39
peralihan yaitu musim peralihan Barat-Timur dan musim peralihan Timur-Barat. Bulan-bulan Desember, Januari, dan Februari adalah musim angin di belahan bumi
bagian utara dan musim panas di belahan bumi bagian selatan. Pada saat itu terjadilah pusat tekanan tinggi di atas daratan Asia dan pusat tekanan rendah di atas
daratan Australia. Keadaan ini menyebabkan angin berembus dari Asia menuju Australia, yang di Indonesia umumnya dikenal sebagai Angin Musim Barat West
Monsoon. Sebaliknya pada bulan-bulan Juli hingga Agustus , terjadi pusat tekanan tinggi di atas daratan Australia dan pusat tekanan rendah di atas daratan Asia hingga
di Indonesia berhembuslah Angin Musim Timur East Monsoon. Dalam bulan Maret, angin barat masih berhembus tetapi kecepatannya berkurang. Dalam bulan
April dan Mei arah angin sudah tidak menentu dan periode ini dikenal sebagai musim pancaroba. Demikian pula yang terjadi dalam bulan Oktober dan November
arah angin tidak menentu dan periode ini dikenal sebagai musim pancaroba akhir tahun.
Apabila dikaitkan dengan musim perairan di Indonesia, maka musim penangkapan ikan tembang di Teluk Banten terjadi di ke empat musim angin, yaitu
musim Barat, musim Timur, musim peralihan Barat – Timur, dan musim peralihan
Timur – Barat. Pada musim Barat musim penangkapan ikan tembang terjadi di bulan
Februari, musim Timur : Juli dan Agustus, musim peralihan Barat - Timur : Maret dan Mei, dan musim peralihan Timur
– Barat : September, Oktober, dan November.
4.2.5. Bioekonomi
Analisis bioekonomi ditujukan untuk meningkatkan tingkat pengusahaan maksimum bagi pelaku perikanan. Perkembangan usaha perikanan tidak dapat lepas
dari faktor ekonomi seperti biaya dan harga yang sangat mempengaruhinya. Pendekatan analisis bioekonomi secara biologi dan ekonomi dapat dijadikan sebagai
suatu alternatif untuk mencapai upaya optimasi perikanan yang berkelanjutan. Pendekatan ini akan menunjukkan rezim pengelolaan perikanan yang baik dan
efisien sehingga mampu memberikan keuntungan bagi pelaku usaha perikanan tangkap. Rezim pengelolaan perikanan ikan tembang dibedakan menjadi tiga yaitu
rezim open access, MEY, dan MSY. Dengan melihat dari hasil tangkapan, upaya,
40
dan rente ekonomi dari ketiga rezim tersebut maka akan terlihat kelebihan dan kekurangannya.
4.2.5.1. Rezim pengelolaan perikanan open access
Konsep umum yang berlaku umum terhadap kepemilikan sumberdaya perikanan yang banyak dimanfaatkan nelayan, dianggap sebagai milik bersama yang
lebih dikenal dengan istilah “common property resource”. Konsep ini identik dengan pengelolaan yang bersifat terbuka bagi siapa saja. Menurut Clark 1990 in
Firman 2008, open access adalah kondisi ketika pelaku perikanan atau seseorang yang mengeksploitasi sumberdaya secara tidak terkontrol atau setiap orang
memanen sumberdaya tersebut. Berdasarkan wawncara pribadi, kondisi pengelolaan perikanan di PPP Karangantu masih bersifat open access, dimana setiap pelaku
perikanan yang telah mendapatkan izin dapat melakukan operasi penangkapan ikan secara bebas.
Berdasarkan Tabel 3, upaya penangkapan ikan tembang pada rezim open access sebanyak 2674 trip per tahun. Jumlah tersebut merupakan nilai yang paling
besar apabila dibandingkan dengan upaya penangkapan pada kondisi MSY dan MEY dengan nilai masing-masing sebesar 2.216 dan 1.337 trip per tahun. Besarnya
upaya penangkapan pada rezim open access dikarenakan sifat dari rezim ini adalah dimana setiap orang dapat dan boleh melakukan kegiatan penangkapan di perairan
Indonesia termasuk di Teluk Banten. Apabila terus dibiarkan, tentu saja hal ini akan berdampak buruk bagi suatu sumberdaya. Salah satu contohnya adalah perubahan
status sumberdaya ikan menjadi tangkap lebih overfishing. Menurut Gordon 1954 in Firman 2008 bahwa tangkap lebih secara ekonomi economic
overfishing akan terjadi pada pengelolaan sumberdaya perikanan yang tidak terkontrol open access.
Hasil tangkapan yield ikan tembang pada rezim pengelolaan open acess senilai 222,86 ton per tahun. Pada rezim ini nilai keuntungan yang diperoleh adalah
nol TR = TC, artinya jika sumberdaya ikan tembang di Teluk Banten dibiarkan terbuka untuk setiap orang maka persaingan usaha pada kondisi ini menjadi tidak
terbatas dan menimbulkan resiko bagi nelayan untuk mendapatkan hasil tangkapan
41
dalam kondisi persaingan yang ketat. Kondisi seperti ini juga dapat menyebabkan nelayan untuk mengembangkan upaya penangkapannya untuk mendapatkan hasil
tangkapan yang sebanyak mungkin. Hal ini dapat dilihat dengan tingginya nilai effort pada kondisi open access dibandingkan rezim MEY dan MSY. Tentu secara
ekonomi hal ini tidak menjadi efisien karena keuntungan yang diperoleh untuk jangka panjang semakin kecil bahkan tidak memperoleh keuntungan sama sekali
dari kegiatan pemanfaatan suatu sumberdaya. Dengan demikian, kondisi pada rezim pengelolaan open access akan merujuk
pada dua pendapat : 1 apabila upaya penangkapan menghasilkan suatu keadaan dimana total cost TC lebih tinggi dari total revenue TR maka nelayan akan
kehilangan penerimaannya dan memilih untuk keluar exit dari usaha perikanan, dan 2 jika upaya penangkapan menghasilkan TR yang lebih tinggi dari TC, maka
nelayan cenderung lebih tertarik untuk masuk entry dan mengeksploitasi sumberdaya perikanan sehingga pada tingkat keseimbangan tercapai maka proses
exit dan entry tidak terjadi lagi. Keseimbangan open acess terjadi jika seluruh rente ekonomi telah terkuras sehingga tidak ada lagi insentif untuk masuk dan keluar serta
tidak ada perubahan pada tingkat upaya yang sudah ada Fauzi 2004 in Taeran 2007.
4.2.5.2. Rezim pengelolaan perikanan MEY
Rezim pengelolaan MEY berperan penting dalam penentuan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya ikan baik secara lestari maupun ekonomi. Berdasarkan
Tabel 3, hasil perhitungan yang diperoleh menunjukkan bahwa upaya yang dibutuhkan jumlahnya lebih kecil dibanding rezim open access dan MSY yaitu
sebesar 1.337 trip per tahun. Nilai upaya penangkapan tersebut dapat menghasilkan tangkapan sebesar 196,15 ton per tahun. Pada kondisi MEY rente atau tingkat
keuntungan ekonomi yang diperoleh merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan pengelolaan open access dan MSY yaitu sebesar Rp. 275.348.506,31 per tahun. Hal
ini dapat juga dilihat pada Gambar 14, dimana garis rente ekonomi π pada rezim MEY lebih besar dibanding rezim MSY. Pada kondisi ini memungkinkan mencegah
terjadinya alokasi yang tidak tepat dari sumberdaya alam karena kelebihan tenaga
42
kerja ataupun modal. Nilai rente tersebut disebut juga sebagai rente MEY berada pada kondisi maksimum. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat produksi ini
tingkat upaya sudah dicapai dengan efisien sehingga diperoleh hasil tangkapan yang baik dan diikuti oleh rente ekonomi yang besar.
Pemanfaatan sumberdaya yang dibatasi pada kondisi MEY akan memberikan rente atau keuntungan yang besar bagi pelaku perikanan. Hal ini disebabkan total
penerimaan yang diperoleh lebih besar dari total biaya atau pengeluaran. Implikasi pemanfaatan sumberdaya yang terkendali tersebut terlihat dari penggunaan effort
f
MEY
yang lebih kecil dibandingkan effort yang digunakan pada kondisi open access dan MSY. Dengan demikian, rezim pengelolaan MEY terlihat lebih efisen
dan ramah terhadap sumberdaya perikanan. Berdasarkan kondisi aktual, pemanfaatan sumberdaya ikan tembang di Teluk Banten sudah mengalami economic
overfishing. Menurut Widodo Suadi 2006, economic overfishing terjadi bila tingkat upaya penangkapan dalam suatu perikanan melampaui tingkat yang
diperlukan untuk menghasilkan MEY. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3 dimana upaya penangkapan aktual sebesar 2.330 trip per tahun sudah melebihi upaya
penangkapan MEY senilai 1.337 trip per tahun.
4.2.5.3. Rezim pengelolaan perikanan MSY
Pengelolaan sumberdaya ikan tembang pada kondisi MSY memiliki effort optimum sebanyak 2.216 trip per tahun, jumlah tangkapan sebesar 232,79 ton per
tahun, dan rente ekonomi yang diperoleh sebesar Rp. 18.104.064,81 per tahun. Apabila dilihat berdasarkan rente ekonomi, nilai rente ekonomi rezim MEY jauh
lebih besar dari pada rezim MSY. Sementara untuk nilai harvest hasil tangkapan, nilai harvest untuk rezim MSY lebih besar dibandingkan dengan nilai harvest pada
rezim MEY. Hal ini menandakan bahwa pada rezim MEY walaupun tingkat upaya penangkapan sangat sedikit, hasil tangkapan yang diperoleh jauh lebih banyak
dibandingkan rezim MSY, sehingga rente ekonomi yang diperoleh pelaku perikanan lebih banyak. Selain itu, upaya penangkapan yang lebih kecil namun efektif
cenderung tidak akan memberikan dampak eksploitasi yang berlebih terhadap
43
sumberdaya ikan. Dengan demikian, konsep pengelolaan perikanan rezim MSY kurang efisien dibanding rezim MEY.
Berdasarkan kondisi aktual Tabel 3, maka disimpulkan status ikan tembang di Teluk Banten sudah mengalami biological overfishing. Menurut Widodo Suadi
2006, biological overfishing terjadi manakala tingkat upaya penangkapan dalam suatu perikanan tertentu melampaui tingkat yang diperlukan untuk menghasilkan
MSY. Pada kondisi aktual jumlah upaya penangkapan senilai 2.956 trip per tahun sudah melebihi batas upaya penangkapan MSY senilai 2216 trip per tahun. Jumlah
tangkapan aktual sebesar 297,35 ton per tahun juga sudah melebihi batas produksi lestari MSY senilai 232,79 ton per tahun. Murdiyanto 2004 in Taeran 2007
mengatakan bahwa tingkat pemanfaatan yang melebihi nilai MSY akan menyebabkan peristiwa lebih tangkap dapat mengakibatkan menurunnya hasil
tangkapan per satuan upaya atau catch per unit effort CPUE.
4.2.6. Implementasi untuk pengelolaan perikanan