tahun disebabkan oleh perkembangan riil, bukan fluktuasi kenaikan harga (Ajireswara, 2009).


(53)

3.2. Metode Analisis

3.2.1. Analisis Fungsi produksi Cobb-Douglas

Output ditentukan oleh sejumlah input yang digunakan. Menurut Syahruddin (1989) dalam Kurniawan (2008), fungsi produksi adalah suatu daftar

(schedule) yang memperlihatkan besarnya jumlah barang dan jasa secara

maksimum dapat dihasilkan oleh sejumlah masukan (input) tertentu pada tingkat teknologi tertentu. Model yang digunakan untuk menganalisis hubungan antara input dan output pada industri pengolahan adalah fungsi produksi Cobb-Douglas, yang secara matematis dapat ditulis :

Y = b X X ... (3.1)

Yang dapat dilinearkan dalam bentuk:

LnY = Lna+b1LnX1+b2LnX2+ b3LnX3+ b4LnX4+ b5LnX5+u ... (3.2) dimana:

Y = Output riil yang dihasilkan dalam industri pengolahan (ribu rupiah) X1 = Tenaga Kerja yang bekerja pada industri pengolahan (orang) X2 = Modal yang dikeluarkan oleh industri pengolahan ( rupiah)

X3 = Bahan Baku riil yang digunakan dalam proses produksi (ribu rupiah) X4 = Bahan bakar minyak yang digunakan pada industri pengolahan (ribu

rupiah)

X5 = Listrik yang dipakai pada industri pengolahan (ribu rupiah) a = intersep

bi = koefisien regresi penduga(b1,….,b5) u = residual (kesalahan atau error) e = 2.1782 (logaritma natural).


(54)

Variabel-variabel pada persamaan dianalisis dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas yang telah dilinearkan dengan analisis regresi linear berganda dan metode Ordinary Least Square (OLS). Nilai masing-masing koefisien regresi penduga pada persamaan adalah sama dengan nilai elastisitas masing-masing input terhadap output sektor industri pengolahan. Nilai skala hasil usaha dapat diperoleh melalui penjumlahan nilai koefisien dari masing-masing koefisien regresi penduga. terdapat tiga alternatif penilaian tentang skala hasil usaha, yaitu (Soekartawi, 1993) :

1. Decreasing return to scale, bila (b1+b2) < 1.

Yaitu proporsi penambahan input akan menghasilkan tambahan output yang proporsinya lebih kecil daripada penambahan input.

2. Constant return to scale, bila (b1+b2) = 1.

Yaitu proporsi penambahan input akan menghasilkan tambahan output yang proporsional dengan penambahan input.

3. Increasing return to scale, bila (b1+b2) > 1.

Yaitu proporsi penambahan input akan menghasilkan tambahan output yang proporsinya lebih besar daripada penambahan input.

3.2.2. Analisis Nilai Tambah dan Efisiensi

Nilai tambah digunakan untuk menganalisis pertumbuhan suatu industri. Nilai tambah industri pengolahan yang semakin meningkat mencerminkan pertumbuhan industri pengolahan yang positif. Secara matematis, nilai tambah bruto dapat dihitung dengan rumus (Sanimah, 2006) :


(55)

tingkat efisiensi produksi pada industri pengolahan menunjukan alokasi input yang efisien untuk menghasilkan sejumlah output pada industri pengolahan dan menunjukan tingkat penciptaan nilai tambah oleh industri pengolahan.

Secara matematis, dapat dituliskan rumus efisiensi (Dumairy, 1996) :

Efisiensi =

3.2.3. Analisis Regresi Berganda

Analisis regresi berganda adalah suatu metode yang digunakan untuk menjelaskan pengaruh variabel-variabel independen yang mempengaruhi variabel dependennya. Penyelesaian persamaan tersebut dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (ordinary least square = OLS). Metode OLS diperkenalkan oleh seoarang ahli matematika berkebangsaan Jerman yang bernama Carl Frederich Gauss (Gurajati, 1978).

Model umum yang digunakan dalam analisis regresi berganda :

Yi= + X1 + X2 + …… + Xi + i ... (3.3)

Keterangan:

Yi = Peubah Dependent (Peubah terikat)

= Konstanta

= Slope atau koefisien pengaruh

Xi = Peubah Bebas (independent Variabel) i = Eror

Menurut Gauss dan Markov dalam Gujarati (1978) dalam menggunakan


(56)

(Best Linier Unbiased Estimated), apabila persyaratan tersebut dipenuhi maka metode Ordinary Least Square (OLS) memberikan penduga koefisien yang baik. Akan tetapi, sifat tersebut didasarkan pada berbagai asumsi yang tidak boleh dilanggar agar penduga tetap bersifat BLUE. Teorema tersebut dikenal dengan sebutan Teorema Gauss-Markov. Asumsi-asumsi atau persyaratan yang melandasi koefisien regresi dengan metode Ordinary Least Square (OLS) berdasarkan teori

Gauss-Markov adalah sebagi berikut:

1. E(µ ) = 0 atau E(µ | ) atau E( ) = +

µ menyatakan variabel-variabel lain yang mempengaruhi akan tetapi tidak terwakili dalam model.

2. Tidak ada korelasi antara µ dan µ {cov(µ ,µ = 0};I tidak samadengan j. Artinya pada saat sudah terobservasi, deviasi dari rata-rata populasi (mean) tidak menunjukan pada pola {E(µ ,µ = 0}

3. Homoskedastisitas yaitu besarnya µ sama dengan varian (µ = 4. Kovarian antara varian µ nol, {cov(µ ,µ = 0};

Asumsi tersebut sama artinya bahwa tidak ada korelasi antara µ . Dengan perkataan lain bila non random maka E(µ ,µ = 0

5. Model regresi dispesifikasikan secara benar. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:

a. Model harus berpijak pada landasan teori b. Perhatikan variabel-variabel yang diperlukan c. Bagaimana bentuk fungsinya


(57)

Menurut teorema Gauss-Markov, OLS dapat menjadi suatu Analisis regresi yang kuat dengan menggunakan beberapa asumsi, yaitu:

1. Nilai rata-rata hitung deviasi yang berhubungan dengan setiap variabel independennya harus sama dengan nol

2. Tidak ada korelasi berurutan (autokorelasi) dalam setiap variabel dalam model

3. Analisis homoskedastisitas, atau penyebaran yang sama. Dengan kata lain, berarti bahwa populasi Y yang berhubungan dengan nilai X mempunyai

varians yang sama

4. Tidak terdapat multikolinearitas, yang berarti tidak terdapat hubungan yang pasti antara variabel independen.

Menurut Koutsoyianis (1997), terdapat beberapa kelebihan metode Ordinary Least Square (OLS), seperti berikut:

1. Hasil estimasi parameter diperoleh dengan metode OLS memiliki beberapa kondisi optimal (BLUE)

2. Tata cara pengolahan data metode Ordinary Least Square (OLS) relatif lebih mudah daripada metode ekonometrika yang lain, serta tidak membutuhkan data yang lebih banyak

3. Metode Ordinary Least Square (OLS) telah banyak digunakan dalam penelitian ekonomi dengan berbagai macam hubungan antar variabel dengan hasil yang memuaskan

4. Mekanisme pengolahan data dengan metode Ordinary Least Square (OLS)


(58)

5. Ordinary Least Square (OLS) juga merupakan bagian dari kebanyakan metode ekonometrik yang lain meskipun dengan penyesuaian dibeberapa bagian.

Sifat yang dimiliki oleh estimator pada model regresi OLS dengan memenuhi asumsi-asumsi diatas adalah BLUE. Ragam minimum (efisien) dan koefisien yang berasal dari model linear. Selain itu, nilai estimasi dari contoh (sample) akan mendekati nilai populasi.

Pengambilan keputusan diterima atau ditolaknya model ini didasarkan pada hasil pengujian terlebih dahulu karena variabel-variabel yang digunakan dalam model masih penduga. Suatu model ekonometrika harus memenuhi tiga kriteria yaitu kriteria ekonometrik, statistik dan ekonomi yang akan dijelaskan sebagai berikut:

A. Analisis Kriteria Ekonometrika

Untuk dapat diterima sebagai model yang baik, maka suatu model ekonometrika harus dapat memenuhi kriteria ekonometrika. Pengujian tersebut dapat dilakukan melalui beberapa pengujian, diantaranya:

a) Uji Heteroskedastisitas

Asumsi penting model klasik adalah bahwa varian tiap unsur disturbance µ , tergantung pada nilai yang dipilih dari variabel yang menjelaskan Heteroskedastisitas

H0: = 0


(59)

Kriteria Uji:

Probabitity Obs*R-squared < α, maka tolak

Probabitity Obs*R-squared > α, maka terima

Jika ditolak, maka terdapat gejala heterokedastisitas pada model. Sebaliknya jika diterima maka tidak terdapat gejala heterokedastisitas.

Pendeteksian heterokedastisitas menggunakan Eviews dilakukan dengan melihat

White Heteroscedasticity Test. Jika probabilitas Obs*R-squared dari White Heteroscedasticity Test lebih besar dari taraf nyata (α) yang digunakan maka model terbebas dari heteroskedastisitas.

Adanya heteroskedastisitas dapat mengakibatkan:

i) Estimasi penggunaan OLS tidak akan memiliki varians yang minimum atau tidak efisien.

ii) Prediksi (nilai X dan Y tertentu) dengan estimator dari data yang sebenarnya akan memiliki varians yang tinggi sehingga prediksi menjadi tidak efisien.

iii) Tidak dapat diterapkan uji nyata tidaknya koefisien atau selang kepercayaan dengan menggunakan formula yang berkaitan dengan nilai varians.

b) Uji Auto Korelasi

Autokorelasi dalam Gujarati (1993), adalah korelasi antara eror masa lalu ( ) dengan masa sekarang . Untuk menguji ada tidaknya autokorelasi, dapat menggunakan uji Durbin Watson, yakni:


(60)

d hit

=

... (3.4) Pada Eviews, uji autokorelasi dapat menggunakan uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilitasnya, jika nilai

probabilitas obs*squared lebih besar dari taraf nyata yang digunakan maka persamaan tidak mengalami permasalahan autokorelasi dan sebaliknya.

Adanya autokorelasi dapat menyebabkan adanya: i) Dugaan parameter tak bias

ii) Nilai galat baku terautokorelasi sehingga ramalan tidak efisien iii) Ragam galat bias

iv) Terjadi pendugaan ragam pada galat (standar error underestimated) sehingga SB underestimated, maka t overestimated atau t cenderung lebih besar dari yang sebenarnya dan tadinya tidak signifikan menjadi signifikan (Gujarati, 1993).

c) Uji Multikolinear

Multikolinear adalah suatu situasi dimana adanya keadaan korelasi variabel-variabel diantara satu dengan yang lainnya. Variabel-variabel-variabel bebas yang bersifat orthogonal adalah variabel bebas yang nilai korelasi diantara sesamanya sama dengan nol. Jika terdapat korelasi sempurna diantara sesama variabel bebas ini sama dengan satu, maka konsekuensinya adalah koefisien-koefisien regresi menjadi tidak dapat ditaksir, nilai standar error setiap koefisien regresi menjadi tak terhingga (Gujarati 1993).


(61)

B. Analisis Kriteria Statistik a. Koefisien Determinasi (R²)

Melihat untuk sejauh mana besar keragaman yang dapat diterangkan oleh variabel bebas terhadap variabel tak bebas. Uji koefisien determinasi ini juga digunakan untuk melihat seberapa kuat variabel yang dimasukan kedalam model dapat menerangkan model (Gujarati,1999).

Dua sifat R² yaitu:

a) Merupakan besaran non negatif

b) Batasnya adalah 0 R² 1. Jika R² bernilai 1 berarti suatu kecocokan sempurna, sedangkan jika R² bernilai 0, berarti tidak ada hubungan antara variabel bebas dan terikatnya.

R²= ∑ ²

² ... (3.5)

b. Uji t (Uji Parsial)

Pengajian ini digunakan untuk melihat sejauh mana variabel bebas secara parsial berpengaruh pada variabel terikatnya (Gujarati, 1999). Melalui uji ini akan diuji apakah koefisien regresi satu persatu secara statistik signifikan atau tidak.

Nilai t adalah:


(62)

Tolak bila | |

<

, artinya variabel signifikan berpengaruh pada taraf nyata yang digunakan pada model.

c. Uji F (Uji Serentak)

Pengujian ini digunakan untuk melihat apakah variabel-variabel bebas secara serentak berpengaruh terhadap variabel terikatnya, (Gujarati,1999).

= = = … = 0

=

o

F =

²

² ... (3.7)

Tolak bila > . C. Analisis Kriteria Ekonomi

Dalam kriteria ekonomi, hasil pendugaan tersebut dicocokkan dengan teori ekonomi. Kesesuaian model dengan kriteria ekonomi dilihat dari tanda parameter dugaan. Tanda tersebut diharapkan sesuai dengan hipotesis. Tanda positif menunjukkan bahwa perubahan variabel bebas akan berpengaruh positif terhadap variabel terikat. Tanda negatif artinya perubahan variabel bebas akan menyebabkan perubahan variabel terikat dengan perbandingan terbalik.

Adanya perbedaan tanda antara hasil dan hipotesis dapat diterima jika dapat dijelaskan dan didukung dengan alasan yang sesuai dengan teori ekonomi dan kondisi sosial pada ruang lingkup penelitian. Besarnya pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat dari besarnya elastisitas dan dinyatakan dalam persen (Gujarati, 1999).


(63)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN DI KOTA TASIKMALAYA

4.1. Gambaran Umum Lokasi 4.1.1. Letak Geografis

Kota Tasikmalaya secara geografis berada di bagian tenggara wilayah Provinsi Jawa Barat dengan jarak dari ibukota provinsi, Bandung, kurang lebih 105 km dan dari ibukota negara, Jakarta, kurang lebih 225 km. Wilayah ini berada pada posisi 108° 08’38” BT - 108° 24’02” BT dan 7°10’LS – 7°26’32” LS dengan batas-batas wilayah administratif sebagai berikut:

• Utara : Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis

• Timur : Kabupaten Tasikmalaya

• Selatan : Kabupaten Tasikmalaya

• Barat : Kabupaten Tasikmalaya

Kota Tasikmalaya terdiri atas 69 kelurahan yang berada pada 10 kecamatan (sesuai Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya No. 6 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kecamatan Bungursari dan Kecamatan Purbaratu). Luas wilayah keseluruhan 171.56 km² dengan jumlah penduduk pada tahun 2006 sebanyak 630,191 jiwa, maka kepadatan penduduknya mencapai sekitar 3,673 jiwa/km².

Berdasarkan bentang alamnya Kota Tasikmalaya termasuk ke dalam kategori dataran sedang, dengan ketinggian wilayah berada pada kisaran 201 mdpl (terendah, di kelurahan Urug Kecamatan Kawalu) sampai dengan 503 mdpl (tertinggi, kelurahan Bungursari Kecamatan Bungursari). Dilihat dari kemiringan


(64)

lahannya (kelerengan) terdapat beberapa wilayah yang memiliki kemiringan lahan cukup tinggi, diantaranya Kecamatan Kawalu dan Kecamatan Cibeureum, sehingga perkembangan kegiatan perkotaan pada dua wilayah tersebut perlu dilakukan secara selektif.

4.1.2. Gambaran Perekonomian Kota Tasikmalaya Semenjak tahun 2001, PDRB Kota Tasikmalaya mulai terpisah dengan PDRB Kabupaten Tasikmalaya. Pada tahun 2001 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Kota Tasikmalaya mencapai sebesar 2,479 triliun rupiah dan meningkat menjadi 3,470 triliun rupiah pada tahun 2008. Peningkatan pencapaian PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Kota Tasikmalaya terus mengalami peningkatan yang signifikan seiring dengan terus berkembangnya Kota Tasikmalaya.

Sumber: Bappeda dan BPS Kota Tasikmalaya, Publikasi PDRB Tahun 2008

Gambar 4.1 PDRB Kota Tasikmalaya Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2001-2008

‐ 500,000.00  1,000,000.00  1,500,000.00  2,000,000.00  2,500,000.00  3,000,000.00  3,500,000.00  4,000,000.00 

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

PDRB Kota Tasikmalaya Atas Dasar Harga

Konstan 2000 (juta rupiah)


(65)

Berdasarkan Gambar 4.1 terlihat jelas bahwa PDRB Kota Tasikmalaya terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan PDRB ini seiring dengan peningkatan hampir semua sektor ekonomi yang terus berkembang di Kota Tasikmalaya. Pada Tabel 1.1 tentang persentase terhadap PDRB Kota Tasikmalaya Atas Dasar Harga Konstan 2000, aktivitas perekonomian Kota Tasikmalaya ditopang oleh 3 sektor utama, diantaranya sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran; sektor Industri Pengolahan; dan sektor Jasa-jasa.

Sumber: BPS Kota Tasikmalaya Tahun 2008

Gambar 4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Tasikmalaya dan beberapa wilayah sekitar Tahun 2006-2008 Atas Dasar Harga Konstan 2000 (Persen) Apabila dibandingkan dengan wilayah Kota atau Kabupaten yang ada di sekitar Kota Tasikmalaya, laju perekonomian Kota Tasikmalaya masih lebih baik. Berdasarkan Gambar 4.2 dapat dilihat bahwa Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Tasikmalaya masih lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi wilayah tetangganya seperti Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar walaupun jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi di jawa barat secara keseluruhan masih lebih rendah.

0 1 2 3 4 5 6 7

2006 2007 2008

Jawa Barat Kota Tasikmalaya Kota Banjar

Kabupaten Tasikmalaya Kabupaten Ciamis


(1)

Data Nilai Tambah Riil Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008 Tahun IHPB

(2000=100) Output Riil Input Riil Nilai Tambah Riil 2002 124 368,718,857.00 280,309,398.77 88,409,458.23 2003 130 460,001,418.00 168,923,504.30 291,077,913.70 2004 136 626,605,529.00 307,273,990.15 319,331,538.85 2005 158 711,560,912.00 436,478,690.53 275,082,221.47 2006 195 1,007,524,020.00 729,229,993.70 278,294,026.30 2007 218 729,478,610.00 348,673,105.75 380,805,504.25 2008 273 573,652,211.00 383,246,352.07 190,405,858.93 Sumber: BPS Jawa Barat Tahun 2002-2008 (diolah)

Keterangan:


(2)

   

Data Efisiensi Produksi Industri Pengolahan Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008

No Tahun Output Input Efisiensi

(Ribu Rupiah) (Ribu Rupiah) (input/output) 1 2002 45,721,138,268 34,758,365,447 0.7602252867 2 2003 59,800,184,340 21,960,055,559 0.3672238773 3 2004 85,218,351,944 41,789,262,660 0.4903786767 4 2005 112,426,624,096 68,963,633,104 0.6134101567 5 2006 196,467,183,900 142,199,848,772 0.7237842267 6 2007 159,026,336,980 76,010,737,054 0.4779757775 7 2008 156,607,053,603 104,626,254,116 0.6680813648 Sumber: BPS Jawa Barat Tahun 2002-2008 (diolah)


(3)

Data Variabel Dependen dan Independen OLS (di-Ln-kan) No Tahun Output Tenaga

Kerja

Nilai Investasi

Bahan

Baku BBM Listrik

1 2002 19.73 11.16 25.29 19.11 17.88 16.95 2 2003 19.95 11.05 25.81 18.59 17.54 16.00 3 2004 20.26 10.98 25.88 19.19 17.96 17.20 4 2005 20.38 10.83 25.95 19.59 18.09 17.58 5 2006 20.73 11.16 26.18 20.19 18.31 17.78 6 2007 20.41 11.34 26.24 19.42 17.32 17.59 7 2008 20.17 11.30 26.31 19.60 16.73 17.46 Ket: Data diolah


(4)

   

Covariance Analysis: Ordinary Date: 06/28/11 Time: 21:28 Sample: 2002 2008

Included observations: 7

Covariance Correlation t-Statistic Probability

Observations OUTPUT TK INV BB BBM LSTRK

OUTPUT 0.092152

1.000000

--- --- 7

TK -0.000457 0.027241

-0.009125 1.000000

-0.020406 ---

0.9845 ---

7 7

INV 0.073994 0.018156 0.104480

0.754099 0.340319 1.000000

2.567478 0.809282 ---

0.0502 0.4551 ---

7 7 7

BB 0.112481 0.012943 0.083447 0.212917

0.803015 0.169953 0.559487 1.000000

3.012950 0.385637 1.509401 ---

0.0297 0.7156 0.1916 ---

7 7 7 7

BBM 0.045273 -0.051794 -0.062109 0.052011 0.247969

0.299497 -0.630187 -0.385869 0.226354 1.000000

0.701915 -1.814866 -0.935261 0.519629 ---

0.5141 0.1293 0.3926 0.6255 ---

7 7 7 7 7

LSTRK 0.123396 0.016775 0.095696 0.233666 0.034773 0.312314

0.727367 0.181872 0.529761 0.906137 0.124952 1.000000

2.370051 0.413576 1.396672 4.790215 0.281609 ---

0.0639 0.6963 0.2213 0.0049 0.7895 ---


(5)

Dependent Variable: OUTPUT Method: Least Squares

Date: 06/28/11 Time: 21:29 Sample: 2002 2008

Included observations: 7

White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

TK 0.188658 0.033033 5.711176 0.1104

INV 0.879573 0.011820 74.41391 0.0086

BB -0.044993 0.025125 -1.790775 0.3242

BBM 0.437649 0.011052 39.59976 0.0161

LSTRK 0.100395 0.015496 6.478789 0.0975

C -12.97975 0.449649 -28.86643 0.0220

R-squared 0.999855 Mean dependent var 20.23103 Adjusted R-squared 0.999129 S.D. dependent var 0.327888 S.E. of regression 0.009679 Akaike info criterion -6.669381 Sum squared resid 9.37E-05 Schwarz criterion -6.715744 Log likelihood 29.34283 Hannan-Quinn criter. -7.242416 F-statistic 1376.972 Durbin-Watson stat 3.159381 Prob(F-statistic) 0.020457


(6)

   

Uji Normalitas Error Term

0 1 2 3

-0.0075 -0.0050 -0.0025 0.0000 0.0025 0.0050

Series: Residuals Sample 2002 2008 Observations 7

Mean -7.36e-15 Median 0.000620 Maximum 0.004477 Minimum -0.007375 Std. Dev. 0.003951 Skewness -0.807282 Kurtosis 2.804880 Jarque-Bera 0.771426 Probability 0.679966